Monday, December 9, 2024

KETIKA BULAN TINGGAL SEPARUH 33

 KETIKA BULAN TINGGAL SEPARUH  33

(Tien Kumalasari)

 

Bachtiar tertegun. Dari yang semula tidak ingin membuka-buka ponsel yang sama sekali bukan hak nya, kemudian karena rasa penasaran yang tinggi, ia membukanya. Tapi ternyata ia tak bisa membukanya karena terkunci. Bachtiar mencoba mencari-cari kunci yang pasti tidak gampang ditemukan. Tapi tiba-tiba ponsel itu berdering. Segera Bachtiar mengangkatnya, tanpa menjawab.

“Non, apakah Non sudah membuka pesan saya? Memang ini sudah malam, tapi saya baru sempat membalasnya setelah kesibukan ketika saya punya gawe selesai. Tentang rahasia itu, saya percaya bahwa Sutris, bahkan Arumi tidak akan berani membukanya. Percayalah, saya sudah berpesan kepada Sutris agar kembali mengingatkan Arumi. Jadi kita tidak usah khawatir. Hallo Non, apakah Non mendengar apa yang saya katakan? Non, tolong jawablah. Apakah ponsel Non tidak Non pegang sendiri? Ini siapa?”

Bachtiar tidak ingin membalasnya, maka ia segera menutup panggilan itu.

Ada pak Carik yang menyebut nama Sutris dan Arumi? Rahasia apa yang harus dipegang oleh mereka? Apa yang membuat pak Carik dan Luki khawatir?

Bachtiar ingin terbang menemui Arumi dan menanyakannya. Semalam dia tidak bisa tidur. Pikirannya menduga-duga, apakah ada hubungannya dengan penculikan? Apakah benar Sutris terlibat, tapi apa hubungannya dengan Luki? Kepala Bachtiar berdenyut. Luki, pak Carik, Sutris, Arumi. Mengapa Arumi tidak bercerita apa-apa kepada dirinya? Apa hubungan diantara mereka? Arumi baik kepada Sutris, membelanya mati-matian ketika dia mencurigainya. Adakah memang benar diantara mereka ada hubungan? Tapi kenapa Arumi tidak menolak ketika dia melamarnya? Lalu Luki? Pak Carik? Mengapa ada rahasia, yang kalau Sutris dan Arumi taat, maka pak Carik dan Luki tidak usah khawatir? Haruskah dia menanyakannya kepada Luki? Tapi Bachtiar tidak mempercayai Luki. Bisa saja dia berbohong dengan membuat cerita palsu. Harusnya Arumi. Ia harus bertanya pada Arumi. Apakah pak Carik atau Luki mengancam Arumi? Tentang apa?

Bachtiar merasa lelah sampai ketika mendengar tabuh subuh terdengar. Ia bangun dan berwudhu.

Letih dan lelah berpikir membuat kepalanya pusing. Setelah shalat dia membaringkan tubuhnya, dan memijit-mijit kepalanya.

Entah berapa lama dia memikirkannya, ketika tiba-tiba ia terlelap dalam letih dan lelah.

***

Bachtiar terbangun ketika ponselnya berdering lama sekali. Ketika ia mengangkatnya, ia melihat dokter Adi, sahabatnya sedang menelpon. Dengan malas Bachtiar mengangkatnya.

“Hallooowwww …”

”Haaa, apa kamu masih tidur?”

“Ada apa? Baru bangun setelah mendengar ponsel berdering.”

“Astaga naga ….”

“Ada apa?”

“Tadi, pagi-pagi sekali aku dipanggil pak Wirawan ke rumah. Katanya, dokter Hanum yang dokter keluarga tidak di tempat.”

“Memangnya kenapa?”

“Ibumu sakit.”

“Ibuku? Kenapa? Sakit apa?”

“Hanya panas, tapi tidak apa-apa. Mungkin hanya kelelahan, atau banyak pikiran. Kamu membuat marah ibumu?”

“Ah, aku membuat ibu sakit?”

“Tidak apa-apa, sudah aku beri obat dan sedikit penenang. Sekarang sudah tidur, aku baru saja menelpon ayahmu. Sejak pagi aku menelpon, kamu tidak mengangkatnya. Baru setelah jam duabelas siang ini kamu mengangkatnya. Dan kamu baru bangun?”

“Iya, aku juga sedang banyak pikiran.”

“Aduuh, begitu ya kalau laki-laki mau menikah?”

“Apa? Kamu tahu apa?”

“Pak Wirawan mengatakan bahwa kamu mau melamar Arumi.”

“Yaah, bapak mengatakannya?”

“Barangkali itu yang membuat ibumu sakit. Ibumu tidak suka? Apa pernah melihat Arumi?”

“Belum. Tiba-tiba tidak suka saja. Ibu ingin menjodohkan aku dengan anak sahabatnya. Kamu kenal Luki kan?”

“Oh, dia teman SMA ku. Dia cantik. Kamu tidak suka?”

“Cantik bukan ukuran untuk suka. Aku mencintai gadis lain. Kamu sudah mengenalnya bukan?”

“Ya, aku kan pernah kamu paksa datang ke rumahnya. Sekarang bagaimana keadaan ayahnya?”

“Tidak apa-apa, sudah bekerja di sawah juga.”

“Kamu benar-benar ingin menjadikan Arumi sebagai istri?”

“Ya, tentu saja.”

“Ya sudah. Lanjutkan.”

“Heii, kamu menelpon tuh ada apa?”

“Hanya memberitahu kalau aku dari rumahmu, eh … rumah orang tuamu. Ya sudah, aku ditunggu pasien.”

Bachtiar bangkit, kantuknya sudah hilang. Ibunya sakit? Ia harus datang dan meminta maaf.

***

Ketika ia datang, ia melihat mobil ayahnya di halaman. Berarti ayahnya tidak pergi ke kantor. Parahkan sakit ibunya? Bachtiar bergegas masuk, dan merasa lega ketika melihat sang ayah sedang duduk bersama ibunya di ruang tengah. Bachtiar langsung mendekati ibunya, seperti semalam dilakukannya, bersimpuh dan menjatuhkan kepalanya di pangkuannya.

“Ibu, Bachtiar minta maaf.”

Bu Wirawan tertegun. Ia tak menduga Bachtiar akan datang di siang hari seperti waktu itu. Perasaan bu Wirawan menjadi tak karuan. Yang kepalanya terkulai di pangkuannya adalah anak yang dilahirkannya. Satu-satunya anak yang tertinggal. Ia mendengar isak tertahan. Lalu sebelah tangannya mengelus kepalanya. Isak itu semakin keras.

“Ibu, maafkan Bachtiar, ya.”

“Mengapa meminta maaf? Kamu masih tetap akan melamar gadis itu bukan?”

“Ijinkanlah Bu, beri Bachtiar restu,” pinta Bachtiar.

“Bukankah semalam aku sudah bilang bahwa ayahmu yang akan mengantarkanmu? Mengantarkan melamar gadis itu?”

“Mengapa Ibu tidak?” Bachtiar mengangkat kepalanya, sang ibu mengusap air matanya dengan tangan.

“Tidak. Jangan memaksa ibu. Yang penting ibu tidak melarangmu,” kata bu Wirawan pelan. Ada suara berat yang tertahan.

“Ibumu sudah mengijinkan. Kamu tenang saja,” kata pak Wirawan.

“Mengapa Ibu sakit?”

“Kata siapa ibu sakit?” tanya sang ibu.

“Adi menelpon siang ini.”

“Tidak apa-apa. Ibu hanya lelah.”

“Tumben kamu punya waktu siang-siang begini?” tanya sang ayah lagi.

“Entahlah, semalam Bachtiar juga nggak bisa tidur. Setelah subuh baru bisa tidur.”

“Banyak pikiran ya? Masalah lamaran jangan dipikirkan. Bapak percaya pada jodoh yang diberikan Allah. Kalau dia jodohmu, pasti akan kesampaian. Ibumu sudah mengijinkan. Atur waktunya dan bilang pada bapak, kapan kamu akan ke sana.”

“Terima kasih, Pak,” katanya sambil bangkit. Lalu duduk dan menatap ibunya lekat-lekat. Ia melihat senyuman ibunya. Sangat samar, dan Bachtiar merasa bahwa sang ibu tidak sepenuhnya merelakannya melamar Arumi. Tapi Bachtiar akan menunjukkan kepada sang ibu, bahwa Arumi gadis baik yang tidak akan mengecewakan.

Ketika Bachtiar meninggalkan rumah orang tuanya, pikirannya kembali memikirkan telpon dari pak Carik yang membuatnya memiliki beribu pertanyaan. Ia harus menemui Arumi dan menanyakan semuanya.

***

Arumi dan simboknya sudah pulang dari pasar. Mereka sedang mencoba baju yang baru saja mereka beli. Arumi membeli baju gamis warna putih dengan kembang-kembang kecil berwarna merah, dan kerudung sewarna. Demikian juga mbok Truno. Hampir sama, hanya warna dasarnya kuning muda. Arumi harus nombok dua puluh ribu untuk membeli dua baju itu. Baju sederhana dari kain kasar.

“Ini sudah termasuk mahal ya Rum, tabunganmu berkurang dua puluh ribu?”

“Tidak apa-apa Mbok, masih ada, dan cukup untuk membayar sekolah bulan depan ini. Kan masuknya tidak bayar, barangkali hanya untuk membeli seragam, atau apa. Tidak usah dipikirkan. Semoga setiap hari masih ada rejeki tambahan.”

“Aamiin.”

Ketika Arumi hampir mengganti baju yang dicobanya, terdengar mobil Bachtiar berhenti di depan rumah.

Karena terkejut, Arumi tak sempat masuk ke kamar, keburu Bachtiar melihatnya, jadi Arumi hanya terpaku di tempatnya, sementara sang simbok sudah buru-buru masuk ke dalam kamar.

Bachtiar langsung masuk ke dalam rumah, melihat Arumi dengan baju yang baru dibelinya. Bachtiar menatapnya kagum. Bukan baju mahal, tapi di tubuh Arumi membuat semuanya pantas dan apik.

“Cantik sekali.”

Arumi tersipu.

“Ini, baru beli dari pasar.”

“Cantik.”

“Duduklah Nak, kami baru pulang dari pasar.”

“Bu, saya mau mengajak Arumi keluar sebentar, bolehkah?”

“Oh, mau ke mana?”

“Hanya jalan-jalan sebentar. Mau kan, Arumi?” tanyanya kemudian kepada Arumi.

“Bagaimana Mbok?” Arumi menatap simboknya.

“Ya sudah sana, jangan lama-lama ya.”

Arumi menatap Bachtiar yang berpakaian rapi, dengan sepatu pula. Tersipu Arumi memakai sandal. Satu-satunya yang dimiliki, sandal jepit berwarna merah tua.

“Aku … tidak punya sepatu,” katanya malu-malu.

“Tidak apa-apa. Itu bagus,” kata Bachtiar yang segera pamit kepada mbok Truno sambil mencium tangannya.

Arumi mengikutinya, sambil berjalan menunduk, menatap sandal jepitnya. Biasanya dia juga hanya memakai sandal itu, bahkan kalau ke sawah, dia hanya telanjang kaki.

“Ayolah, tidak apa-apa.”

***

Bachtiar membawanya ke kota. Arumi terkejut ketika Bachtiar menghentikannya di sebuah toko mal. Arumi ragu untuk turun, tapi Bachtiar membukakan pintu untuknya dan memintanya turun. Arumi mengikutinya ragu.

“Ayo, bantu aku belanja.”

“Belanja? Ini toko besar bukan?”

“Iya, kamu bisa membeli apa saja di situ. Ayo, kamu harus membantu aku.”

Lagi-lagi Arumi menatap sandal yang dipakainya. Haruskah sandalnya dilepas ketika masuk?

Melihat keraguan Arumi, Bachtiar menarik lengannya.

“Pakai saja.”

Arumi mengikutinya, tetap dengan langkah ragu. Bachtiar membawanya naik melalui eskalator, Arumi berhenti.

“Ayo naik, jangan takut, pegangan di samping itu, lepaskan kalau sudah sampai, aku akan membantumu.”

Bebarapa orang melihat bagaimana Bachtiar membantu Arumi menaiki eskalator, tapi Bachtiar tak peduli. Ini adalah awal dia mengajak Arumi pergi, dan dia akan menunjukkan banyak hal yang Arumi belum pernah melihat dan mengalaminya.

Di sebuah counter sepatu. Bachtiar memilihkan sepatu untuk Arumi. Arumi terkejut, ketika pelayan toko memasangkan sepatu di kakinya.

“Ini … ini ….”

“Pakailah, apa kamu suka modelnya?”

“Ini … untuk … aku?”

“Ya, untuk kamu.”

“Tidak mau, tinggi sekali, nanti aku jatuh bagaimana?”

Petugas toko menahan senyumnya.

“Saya ambilkan yang tidak terlalu tinggi ya, ini Mbak, modelnya sama. Mbak suka?”

“Mas, ini … mengapa?”

“Untuk kamu, nanti juga pilihkan untuk ibu dan bapak, kira-kira ukurannya seberapa ya? Panjang mana kaki ibu sama kakimu?”

“Sam … sama ….” tanya Arumi yang dipersilakan duduk di sebuah bangku, sementara pelayan toko mengambilkan sepatu tanpa hak yang dicobakan di kaki Arumi.

“Yang ini pas sekali.”

“Kamu suka?” tanya Bachtiar.

Arumi hanya mengangguk bingung. Ia tak menyangka Bachtiar akan membelikannya sepatu. Bachtiar juga membelikan sandal kulit tanpa hak untuk mbok Truno, dan sepatu sandal untuk pak Truno. Ukurannya hanya dikira-kira. Kalau kurang besar atau kebesaran, ia akan membawa pak Truno atau mbok Truno ketoko itu.

“Mas, itu mahal sekali, bukan?”

“Masukkan sandal jepit kamu, pakai sepatunya.”

“Apa?”

"Pakai saja, ayolah,” kata Bachtiar sambil mencopot sandal Arumi dan mengulurkan sepatu dari dalam kotak ke arah Arumi. Sepatu sandal yang nyaman dipakai pastinya.

Arumi menurut karena Bachtiar sudah memasukkan sandal jepitnya ke dalam kardus.

“Aduh Mas, kok begini,” keluh Arumi sambil berjalan beberapa langkah.

“Enak dipakainya?”

“Iya, tapi ….”

“Sudahlah, jangan protes. Ayo sekarang ke sana,” kata Bachtiar sambil menenteng beberapa paper bag berisi sandal dan sepatu.

Arumi lebih terkejut ketika Bachtiar membelikannya beberapa buah gamis. Bukan hanya untuk dirinya, tapi juga untuk ibunya, dan juga ayahnya.

“Mas, mengapa ini … “

“Tidak apa-apa, sesekali belanja. Kelak kamu akan sering belanja kemari. Di sini ada sayuran, ada ikan bermacam-macam, ada daging, tempatnya berbeda.”

Sayuran? Di kebun belakang rumahnya banyak. Ikan? Terkadang ayahnya juga memancing ikan. Daging hampir tidak pernah beli. Mengapa harus jauh-jauh ke kota?

Bachtiar tidak langsung membawa Arumi kembali ke mobil. Di lantai atasnya lagi, ada food court yang menjual berbagai macam masakan. Membuat Arumi tak henti-hentinya mengeluh. Ia tak mengira Bachtiar akan mengajaknya ke tempat asing dan bising seperti ini.

Bachtiar memilih duduk agak di pinggir, lalu memesan makanan yang Arumi tidak berani memilihnya karena bingung. Jadi Bachtiar yang memilihkan menu untuk mereka berdua.

Ketika menunggu pesanan datang, Bachtiar tersenyum melihat Arumi yang tampak bingung.

“Arumi, dulu akan pernah berjanji pada kamu untuk mengajak jalan-jalan, bukan? Baru sekarang kesampaian.”

“Mas belanja hanya untuk keluargaku.”

“Tidak apa-apa, lain kali akan belanja untuk kita berdua,” kata Bachtiar entang.

Tiba-tiba Arumi terkejut, ketika Bachtiar menanyakan sesuatu tentang hal yang harus disembunyikannya. Hubungannya dengan Sutris, pak Carik, dan Luki.

***

Besok lagi ya.

48 comments:

  1. Terima kasih, bu Tien cantiik... semoga sehat2 sekeluarga, ya.. 💕

    ReplyDelete
  2. Alhamdulilah, maturnuwun bu Tien. Semoga bu Tien , pak Tom dan amancu selalu sehat dlm.lindungan Allah SWT, Aamiin yra

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun ibu Sri
      Aduhai2

      Delete
  3. Alhamdulillah eps 33 sdh hadir. Terima kasih bu Tien, sehat terus dan terus sehat nggih, Budhe

    ReplyDelete
  4. Alhamdulillah
    Terima kasih bunda Tien
    Semoga sehat walafiat

    ReplyDelete
  5. Teima kasih bu Tien ... K B T S ke 33 yg di tunggu2 sdh hadir ... Smg bu Tien & kelrg sll sehat dan bahagia ... Salam Aduhai .

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun ibu Enny
      Salam aduhai juga

      Delete
  6. Terima kasih Bu Tien, semoga sehat selalu.

    ReplyDelete
  7. Terimakasih bunda Tien
    Semoga bunda Tien selalu sehat

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun ibu Salamah

      Delete
  8. Akhirnya yg di nanti datang kembali, terima kasih Bunda Tien Kumalasari

    ReplyDelete
  9. Nah...sudah dekat rahasia terbuka, jadi deg-degan.😅

    Terima kasih, ibu Tien. Salam sehat...🙏🏻

    ReplyDelete
  10. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  11. Hamdallah...cerbung Ketika Bulan Tinggal Separuh 33 telah tayang

    Terima kasihi Bunda Tien
    Sehat selalu Bunda, bahagia bersama Pakdhe Tom dan Amancu di Sala. Aamiin

    Tiar menatap Arumi kagum, setelah dia memakai baju baru, amboi cantik sekali..Arumi..mirip seperti putri Cinderella...💐💐😁😁

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun pak Munthoni

      Delete
  12. Matur nuwun mbak Tien-ku Ketika Bulan Tinggal Separuh sudah tayang

    ReplyDelete
  13. Aku suka banget. .. Seru baca arumi

    ReplyDelete
  14. 🎶. Oo, ……. Luki ketahuan …..🎼🎼
    Sekongkol lg … dengan Pak carik ….

    Sembah nuwun Bu Tien ….🤝
    Salam Shat sll dr Klipang
    Mugi Rahayu ingkang tinemu ….

    ReplyDelete
  15. Matur nuwun Bu Tien, tetap sehat njih Ibu..

    ReplyDelete
  16. Alhamdulillah, matursuwun Bu Tien
    Semoga sehat selalu

    ReplyDelete
  17. Beranikah Arumi mengatakan rahasia Luki dan pak Carik kepada Bachtiar? Ancaman Luki pasti sangat berpengaruh.
    Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.

    ReplyDelete
  18. Terimakasih bunda Tien,salam sehat selalu dan aduhaiii

    ReplyDelete
  19. Alhamdulillah.Maturnuwun Bunda semoga selalu sehat wal afiat 🤲🙏🙏🙏

    ReplyDelete
  20. Matur nuwun jeng Tien , nunggu Arumi nganti ngantuk , sampek ketiduran.
    Ternyata Arumi ke Mall

    ReplyDelete
  21. Baju 60.000,- kalo dikota kaya apa ya...

    ReplyDelete
  22. Alhamdulillaah, akhirnya bisa baca juga , jam 8.30 blm terlihat akhirnya tepar juga, hihi😁
    Nah apakah Arumi mau cerita atau berbohong, seru nih ceritanya
    Mantab & aduhaiii 😍

    Matur nuwun Bu Tien, sehat wal'afiat ya 🤗🥰,

    ReplyDelete

CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG 13

  CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG  13 (Tien Kumalasari)   “Kamu tidak menjawab pertanyaanku, Tangkil? Apa yang kamu lakukan di sini?” Tangkil...