Tuesday, February 13, 2024

ADA CINTA DI BALIK RASA 17

 ADA CINTA DIBALIK RASA  17

(Tien Kumalasari)

 

Usman menepuk-nepuk pundak Estiana sambil masih tertawa-tawa, sedangkan Estiana ikut tertawa.

“Ibu mertuaku ini bukan hanya cantik, tapi juga pintar. Aku suka … aku suka ,,,”

Estiana terkekeh senang. Ia menatap Usman yang wajahnya kemudian menjadi cerah, dan diam-diam Estiana mengakui, kalau Usman ini walaupun setengah tua, tapi masih kelihatan tampan dan gagah. Bagaimana ya ketika masih muda? Bodohnya Anjani, kenapa sok jual mahal, padahal kalau boleh, dia juga mau kok. Lalu Estiana menepuk keras pipinya sendiri, karena membayangkan yang tidak-tidak. Mana mungkin Usman mau sama dirinya, yang diharapkan tuh Anjani, bukan dirinya. Ya kan?

“Cocok, baiklah, aku setuju Bu, kalau bisa secepatnya juga lebih menyenangkan.”

“Nanti dulu Nak, kita harus bisa mengatur waktunya, nanti saya kabari lagi, sekarang saya mau pamit. Kalau kelamaan perginya, mereka bisa curiga, soalnya tadi saya hanya pamit ada perlu sebentar, begitu.”

Tiba-tiba pintu ruangan kantor pak Usman terbuka, seorang gadis yang sangat cantik dan berpakaian sexy muncul. Ia menatap Estiana tak berkedip.

“Papa, inikah calon istri Papa? Katanya muda dan cantik,” kata gadis itu, yang adalah anak tunggal Usman yang baru datang dari luar negri.

“Eh … saya … saya …” kata Estiana gugup.

Usman tertawa sambil menarik anaknya agar duduk di sebelahnya.

“Itu bukan calon istri papa, tapi calon mertua papa.”

“Itu calon mertua papa? Hm, lumayan cantik juga. Sebenarnya papa lebih pantas punya istri seumuran ibu ini, kalau anaknya apa tidak terlalu muda? Biasanya, gadis-gadis cantik kalau mau diperistri laki-laki tua, pasti karena dia gila harta. Nantinya hanya akan morotin harta papa saja,” kata Erma seenaknya.

“Heei, kamu itu ngomong apa. Calon istri papa bukan gadis seperti itu. Dikasih gelang berlian saja dia tidak mau.”

“Maunya mobil? Atau rumah yang bagus?”

“Tidak, Erma, kamu salah menilai. Nanti kalau kamu sudah bertemu dia, kamu pasti bisa menilai, dia itu seperti apa.”

Usman sepertinya ingin mengatakan, bahwa yang gila harta tuh justru ibunya ini. Tapi tentu saja dia sungkan mengatakannya.

“Ya sudah nak Usman, saya pulang dulu ya.”

“Erma, beri salam dulu sama ibu Estiana,” perintahnya.

Erma mengulurkan tangan dengan wajah acuh tak acuh, lalu Estiana berlalu dengan perasaan kesal. Anak pak Usman itu benar-benar tidak tahu tata krama. Mengata-ngatai orang seenak perutnya sendiri saja, kata batin Estiana sambil menuju ke arah taksi yang memang disuruhnya menunggu.

Erma merasa bahwa ayahnya telah salah pilih. Hanya mengandalkan kecantikan kemudian memilih gadis belia, apakah itu sudah tepat? Erma yakin bahwa gadis itu hanya menyukai harta ayahnya.

“Pa. Kalau Papa ingin istri, mengapa tidak mencari yang seumuran. Misalnya ibu yang tadi itu. Biasanya wanita seumur ibu itu justru bisa momong Papa yang sudah berumur. Lha kalau gadis belia, nanti bukannya dia meladeni Papa, malah Papa yang harus momong dia. Akibatnya apa? Bukan mencari kesenangan malah mendapat kekesalan.”

“Kamu anak kecil tahu apa. Lagi pula jangan sekali-sekali bilang papa sudah tua ya, papa masih perkasa, tahu.” kesal Usman.

Erma terkekeh, mentertawakan ayahnya yang sekarang berubah menjadi genit. Gadis itukah penyebabnya?

“Pa, boleh dong, Erma tahu, seperti apa ibu tiri Erma itu?”

“Nggak usah, nanti kamu kebanyakan komentar.”

“Masa sih, aku nggak boleh tahu bagaimana wajah calon ibu tiri aku?”

“Nanti kalau sudah jadi, kamu akan tahu.”

“Hm … pasti gadis itu jelek.”

“Eh, sembarangan,” kata Usman yang kemudian mengeluarkan ponselnya, kemudian menunjukkan wajah cantik Anjani yang entah kapan dia berhasil mencuri gambarnya.

“Nih, ayo bilang jelek.”

“Wwoouw … kalau ini cantik sekali. Apa benar, dia mau sama Papa?”

“Kenapa nggak mau? Sebentar lagi juga sudah akan menjadi istri papa kok.”

“Kapan Papa akan menikah?”

“Sebentar lagi. Ayahnya sakit dan baru mau dioperasi, nanti kalau papahnya sudah membaik, dia baru mau.”

“Kayaknya ini nggak pantas deh menjadi istri Papa. Terlalu muda, terlalu cantik.”

“Justru karena dia cantik itu, Papa mau.”

“Kalau dia juga mau, berarti dia tuh punya pamrih.”

“Pamrih apa maksudmu?”

“Harta Papa dong.”

“Kamu belum mengenal dia. Dia itu tidak pernah minta apapun pada papa. Kalau diberi juga dia menolak.”

“Aneh. Kalau aku, ada orang kaya suka sama aku, aku porotin aja dia.”

“Eh, ngawur. Memangnya kamu suka berhubungan sama laki-laki sembarangan?”

“Ya nggak sembarangan lah Pa, dan juga Erma nggak nglakuin apa-apa yang tercela kok. Morotin kan nggak apa-apa, salah dia kenapa suka sama Erma,” katanya enteng.

“Itu memalukan. Kamu seperti anak orang miskin saja, morotin harta orang.”

“Paling cuma makan-makan, gitu aja kok.”

“Bagus. Kamu nanti harus belajar sama ibu tiri kamu. Dia itu bukan hanya cantik. Dia lembut, dia santun, dia … ah …   pokoknya semua kebaikan ada pada dia.”

“Jadi penasaran, kapan Erma bisa ketemu dia?”

“Akan papa carikan waktu yang baik, nanti. Akhir-akhir ini papa sedang sibuk, dan perusahaan sedang ada masalah.”

“Masalah apa?”

“Masalah pajak dan lain-lain, sudahlah. Kamu pergi jalan-jalan saja, papa lagi banyak pekerjaan nih.”

Erma berdiri dengan bersungut-sungut, lalu keluar dari ruangan.

***

Sesampai di rumah, Estiana kena semprot suaminya, karena ketahuan berbohong ketika pak Wongso dan Raharjo datang untuk melihat rumah.

“Iya, benar, aku bilang ada hantunya, biar dia takut. Bapak kan tahu kalau aku tidak setuju Bapak menjual rumah ini.”

“Kamu setuju atau tidak, aku tetap menjualnya. Ini harus aku lakukan, jadi jangan banyak membantah. Aku tidak mau berdebat. Ngomong denganmu, dadaku hanya akan merasa sesak,” kata Marjono sambil masuk ke dalam kamar.

Estiana membanting banting kakinya. Karena kesal.

“Lihat saja nanti, aku tetap akan menikahkan Anjani dengan nak Usman. Tidak bisa tidak,” gumamnya geram, walaupun pelan.

Anjani yang baru saja selesai mandi, mendapat telpon dari Jatmiko, yang akan menjemputnya sore setelah maghrib. Tentu saja Anjani senang. Ia sudah mendapat berita baik dari ayahnya, bahwa sang ayah akan menjual rumahnya untuk menggantikan uang Usman. Dengan demikian dia harus bebas dari Usman.

Anjani masuk ke dalam kamar ayahnya, yang sedang berbaring.

“Anjani?” sapa sang ayah.

“Anjani kira Bapak tidur.”

“Tidak, hanya ingin tiduran saja. Kamu mau pergi?”

“Anjani mau ketemu teman Anjani ya pak, nanti sehabis maghrib.”

“Teman masa kecilmu itu?”

“Namanya Jatmiko.”

“Iya, kamu kan sudah pernah memberi tahu bapak bahwa namanya Jatmiko?”

“Iya, Anjani saja yang lupa.”

“Baru saja pak Wongso menelpon, bahwa pak Raharjo bersedia membeli rumah kita ini.”

“Ah, syukurlah, Anjani senang mendengarnya.”

“Besok Bapak mau mengurusnya, jadi pak Wongso yang akan nyamperin bapak. Ke notaris, dan lain-lain. Sore ini pak Raharjo sudah mentransfer separo dari harga rumah, jadi bapak akan menjalani operasi dengan uang bapak sendiri. Nanti kamu urus ke rumah sakit, agar pihak rumah sakit mengembalikan uang pak Usman yang sudah dititipkan untuk biaya operasiku.”

Anjani diam, tapi dia terkejut mendengar nama Raharjo. Apakah itu pemilik perusahaan di mana dia akan bekerja?

“Sebentar Pak, Bapak tadi mengatakan bahwa yang akan membayar itu pak Raharjo? Diakah yang akan membeli rumah kita ini?”

“Iya. Menurut pak Wongso, beliau itu pemilik perusahaan batik, entah apa namanya, bapak lupa.”

“Batik Raharjo Sentosa?”

“Nah iya, itu.”

“Itu kan perusahaan yang menerima Anjani bekerja disana?”

“Benarkah?”

“Ya ampun, tidak mengira pak Raharjo yang membeli rumah ini,” gumam Anjani sambil tersenyum.

“Anjani sudah tahu, memang pak Raharjo itu orang baik yang suka menolong.”

“Berarti kamu sudah pernah ketemu orangnya?”

“Ya pernah Pak, tapi pak Raharjo itu menyerahkan semua urusannya kepada putranya, yaitu pak Wijanarko, sedang adik pak Wijan menjadi wakilnya. Mereka orang-orang baik semua, bahkan yang namanya Nilam sangat ramah dan bersikap seperti seorang sahabat. Dia juga yang menemukan gelang mote Anjani, sehingga Anjani bisa bertemu dengan Jatmiko.”

“Banyak hal yang kita tidak bisa menduganya. Tampaknya benang kusut yang melingkupi kehidupan kita akan segera terurai.”

“Aamiin.”

“Ya sudah, kamu bersiap-siap sana. Bukankah kamu sudah janjian dengan Jatmiko? Suruh dia ke rumah, jangan bertemu di jalanan.”

“Jangan dulu Pak, Anjani takut ibu akan marah, nanti malah menyakiti hati Jatmiko. Kami ketemu di minimarket dekat rumah, sambil pura-pura belanja kecil-kecilan. Bukan dia tak mau ke rumah, Anjani yang melarangnya, untuk menjaga keributan saja.”

“Ya sudah, terserah kamu saja.”

“Sebelum Anjani berangkat, obat yang harus Bapak minum sudah Anjani siapkan. Atau … bapak mau makan dulu sebelum Anjani berangkat?”

“Tidak, kamu berangkat saja dulu, bapak bisa mengambil makan sendiri. Lagipula ibumu ada.”

“Anjani berangkat setelah maghrib kok.”

“Ya sudah, sana bersiap-siap dulu,” kata ayahnya yang tampak bersemangat dan sepertinya senang Anjani dekat dengan sahabat masa kecilnya.

***

Suri heran, tidak melihat Nilam sesore ini. Kamarnyapun tertutup. Ia baru saja memeriksa keadaan warung, dan hanya melihat Nugi yang sedang belajar.

“Nugi, mbak Nilam mana?”

“Tidur, dari tadi.”

“Tidur? Apa dia sakit?”

“Sepertinya tidak. Tadi mengambil minuman dingin dari dalam kulkas. Kalau sakit kan tidak akan minum air dingin?”

Suri melangkah ke arah kamar Nilam, mengetuk pintunya, tapi tidak dijawab. Pintunya juga terkunci.

“Nilam … Nilam … sudah hampir maghrib. Kamu masih tidur?”

Suri mengetuk-ngetuk lagi pintunya.

“Nilam … kamu tidur Nak?”

Ketika pintu itu dibuka, Suri melihat wajah Nilam tampak pucat, dan matanya sembab kemerahan.

“Kamu sakit?” tanya Suri khawatir.

“Tidak Bu, hanya lelah.”

“Kamu seperti habis menangis?”

“Ah, ibu. Nilam tidak apa-apa. Bangun tidur, kalau terlihat kusut kan sudah biasa.”

“Ya sudah, mandi dulu, ibu buatkan kopi untuk kamu.”

“Jangan bu, Nilam mau minum teh saja.”

“Baiklah, akan ibu buatkan. Mandi dulu sana.”

Nilam mengangguk, sementara Suri pergi ke dapur untuk membuatkan teh untuk Nilam.

“Ibu buat apa?” Nugi yang sedang belajar menoleh ke arah ibunya.

“Buat minum untuk mbak Nilam.”

“Ibu, aku juga mau.”

“Minum susu?”

“Pakai coklat ya bu.”

“Ya, selesaikan belajarnya, nanti ibu bawa ke situ.”

Nilam sudah masuk ke kamar mandi. Tubuhnya terasa gerah, hatinya juga gerah, Ia tak tahu, mengapa sangat sulit melupakan Wijan, Biasanya Nilam tak pernah memikirkannya, tapi semenjak tahu bahwa Wijan menolaknya, ia justru selalu memikirkannya. Ada sakit yang mengiris. Tapi dia tak sekalipun membenci Wijan. Hatinya hanya sakit. Rasa perih aneh yang tak pernah menimpanya.

“Jadi begini rasanya patah hati?” gumamnya lirih sambil mengguyur tubuhya berkali-kali.

“Apakah mas Wijan menolakku karena ada Anjani? Apakah Anjani lebih menarik daripada diriku?” gumamnya berkali-kali.

“Nilam, mandinya jangan lama-lama,” teriak Suri lagi sambil mengetuk pintu kamar mandi.

“Iya Bu, ini sudah selesai,” jawab Nilam yang segera menarik kimono dari gantungan.

Ketika ia membuka pintu, Suri masih berdiri di depannya.

“Mandi kok lama sekali, ini sudah maghrib, nanti kamu kedinginan lalu masuk angin.”

“Enggak Bu, udaranya agak gerah, jadi penginnya menyiram tubuh dengan air dingin terus.”

“Itu tidak bagus, nanti masuk angin, tuh badanmu sampai dingin begini. Sini dulu, ibu gosokin dengan minyak angin, biar anget,” kata Suri sambil mengambil minyak gosok dari atas nakas.

Nilam menurut, ia tengkurap di atas kasur, Suri menggosoknya sambil memijit-mijit. Nilam merasa nyaman. Bukan karena gosokan minyak itu, tapi karena elusan tangan Suri bagaikan elusan seorang ibu. Nilam tersenyum. Biarpun dia tak punya ibu kandung, apalagi ayah kandung, nyatanya ia tak kekurangan cinta dan kasih sayang. Ia menahan keluarnya air mata yang ingin menetes kembali, karena khawatir sang ibu akan banyak bertanya.

Tapi bagaimanapun, Suri bisa menangkap kegelisahan di wajah Nilam.

“Kalau kamu sedang resah, kenapa tidak mengajak nak Jatmiko jalan-jalan, atau memintanya datang kemari, makan masakan ibu bersama-sama?”  kata Suri yang selalu berharap agar Nilam bisa semakin dekat dengan Jatmiko.

Nilam yang semula enggan, tiba-tiba ingin sekali mengajak Jatmiko jalan. Siapa tahu bisa sedikit mengurangi rasa perih di dadanya.

Ketika Suri selesai menggosok tubuhnya dengan minyak hangat, Nilam segera menelpon Jatmiko. Bercanda dengan Jatmiko bisa mengurangi lelah dalam jiwanya.

“Hallo, Nilam? Tumben menelpon aku.”

“Miko, kamu di mana, kita jalan-jalan yuk.”

“Yaah, kenapa kamu tidak bilang dari tadi, kalau bilang sekalian aku samperin kamu. Ini aku sedang bersama Anjani.”

“Haa?”

Hati Nilam luruh seketika. Mengapa dia selalu kalah dengan Anjani?

***

Besok lagi ya.

57 comments:

  1. 🥰❤️😘🌹👩‍❤️‍👨🌹😘❤️🥰
    🦋🦋🦋🦋🦋🦋🦋🦋🦋

    *ALHAMDULILLAH ADA CINTA DIBALIK RASA*
    #Episode_17 Sudah TAYANG.
    Matur nuwun bu Tien.......

    Horo to kono.....
    Erma malah nyuruh Papanya nikah dengan Estiana.....
    Cocok... Kasihan Anjani...... Cocoknta sama Wijan.....


    SALAM ADUHAI, DHE.......🥰🥰

    🦋🦋🦋🦋🦋🦋🦋🦋🦋
    🥰❤️😘🌹👩‍❤️‍👨🌹😘❤️🥰

    ReplyDelete
  2. 🍄🍁🍄🍁🍄🍁🍄🍁
    Alhamdulillah 🙏🌸🦋
    ACeDeeR_17 sdh hadir.
    Matur nuwun Bu Tienkuuh
    yang baik hati.
    Sehat2 & tetap smangaats
    terus yaa Bu.
    Salam aduhai dr Jatibening
    🍄🍁🍄🍁🍄🍁🍄🍁

    ReplyDelete
  3. Matur nuwun mbak Tien-ku acdr tayang

    ReplyDelete
  4. Alhamdulillah , Terima kasih bunda Tien

    ReplyDelete
  5. Alhamdulillah
    Terimakasih bunda Tien
    Semoga bunda Tien selalu sehat

    ReplyDelete
  6. Alhamdulillah...
    Maturnuwun Bu Tien 🙏

    ReplyDelete
  7. Sugeng ndalu Bunda Tien.

    Hamdallah cerbung Ada Cinta di Balik Rasa..17 telah tayang. Matur nuwun

    Semoga Nilam tdk patah hati dan tetap semangat ya..he..he...


    Alhamdullilah
    Semoga ALLAH memberi kesembuhan ..kesehatan yang sempurna kagem Bunda Tien....tercinta..Salam sehat selalu. 🤲❤

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Ya Robbal Alamiin
      Matur nuwun, salam sehat juga pak Munthoni

      Delete
  8. Alhamdulillah ACeDeR 17 tayang
    Mksh bunda Tien moga sehat selalu doaku

    Salam sayang dari Jogja

    ReplyDelete
  9. Alhamdulillah ,matur nuwun mugi bunda Tien sakluarga tansah pinaringan kasarasan lan rahayu

    ReplyDelete
  10. Matur nuwun, bu Tien cantiik.... sehat2 sekeluarga, yaa....

    ReplyDelete

  11. Alhamdullilah
    Ada Cinta Dibalik Rasa 17 telah hadir
    Matur nuwun bu Tien
    Semoga sehat bahagia bersama keluarga
    Aamiin...

    ReplyDelete
  12. Matur nwn bu Tien, salam sehat selalu

    ReplyDelete
  13. Alhamdulillah.... terimakasih Bunda, semoga sehat selalu

    ReplyDelete
  14. Alhamdulillah ADA CINTA DIBALIK RASA~17 sudah hadir, terimakasih bu Tien, semoga sehat & bahagia senantiasa bersama keluarga.
    ‌Aamiin yra..🤲

    ReplyDelete
  15. Alhamdulillah.... salam sehat utk bunda sayang

    ReplyDelete
  16. Alhamdulillah.semoga Bunda selalu sehat wal afiat .Estiana ternyata akan .........pada Usman . Maturnuwun 🌹🌹🌹🙏

    ReplyDelete
  17. Replies
    1. Aamiin Ya Robbal Alamiin
      Matur nuwun mbak Yaniiiikk

      Delete
  18. Aamiin Ya Robbal Alamiin
    Matur nuwun ibu Ting

    ReplyDelete
  19. Alhamdulillah ACDBR - 17 sdh hadir
    Matur nuwun, sehat dan bahagia selalu Bunda Tien ..

    ReplyDelete
  20. Terima kasih bunda Tien acdr 17 sdh tayang... smg bunda Tien selalu sehat dan bahagia .. salam hangat dan salam aduhai..
    semakin seru kasihan anjani patah hati...

    ReplyDelete
  21. Alhamdulillah, matur nuwun Bu Tien
    Salam sehat wal'afiat selalu 🤗🥰

    Nilam,,,kamu tuh jinak2 merpati,, didekati g mau giliran ada yg dekat Jatmiko kamu marah 🤩🤩🤩
    Ya sdh sabar ya,,,,,🤭

    ReplyDelete
  22. Muncul tokoh baru... Erma anak Usman. Apa bisa mengubah keadaan ya.
    Kasian Nilam yang patah hati. Ingin mencari hiburan menghubungi Miko..ee malah sedang bersama 'saingannya'.
    Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.

    ReplyDelete
  23. Nah, benar anaknya tuh...pak Usman cinta buta sih...seharusnya, cocoknya memang sama Estiana aja ..😁

    Terima kasih, bu Tien. Salam sehat.🙏

    ReplyDelete
  24. Terima kasih bu Tien ... ACDR ke 17 sdh hadir dan sdh dibaca ... semakin seru aja ceritanya ... Smg bu Tien & kelrg sehat dan bahagia selalu ... Salam Aduhai .

    ReplyDelete
  25. Matur nuwun Bu Tien. Semoga Ibu sekeluarga tetap sehat penuh barakah, aamiin....

    ReplyDelete
  26. terima kasih Bu Tien, semoga sehat selalu

    ReplyDelete
  27. Serasa dibanting banting hatimu Nilam, baru setelah diperingatkan Suri baru ingat, kan Miko sudah bilang ada sesuatu yang ada dikamu Nilam.
    Ya nggak telat milih seeh, cuma tinggal kerjakan gitu aja.
    Mau kasih masukan saran sudah nggak boleh.
    Kan kampanye sudah berakhir, itu Anjani juga hanya mau cerita perkembangan masalah uang Usman, bisa ada solusinya dengan menjual rumah, ternyata Marjono tahu dan bisa baca kemauan anaknya, yang nggak mau utang budi, pakai jaminan lagi, kaya jual beli dan pasti akan dikurung dirumah saja.
    Padake pitik waé
    Itu aja belum jelas surat suratnya, sudah ada dana di tangan
    ADUHAI

    Terimakasih Bu Tien
    Ada cinta dibalik rasa yang ke tujuh belas sudah tayang
    Sehat sehat selalu doaku
    Sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
    🙏

    ReplyDelete
  28. Terimakasih Bu Tien, cerbungnya dah tayang
    Salam sehat bahagia selalu Buat Bu Tien & keluarga 🙏

    ReplyDelete
  29. Terimakasih... Bunda Tien, semoga sehat selalu jasmani rohani ekonomi

    ReplyDelete

CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG 16

  CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG  16 (Tien Kumalasari)   “Hamil?” pekiknya bersama an, dan kekagetan keduanya membuat dokter itu tersenyum. ...