KETIKA BULAN TINGGAL SEPARUH 07
(Tien Kumalasari)
Wahyuni asyik mengamati mobilnya, dan terus saja mengangguk-angguk, sementara beberapa orang yang tadinya ada di dalam kemudian keluar dan menatap ulah Wahyuni yang merasa yakin, bahwa mobil itulah yang dilihatnya ketika membawa pergi Arumi.
“Hei, kamu jangan sembarangan bicara. Itu mobil pak Bachtiar,” kata seseorang mengulangi pertanyaan yang tadinya sudah dijawab oleh Wahyuni, bahwa dia meyakini mobil itu sebagai mobil yang membawa Arumi.
“Barangkali ada yang meminjam mobil ini untuk memesan perempuan,” Wahyuni justru ngeyel dengan keyakinannya tentang mobil itu.
“Saya mendengar ada nama Arumi,” tiba-tiba Bachtiar dan pak Lurah keluar. Bachtiar baru saja mengatakan pada pak Lurah mengenai Arumi yang sebenarnya memang bersama dia. Tapi belum sempat mengatakan apa sebenarnya yang terjadi.
“Iya Pak Bachtiar, perempuan itu yang tadi ngomong. Katanya mobil itu yang dipakai untuk membawa Arumi waktu itu."
“Jadi mbaknya ini yang melihat mobil saya membawa Arumi pergi?” tanya Bachtiar sambil menatap Wahyuni.
Tapi Wahyuni justru menatap Bachtiar tak berkedip. Bukan karena sang bos bangunan yang memang sangat tampan, tapi karena dia yakin, pria itulah yang telah membawa Arumi.
“Buk … bukankah sampeyan yang bersama Arumi waktu itu?” kata Wahyuni sambil menuding Bachtiar tanpa sungkan.
“Hei, lancang kamu!” hardik pak lurah kesal melihat ulah Wahyuni.
Kemudian disusul beberapa orang mengumpat Wahyuni yang memang dianggapnya lancang.
Tapi kemudian Bachtiar menghentikan keributan itu dengan mengacungkan kedua belah tangannya.
“Begini. Ini justru membuka kesempatan bagi saya untuk menerangkannya. Tadi saya sudah mengatakan kepada pak Lurah tentang maksud kedatangan saya ini. Saya kecewa mendengar adanya rumor yang menggambarkan kelakuan buruk dari salah seorang warga yang bernama Arumi. Tapi saya jelaskan sekarang, rumor itu hanyalah isapan jempol belaka. Bohong!”
“Tapi saya melihatnya dan …” Wahyuni ingin buka suara lagi, tapi pak Lurah kembali menghardiknya.
“Diam!!”
Wahyuni menutup mulutnya dengan sebelah tangannya. Heran mengapa tidak ada yang mau mendengarkannya.
“Memang benar, waktu itu saya membawa Arumi pergi, tapi … bukan seperti yang kalian bayangkan. Waktu itu saya nyaris menyerempet Arumi di jalan, sehingga rantang berisi makanan yang mau dikirim kepada ayahnya tumpah berceceran di jalan. Karena merasa bersalah, lalu saya mengajak Arumi untuk membeli makanan, sebagai pengganti makanan yang tumpah. Kasihan kan, pak Truno yang sudah menunggu kiriman, kemudian kirimannya berantakan di jalan dan itu karena saya?”
Lalu semua orang ribut, dan pak Lurah menepuk bayu Bachtiar setelah Bachtiar mengatakan kejadiannya.
“Ini gara-gara Wahyuni! Dia yang pertama kali menyebarkan berita itu,” lalu seseorang menjambak rambutnya.
"Dasar mulut busuk."
“Aaaahh, sakit, tahu.”
“Kamu biang kerok berita itu.”
“Bahkan pak Truno sampai berantem dengan teman petaninya, gara-gara pak Truno marah ketika mereka menghina dan merendahkan Arumi, dan menganggap keluarganya telah menjual Arumi," sambung Bactiar.
“Dasar jelek, mulutnya busuk!”
“Kalau tidak tahu yang sebenarnya, jangan membuka mulut busuk kamu!”
“Kasihan Arumi, dia tidak bersalah.”
Melihat orang-orang se balai desa memakinya, bahkan ada yang menjambak rambutnya, Wahyuni segera lari terbirit-birit.
Ada beberapa yang mengambil batu lalu melemparinya.
“Sudah, sudah … hentikan. Besok saya akan mengumumkan ke seluruh warga desa tentang kesalah pahaman ini, agar nama Arumi dan keluarga pak Truno dipulihkan,” teriak pak Lurah.
Semuanya bubar, tapi umpatan dan caci maki terhadap Wahyuni masih terdengar.
Bachtiar berterima kasih kepada pak Lurah, sebelum kemudian dia meninggalkan Balai Desa dengan perasaan lega.
***
Wahyuni terus saja berlari, sampai kemudian bertemu ayahnya yang sedang mengendarai sepeda motor.
“Hei, ada apa lari?”
Pak Carik menghentikan motornya. Wahyuni berhenti dengan terengah-engah.
“Pak, tolong Yuni. Yuni mau dihajar oleh orang-orang Balai Desa.”
“Apa? Kamu mau dihajar oleh orang-orang Balai Desa? Memangnya kenapa? Dan kenapa kamu pergi ke sana?”
“Yuni mencari Bapak. Ada yang menunggu Bapak di toko. Tapi Bapak tidak ada di sana. Padahal tadi Bapak bilang mau menemui pak Lurah bukan?”
“Aku pulang dulu, karena sudah lapar. Ini baru mau ke sana. Tunggu, kenapa mereka menghajarmu?”
“Ini rambut Yuni malah sudah dijambak oleh mereka.”
“Kurangajar sekali? Siapa yang menjambak kamu? Ada apa sebenarnya?”
“Yuni melihat mobil yang dulu membawa Arumi pergi. Yuni menerangkan apa adanya, tapi kemudian mereka memarahi Yuni, ada yang menjambak juga. Ketika Yuni lari, mereka melempari batu. Untung tidak kena.”
Terbakar oleh ocehan Wahyuni, tanpa mendengar kejelasannya, pak Carik segera melaju ke Balai Desa. Tak terima mereka memarahi dan menyakiti anak gadisnya.
Wahyuni melanjutkan langkahnya pulang, tak lagi berlari seperti tadi karena memang tak ada yang mengejarnya.
***
Pak Carik menghentikan sepeda motornya, dan memarkirnya di halaman Balai Desa. Perangkat desa sudah mulai dengan aktivitas mereka, dan pak Lurah ada di dalam kantornya.
Pak Lurah terkejut mendengar suara keras pak Carik.
“Siapa yang telah mencaci maki anakku, dan menyakitinya?”
Suara itu bergema ke seluruh ruangan, dan membuat semua mengangkat wajahnya, menatap pak Carik yang berdiri sambil berkacak pinggang.
“Wah, bapaknya marah nih,” seseorang yang kurang suka kepada bekas cariknya membuka suara.
Tapi sebelum pak Carik melanjutkan omelannya, pak Lurah memanggilnya.
“Kemari kamu, jangan ribut di ruangan,” kata pak Lurah.
Pak Carik segera mengikutinya masuk.
“Ada apa, kamu datang lalu berteriak-teriak?”
“Saya ketemu Wahyuni anak saya. Dia kemari untuk mencari saya, tapi kemudian orang-orang mencaci maki bahkan ada yang menjambak rambutnya,” katanya berapi-api.
“Tunggu dulu, jangan asal marah. Kamu tahu kan, ada asap, pastilah ada apinya. Ini masalah kesalah pahaman yang menjadi rumor buruk di desa ini, dan penyebabnya adalah anakmu, Wahyuni itu.”
“Rumor buruk apa? Mengapa Wahyuni? Dia itu gadis lugu, nggak mungkin berbuat yang aneh-aneh.”
“Dengar dan jangan memotong pembicaraanku sebelum aku selesai bicara. Mengapa orang-orang marah pada Wahyuni, karena Wahyuni melihat sesuatu, lalu menyebarkan berita seperti apa yang dipikirkannya, padahal kejadiannya tidak seperti itu.”
“Ini apa, saya tidak mengerti, pak Lurah.”
Lalu perlahan pak Lurah mengatakan semuanya, mulai kedatangan Bachtiar, sampai kemudian Wahyuni datang dan berteriak tentang mobil yang ada di halaman, yang diyakininya sebagai mobil orang kaya yang membawa Arumi. Semuanya dan kejadian sebenarnya diceritakan, membuat pak Carik melongo, karena diapun termakan cerita Wahyuni yang sudah dibumbuinya sehingga diapun menganggap Arumi gadis yang tidak bener.
“Anakmu hanya melihat, lalu mengotak atik dalam pikirannya tentang sesuatu yang buruk tentang Arumi, kemudian dia mengatakan kepada semua orang tentang apa yang dipikirkannya, padahal itu tidak benar. Itu sebabnya orang-orang marah pada Arumi.”
Pak Carik pulang dengan perasaan kesal kepada anaknya.
***
Di rumah, ternyata bu Carik sedang memarahi Wahyuni, setelah Wahyuni menceritakan semuanya.
“Aku kan sudah bilang, kamu itu bicara sembarangan, tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Punya mulut harus dijaga, jangan bicara semaunya. Pantas saja orang-orang marah sama kamu. Kamu yang menyebarkan berita bohong itu.”
“Tapi Wahyuni kan tidak salah. Wahyuni memang melihat Arumi dibawa laki-laki bermobil kan?”
“Tapi bukan itu saja yang kamu katakan. Masih ada buntutnya, ya kan? Buntutnya adalah bahwa kepergian mereka itu karena hal buruk, karena Arumi dijual orang tuanya. Dan semakin melebar berita itu, semakin dipanjang-panjangkan ceritanya.”
“Jadi aku yang salah?”
“Kamu biang keroknya. Dengar ini harus menjadi pelajaran buat kamu. Kalau orang Jawa bilang, sak dawa-dawane lurung, isih dawa gurung. Itu artinya apa? Sepanjang apapun jalanan, masih panjang mulut seseorang. Sebuah berita didengar orang, lalu orang itu mengatakannya kepada yang lain dan berita itu pasti ada tambahannya, lalu ke orang lain, ada tambahannya lagi, begitu seterusnya. Mengerti kamu?”
“Dasar mulut lancang, aku berteriak marah di Balai Desa, maksudnya membela kamu, malah aku dipermalukan karena kelakuan kamu!” tiba-tiba pak Carik datang dan langsung menampar pipi Wahyuni.
“Auuh, Bapak, sakitttt” jerit Wahyuni.
“Sudah Pak, jangan suka menyakiti anak.”
“Aku marah sama anakmu, mulut tidak diatur.”
“Marah boleh, tapi jangan pakai tangan. Ini sudah cukup. Aku sudah tahu semuanya dan sudah memarahinya,” kata bu Carik sambil menarik tangan Wahyuni, lalu menyuruhnya masuk ke kamar.
***
Malam itu Bachtiar sedang duduk santai di rumah, dan sedang bertelpon dengan seorang temannya. Dia dokter muda seumuran dengannya, dan bekerja di sebuah rumah sakit. Ia sedang memintanya agar besok pagi pergi bersamanya untuk melihat seseorang yang sedang sakit.
“Sebenarnya siapa yang sakit?”
“Seorang yang sudah setengah tua, bukan sakit karena penyakit. Ia habis dikeroyok orang.”
“Astaga, setengah tua, masih bersemangat untuk tawuran?”
“Jangan ngaco. Ada kesalah pahaman diantara mereka, tapi kamu tidak usah kebanyakan bicara. Kamu dokter, lihatlah dia. Lukanya, juga kaki atau tepatnya pergelangan kaki kanannya. Sepertinya keseleo, aku takut ada tulangnya yang retak.”
“Mengapa tidak dibawa ke rumah sakit?”
“Dia anti dokter, anti rumah sakit, karena itu besok kamu jangan memakai pakaian dokter, dan bersikap seolah kamu orang biasa seperti aku.”
“Aneh, siapa sebenarnya dia? Jaman sekarang, takut dokter? Dia bukan kanak-kanak kan? Setengah tua, takut dokter.”
“Sudahlah, jangan kebanyakan komentar, besok aku jemput jam tujuh, setelahnya aku antarkan kamu ke tempat kerja. Jangan khawatir soal sarapan, nanti aku bawa kamu ke rumah makan mana yang kamu suka.”
“Pagi amat.”
“Kamu bangun jam berapa? Subuh harusnya sudah bangun, mandi, sarapan, eh … jangan sarapan dulu, nanti sarapan sama aku. Pokoknya deal ya, jam tujuh tepat.”
“Maksa nih.”
“Kamu harus dipaksa, susah amat sih, bagaimana kalau kamu dipaksa kawin? Eh, menikah maksudku?”
“Mau … mau … sayangnya belum ada yang memaksa aku untuk menikah. Hampir jadi bujang lapuk aku ini.”
“Makanya, jadi dokter harus sering-sering rekreasi, jalan-jalan bareng gadis cantik, supaya cepat laku.”
“Enak saja kamu ngomong. Kamu sendiri kapan lakunya? Dari dulu sendirian, mana pasangan, mana pacar?”
“Kamu aja yang nggak ngerti. Ada lah, nanti kamu juga akan tahu.”
“Jadi kamu sudah punya pacar?”
“Belum jadi pacar, harus dipiara dulu supaya besar.”
“Apa? Dia bebek, atau kambing? Harus dipiara?”
Bachtiar tertawa ngakak, ia hanya menggoda temannya, Adi, seorang dokter yang sulit didekati perempuan, hampir sama seperti dirinya, dan itu sebabnya mereka bersahabat.
***
Pagi hari itu, bu Truno sudah membersihkan luka suaminya dan menggantinya dengan tumbukan daun lamtoro. Pak Truno tampak tidak mengeluh.
“Perih pak?”
“Tidak, memangnya lukanya parah?”
“Sudah agak mengering di tepi-tepinya.”
“Ya sudah, besok aku mau ke sawah lagi. Yang masih agak nyeri ya sekitar sini ini.”
“Itu lebam terkena pukulan sepertinya,” kata sang istri.
“Sekarang saya ganti lagi obat yang di kaki. Masih sakit?”
Pak Truno menggerak-gerakkan kakinya.
“Sudah berkurang.”
Mbok Truno menggantikan param berujud tumbukan daun sligi yang baru, lalu kembali membalutnya.
Arumi sedang membawakan segelas kopi untuk ayahnya, ketika terdengar mobil berhenti di halaman.
Arumi lari ke depan, dan berteriak ketika melihat Bachtiar.
“Pagi-pagi ada mas Tiar,” pekiknya.
Tapi ia kemudian menutup mulutnya ketika ada seorang pria asing yang turun dari sisi lainnya.
“Selamat pagi Rumi,” sapa Bachtiar.
“Pagi Om, eh … Mas.”
“Kenalkan ini … dd… eh, temanku, namanya Adi,” kata Bachtiar yang urung memperkenalkan Adi sebagai dokter.
“Waduh, rumah saya berantakan,” kata Arumi yang langsung masuk ke dalam.
“Siapa?” tanya ayahnya.
“Mas Tiar, dengan temannya.”
Bachtiar masuk ke dalam rumah, dan melihat pak Truno masih berbaring di balai-balai, di mana kemarin dia menidurkannya.
“Bagaimana keadaan Bapak?” tanya Bachtiar.
“Baik, nak. Sudah mendingan,” jawab pak Truno yang tampak lebih segar.
“Ini teman saya, Adi. Kebetulan dia ikut saya ke tempat kerja, dan ikut mampir kemari. Saya ingin melihat keadaan pak Truno.”
“Sudah tidak apa-apa. Lukanya sudah mengering,” jawab mbok Truno.
“Hebat ya, sudah mengering?”
“Dan yang keseleo sudah tidak bengkak, kemarin bengkak. Sekarang sudah bisa bergerak-gerak."
“Boleh saya melihatnya?” Bachtiar yang mengatakannya, bukan Adi, supaya mereka tidak curiga.
“Wah, nanti nak Tiar jijik lhoh.”
“Tidak Pak, supaya saya lega kalau memang keadaan Bapak baik-baik saja.”
Karena alasan itu, pak Truno diam saja ketika Bachtiar membuka tempelan daun lamtoro di wajah pak Truno. Adi mendekat dan mengamatinya. Memang luka itu sudah mengering dipinggirnya. Bachtiar menatap Adi, yang kemudian mengangguk.
Tapi pak Truno yang mengawasi gerak gerik Adi, kemudian curiga.
“Apa nak Bachtiar membawa dokter?” tanya pak Truno.
***
Besok lagi ya.
Alhamdulillah......
ReplyDeleteYesss
Deleteπ¦ππ¦ππ¦ππ¦π
ReplyDeleteAlhamdulillah ππ€©
KaBeTeeS_07 sdh hadir.
Matur nuwun Bu, doaku
semoga Bu Tien & kelg
selalu sehat & bahagia.
Aamiin.Salam serojaπ
π¦ππ¦ππ¦ππ¦π
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun jeng Sari
Yup
ReplyDeleteAlhamdulillah
DeleteMatur sembah nuwun Mbak Tien..ππ
Sami2 jeng Ning
DeleteADUHAI dari Solo
Alhamdulillah
ReplyDeleteMatur nuwun ibu Endah
DeleteMatur suwun bu Tien
ReplyDeleteSami2 pak Indriyanto
DeleteMatur nuwun mbak Tien-ku Ketika Bulan Tinggal Separuh sudah tayang
ReplyDeleteSami2 pak Latief
DeleteMana Yangtie.....?
ReplyDeleteKok kesalip jeng Sari?
Alhamdulillah.Maturnuwun Bunda semoga selalu sehat wal afiat π€²πππ
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Herry
Horee
ReplyDeleteBr plng dr tetangga baru pak Kakek
Suwun mb Tien π
Sami Yangtie
DeleteHamdallah
ReplyDeleteSuwun bu Tien...salam aduhai
ReplyDeleteSami2 ibu Atiek
DeleteTerimakasih bunda Tien
ReplyDeleteSemoga bunda Tien selalu sehat
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Salamah
Maturnuwun bu Tien, semoga ibu sekeluarga sll sehat dlm lindungan Allah SWT. Salam sehat dan aduhai aduhai bun
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Sri
Aduhai aduhai deh
Matur nuwun ibu ππ»
ReplyDeleteSami2 ibu Windari
DeleteAlhamdulillah, matursuwun Bu Tien "KBtS~7"nya.
ReplyDeleteSalam hangat, salam sehat dan bahagia selalu nggih Bu π
Sami2 ibu Umi
DeleteSalam sehat juga
Wkwk...dokternya pinter...taktiknya seperti memeriksa anak-anak ya...supaya pak Truno tidak takut. Adaa saja ide Bu Tien. πππ
ReplyDeleteTerima kasih, buu...sehat selalu.ππ»
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Nana
Jangan jangan akan terjadi rebutan oleh tiga pria. Hati hati saja ya Rumi, dalam memilih pasangan hidup.
ReplyDeleteSalam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Latief
Alhamdulillah
ReplyDeleteSyukron nggih Mbak Tienπ·π·π·π·π·
Sami2 jeng Susi
DeleteTerima kasih Bu Tien, semoga sehat selalu.
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Yati
Terima kasih Mbu Tien....
ReplyDeleteSami2 pak Zimi
Delete
ReplyDeleteAlhamdullilah
Matur nuwun Cerbung *KETIKA BULAN TINGGAL SEPARUH 07* sdh hadir...
Demoga sehat dan bahagia bersama keluarga
Aamiin...
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Wedeye
Hamdallah...cerbung Ketika Bulan Tinggal Separuh 07 telah tayang
ReplyDeleteTerima kasihi Bunda Tien
Sehat selalu Bunda, bahagia bersama Amancu di Sala. Aamiin.
Wahyuni sdh di marahi orang banyak, masih aja ngeyel.
Mantab Bunda Tien pitutur nya : Sak dawa dawa ne Lurung iseh dawa Gurung : panjang nya jalanan, msh panjang mulut seseorang. Maksud nya Pembicaraan orang dapat tersebar luas hingga tak terbatas.
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Munthoni
Matur nuwun Bu Tien, sehat wal'afiat semua ya π€π₯°
ReplyDeleteWahyuni kena batunya ya,,,
Bachtiar sdg pdkt dg Arumi, tp awas loh ,Arumi melirik teman nya , bisa cilaka πππ€
Sami2 ibu Ika.
DeleteAamiin Allahumma Aamiin
Jadi...walaupun gagah perkasa, cakep dan menarik, tetaplah jadi orang yg baik.
ReplyDeleteTidak asal berani ama siapapun.
Celaka nantinya...
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
ReplyDeleteMatur nuwun ibu Enny
Dobel pak widay2
ReplyDeleteMatur nuwun, bu Tien
ReplyDeleteMatur nuwun Bu Tien atas cerita yang sangat menarik. Tetap sehat njih Ibu.....
ReplyDeleteTerimakasih Mbak Tien..
ReplyDeleteTerima ksih bunda .slm sht sllππ₯°
ReplyDelete