BUNGA UNTUK IBUKU 41
(Tien Kumalasari)
Wijan sangat terkejut melihat ‘sang ayah’ jatuh terkapar, dan kemudian tidak bergerak-gerak. Pak Rangga melompat dari dalam mobil, memburu Bejo yang terjatuh.
“Bagaimana ini? Bapak kok diam saja?”
“Langsung ke rumah sakit saja, tolong bantu mengangkat bapak ke mobil,” kata pak Rangga yang kemudian dengan cekatan membopong Raharjo, dimasukkannya ke dalam mobil.
Wijan ikut masuk ke dalam, dan pak Rangga segera membawa mobilnya melaju.
Nilam berteriak-teriak kebingungan. Ada apa bapak, ada apa?”
Bibik yang ikut mendekat, ikut panik.
“Tampaknya bapak di bawa ke rumah sakit.”
“Aku mau ikut ke sana.”
“Ada pak Supri, sopir kantor yang sejak kemarin mengantarkan mas Wijan. Biar dia mengantar Mbak Nilam ke rumah sakit,” kata bibik yang segera memanggil Supri.
Tak lama kemudian Nilam sudah berada di dalam mobil.
“Ke rumah sakit yang kemarin pastinya.”
“Ke sana saja, kalau pak Supri sudah tahu.”
“Baik, Mbak.”
Mobil melaju ke arah rumah sakit. Begitu turun dari mobil, Nilam segera berlari, mencari keberadan kakaknya. Ia melihat sang kakak masih di depan ruang UGD, duduk dengan gelisah. Disampingnya, pak Rangga tampak bersedekap dengan wajah lesu.
“Mas Wijan,” Nilam menubruk kakaknya sambil menangis.
“Bapak kenapa? Apa bisa di selamatkan?” lanjutnya disertai isak.
“Kalau luka luar tidak begitu kelihatan. Hanya memar di kepala dan luka akibat terkena batu runcing. Semoga tidak mengkhawatirkan. Duduk di sini, dan tenanglah,” kata Wijan sambil menunjuk ke bangku di dekatnya.
“Kamu sudah menyalami pak Rangga?” tegur Wijan.
Nilam segera berdiri lagi dan mengulurkan tangannya dengan santun.
“Baru sadar kalau kamu sudah berada di keluarga kamu, Nilam. Aku ikut bahagia. Kamu sudah menjadi gadis yang lebih dewasa dan cantik,” kata pak Rangga sambil menepuk tangan Nilam.
“Terima kasih Pak Rangga.”
“Aku belum mendengar cerita kamu, nanti kamu harus menceritakannya ya.”
“Iya Pak.”
“Duduklah, bapak tak apa-apa, hanya luka benturan yang menyebabkan pingsan, semoga tidak luka dalam yang parah.”
“Aamiin.”
Tapi Nilam tetap merasa gelisah. Kepalanya bersandar di bahu kakaknya, air matanya merebak di pelupuknya.
“Berdoalah, agar bapak baik-baik saja.”
“Aku minta maaf telah menabrak pak Raharjo, soalnya sama sekali tidak menduga dia sedang menuju keluar.”
“Bukan salah Pak Rangga. Bapak sedang marah dan ingin mencari bajunya di keranjang sampah.”
“Karena baju itu?” pak Rangga menghela napas sesal.
“Iya. Bapak marah sekali ketika kami bilang bahwa bajunya sudah dibuang. Sama sekali tidak mengira kalau itu membuatnya marah.”
“Bukankah bisa memakai baju pak Raharjo?”
“Dia tidak suka, dianggapnya pinjam milik orang lain. Pokoknya bapak sangat marah dan tidak terkendali. Kami sampai bingung karena tidak berhasil meredakan amarahnya.
“Semoga semuanya baik-baik saja, dan setelah sembuh nanti tidak lagi marah-marah karena baju itu.”
“Ya Pak.”
Ketika seorang perawat keluar dari ruangan itu, Nilam memburunya.
“Suster, apa ayah saya sudah sadar?”
“Siapa ya? Pak Raharjo kah?” tanya perawat itu. Wijan memang mendaftarkannya dengan nama Raharjo.
“Iya, suster.”
“Sudah lebih baik, tapi belum sepenuhnya sadar.”
“Apa lukanya parah? Bolehkah saya melihatnya?”
“Mbak duduk saja menunggu. Dokter sedang menanganinya,” kata perawat itu, kemudian berlalu.
Wijan melambaikan tangannya kearah Nilam, menyuruhnya duduk.
Nilam mendekat.
“Kata perawat itu, sudah membaik, tapi bapak belum sepenuhnya sadar.”
“Duduklah, dan menunggu.”
Nilam cemberut, ingin segera melihat ayahnya.
“Aku ingin masuk, tapi dilarang oleh dia,” kata Nilam dengan mulut cemberut.
“Iya, kalau kamu masuk, mengganggu dokter yang sedang menanganinya. Tenanglah, dan diam.”
Tiba-tiba ponsel Wijan berdering. Bibik menelponnya.
“Ya, Bik?”
“Bagaimana keadaan Bapak, selamat kan? Tidak apa-apa kan?”
“Bapak sedang ditangani dokter. Tadi kata Nilam yang bertanya pada perawat, keadaannya membaik, tapi belum sepenuhnya sadar.”
“Alhamdulilah, bibik sudah ketakutan, soalnya tadi melihat bapak tidak bergerak.”
“Hanya terbentur sedikit, karena pak Rangga segera menghentikan mobilnya.”
“Jadi bapak tidak apa-apa kan?” tanya bibik yang sesungguhnya masih merasa khawatir.
“Semoga bapak baik-baik saja, Bik. Doakan dari rumah ya.”
“Ingin sekali bibik ikut. Bibik sedih sekali, gara-gara baju kumel yang bibik buang, bapak jadi marah sekali,” sesal bibik.
“Kita semua tidak mengira, baju itu membuatnya sangat marah.”
“Ya sudah Mas, kabari bibik perkembangan bapak ya.”
“Iya Bik.”
Wijan tahu, bibik merasa bersalah gara-gara membuang baju usang itu. Tapi semua orang tidak mengira Bejo jadi semarah itu.
***
Nilam yang tak bisa tenang, memilih berdiri kemudian berjalan-jalan ke sana-kemari. Ia berharap dengan begitu ia bisa menenangkan hatinya. Ia menyusuri lorong- lorong rumah sakit itu, sambil mulutnya berkomat-kamit memanjatkan doa. Walau hanya ayah sambung, tapi Nilam sangat menyayanginya. Begitupun Raharjo juga sangat menyayangi Nilam, karena dia baik dan patuh, tidak seperti Hasti yang selalu berbuat seenaknya, merasa sudah menjadi bagian dari keluarga kaya. Ia juga terkadang bersikap semena-mena terhadap bibik, dan Raharjo sering melihatnya.
Nilam sedang memikirkan kakaknya yang entah ada di mana, ketika tiba-tiba ia melihat seorang wanita hamil keluar dari ruang periksa kehamilan.
Mata Nilam terbelalak. Itu kan mbak Hasti?
“Mbak Hasti!” Nilam berteriak, dan wanita hamil itu menoleh. Tapi begitu melihat Nilam, wanita itu segera pergi menghindar.
“Mbak Hasti!! Berhenti, mbak!”
Hasti menghindari Nilam, menyelinap ke samping rumah sakit, dan menghilang.
“Mbak Hasti !!”
Beberapa orang melihat Nilam yang berlari-lari.
“Ada apa Mbak? Copet?” tanya seseorang.
“Laporkan ke satpam saja.” kata yang lainnya.
“Bukan, bukan copet.” Nilam terus mencari-cari, tapi ia tak bisa menemukan Hasti.
“Kenapa dia lari?”
Nilam merasa lelah dan kesal. Bagaimanapun Hasti adalah kakaknya, dan dia ingin juga mengetahui keadaannya. Nilam juga heran, perut kakaknya kelihatan membesar. Meskipun belum sangat besar, tapi jelas bahwa Hasti sedang hamil.
“Apakah Mbak Hasti sudah menikah?”
Nilam berbalik dan menanyakan ke tempat pemeriksaan kehamilan. Ia ingin bertanya di mana alamatnya. Tapi ternyata Hasti masih mempergunakan alamat keluarga Raharjo.
Nilam berjalan lagi ke arah halaman rumah sakit, tapi bayangan Hasti tak lagi bisa dilihatnya. Nilam kembali ke ruang UGD, dan Wijan menatapnya marah.
“Kamu kemana saja?”
“Hanya berjalan-jalan, aku melihat mbak Hasti.”
“Mbak Hasti? Mana dia?”
“Aku memanggilnya, tapi dia kabur. Aku mengejarnya sampai ke depan, tapi tidak ketemu. Tampaknya dia menghindari bertemu denganku.”
“Dia sakit?”
“Dia hamil.”
“Hamil?” Apa dia sudah menikah?”
“Mana aku tahu? Sejak pergi dari rumah tak lagi pernah mendengar beritanya.”
“Hamil besar?”
“Belum begitu besar sih, tapi kelihatan kalau dia hamil. Tapi mengapa ya, dia tak mau bertemu Nilam? Bagaimanapun Nilam ingin tahu keadaannya, dia tinggal di mana, siapa suaminya.”
“Kamu bisa menanyakan alamat di pendaftaran kan?”
“Sudah, alamatnya masih di rumah bapak.”
“Kenapa ya, dia lari?”
“Pasti ada yang ingin dia sembunyikan. Tampaknya keadaannya memprihatinkan.”
“Memprihatinkan bagaimana?”
“Penampilannya sangat berbeda. Dulu mbak Hasti kan suka berpakaian bagus, mewah. Yang tadi itu pakaiannya sederhana, tidak bersepatu, hanya sandal kulit yang usang, membawa tas kecil yang juga sederhana. Pokoknya jauh bedanya dengan penampilan mbak Hasti yang dulu.
“Tidak apa-apa. Hidup sederhana itu bukan sesuatu yang buruk. Masmu ini, selamanya juga hidup sederhana, apa kamu lupa?”
“Memang, hidup sederhana bukan sesuatu yang buruk, aku hanya bilang, penampilan mbak Hasti yang berbeda.”
“Pengalaman dalam hidup, terkadang membuat kita merubah kehidupan kita. Pelajaran yang bagus adalah ketika kita mengerti, betapa sulitnya hidup. Dengan begitu kita bisa merubah pemikiran kita tentang sesuatu yang berbau kemewahan yang ternyata bukan sesuatu yang luar biasa dan patut dibanggakan. Bukankah yang kita miliki ini hanya pakaian? Yang terpenting adalah jiwa kita. Tetaplah baik, tetaplah menjalani hidup dengan penuh rasa syukur,” kata Wijan panjang lebar.
Bukan hanya Nilam saja yang manggut-manggut, tapi pak Rangga sungguh merasa kagum mendengar apa yang dikatakan Wijan. Dia masih sangat muda, tapi bisa mengatakan hal yang jarang bisa dimiliki oleh anak seusianya. Ia sungguh-sungguh mewarisi tabiat ayahnya, yang bijaksana dalam menangani semua masalah, dan tidak pernah membedakan kasta satu orang dengan yang lainnya. Tampaknya ia akan menjadi pewaris kerajaan Raharjo yang bisa mengayomi dan membuat perusahaan lebih besar dan disegani.
Tak sadar pak Rangga menepuk-nepuk bahu Wijan sambil tersenyum.
“Pak Raharjo akan bangga memiliki kamu.”
“Bapak bisa saja. Saya kan hanya menirukan apa yang pernah dikatakan bapak.”
Ketika itu seorang perawat muncul. Ketiganya berdiri dan menghambur ke arahnya.
“Pak Raharjo sudah sadar. Silakan kalau ingin menemuinya. Tapi tidak boleh bersama-sama. Satu persatu.”
“Nilam berteriak. Biar aku dulu ya?” katanya bersemangat.
Wijan dan pak Rangga mengangguk. Nilam segera masuk ke dalam.
Ketika mendekat ke arah ranjang ‘ayahnya’, dilihatnya sang ayah menatapnya.
“Bapak? Bagaimana keadaan Bapak?”
“Kamu … anakku?” katanya pelan.
“Tentu saja. Bapak ingat namaku?
Bejo memejamkan matanya. Tapi wajah garang ketika sebelumnya dia marah, sudah tak lagi tampak. Nilam sangat senang. Ketika Bejo menanyakan ‘kamu anakku’ .. adalah sebuah kemajuan, sementara sebelumnya dia tak pernah mengakui bahwa dirinya adalah ayah mereka.
“Bapak bernama Raharjo, ingat kan?”
Bejo membuka matanya. Ketika itulah dia sadar bahwa dia bukanlah Bejo.
“Aku Raharjo?”
“Tentu saja. Bapak adalah Raharjo. Bapak ingat Nilam? Putri Bapak yang cantik?” goda Nilam.
“Gadis itu … “ gumamnya.
Nilam tersenyum. Sedikit yang diucapkan Raharjo adalah sebuah kemajuan yang luar biasa.
“Mbak, gantian dengan yang lainnya, ya. Soalnya pak Raharjo belum boleh terlalu banyak bicara, Dia masih merasa pusing.
Nilam mengangguk, dia sadar bahwa kakaknya dan pak Rangga pasti juga ingin menemuinya.
“Baiklah. Pak, Nilam keluar dulu ya, mas Wijan juga ingin bertemu,” katanya sambil mencium tangan ayahnya.
Nilam keluar dan menemui Wijan dengan wajah berbinar.
“Bagaimana?”
“Temui saja.”
Wijan pun masuk, tak ada kekhawatiran karena dia melihat wajah Nilam yang berbinar.
Pak Rangga menatap Nilam, yang dibalas dengan acungan jempol oleh Nilam. Pak Rangga pun merasa lega.
Sementara itu, Wijan memeluk ayahnya erat. Sesuatu yang ajaib telah terjadi. Setelah pingsan, sang ayah seperti menjadi manusia baru yang masih agak kebingungan. Tapi dia tidak menolak ketika dipanggil bapak, dan tidak menolak ketika dikatakan bahwa namanya adalah Raharjo, bukan Bejo.
“Bapak ingat saya kan?”
“Kamu … anakku.”
“Namanya …. ?”
“Namamu kan …. “
“Hayo, siapa … masa nama anak sendiri lupa?”
“Kamu kan yang suka bersepeda … “
Wijan tertawa.
“Nama saya kan Wijanarko … “
“Wijanarko … gadis itu …. “
“Gadis yang tadi … itu Nilamsari … “
Raharjo tampak tersenyum. Nilam selalu membuatnya tersenyum.
“Dia lucu, manja ,,,,”
“Iya. Bapak ingat Bejo? Siapakah Bejo?”
“Bejo … dia itu … “
Tapi kemudian perawat mengingatkan Wijan agar tidak terlalu lama mengajaknya bicara.
Ketika pak Rangga masuk, Raharjo menerima genggaman tangan pak Rangga dengan menepuk-nepuknya.
“Apakah Bapak ingat saya?”
“Saya tidak lupa, saya mengenal anda …”
“Saya Rangga, pembantu Bapak di kantor.”
Raharjo mengangguk, tapi dia tampak memikirkan sesuatu.
“Kantor ya?”
“Bapak adalah seorang pemilik perusahaan, dengan banyak anak buah, saya salah satunya.”
Sebuah kemajuan yang menggembirakan. Tapi hari itu Raharjp masih harus dirawat di rumah sakit. Ia tak lagi berniat untuk lari, dan masih sekuat tenaga untuk mengurai setiap ingatan yang melintas.
Itulah sebabnya dokter melarang Raharjo diajak bicara tentang sesuatu yang susah diingatnya.
***
Hasti terengah-engah ketika meninggalkan rumah sakit itu. Tak mengira akan bertemu Nilam. Sesungguhnya dia ingin sekali menanyakan keadaan Nilam, tapi dia enggan bertemu, enggan mengatakan mengapa dia hamil. Hidupnya yang berantakan, membuatnya tak ingin lagi berhubungan dengan orang-orang terdekatnya, bahkan adik kandungnya sendiri. Mungkin dia malu, mungkin merasa tak berharga, entahlah.
Agak jauh dari rumah sakit itu, dia kemudian berhenti di tempat pemberhentian angkutan umum. Hasti yang sekarang adalah Hasti yang papa, dan tak lagi bergelimang harta. Ia menempati sebuah rumah kontrakan kecil yang diberikan Samuel, dan menghidupi dirinya dengan sisa uang yang dimilikinya. Ia ingin mencari pekerjaan, tapi kandungannya menghambat keinginannya. Tak ada yang mau menerimanya sebagai karyawan karena dia sedang hamil. Akhirnya dia harus berhemat untuk mencukupi kebutuhannya. Hari itu dia menjual cincin, satu-satunya benda berharga yang dimilikinya. Ia tak punya ponsel setelah dihancurkan berkeping-keping oleh sahabatnya.
Ketika sebuah angkutan umum lewat, dia menghentikannya dan naik ke dalamnya. Tapi kemudian dia sadar bahwa telah salah jalan. Ia hampir sampai di batas kota. Apa boleh buat, dia minta berhenti untuk kemudian mencari angkutan yang lain.
Tiba-tiba ia merasa sangat lapar. Beberapa hari ini rasa lapar selalu ditahannya. Ia bahkan hanya makan sehari sekali demi menghemat uangnya. Ia harus membayar biaya juga saat melahirkan nanti. Tapi setelah ia menjual cincin, ia berani mengurangi sedikit uangnya untuk makan. Sebelum angkutan yang ditunggunya datang, ia melihat sebuah warung. Ia mendekat dan duduk di bangku warung itu. Rupanya warung itu adalah warung ayam panggang Nilamsari.
***
Besok lagi ya.
Matur nuwun mbak Tien-ku Bunga Untuk Ibuku tayang
ReplyDeleteSami2 pak Latief
DeleteTrmksh mb Tien
ReplyDeleteSami2 Yangtie
DeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteNuwun mas Kakek
DeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteADUHAI jeng In
Delete🎊🎉🎊🎉🎊🎉🎊🎉
ReplyDeleteAlhamdulillah...
BeUI_41 sdh hadir.
Matur nuwun nggih.
Semoga Bu Tien
sehat selalu dan
tetap smangaats.
Aamiin. Salam hangat
dan aduhai 🦋🌹
🎊🎉🎊🎉🎊🎉🎊🎉
Aamiin Ya Robbal Alamiin
DeleteMatur nuwun jeng Sari
Hamdallah
ReplyDeleteAlhamdulilah...suwun bunda Tien...
ReplyDeleteSami2 ibu Lestari
DeleteMaturnuwun sanget Bu Tien...
ReplyDelete🙏🙏
Sami2 ibu Indrastuti
DeleteTerima kasih bunda 🙏
ReplyDeleteSalam Aduhai ah 💕💕
Sami2 ibu Wiwik
DeleteSalam aduhai deh
Terima kasih, bu Tien cantiiik... sehat2, yaa💕
ReplyDeleteAamiin
DeleteSami2 jeng Mita
Terima kasih Bunda Tien Kumalasari, salam sehat dan tetap semangat
ReplyDeleteSami2 ibu Mundjiati
DeleteSalam aduhai deh
Alhamdulillah
ReplyDeleteTerimakasih bunda Tien
Semoga bunda selalu sehat
Aamiin Ya Robbal Alamiin
DeleteSamo2 ibu Salamah
ReplyDeleteAlhamdullilah
Bunga untuk ibuku 41 telah hadir
Matur nuwun bu Tien
Semoga sehat selalu bahagia bersama keluarga
Aamiin...
Aamiin Ya Robbal Alamiin
DeleteMatur nuwun pak Wedeye
Alhamdulillah, matur nuwun bunda Tien ..🙏 😘
ReplyDeleteSehat dan bahagia selalu bunda... 🤲🏽❤️
Aamiin Ya Robbal Alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Ermi
Alhamdulillah.... terimakasih Bunda
ReplyDeleteSami2 ibu Tutus
DeleteMatur nuwun
ReplyDeleteAsyik bisa komen
ReplyDeleteMbak Yaniiiiiikkk
DeleteAlhamdulillah .... maturnuwun Bu Tien ... sehat selalu
ReplyDeleteSami2 ibu Endang
DeleteAamiin atas doanya
Waah...nggak langsung sadar ya pak Raharjo? Berarti...yg kebentur bukan titik yg dulu menyebabkan amnesia. 🤭
ReplyDeleteTerima kasih, ibu Tien...salam sehat.🙏😘😀
Sami2 ibu Nana
DeleteSalam sehat juga
Alhamdulillah.semoga Bunda selalu sehat wal afiat . Maturnuwun sanget🌹🌹🌹🙏 Akhirnya Pak Bejo jadi Bejo tenan
ReplyDeleteAamiin Ya Robbal Alamiin
DeleteMatur nuwun.pak Herry
alhamdulillah
ReplyDeleteMatir nuwun ibu Nanik
Deletealhamdulillah , Terima kasih bunda semoga sehat walafiat
ReplyDeleteMatur nuwun, bu Tien. Met malming
ReplyDeleteAlhamdulillah.
ReplyDeleteBunga Untuk Ibuku 41 sudah tayang. Matur nuwun Bunda Tien, semoga Bunda tetap Semangat, selalu Sehat wal Afiat bersama Keluarga di Sala.
Aamiin
Mantab...pak Raharjo sdh mengalami kemajuan, kisah nya Bejo sdh kembali ke alam nya he..he...
Pak Raharjo akan memulai hidup baru lagi bersama anak anak kesayangan nya, dan bersama orang terdekat nya.
Selamat berakhir pekan nggeh Bunda Tien, salam sehat penuh semangat.
Salam sehat hangat dari Sala, pak Munthoni
DeleteSalam sehat hangat dari Solo pak Munthoni
DeleteAlhamdulillah.
ReplyDeleteTerimakasih bunda
Sami2 ibu Swissti
DeleteAlhamdulillah BUNGA UNTUK IBUKU~41 sudah hadir, terimakasih bu Tien, semoga sehat dan bahagia senantiasa bersama keluarga.
ReplyDeleteAamiin yra..🤲
Aamiin Ya Robbal Alamiin
DeleteMatur nuwun pak Djodhi
Benar saja, obatnya memang kepala terbentur lagi. Pak Raharjo sudah ingat Wijan, Nilam, Rangga. Tinggal melanjutkan hidup yang penuh tantangan itu.
ReplyDeleteHasti 'kesasar' masuk rumah makan NilamSari ya...
Bagaimana kalau Suri tahu wanita itu ikut ngobrak abrik rumah tangganya..
Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.
Aamiin Ya Robbal Alamiin
ReplyDeleteMatur nuwun pak Latief
Aamiin Ya Robbal Alamiin
ReplyDeleteSami2 ibu Sri
Nah ketemu warung NILAMSARI...
ReplyDeleteterurai satu persatu...
🥰🥰
Matur nuwun bunda Tien..🙏
Sehat selalu kagem bunda.
Aamiin Ya Robbal Alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Padmasari
Alhamdulillah tayang.. pa Raharjo dah bisa ingat kembali .... Lantas Hasti sepertinya ketemu Nilam... Makasih Bunda
ReplyDeleteSami2 ibu Engkas
DeleteHasti kamu bejo tenan mampir di warung Nilamsari, kamu nnt tinggal di situ biar diurus bu Suri ...👍👍👍
ReplyDeleteAlhamdulillah Matur nuwun bu Tien 🤗🥰
Tambah sehat wal'afiat ya bu Tien,, kmrn sakit ya & terus Semangat ❤️
Aamiin Ya Robbal Alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Ika
Kaya gasing ya, berpusing, penjual itu ikut prihatin ada bumil penampilan sederhana terlihat hati hati dalam menggunakan uang nya.
ReplyDeleteKelihatan ora njenak, lali cara melayuné åpå yå, ah ndak iyå, tadi Nilam kan di rumah sakit.
Kebetulan namanya sama aja mungkin.
Tapi penjual merasa bangga punya anak perempuan cantik pintar yang sudah beranjak dewasa.
Memang itu nama anaknya, walaupun temon.
Iya tadi Nilam nganter bapaknya ke rumah sakit mungkin, tapi bapaknya yang baru ditemukan kan lupa ingatan.
Mubeng ora; pembeli nggembol anak dari bojo yang ditinggal pergi Suri.
Pengertian dan keprihatinan Suri ngelihatnya, lihat blêgêr nya bumil ini.
Cantik tapi kaya bingung gitu.
Mereka kan nggak saling tahu.
Kalau tahu ya biarin aja; sana nengok ke sel tahanan.
Suri sudah ikhlas, mending usaha sendiri asal bersama Nilam, sudah adem.
ADUHAI
Terimakasih Bu Tien
Bunga untuk ibuku yang ke empat puluh satu sudah tayang.
Sehat sehat selalu doaku
Sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
🙏
Aamiin Ya Robbal Alamiin
ReplyDeleteMatur nuwun ibu Sri
Aamiin Ya Robbal Alamiin
ReplyDeleteMatur nuwun pak Nanang
Salam ngoceh eh salam crigis..
Hé hé hé.. nggih bu,
Deletekurang sajen dados dleming, kêpårå ndremimil
Terimakasih bunda Tien, salam bahagia, shat selalu dan aduhai.
ReplyDeleteDengan senang hati dan sabar menanti kelanjutannya hingga Senin yad. Matur nuwun Bu Tien, tetap sehat dan bahagia bersama keluarga, aamiin...
ReplyDeleteTrima kasih ibu Tien kita sdh dibawa terbang ke dunia lain dan dibawa kenbali ke alam nyata.
ReplyDeleteSaya tunggu episode yg selanjutnya, dengan hati sabar dan deg deg an.
Salam sejahteta, Allah memberkati ibu Tien dan keluarga.
Akhirnya Pak Raharjo sdh sadar... ikut deg2 an nasibnya. Terimakasih... Bu Tien semoga sehat lahir batin spiritual
ReplyDeleteTerimakasih Mbak Tien...
ReplyDeleteAlhamdulillah, semoga Bu Tien sehat selalu
ReplyDeleteMakasih mba Tien.
ReplyDeleteSalam hangat selalu aduhai
Mbak Tien, saya sedikit bingung bacanya, Wijan sudah tamat SMA dan akan jadi mahasiswa, Nilam juga sudah SMA, terus Hasti koq masih hamil? Mana belum besar perutnya
ReplyDeletebu tien terimakasih sudah membuat bacaan yang greget, sehat2 selalu yaa, kelewat sehari nih ga keluar bu,, semoga bu tien sehat2
ReplyDelete