KETIKA BULAN TINGGAL SEPARUH 34
(Tien Kumalasari)
Arumi terkejut. Tiba-tiba saja kedua telapak tangan membasah oleh keringat dingin, Kedua kakinya gemetar. Tak disangka, Bachtiar akan menanyakan hal yang orang tuanya sendiripun tak tahu menahu.
“Arumi,” Bachtiar menatap tajam Arumi.
Arumi mengangkat wajahnya yang sedikit pucat.
“Ada apa Arumi? Kamu menyembunyikan sesuatu? Katakan padaku. Apa kamu tidak percaya padaku?”
“Mengapa … mengapa mas Tiar menanyakan hal itu? Dari mana Mas bisa menyebut nama-nama itu?”
“Daripada aku mendengar dari orang lain, bukankah lebih baik aku menanyakannya pada kamu?”
Arumi diam membisu. Apa ia harus mengatakannya? Bagaimana kalau Luki membuktikan ancamannya, lalu membuat kedua orang tuanya celaka? Kelihatannya Luki punya anak buah. Buktinya mereka yang menjalankan penculikan itu, dan menjaganya ketika dirinya disekap. Bisa saja kemudian dia menyuruh untuk mencelakai kedua orang tuanya, dan ….
“Kamu takut sesuatu?” tanya Bachtiar yang seperti bisa membaca pikirannya.
Pelayan menghidangkan pesanan Bachtiar. Dua gelas jus mangga dan dua porsi steak daging yang masih mengebulkan asap. Sejenak Arumi terpana oleh makanan yang terhidang. Bagaimana cara makannya, sementara ada pisau dan garpu tersedia diatas nampan, bukan piring, apa namanya?
Minumlah dulu. Supaya kamu lebih tenang.
Arumi meraih gelas dengan cairan berwarna kuning, yang ketika dekat di depannya, menguarkan aroma wangi mangga.
“Ini sirup?”
“Ini jus mangga. Dibuat dari mangga yang digiling, dibuat minuman yang sehat dan segar. Cobalah. Ini sedotannya,” kata Bachtiar yang kemudian menunjukkan cara meminumnya.
Arumi menirukannya, dan mengecap nikmat minuman yang belum pernah dirasakannya.
"Sekarang ayo kita makan makanan ini."
“Apa di kota orang tidak makan dengan memakai piring?”
"Ada makanan yang dimakan memakai piring. Ini namanya steak, dimasak dengan grill pan. Daging ini langsung dimasak di sini dan dihidangkan dalam keadaan panas. Awas jangan pegang wajannya. Kentang dan sayuran untuk pelengkap. Pisaunya untuk mengiris daging, lalu dengan garpu irisan daging dimasukkan ke mulut,”
Bachtiar menerangkan sambil memberi contoh. Arumi sejenak melupakan kegelisahannya, dan mengomel pelan.
“Susah amat.”
Tapi ia mencoba menirukan, walau masih kaku, tapi lama-lama menjadi terbiasa.
“Enak?” tanya Bachtiar.
Arumi hanya mengangguk. Terasa asing, tapi enak. Benar-benar pengalaman baru bagi Arumi, yang biasanya memasak dengan pemanas dari kayu. Menggoreng dan membakar dengan alat yang tidak rumit.
Ketika makanan itu habis, dan Arumi sudah meneguk lagi jusnya sampai tinggal separuh, kegelisahan kembali muncul, karena Bachtiar menatapnya lagi seakan menuntut jawaban darinya.
Kemudian Arumi menyesal telah mau mengikuti ajakan Bachtiar untuk keluar. Pasti pertanyaan itu yang paling penting baginya dengan mengajaknya pergi. Bukan belanja macam-macam untuk keluarganya yang harganya tak akan pernah menjadi mimpi dalam hidupnya.
“Kalau hatimu sudah tenang, kamu bisa menjawab pertanyaanku bukan? Aku melihat ada hubungan antara kamu, Sutris, pak Carik dan Luki. Ini membingungkan dan aku belum menemukan jawabannya. Apakah kamu pernah berhubungan dengan Sutris?”
Pertanyaan yang terakhir itu membuat Arumi sedikit kesal.
“Hubungan yang seperti apa? Apa yang Mas pikirkan dengan kata ‘hubungan’ itu?"
“Barangkali. Aku tidak menuduh, tapi bertanya.”
“Mas Sutris menolong aku dari sekapan penculik. Jangan menyalahkan dia. Dia bahkan tidak menyentuhku sama sekali.”
“O, jadi ini tentang penculikan? Lalu siapa pak Carik dan Luki, dalam kejadian penculikan itu?”
Arumi tersudut. Haruskah dia berterus terang? Bagaimana dengan keselamatan kedua orang tuanya? Bahkan sebenarnya dia juga tidak tahu apa sebenarnya motif penculikan itu. Ia juga tak tahu mengapa Luki muncul dan mencekokinya dengan obat yang kemudian berhasil dimuntahkannya. Lalu ada pak Carik? Agak mengherankan kenapa pak Carik menurunkan Sutris di rumah terpencil tempat dia disekap, walau dia tak melihat wajah pak Carik waktu itu.
“Aku juga bingung,” katanya pelan.
“Bisakah kamu ceritakan bagaimana kamu diculik, sampai kemudian Sutris berhasil membawa kamu pulang?"
Arumi ragu-ragu, tapi dia kan hanya berjanji untuk tidak menyebut nama Luki?
“Tolong, agar aku mengerti.”
“Apa Mas akan melaporkannya pada polisi?”
“Apa kamu takut seandainya aku melapor pada yang berwajib?”
Arumi terdiam. Tentu saja dia takut. Takut akan keselamatan kedua orang tuanya.
“Ada apa? Baiklah, ceritakan saja, aku tak akan membuat hidupmu berbahaya. Percayalah. Jangan takut. Aku akan melindungi kamu.”
“Dan bapak serta simbokku?”
Bachtiar terhenyak. Jawaban Arumi menyiratkan tentang adanya ancaman dari seseorang, tentang keselamatan orang tuanya. Ada apa ini? Bachtiar harus bisa menguaknya.
Dengan ragu-ragu, Arumi mengatakan awal mula dia dibawa pergi oleh orang yang tidak dikenalnya, ketika dia keluar dari kamar karena mendengar suara orang meminta tolong. Ia dibekap dengan sesuatu dihidungnya yang membuat dia tak sadar, lalu ketika ia sadar sudah berada di sebuah kamar asing. Ia melewatkan cerita tentang ketika dia dicekoki obat. Ia mengatakan ketika tiba-tiba Sutris datang, lalu membawanya pulang.
Bachtiar bukan orang bodoh. Tak mungkin orang menculik tanpa sebab, lalu membiarkannya pulang begitu saja.
“Bagaimana dengan Luki, dan pak Carik?”
Arumi terkejut. Apa yang harus dikatakannya?
“Kamu diancam agar tidak menyebutkan kedua orang itu ketika ditanya siapapun?”
Arumi terdiam. Bachtiar tak bisa dibohongi. Awalnya Bachtiar bertanya tentang Luki, pak Carik dan Sutris. Tapi dia hanya menceritakan tentang Sutris.
“Bagaimana tiba-tiba Sutris bisa tahu di mana kamu disekap?”
“Katanya … katanya … dia sedang pergi bersama ayahnya, lalu turun di dekat tempat itu.”
“Begitu kebetulan ada kamu disekap di sana? Begitu mudah dia mengajak kamu pergi? Tidak ada yang menjaga? Kalau tidak ada, pastinya kamu bisa kabur dengan sendirinya.”
“Ka … kamar itu dikunci dari luar.”
“O, lalu Sutris bisa membuka karena kuncinya masih tergantung di luar pintu?”
Arumi tak menjawab.
“Kamu tahu, mengapa kamu diculik? Ada hubungannya dengan Luki? Pak Carik?”
Arumi menggeleng.
“Kita sudah lama perginya, simbok pasti menunggu, dan pasti simbok pula yang mengirim makan untuk bapak,” kata Arumi pelan.
“Baiklah, ayo kita pulang,” kata Bachtiar yang tak bisa mendesak lebih jauh. Ia melihat Arumi sangat ketakutan. Hal ini yang semakin membuat Bachtiar penasaran. Tapi dia harus bersabar. Ia tersenyum cerah ketika membawa Arumi ke arah mobil, berharap Arumi menjadi lebih tenang.
Bachtiar mencoba mengajak Arumi bercanda, agar Arumi melupakan pertanyaannya yang membuatnya tertekan.
“Calon istriku kok diam ya, mengantuk?”
Arumi tersenyum mendengar panggilan ‘calon istriku’. Tak urung ia kemudian mengulaskan senyuman, walau sangat tipis.
“Arumi, kamu tahu, aku sangat suka melihat kamu tersenyum.”
“Kenapa?”
“Kalau kamu tersenyum, aku merasa seperti melihat matahari terbit.”
“Bukankah matahari itu panas?”
“Ketika terbit, matahari tidak panas, hangat dan nyaman.”
Arumi tersenyum lebih lebar.
“Kapan kamu mendaftar sekolah?”
“Bulan depan.”
“Tanggal pastinya kapan, nanti aku antar kamu.”
“Nanti aku tanyakan dulu.”
“Beberapa hari lagi orang tuaku akan datang ke rumahmu.”
“Apa?”
“Bukankah aku sudah mengatakannya? Lebih cepat lebih baik, bukan?”
Arumi berdebar. Ini bukan mimpi, Bachtiar mengatakannya. Benarkah ia akan segera menjadi seorang istri?
***
Mbok Truno sangat terkejut, ketika Arumi datang bersama Bachtiar dengan membawa banyak sekali belanjaan. Beberapa baju untuk Arumi dan dirinya, baju, sandal dan sepatu untuk pak Truno.
“Nak, mengapa ini semua Nak Tiar berikan untuk kami? Kami sudah biasa hidup sederhana, ini terlalu mewah. Kalau saya pakai nanti malah menjadi perhatian orang banyak,” kata mbok Truno.
“Tidak apa-apa Bu, tadi hanya ingin belanja, lalu ingat membelikan untuk Ibu dan bapak juga. Ini bukan bahan mewah, harganya biasa saja. Mohon diterima ya Bu.”
“Ya sudah Nak, terima kasih banyak. Apa pantas orang desa seperti saya memakai pakaian seperti ini?”
“Mengapa tidak pantas Bu. Pasti pantas dan bagus. Coba saja ibu pakai, pasti bagus. Lihat di depan kaca, kalau tidak pantas nanti dibelikan yang lain, di mana Ibu harus ikut supaya pas dengan selera ibu.”
“Eh … tidak, tidak. Ini cukup. Tapi kami tidak punya kaca, hanya kaca kecil untuk sisiran,” kata mbok Truno.
“Di rumah ada cermin yang tidak terpakai, nanti akan saya bawa kemari.”
“Apa? Tidak usah Nak, biar begini saja. Malah jadi merepotkan.”
“Di rumah tidak terpakai kok Bu, jadi tidak repot.”
“Ya ampun Nak, terima kasih banyak.”
“Sekarang saya mau pulang dulu ya Bu, nanti kalau sandal atau sepatu untuk bapak atau Ibu kebesaran atau kekecilan, bisa ditukar kok. Besok saya kemari lagi.”
“Iya Nak, terima kasih banyak. Nanti bapaknya Rumi pasti kaget mendapat baju-baju bagus dan celana seperti ini.”
“Hanya saja tadi ukurannya hanya kira-kira, kalau kurang pas bisa ditukar kok.”
***
Tapi Bachtiar tidak langsung pulang. Rasa penasaran tentang keterangan Arumi yang dianggapnya hanya sepotong, membuatnya tergelitik untuk terus mencari keterangan dari orang lain. Karena itu ia kemudian menelpon Suyono, untuk bertemu. Ia mengajak Suyono makan di sebuah warung yang terletak agak di dekat kota. Barangkali Suyono tahu tentang sesuatu, karena bukankah pak Carik adalah mertuanya? Keterangan yang dibutuhkan tidak akan jelas seperti kalau bisa bertemu muka. Tapi ternyata Suyono juga tidak tahu apa-apa.
Apa yang dikatakannya hanya mirip seperti apa yang diceritakan Arumi. Hanya saja kata Suyono, menurut Wahyuni, ketika pulang Sutris wajahnya babak belur, katanya berantem dengan orang yang menjaga Arumi ketika disekap.
Ini yang berbeda. Wajah Sutris babak belur karena dirinya yang menghajar karena salah sangka. Semuanya serba aneh. Banyak kebohongan. Apa yang mereka tutupi? Lalu ke mana Bachtiar harus bertanya?
“Mengapa tiba-tiba pak Bachtiar menanyakan hal itu?” tanya Suyono.
“Entahlah, aku seperti mencurigai sesuatu. Tapi apa kamu bisa menyimpan dulu apa yang aku katakan ini agar tidak mengatakannya kepada orang lain?”
“Ya, tentu saja bisa. Apa yang ingin pak Bachtiar katakan?”
“Apakah kamu tahu bahwa pak Carik mengenal Luki?”
“Luki … Luki … sebentar, apakah Luki itu … yang datang bersama pak Bachtiar ketika saya menikah?”
“Ya. Pak Carik mengenalnya?”
“Entahlah. Kalau waktu ke perhelatan itu, pastinya kenal. Kan bersalaman seperti pak Bachtiar juga.”
“Oh, kalau itu aku tahu. Maksudku … sebelumnya.”
“Kenal tidak ya? Kenapa memangnya Pak?”
“Aku mencurigai sesuatu.”
“Apa Pak?”
“Mengenai penculikan itu. Sepertinya tidak jelas.”
“Maksud Bapak siapa penculiknya dan apa motifnya?”
“Benar. Mengapa tiba-tiba diculik, lalu tiba-tiba Sutris bisa membebaskannya dari penculik? Lalu dari mana Sutris tahu kalau Arumi di sekap di tempat itu.”
“Iya juga sih, mengapa bisa begitu kebetulan. Kalau begitu pasti Sutris mengetahui sesuatu.”
“Dan disembunyikannya, bukan?”
“Ya, itulah. Ini tiba-tiba juga menjadi teka teki untuk saya.”
“Mungkin karena sebuah ancaman. Tapi siapa yang mengancam? Apakah ada yang takut masuk penjara?”
Tiba-tiba Suyono teringat ketika ayah mertuanya, yaitu pak Carik sedang berbincang dengan Sutris. Ia mendengar suara sang ayah mertua, ‘apa kamu ingin ayahmu masuk penjara?’
Masa karena Sutris minta uang banyak lalu pak Carik takut kehabisan uang? Kemudian takut masuk penjara? Waktu itu Suyono tidak memperhatikannya. Tidak. Pasti ada sesuatu dibaliknya.
***
Besok lagi ya.
Matur nuwun mbak Tien-ku Ketika Bulan Tinggal Separuh sudah tayang
ReplyDeleteSami2 pak Latief
DeleteHoreeeee
DeleteKung Latief malit.
Terima kasih bu Tien, selamat malam, sehat selalu dan selalu sehat.
Alhamdulillah dah tayang,makasih Bunda Tien
ReplyDeleteSami2 ibu Isti
DeleteMatur suwun Bu Tien
ReplyDeleteSami pak Indriyanto
DeleteHamdallah
ReplyDeleteNuwun pak Munthoni
DeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteSyukron nggih Mbak Tien🌹🌹🌹🌹🌹
Sami2 ibu Susi
Delete
ReplyDeleteAlhamdullilah
Matur nuwun Cerbung *KETIKA BULAN TINGGAL SEPARUH 34* sdh hadir...
Semoga sehat dan bahagia bersama keluarga
Aamiin...
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Wedeye
Matur nuwun, bu Tien. Sehat selalu
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Anik
Matur nuwun jeng Tien , gmn ya kira kira , Arumi mau cerita gak soal rahasia penculikan, tak baca dulu yaaaaa
ReplyDeleteSami2 mbak Yaniiiik
DeleteMatur nuwun Bu Tien. Sugeng ndalu & mugi tansah sehat.
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Sis
Maturnuwun bu Tien, sampun tayang..
ReplyDeleteSemoga bu Tien sekeluarga sll sehat dan bahagia ... salam hangat dan aduhai aduhai bun
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Sri
Aduhai aduhai
matur nuwun bu Tien...salam sehat
ReplyDeleteSami2 ibu Atiek
DeleteSalam sehat juga
Matur nuwun ibu 🙏🏻
ReplyDeleteSami2 ibu Windari
DeleteHebat, luar biasa besutan mbak Tien kali ini. Ceritanya seru dan menarik sekali. Bachtiar terpaksa menjadi detektif seorang diri, berusaha menguak rahasia penting yang sempat mengancam keselamatan Arumi sekeluarga. Semoga Bachtiar berhasil yaa...
ReplyDeleteMaturniwun mbak Tien sayang
Sami2 jeng Iyeng. Matur nuwun.
DeleteApa kabar ?
Terimakasih bunda Tien
ReplyDeleteSemoga bunda Tien selalu sehat
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Salamah
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
ReplyDeleteMatur nuwun jeng Sari
Alhamdulillah.Maturnuwun Bunda semoga selalu sehat wal afiat 🤲🙏🙏🙏
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Herry
Terima kasih bu Tien ... KBTS ke 34 yg ditunggu sdh tayang ... Smg bu Tien n kelrg happy & sehat sll ... Salam Aduhai.
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
ReplyDeleteMatur nuwun ibu Enny
Salam aduhai deh
Alhamdulillah KBTS ke-34 sdh hadir
ReplyDeleteTerima kasih Bunda Tien, semoga sehat dan bahagia selalu.
Salam Aduhai🙏
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
ReplyDeleteMatur nuwun ibu Ting
Rintik rinntik
ReplyDeleteDetektif Bachtiar mulai beraksi. Pasti kejahatan akan terkuak.
ReplyDeleteMungkin orang tua Luki akan berusaha mendekati Bachtiar. Cuma yang mengkhawatirkan kalau Arumi yang jadi korban.
Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin..
Alhamdulillahi rabbil'alamiin
ReplyDeleteTerima kasih bu tien tayangan cerbungnya
Semoga bu tien sehat² trs n tetap semangat
Hamdallah...cerbung Ketika Bulan Tinggal Separuh 34 telah tayang
ReplyDeleteTerima kasihi Bunda Tien
Sehat selalu Bunda, bahagia bersama Pakdhe Tom dan Amancu di Sala. Aamiin
Tiar penasaran ingin memecahkan teka teki penculikan nya Arumi. Luki dan pak Carik adalah orang yang dia curigai. Sedangkan Arumi dan Sutris adalah nara sumber yang harus dia dekati...semoga Tiar berhasil mencari dalang penculikan nya Arumi.
Matur nuwun Bu Tien, salam sehat bahagia selalu...
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteTerima kasih bunda Tien
Alhamdulillah, matursuwun Bu Tien
ReplyDeleteAkan kah Arumi atau Sutrisno cerita tentang penculikan yg melibatkan Luki n pa Carik, aduhaiii 😍. Bisa salah paham nih Bachtiar to jd penasaran
ReplyDeleteMatur nuwun Bu Tien, sehat wal'afiat ya 🤗🥰, maaf lahir bathin 🙏
Terimakasih Mbak Tien...
ReplyDeleteWaah...memang perbedaan hidup Bachtiar dan Arumi bagaikan langit dan bumi ya...gimana nanti penyesuaian diri mereka ya...makanya bu Wirawan tidak setuju ya harus dimaklumi, Bachtiar hanya melihat fisik Arumi dan hatinya yg baik, padahal nanti bisa menyengsarakan Arumi sendiri.
ReplyDeleteTerima kasih, bu Tien. Sehat selalu.🙏🏻😀
Terima ksih bunda cerbungnya🙏🙏salam sehat sll unk bunda sekeluarga🙏🥰🌹
ReplyDelete