Monday, April 22, 2024

M E L A T I 25

 M E L A T I    25

(Tien Kumalasari)

 

Melati heran, melihat Nurin tidak segera menentukan pilihannya, padahal dia sudah menyodorkan daftar menu yang lain. Melati mana tahu, Nurin sedang memikirkan, cara terhormat yang bagaimana yang bisa merebut Daniel dari Melati? Tadi dia berbohong tentang Daniel, dan itu bukan cara terhormat. Nurin berjanji akan memperbaiki sikapnya.

“Mbak Nurina, apakah tidak ada yang berkenan?”

Nurin terkejut, ia menatap Melati sambil tersenyum manis.

“Oh … sebentar ….”

“Kalau mbak Nurin ingin, bisa kok memilih menu apa saja, kalau memang diperlukan, kami siap melayani. Jadi tidak hanya yang  terpancang pada daftar menu itu saja.”

“Nggak … nggak, aku sudah memilihnya kok. Yang ini, paket A, untuk duaratus orang ya, karyawan di kantorku cuma sedikit.”

Hm, duaratus orang, hanya sedikit? Melati segera tahu bahwa Nurin adalah seorang pengusaha besar.

“Yang paket A? Untuk kapan ya mbak?”

“Mm, sebentar … tanggal pastinya belum jelas, tapi bulan depan. Aku akan memastikannya dulu setelah berbincang dengan orang kepercayaan aku di kantor.”

“Baiklah, kami menunggu pesanannya, tapi saya harap jangan terlalu dekat waktunya ya Mbak, takutnya berbenturan dengan pemesan yang lain.”

”Oh, gitu ya, bolehkah saya tahu, tanggal berapa saja yang sudah ada pemesannya?”

“Sebentar.”

Melati membuka catatan, kemudian menyodorkannya kepada Nurin.

“Oh, ini ya, baiklah, akan saya catat, nanti aku akan pesan di tanggal yang lain. Ini hanya acara syukuran saja, tidak harus dilakukan disuatu tanggal. Jadi nanti akan segera saya kabari.”

“Baiklah, tapi meskipun begitu jangan terlalu dekat waktunya ya Mbak, takutnya nanti ada pemesan yang lain. Kami hanya bisa melayani di dua acara dalam sehari.”

“Akan segera aku kabari. Baiklah, terima kasih Melati, senang bisa berbincang denganmu. Kamu baik dan ramah.”

“Terima kasih kembali, Mbak.”

Nurin mengembalikan daftar menu yang tadi disodorkan, lalu membalikkan tubuhnya dan berlalu. Tapi Melati merasa, Nurin tidak bersungguh-sungguh dengan keinginannya memesan makanan. Kelihatan sekali dia tidak segera bisa menentukan, kapan ia membutuhkan pelayanan dari kateringnya.

“Apa dia hanya ingin bertemu denganku? Apa dia mengira aku akan bersaing dengannya dalam memperebutkan hati Daniel?” gumamnya sambil tersenyum masam. Bagaimanapun Melati sangat tahu diri. Mana bisa, pungguk mencapai rembulan? Nurina adalah bintang yang cemerlang, sedangkan dirinya hanyalah sebutir batu kali yang tidak berharga. Diam-diam Melati berjanji tak akan bermimpi terlampau tinggi, agar jatuhnya tak begitu terasa sakit.

***

Berita bahwa Harjo tak bisa menunjukkan bukti hutang suaminya, membuat Karti merasa lega, seperti apa yang dirasakan Melati, karena dengan begitu mereka tak harus memikirkan bagaimana caranya membayar hutang. Mereka juga tak mempermasalahkan uang yang pernah diserahkannya sebanyak lima belas juta.

“Tidak usah dipikirkan uang itu, anggap saja sudah hilang, toh itu juga uang pemberian dari orang lain,” kata Karti.

“Iya Bu. Melati juga tak akan menyesalinya. Anggap saja itu bukan rejeki kita.”

“Ibu benar-benar merasa lega, karena sebuah beban yang menghimpit hati dan rasa telah lenyap. Mari kita menjalani hidup kita seperti sebelumnya. Hidup sederhana itu nikmat, kalau kita menjalaninya dengan penuh rasa syukur."

Hari itu sudah menjelang malam. Melati dan Karti sama-sama melepaskan lelah setelah bekerja seharian.

“Hari ini ada empat orang yang memberikan ibu pekerjaan. Dua kebaya dan dua lagi gamis. Tapi untunglah, mereka tidak tergesa-gesa. Soalnya masih ada beberapa lagi yang belum ibu selesaikan.”

“Nanti setiap pulang kerja Melati bisa membantu kan? Memang sih, Melati tidak berbakat menjadi penjahit, tapi kalau hanya memasang kancing saja pasti bisa kan Bu?”

“Iya, gampang. Kamu sendiri juga sudah lelah bekerja. Tapi kalau ibu butuh pertolongan kamu, pasti nanti ibu katakan.”

Melati sedang menyelonjorkan kakinya ketika tiba-tiba ponselnya berdering. Melati berdebar, ada wajah yang dikenalnya pada layar ponselnya.

“Assalamu’alaikum, Melati.”

“Wa’alaikumussalam.”

“Akhirnya aku menemukanmu.”

“Apa maksudnya Mas? Apakah aku pernah hilang?”

“Ya, kamu tiba-tiba menghilang dari dekatku, sebelum aku banyak bercerita dan mengatakan sesuatu.”

“Mas Daniel, bukankah aku sudah beberapa saat menunggui? Dan aku sudah bilang kalau aku harus melakukan sesuatu.”

“Tidak, kamu pergi setelah Nurin datang. Dan untunglah aku sudah punya ponsel baru yang bisa aku pergunakan untuk menghubungi kamu.”

“Oh ya, selamat atas ponsel barunya ya. Senang, karena kita bisa berhubungan dengan orang yang jauh dengan ponsel itu.”

“Yang jelas aku senang bisa menghubungi kamu. Mas Wijan yang memberi aku ponsel baru ini.”

“Baiklah, bagaimana keadaan Mas sekarang?”

“Aku jauh lebih baik. Lenganku bengkaknya sudah berkurang. Hanya kadang-kadang masih merasa pusing.”

“Mas harus benar-benar beristirahat, jangan memikirkan apapun, supaya segera bisa pulih.”

“Kamu sudah mulai bekerja?”

“Sudah. Mana mungkin aku bisa meninggalkan pekerjaan begitu lama? Banyak tugas menumpuk.”

“Pasti kamu sangat lelah, sehingga tidak ada waktu untuk menemui aku.”

“Nanti kalau aku libur, akan datang bersama ibu.”

“Oh ya, senang mendengarnya.”

“Sudah malam, Mas harus istirahat.”

“Kamu tidak suka, aku menelpon kamu?”

“Bukan tidak suka, bukankah ini sudah malam, dan itu berarti Mas harus istirahat?”

“Sejak siang teman-teman aku dari rumah sakit tempatku bekerja datang bergantian, aku sebenarnya sangat lelah.”

“Nah, kalau begitu istirahatlah.”

“Ada yang ingin aku tanyakan sama kamu.”

“Apa itu?”

“Apakah ibumu pernah mengatakan sesuatu sama kamu?”

Melati berdebar, pasti Daniel ingin menanyakan tentang pernyataan cinta yang pernah diungkapkannya kepada ibunya.

“Pernahkah?” Daniel mengulang pertanyaannya.

“Kami sering berbincang tentang banyak hal. Apa maksud Mas Daniel?”

“Masa aku ingin menanyakan tentang banyak hal sih. Yang aku maksud adalah apa yang pernah aku utarakan kepada ibu. Apakah ibu mengatakannya?”

“Tentang apa ya? Lupa... ibu pernah mengatakan apa."

“Oh, tidak ya? Berarti ibu belum mengatakannya sama kamu.”

“Ya sudah, Mas istirahat saja dulu,” Melati berusaha menghindar.

“Melati, aku pernah bilang pada ibu, bahwa aku mencintai kamu,” kata Daniel berterus terang pada akhirnya.

Melati terdiam. Agak lama dia terdiam. Akhirnya kata itu terucap juga. Tapi mengapa Daniel menaruh perhatian pada dirinya? Bukankah Nurina lebih cantik, lebih pintar, punya derajat dan kedudukan tinggi, punya harta berlimpah ruah?

“Melati, kamu masih di situ?”

“Y..ya … mm.. Mas.”

“Kamu tidak suka mendengarnya? Bahwa aku jatuh cinta sama kamu?”

“Ini bukan masalah yang bisa dibicarakan sambil lalu. Mas harus memikirkannya lebih dalam.”

“Aku sudah lama memikirkannya.”

“Ketika ada dua pilihan, maka seseorang pasti akan memilih yang terbaik, bukan?”

“Apa maksudmu? Bagiku, kamu adalah yang terbaik.”

“Karena namaku sama dengan almarhumah istri Mas?”

“Bukan. Hanya kebetulan saja nama kamu sama. Tapi terlepas dari ingatan tentang istri aku, aku memiliki perasaan seperti aku katakan tadi.”

“Baiklah, barangkali memerlukan waktu untuk bertimbang rasa. Sekarang Mas istirahat saja dulu. Besok kita bicara lagi.”

Daniel tak sempat mengatakan apapun, karena Melati sudah menutup panggilannya.

Dengan lesu Melati meletakkan ponselnya di meja. Bukankah bahagia, dicintai oleh seseorang yang dikagumi? Seseorang yang tampan, baik, penuh perhatian. Tapi Melati merasa bahwa dia tak layak hidup berdampingan dengan Daniel. Dia memiliki keluarga orang-orang terpandang. Pengusaha kaya raya, yang membuat dirinya teramat kecil di hadapannya. Lagipula, bukankah Daniel bisa memilih Nurina yang sederajat dengan dirinya? Yang akan membuat keluarganya bangga dan tak akan malu berbesan dengan keluarga Nurina?

“Ada apa?” sapaan sang ibu mengejutkan Melati.

“Tidak apa-apa.”

“Tadi kamu menyebut ibu juga.”

“Saya bilang, kalau libur akan membezoeknya bersama ibu.”

“Tapi kamu masih menyebutkan lagi setelahnya. Apakah nak Daniel menanyakan apa yang pernah dikatakannya pada ibu?”

“Apa?”

“Tentang perasaannya sama kamu?”

Melati menghela napas berat.

“Bukankah dia laki-laki yang baik? Memang sih, dia duda. Tapi apakah itu masalah buat kamu?”

“Bukan Bu. Melati hanya tidak mau terlalu mengharapkan dia. Mas Daniel itu memang kelihatannya sederhana, tapi keluarganya adalah orang-orang terpandang.  Mana berani Melati menerima cintanya? Bagaimana kalau Melati hanya dipandang rendah dan diremehkan oleh mereka? Sementara ada gadis lain yang juga mengharapkan mas Daniel. Dia cantik, pengusaha muda yang pastinya kaya raya. Tidak Bu, mana berani Melati bersaing dengan dia?”

“Tapi cinta itu terkadang tidak mengenal harta dan derajat seseorang.”

“Itu kan hanya sederet kalimat yang gampang diucapkan. Kalau ada dua pilihan, pasti seseorang akan memilih yang terbaik.”

“Baik itu bisa dipandang dari sudut apapun. Bukan hanya dari wajah dan kekayaan yang dimiliki, tapi hati juga berperan di dalamnya.”

“Melati takut menjalani. Bagaimana kalau suatu saat dia menyesalinya?”

“Baiklah, ibu mengerti. Sekarang istirahatlah. Bagaimanapun, jodoh itu ada ditangan Allah. Ya kan?”

“Benar, Ibu. Melati hanya bisa pasrah, akan kemana kehidupan ini membawa Melati melangkah.”

***

Ramon dan Raisa masuk ke rumah Samiaji dengan wajah sumringah. Samiaji yang duduk di teras menyambutnya dengan heran.

“Kalian dari mana?”

“Dari rumah sakit Pak, sejak kemarin Raisa mengeluh perutnya terasa nggak enak.”

“Sakit apa? Sakit kok senyum-senyum?”

“Raisa hamil, Pak,” kata Raisa sambil memeluk ayahnya.

Samiaji menepuk punggung anaknya dengan senyum bahagia.

“Bagus sekali, kalian akan segera memberi aku cucu. Laki-laki atau perempuan cucuku?” tanya Samiaji bersemangat.

“Belum tahu Pak, kan masih enam minggu.”

“Ah, iya … belum kelihatan ya? Tapi laki-laki atau perempuan, bagi bapak sama saja. Mereka adalah cucu bapak yang sudah lama bapak harapkan. Ayo istirahatlah dulu, biar bibik membuatkan menuman segar buat kalian.”

“Raisa ingin menjenguk bapak di tahanan,” kata Raisa sendu.

“Sekarang?”

“Sekalian capeknya. Lagipula, siapa tahu, mendengar bapak mau punya cucu, kemudian menjadi bersemangat, dan bisa terhibur.”

“Baiklah kalau begitu, tapi Raisa tidak boleh terlalu capek. Biasanya kehamilan muda itu sangat rawan.”

“Setelah pulang nanti Raisa akan beristirahat.”

Baiklah, berangkatlah sekarang. Jaga istrimu dengan baik, Ramon.”

“Baik, Pak.”

Samiaji menatap kepergian anak dan menantunya dengan linangan air mata. Lima tahu menikah, baru Raisa dinyatakan hamil. Bukankah itu membahagiakan?”

***

Begitu keluar dari ruang tahanan, dan melihat Ramon bersama istrinya, kemarahan Harjo memuncak. Dia tetap menganggap Ramon adalah pengkhianat, dan sangat jahat kepada dirinya.

“Mau apa kamu kemari? Mau melihat bagaimana sengsaranya bapak kamu ini di tempat tahanan? Ini perbuatan kamu kan? Puas kamu sekarang?” kata Harjo dengan nada tinggi, bahkan setengah berteriak.

“Pak, sebaiknya Bapak jangan menyalahkan Ramon. Bahwa siapa menanam maka dia akan mengunduh buahnya, itu memang harus terjadi.”

“Jadi kamu memang sengaja membuat bapakmu ini hidup sengsara?”

“Tidak. Ramon hanya ingin Bapak melihat hari-hari yang pernah Bapak lalui. Apakah itu hal yang baik, ataukah yang buruk? Ramon ingin dengan kejadian ini Bapak bisa mengerti, bahwa apa yang telah Bapak lakukan itu tidak benar.”

“Kalau bukan kamu menjerumuskan bapak ke dalam sangkar bau dan kehidupan menyedihkan ini, bapakmu ini masih akan hidup senang.”

“Bapak harus tahu, bahwa semua itu ada batasnya. Ramon melakukan semua ini, hanya berharap agar Bapak menyadari bahwa apa yang pernah Bapak lakukan itu salah. Jangan sampai kesalahan itu berlanjut. Bapak adalah ayah Ramon, dan Ramon ingin memiliki ayah yang baik dan berhati mulia. Apakah Bapak tidak berpikir, bahwa cucu Bapak nanti akan bangga memiliki kakek yang membanggakan?”

Harjo ingin memuntahkan cacian lagi, tapi mendengar kata’cucu’, ia mengatupkan mulutnya. Sudah lima tahun anaknya menikah, tak pernah ada berita bahwa ia akan punya cucu.

“Apa kamu bilang? Cucu? Kapan aku punya cucu? Bukankah kamu memiliki istri yang mandul?” Raisa terkesiap mendengarnya.

“Raisa tidak mandul. Raisa sedang mengandung cucu Bapak,” kata Ramon.

“Apa? Aku mau punya cucu?”

Mata Harjo meredup. Padangan garang yang selalu ditampakkannya lenyap seketika. Dipandanginya menantunya.

“Kamu sedang mengandung cucuku?” katanya lembut.

“Ya, Pak. Cucu Bapak ingin memiliki kakek yang hebat,” kata Raisa dengan suara bergetar.

Harjo menepuk tangan Raisa dengan air mata berlinang. Hanya satu kata, ‘cucu’ maka wajah yang tadinya garang berubah melunak dan penuh haru.

***

Besok lagi ya.

 

 

 

61 comments:

  1. Alhamdulillah..
    Syukron nggih Mbak Tien 🌹🌹🌹🌹🌹

    ReplyDelete
  2. 🍒🫐🍒🫐🍒🫐🍒🫐
    Alhamdulillah 🙏🦋
    MELATI 25 sdh hadir.
    Matur nuwun Bu Tienkuuh.
    Doaku smoga Bu Tien
    selalu sehat & bahagia
    bersama kelg tercinta.
    Salam aduhai...😍🌹
    🍒🫐🍒🫐🍒🫐🍒🫐

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Terima kasih ibu Sari

      Delete
  3. Matur nuwun mbak Tien-ku Melati tayang

    ReplyDelete
  4. Alhamdulillah tayang *MELATI* ke dua puluh lima
    Moga bunda Tien sehat selalu doaku
    Aamiin yaa Rabbal'alamiin

    ReplyDelete
  5. Hamdallah...cerbung Melati 25 telah tayang

    Taqaballahu Minna Wa Minkum

    Terima kasih Bunda Tien
    Sehat selalu Bunda dan bahagia bersama Keluarga di Sala.
    Aamiin

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Terima kasih pak Munthoni

      Delete
  6. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  7. “Ya, Pak. Cucu Bapak ingin memiliki kakek yang hebat,” kata Raisa dengan suara bergetar.

    Harjo menepuk tangan Raisa dengan air mata berlinang. Hanya satu kata, ‘cucu’ maka wajah yang tadinya garang berubah melunak dan penuh haru.

    Alhamdulillah MELATI episode 25 sdh tayang, ditandai dengan hamilnya RAISA yang sdh 5 tahun menunggunya.

    Tur nuwun Dhe Tien, salam ADUHAI.......

    ReplyDelete
  8. Alhamdulillah.semoga Bunda selalu sehat wal afiat,Melati oh Melati besar sekali ujian dikau.Nurin kok maju tiyus hihihi👍 Maturnuwun🌷💐 🌹🪷🌼🌻🙏

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Terima kasih pak Herry

      Delete
  9. Alhamdulillah
    Terimakasih bunda Tien
    Semoga bunda Tien selalu sehat

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Terima kasih ibu Salamah

      Delete
  10. Alhamdulillaah tayang makasih bunda
    Salam sehat.... Terus berkarya

    ReplyDelete
  11. Alhamdulillah MELATI~25 sudah hadir, terimakasih bu Tien, semoga sehat & bahagia senantiasa bersama keluarga.
    ‌Aamiin yra..🤲.

    ReplyDelete
    Replies
    1. This comment has been removed by the author.

      Delete
    2. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Terima kasih pak Djodhi

      Delete
  12. ,Alhamdulillah ..... maturnuwun Bunda .

    ReplyDelete
  13. Maturnuwun Bu Tien ...sehat selalu

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun ibu Endang

      Delete
  14. Matur nuwun, Mbak Tien.
    Salam sehat, ya....

    ReplyDelete
  15. Setiap manusia mempunyai "rasa istimewa" dlm hidupnya, demikian juga dg pak Harjo.
    Saya tunggu bagaimana ibu Tien akan menguraikannya.
    Salam sehat selalu.

    ReplyDelete
  16. Alhamdulilah Melati 25 sudah tayang, mendengar kata cucu kegarangan pak Harjo memudar... melat dan daniel semoga semua lebih baik..
    Salam hangat dan aduhai bunda Tien

    ReplyDelete
  17. Ah..cucu, aku juga belum punya.
    Coba Melati mau melihat rumah Daniel, pasti akan maklum mengapa tidak memilih Nurin.
    Mudah mudahan Harjo berubah jadi orang baik. Biasanya mbak Tien begitu.
    Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun pak Latief

      Delete
  18. Ayo, Melati...jangan minder. Jodohmu memang Daniel kok...wkwk...pandainya ibu Tien mengaduk-aduk emosi pembaca.😀
    Pak Harjo sudah mulai berubah menjadi baik...semoga masih panjang kisahnya.

    Terima kasih, ibu Tien. Salam sehat.🙏🙏🙏😘😘

    ReplyDelete
  19. Alhamdulillah, matur nuwun bu Tien, salam sehat dari mBantul

    ReplyDelete

  20. Alhamdullilah
    Cerbung *MELATI 25* telah. hadir
    Matur nuwun bu Tien
    Semoga sehat bahagia bersama keluarga
    Aamiin...
    .

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun pak Wedeye

      Delete
  21. Alhamdulillah, MELATI 25 telah tayang, terima kasih bu Tien, salam sehat, sejahtera dan bahagia selalu bersama keluarga. Aamiin.
    UR.T411653L

    ReplyDelete
  22. Alhamdulillah
    Matur nuwun bunda Tien
    Semoga selalu sehat,bahagia bersama keluarga tercinta dan selalu dalam lindungan Allah SWT
    Aamiin

    ReplyDelete
  23. Matur nuwun Bu Tien yg menjadikan "cucu" sbg kata sakti. Tetap sehat njih Bu....aamiin....

    ReplyDelete
  24. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
    Matur nuwun ibu Reni.

    ReplyDelete
  25. Alhamdulillaah, luluh juga ya pak Harjo dengar kehadiran cucunya ,,
    Semangat Melati,,,nnt kamu akan tahu siapa Daniel

    Matur nuwun Bu Tien
    Sehat wal'afiat selalu 🤗❤️
    Salam Aduhaiii untuk Melati menghadapi Nurin 👍👍👍

    ReplyDelete
  26. Alhamdulillah.. Cerbung Melati ke 25 sudah tayang. Terimakasih bunda Tien salam sehat selalu dan aduhai selalu

    ReplyDelete
  27. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  28. Oh Cucu...
    Mudah²an tak teh Cucu...
    Terimakasih Mbak Tien...

    ReplyDelete
  29. Terimakasih Bu Tien cerbungnya, salam sehat selalu 🙏

    ReplyDelete
  30. Kata" Cucu" ajaib untuk pak Sampai dan Pak Harjo. Terimakasih Bunda Tien sehart dan semangat selalu

    ReplyDelete
  31. Makasih mba Tien
    Salam hangat selalu aduhai

    ReplyDelete

M E L A T I 36

  M E L A T I    36 (Tien Kumalasari)   Daniel tertegun. Seperti mimpi ia menatap sosok yang berdiri di sampingnya, yang kemudian menyandark...