KETIKA BULAN TINGGAL SEPARUH 08
(Tien Kumalasari)
Bachtiar dan Adi saling pandang. Tak tahu apa yang harus dikatakan untuk menjawabnya. Takut, kalau-kalau pak Truno marah.
“Benar kan? Teman nak Bachtiar ini dokter? Kan aku sudah bilang, tidak mau diperiksa dokter.”
“Begini Pak,” kata Bachtiar yang hampir bareng menjawabnya.
“Kalau benar dokter, saya minta maaf.”
“Tunggu Pak, begini … sebenarnya teman saya ini, yang namanya Adi ini, memang dokter.”
“Tuh, kan?”
“Tapi kami datang bukan untuk mengobati pak Truno kok. Ketika saya melihat bagaimana bu Truno atau Arumi ingin mengobati pak Truno dengan daun-daun yang hebat luar biasa ini, lalu saya menceritakan kepada teman saya ini. Dia kan dokter, tentu saja heran mendengar cerita saya. Nah, karena itu dia ingin membuktikan seberapa hebat ramuan daun-daun yang dipakai untuk mengobati luka pada wajah dan kaki pak Truno yang keseleo.”
“Ternyata saya sangat kagum Pak, saya tidak perlu mengobati pak Truno, obat yang diberikan untuk pak Truno ini hebat luar biasa,” sambung Adi yang sudah menemukan jalan untuk menjawab, setelah Bachtiar memulainya.
“Jadi sampeyan yang seorang dokter itu percaya, bahwa luka saya ini tidak memerlukan dokter?”
“Sangat percaya Pak. Kagum saya,” kata Adi sambil mengacungkan jempolnya, walau dalam hati memprotes cara balut di kaki pak Truno yang kurang memperhatikan kebersihan, dan memakai kain seadanya.
Pak Truno tersenyum senang. Tadinya ia akan menolak kalau benar-benar Bachtiar membawa dokter untuk mengobati lukanya.
“Tapi saya boleh melihat kaki Bapak yang katanya keseleo ini kan? Tadi belum jadi melihatnya,” tanya dokter Adi.
“Dokter tidak pernah merasa jijik ya?” ujar mbok Truno .
Bachtiar dan Adi tersenyum.
Sekarang bukan Bachtiar yang membuka bebat di kaki pak Truno, tapi langsung Adi yang melakukannya, karena sudah ketahuan kalau dia memang dokter.
“Adi melepaskan bebat, dan melihat tumbukan daun berwarna hijau tua yang menutupi pergelangan kaki pak Truno. Ia menekan-nekannya, dan melihat reaksi pak Truno.
“Sakit?”
“Tidak begitu sakit, kemarin sakit sekali,” jawab pak Truno.
“Bagus sekali, ada bengkak, hanya sedikit.”
“Kemarin benar-benar bengkak, pak dokter,” kata mbok Truno.
“Baiklah, kalau memang pengobatan ini membantu. Tapi bebatnya diganti ini ya Bu,” kata Adi sambil menyerahkan tiga gulung tensocrepe ukuran lebar. Tadi Bachtiar sudah membawanya, berikut beberapa kasa dan plester.
“Aduh, itu bagus sekali, tapi saya tidak bisa memakainya, bagaimana pak dokter?”
“Biar saya tunjukkan.”
“Tapi tumbukan daun sligi biar saja menempel di situ,” kata mbok Truno lagi.
“Iya, silakan saja. Daun obat itu biar menempel, tapi tutupnya ini, lihat caranya, setiap pagi diganti, dan yang sudah dipakai bisa dicuci dulu. Ini elastis Bu,” kata Adi sambil membalut pergelangan kaki pak Truno.
“Elastis itu nama obat?” tanya mbok Truno.
“Elastis itu bisa melar, nih, lihat, dengan begini, membalutnya bisa lebih kencang, dan kaki pak Truno segera bisa pulih.”
Mbok Truno mengangguk-angguk.
“Jadi membalutnya lebih baik dengan ini ya, pak Dokter?”
“Benar, Bu. Ini lebih bersih, dan lebih kencang.”
“Iya, maaf, membalutnya dengan sobekan kain, habis adanya itu,” kata mbok Truno tersipu.
“Tidak apa-apa Bu, dalam keadaan darurat, apa saja bisa dipergunakan, asalkan bersih. Karena kalau kurang bersih, luka yang ada bisa kemasukan kuman, atau bibit penyakit, lalu menjadikan infeksi.”
“Infeksi itu apa?”
“Mbok, nanti saja Rumi ceritakan, Rumi sudah mendengar apa kata dokter, dan mengerti. Simbok sedikit-sedikit tanya,” tegur Arumi yang dari tadi mendengarkan dari belakang, kemudian keluar sambil membawa dua gelas minum.
“Ini, silakan diminum.”
“Ini minuman apa?”
“Itu wedang sereh, gulanya gula jawa.”
“Wah, kelihatannya enak. Tapi sebenarnya kamu tidak usah repot, karena aku akan segera pamit. Mas dokter ini harus dinas di rumah sakit.”
“Kalau begitu segera diminum dulu, mumpung masih hangat, nak,” kata mbok Truno. Pak Truno hanya diam, setelah dibalut dengan pembalut yang dibawa Adi, kakinya terasa lebih nyaman.
Bachtiar lebih dulu menyeruput wedang sereh buatan Arumi. Dokter Adi membasahi tangannya dengan alkohol, baru kemudian meraih gelas yang disuguhkan.
“Enak … “ kata Bachtiar.
“Benar, enak. Bagaimana cara membuatnya?”
“Hanya sereh dipotong-potong, dikasih gula Jawa lalu disedu air panas.”
“Nanti di rumah aku buat,” kata Bachtiar.
“Di mana membeli sereh?” tanya Adi.
“Di kebun belakang banyak, saya ambilkan,” kata Arumi.
“Jangan sekarang Rumi, nanti kalau aku mampir lagi saja, soalnya pak dokter buru-buru mau bertugas."
“Oh..”
Adi mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya.
“Bu, ini ada obat, untuk luka-luka lebam yang masih ada, di wajah, di tangan pak Truno juga ada. Oleskan ini, biar cepat pulih.”
“Ini apa? Seperti odol?”
“Ya, seperti odol, kalau dipencet, keluar seperti salep warnanya bening, kalau dioleskan nanti akan terasa dingin,” terang Adi.
“Tuh, Pak, kalau ini namanya obat.”
“Untuk luka-luka lebam, biar cepat pulih,” sambung Bachtiar sambil berdiri.
“Pak Truno, kami pamit dulu,” kata Adi dan Bachtiar.
“Terima kasih banyak, apakah kami harus membayar?” tanya pak Truno.
“Tidak, mengapa harus membayar? Kan pak Truno tidak saya apa-apain.”
“Lha salepnya itu, pembalut, dan … “
“Tidak usah bayar, gratis untuk pak Truno.”
Mbok Truno mengantarkan sampai ke pintu.
“Arumi, kami pulang dulu. Oh ya, kemarin aku sudah ke Balai desa, semuanya sudah selesai. Keluarga ini akan baik-baik saja.”
“Terima kasih Mas,” kata Arumi yang kemudian mendekat.
“Nak Tiar kemarin dari sini langsung ke Balai Desa?”
“Iya Bu.”
“Padahal celana dan baju nak Tiar kan kotor terkena lumpur?”
Bachtiar tertawa.
“Saya bersihkan sekenanya, tidak apa-apa. Tidak ada yang menegur, celana saya kan warnanya hitam. Di baju hanya sedikit, dan baju saya juga warnanya gelap.”
“Ya sudah kalau begitu, sekali lagi terima kasih ya Nak.”
Bachtiar naik ke mobil, menghidupkan mesinnya kemudian tangannya melambai ke arah Arumi. Tapi kemudian dia menghentikan mobilnya. Arumi heran, ia menoleh ke dalam rumah, apa ada barang yang ketinggalan.
Lalu Arumi dan simboknya terkejut, ketika melihat Bachtiar dan Adi menggotong dua buah galon besar berisi air.
“Saya hampir lupa. Tadi membawa ini, masih ada dua lagi di mobil,” lalu keduanya langsung membawa galon itu ke belakang.
“Eh, Mas … ini apa?”
“Itu air bersih untuk minum dan masak, kamu tidak usah ke sumber dulu untuk beberapa hari ini,” kata Bachtiar yang kembali ke mobil dan menurunkan dua galon lagi ke dalam rumah pak Truno.
“Ini bisa langsung diminum, tidak usah di masak,” katanya sambil mengulurkan sebuah kotak berisi pompa untuk mengambil airnya dari galon.
“Ini bagaimana memakainya?” tanya Arumi.
Bachtiar membuka kotak kecil itu dan memasangnya di mulut galon.
“Kalau habis, dipasang di galon satunya, mengerti?” katanya kepada Arumi.
Mbok Truno melongo. Ada tempat air dari plastik, tidak harus membawa kelenting ke sumber. Hanya harus memompa dan air akan keluar dari dalamnya.
“Mas Tiar sangat baik, memikirkan air untuk kita masak dan minum juga,” gumam Arumi.
***
Seperti janjinya, Bachtiar mengajak Adi sarapan dulu di sebuah warung. Sejauh ini Adi belum mengerti, bagaimana sahabatnya yang seorang pengusaha itu kenal dengan pak Truno dan keluarganya, bahkan bagaimana pak Truno bisa terluka sehingga mendapat perhatian besar darinya.
“Dari mana kamu bisa mengenal sosok pak Truno dan keluarganya?”
Bachtiar hanya tertawa.
“Hei, ada apa denganmu? Jangan bilang kamu tertarik pada anak pak Truno sehingga setiap hari datang ke sana, sehingga tahu kalau pak Truno sedang sakit.”
“Bagaimana menurutmu?”
“Apanya?”
“Gadis itu.”
“Yang namanya Arumi?”
“Iya, hanya ada seorang gadis di rumah itu.”
“Cantik, tapi masih kecil,” kata Adi sambil mencomot sepotong tahu bacem.
“O … iya, aku ingat. Kemarin kamu bilang bahwa pacar kamu sedang dipiara. Itu dia? Bukan bebek atau kambing?” lanjut Adi ketika ingat sesuatu.
Bachtiar tertawa.
“Kamu akan menunggu sampai berapa puluh tahun lagi? Keburu tua kamu.”
“Aku akan minum jamu awet muda,” kata Bachtiar seenaknya.
“Akhirnya kamu menemukannya, dan masih kanak-kanak pula? Kamu serius?”
“Serius lah.”
“Apa keluarga kamu mengijinkan? Keluarga Arumi itu kan hanya_”
“Bukan hanya. Mereka keluarga bahagia. Sederhana tapi bahagia. Yang kaya raya belum tentu bahagia kan?”
“Bagaimana dengan keluarga kamu?”
“Kelihatannya sulit. Baru kemarin ibuku bilang aku akan dijodohkan dengan seorang gadis.”
“Nah, kenapa kamu memilih bocah yang … ah, kelihatannya nggak cocok deh.”
“Aku nggak suka. Gadis pilihan orang tuaku terlalu modern. Yang terlalu modern itu kan biasanya membosankan. Tidak tahu malu, kegenitan, pokoknya aku tidak suka.”
“Tidak semua gadis modern seperti itu. Ini jaman maju, bukan jaman kuno. Di mana-mana sudah modern. Cara berpakaian, cara berbicara, cara bersikap. Apa kamu lebih suka yang ketinggalan jaman?”
“Bukan begitu. Aku suka yang sederhana. Bukan yang ketinggalan jaman.”
“Baiklah, terserah kamu saja, semoga berhasil.”
“Benar, kamu harus mendoakan aku, supaya kamu juga segera ketularan punya pacar, syukur-syukur bisa menikah duluan.”
Adi hanya menanggapinya sambil tersenyum. Mereka harus segera menghabiskan sarapan mereka.
“Nanti sambil jalan ke rumah sakit, aku ceritakan bagaimana aku mengenal Arumi.”
***
Arumi sedang membantu simboknya meladeni sang ayah untuk makan siang. Pak Truno sudah bisa duduk, dan merasa badannya sudah lebih nyaman.
“Besok aku bisa kerja lagi,” kata pak Truno.
“Jangan besok lah Pak. Istirahat beberapa hari dulu, supaya benar-benar pulih,” kata mbok Truno.
“Aku sudah merasa enak. Kakiku sudah bisa menapak dan tidak begitu sakit.”
“Bekerja di sawah itu kan berat. Kaki masih berbalut kok mau kerja di sawah,” omel sang istri.
Tapi ketika sedang makan itu tiba-tiba mereka melihat beberapa orang datang, semuanya laki-laki. Mbok Truno heran, itu teman-teman suaminya yang bekerja di sawah yang berdekatan.
Pak Truno meletakkan sendok di piringnya, matanya menyala penuh amarah.
“Rupanya mereka belum bisa menerima kalau aku masih hidup. Mau meneruskan pertarungan? Jangan keroyokan, kalau berani,” katanya berapi-api. Rupanya pak Truno sudah siap kembali bertarung. Ia berdiri, walau merasakan kakinya masih sedikit nyeri.
Tapi ketika mereka, yang kira-kira berjumlah enam orang itu berdiri di depan pintu, salah seorang dari mereka menyapa mbok Truno dengan sopan. Mereka terlihat membawa barang-barang.
“Yu, kami datang untuk meminta maaf,” katanya kepada mbok Truno yang menyambut di depan pintu.
“Oh, masuklah .. “
“Bagaimana keadaan kang Truno? Apa sudah dibawa ke rumah sakit?”
“Ke rumah sakit saja, biar aku yang bayar beayanya.”
Mereka bersahutan, tak ada kata permusuhan atau merendahkan. Pak Truno mengendapkan amarahnya. Sebuah kata maaf mampu menyiram api yang berkobar di dadanya.
Tanpa di minta mereka duduk di depan pak Truno. Ada yang ngelesot di lantai tanah karena kursinya hanya ada tiga. Barang-barang yang mereka bawa berupa sayur, kelapa, pisang setandan, dan entah apa lagi karena dibungkus dengan keresek hitam.
“Kami datang kemari untuk meminta maaf Kang. Kami salah menuduh keluargamu telah menjual Arumi.”
“Iya Kang, maafkan. Kami sangat menyesal.”
Mereka bersahutan, sambil salah seorang memegangi kaki pak Truno.
“Bagaimana kalian kemudian merasa bahwa kalian telah bersalah dalam menilai keluargaku?”
“Hari ini pak Lurah mengundang para penduduk desa. Dia mengatakan bahwa berita yang tersebar tentang Arumi adalah tidak benar. Pak Lurah juga mengatakan bagaimana kejadian yang sebenarnya. Kami menyesal, Kang.”
Lalu satu persatu mereka bercerita, bagaimana pak Lurah sangat menyesalkan perbuatan Wahyuni yang dianggap telah menyebarkan berita menghebohkan itu, tanpa tahu apa yang terjadi sebenarnya.
“Baiklah, aku senang semuanya selesai, lalu kenapa kalian membawa barang-barang ini? Kamu mau ke dukun?”
“Tidak Kang, ini unduhan dari kebun sendiri, hanya sebagai ungkapan permintaan maaf, Kang. Mohon diterima.”
“Maaf itu datangnya dari hati, meluncur ke mulut. Tidak perlu membawa apa-apa seperti ini. Aku senang kalian sudah mengerti, semoga kejadian seperti ini tidak akan terulang lagi.”
“Lukamu bagaimana Kang? Tidak ke rumah sakit, atau ke pak mantri?”
“Tidak usah. Tadi sudah ada dokter datang kemari, tapi aku sudah diobati anak istriku dan sudah membaik.”
“Arumiii.!”
Teriakan itu sangat dikenal keluarga pak Truno, senyum yang semula sudah terurai, tiba-tiba surut ketika mendengarnya.
***
Besok lagi ya.
Yes
ReplyDeleteTrmksh mb Tien, smg sht sll
DeleteAamiin Yas Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun Yangtie
Matur nuwun mbak Tien-ku Ketika Bulan Tinggal Separuh sudah tayang
ReplyDeleteSami2 pak Latief
DeleteMatur suwun
ReplyDeleteSami2 pak Indriyanto
Delete🐞🌻🐞🌻🐞🌻🐞🌻
ReplyDeleteAlhamdulillah 🙏🤩
KaBeTeeS_08 sdh hadir.
Matur nuwun Bu, doaku
semoga Bu Tien & kelg
selalu sehat, bahagia
& dlm lindungan Allah SWT.
Aamiin.Salam aduhai😍🦋
🐞🌻🐞🌻🐞🌻🐞🌻
Aamiin Yas Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun jeng Susi
Salam.aduhai juga
This comment has been removed by the author.
ReplyDeleteTerima kasih bun sdh tayang , semoga bu Tien sll sehat dan dalam lindungan Allah, salam hangat dan asuhai aduhai bun
DeleteAamiin Yas Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Sri
Alhamdulillah
ReplyDeleteNuwun ibu Atiek
DeleteTerimakasih bunda Tien
ReplyDeleteSemoga bunda Tien selalu sehat
Aamiin Yas Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Salamah
Jangan2 Sutris...
ReplyDeleteAlhamdulillah
Syukron nggih Mbak Tien🌹🌹🌹🌹🌹
Sami2 jeng Susi
DeleteAlhamdulillah... terima kasih Bu Tien semoga sehat selalu.
ReplyDeleteAamiin Yas Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Yati
Terima kasih bu Tien ... K B T S ke 8 sdh hadir ... tinggal mojok bacanya ...
ReplyDeleteSmg bu Tien & kelrg happy dan sehat selalu ... Salam Aduhai .
Aamiin Yas Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Enny
Salam Aduhai deh
Matur nuwun, bu Tien
ReplyDeleteSami2 ibu Anik
DeleteAlhamdulillaah, betapa guyubnya mereka ya , cepat terbakar emosi tp cepat minta maaf , salut ya kl tradisi berjalan dg kepala dingin jd damai n sejahtera
ReplyDeleteMatur nuwun Bu Tien, sehat wal'afiat semua ya 🤗🥰
Salam Aduhaiii
Aamiin Yas Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Ika
Hamdallah...cerbung Ketika Bulan Tinggal Separuh 08 telah tayang
ReplyDeleteTerima kasihi Bunda Tien
Sehat selalu Bunda, bahagia bersama Amancu di Sala. Selamat berakhir pekan Bunda.
Nama baik Arumi dan Kel nya sdh pulih kembali. Tinggal Wahyuni skrng yang gigit jari. he..he...
Tiar hrs sabar menunggu sampai Arumi beranjak dewasa ya.
Aamiin Yas Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Munthoni
Alhamdulillah.... cerbung asyik tayang. Terimakasih bunda Tien, salam sehat selalu dan bahagia berkumpul keluarga tercinta di akhir pekan....
ReplyDeleteSami2 ibu Komariyah
DeleteSalam sehat juga
Alhamdulillah " Ketika Bulan tinggal Separuh-08" sdh hadir
ReplyDeleteTerima kasih Bunda Tien, semoga Bunda sehat selalu
Aamiin
Aamiin Yas Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Ting
Alhamdulillah
ReplyDeleteTerima kasih bunda Tien
Sami2 ibu Endah
DeleteAlhamdulillah... matursuwun Bu Tien "KBTS-8" sdh tayang
ReplyDeleteSalam hangat, salam sehat dan bahagia selalu bersama AMANCU 💖
Sami2 ibu Umi
DeleteSalam sehat juga
Semoga tambah menarik...
ReplyDeleteTerima kasih, ibu Tien...cerbung karya ibu selalu penuh inspirasi dan edukasi. Semoga ibu sehat2 selalu untuk melanjutkan berkarya....Amin.🙏🏻
ReplyDeleteAamiin Allahumma Aamiin
DeleteMatur nuwun ibu Nana
Terimakasih Mbak Tien...
ReplyDeleteSami2 MasMERa
DeleteSenyum
ReplyDelete