BUNGA UNTUK IBUKU 22
(Tien Kumalasari)
Bibik panik sendiri. Ia ingin segera pergi, tapi terhambat karena Nilam masih sakit. Dan sekarang, terhambat lagi karena tiba-tiba Nilam pergi. Kalau dia nekat pergi, jangan-jangan dikira dia yang menculik Nilam.
Satpam itu kembali setelah beberapa puluh meter mengejar ke arah kiri dan kanan.
“Tidak kelihatan lagi, barangkali naik angkot yang kebetulan lewat, atau apa,” keluhnya sambil mengusap keringat.
Bibik membalikkan tubuhnya, bergegas ke arah rumah. Ia mengambil ponsel bututnya, dan menelpon nyonya majikan.
“Ada apa? Kalau tidak sangat penting kan aku melarang kamu mengganggu?” jawab Rusmi marah-marah dari seberang sana.
“Bu, ini sangat penting. Mbak Nilam pergi dari rumah.”
“Apa? Pergi bagaimana maksudnya?”
“Pergi. Dia bilang ingin pergi saja, saya mengejarnya tanpa hasil.”
Rusmi menutup panggilan itu.
Bibik menunggu di rumah. Ia tak mau disalahkan, sementara dia sebenarnya juga ingin pergi.
Begitu sang nyonya majikan datang, langsung memberondong bibik dengan banyak pertanyaan. Tapi tak banyak yang bisa dikatakan bibik.
“Tiba-tiba Mbak Nilam berteriak-teriak mencari mas Wijan, lalu ketika tidak ketemu, dia pergi begitu saja.”
“Bodoh.. bodoh.. bodoh!!”
“Sekarang kamu harus mencarinya sampai ketemu,” perintahnya.
“Mohon maaf Bu, saya tidak bisa. Kemana saya harus mencari sedangkan saya ini kan hanya orang setengah tua yang tidak berdaya. Menurut saya, lebih baik ibu melaporkannya pada polisi, supaya polisi mencarinya.”
Rusmi terdiam. Agak risih mendengar kata polisi. Kalau melapor, ia takut akan menjadi berkepanjangan. Nanti kalau Nilam diketemukan polisi, akan ditanya kenapa pergi, lalu dia menjawab mencari Wijan, lalu kenapa Wijan pergi, lalu akan semakin panjang deretan pertanyaan yang akhirnya akan membuatnya celaka sendiri.
“Saya justru mau pamit sama ibu.”
Rusmi terkejut.
“Pamit kemana?”
“Mau pulang ke kampung saja, Bu. Saya sudah capek.”
“Kenapa tiba-tiba ingin pergi, ketika di sini banyak masalah?”
“Mau bagaimana lagi Bu, saya kan hanya pembantu, bisa apa? Saya sudah tua Bu, ingin istirahat saja.”
“Kalau kamu pergi, lalu bagaimana aku? Nggak ada pembantu.”
“Banyak orang mencari pekerjaan Bu, saya kira tidak sulit cari pembantu. Dan saya ini juga tidak tiba-tiba ingin pergi. Saya sudah mempersiapkannya lama, bahkan saya sudah berkemas sejak beberapa hari yang lalu.”
“Ya sudah, terserah kamu saja. Tapi karena ini belum saatnya kamu menerima gaji, aku tidak bisa memberi kamu gaji,” kata Rusmi kaku.
“Tidak apa-apa Bu, saya masih punya sedikit tabungan. Biar saja bulan ini saya tidak ibu beri gaji.”
Rusmi meninggalkan bibik yang tampaknya sudah berkemas. Ia segera menelpon Baskoro. Tapi Baskoro juga tak bisa memberi solusi. Seperti Rusmi, dia tidak berani berurusan dengan polisi. Begitulah, keduanya takut pada apa yang telah diperbuatnya.
“Bu, aku akan membantu mencari, tapi jangan dulu lapor pada polisi. Nilam masih kanak-kanak, paling-paling dia juga akan pulang kembali nanti.”
Ucapan Baskoro ini agak bisa menenangkan hati Rusmi. Hati yang telah menjadi gelap, sehingga tak bisa melihat semua kebenaran, yang dilihat hanyalah kesenangan.
Hasti yang tadi sudah ditelpon ibunya tentang perginya Nilam, segera pulang setelah tak berhasil menemukannya pula.
“Aku sudah mencarinya ke sekolah, dan bertanya kepada teman-temannya. Tak ada yang tahu. Mereka tak pernah melihat Nilam sejak dia sakit seminggu yang lalu.”
“Dasar anak itu. Rupanya Wijan sudah meracuni hatinya. Dia mencari Wijan, padahal dia juga tak tahu kemana perginya Wijan.
“Aku akan mencari lagi besok, bersama mas Baskoro,” katanya tiba-tiba, dan membuat Rusmi memelototkan matanya.
“Apa? Kamu akan mencari bersama Baskoro? Hmh, sepertinya aku ini bodoh, apa? Kamu itu selalu berusaha menarik perhatian Baskoro. Tapi jangan harap kamu bisa melakukannya. Baskoro itu milikku,” kata Rusmi sengit.
“Ibu itu lupa ya, bahwa aku ini lebih menarik dari ibu. Aku lebih cantik dan lebih menggairahkan. Harusnya ibu tahu diri dong bu, ingat usia,” kata Hasti seenaknya, membuat Rusmi semakin marah.
“Apa kamu bilang? Kamu itu hanya modal wajah cantik, tapi tak punya uang. Padahal Baskoro sangat menyukai uang. Bisa apa kamu?”
“Ketika kesenangan sudah didapat, uang itu pasti dilupakan. Aku bisa membuatnya mabuk kepayang, kok Bu.”
“Diaaaam!” Rusmi berteriak. Tapi dengan melenggang santai Hasti naik ke lantai atas dan memasuki kamarnya. Dalam hati ia ingin membuktikan, bahwa ia pasti akan bisa merebut Baskoro dari sang ibu.
“Dasar anak tak tahu malu,” omel Rusmi sambil mengikuti naik ke lantai atas.
Saat itu Bibik sudah membawa tas bawaannya, lalu berpamit.
"Bu, saya mohon diri.”
Rusmi menghentikan langkahnya, menatap bibik yang benar-benar siap meninggalkan rumah itu.
“Mau pergi? Pergi sana, aku juga tidak butuh bantuan kamu,” katanya sambil melanjutkan langkahnya.
Bibik menghela napas, tak apa diperlakukan semena-mena dengan ucapan kasar, yang penting dia bisa pergi dari rumah yang sekarang penuh maksiat itu.’
***
Nilam melangkah lunglai, keluar dari halaman sekolah Wijan. Ia sudah mendengar dari gurunya, bahwa Wijan sudah mengundurkan diri dari sekolah itu pada dua hari yang lalu.
Ia melangkah tak tentu arah. Tapi ia tak ingin pulang. Hari sudah sore ketika dia melewati persawahan dengan parit kecil di tepinya. Ada batu besar yang sering dipakai dirinya dan Wijan duduk melepaskan lelah sepulang dari sekolah. Ada canda dan pertengkaran kecil yang kemudian membuat mereka terkekeh geli. Nilam memang nakal dan sering menggoda kakaknya. Kalau sudah begitu, Wijan akan memarahinya, bahkan sambil menjewer telinganya. Nilam tidak pernah marah pada kakaknya. Wijan sangat baik. Kakak terbaik di dunia, katanya pada suatu kali, membuat Wijan tersenyum senang, lalu mengelus kepala adiknya lembut.
Sekarang Nilam duduk di atas batu itu. Kakinya yang hanya beralaskan sandal, dimasukkannya ke dalam parit yang airnya bening. Ia menggoyang-goyangkan kakinya, sehingga air muncrat ke atas, dan membasahi wajahnya. Dulu Wijan selalu membalasnya ketika Nilam membuat air muncrat ke arah wajahnya. Tapi Nilam selalu saja hanya terkekeh senang.
Nilam menghentikan gerakan kakinya, lalu runtuhlah air matanya. Tak ada Wijan disampingnya. Tak ada yang menjewer kupingnya, tak ada yang mengelus kepalanya. Udara sore yang cerah, seperti tak akan menjanjikan hujan malam itu. Nilam bergeming dari tempatnya duduk. Isak yang keluar dari mulutnya, tertahan-tahan karena sesungguhnya Nilam sudah lelah menangis.
Kalau saja ada Wijan di dekatnya, pasti Wijan akan memaksanya untuk pulang. Tapi Nilam tak ingin melakukannya. Terbayang wajah menjijikkan dari laki-laki bercambang, yang berhari-hari tidur di dalam kamar ibunya, bersikap seolah dia adalah seorang ‘tuan’ di rumah itu.
Yang membuat Nilam lebih benci lagi, adalah sikap ibunya yang tidak tahu malu. Ia juga melihat kakaknya yang bersikap sangat genit kepada laki-laki bercambang itu, saat tidak ada ibunya. Mengapa semua menjadi menjijikkan?
Segumpal mega menutupi wajah matahari yang sudah letih menghangatkan alam, membuat udara menjadi suram.
Nilam kembali terisak. Tapi dia belum ingin beranjak. Ia tak tahu harus kemana. Ia ingin pergi dan tak mau kembali ke rumah yang dianggapnya mesum itu.
Sore itu Baskoro pulang ke rumahnya sendiri. Sudah berhari-hari dia berada di rumah keluarga Raharjo, dan diperlakukan seperti raja di sana. Baskoro juga senang, ketika Hasti yang sedikit takut pada ibunya, masih sering mencuri-curi senyuman menggoda yang ditujukan kepada dirinya.
Pernah pada saat makan malam, Baskoro makan bersama di keluarga itu, ada Rusmi di sampingnya, dan ada juga Hasti di depan mereka. Ketika asyik makan itu tiba-tiba Rusmi berteriak.
“Heii, apa-apaan sih kamu?”
Baskoro menahan ketawanya. Rupanya Hasti yang iseng, menjulurkan sebelah kakinya, dan bermaksud menumpangkannya di pangkuan Baskoro. Tapi Hasti tidak menduga bahwa sebelah paha Rusmi lah yang berada di pangkuannya, sehingga kaki Hasti tertumpang diatas paha Rusmi, membuatnya berteriak.
Hasti hanya nyengir, tak merasa bersalah.
“Maaf Bu, kaki Hasti letih sekali, ingin menyelonjorkannya ke depan sambil makan, tidak mengira ada kaki mas Baskoro di situ,” jawabnya tak berdosa.
Baskoro tak bisa menyembunyikan senyumnya. Ketika ia memasuki rumahnya, kejadian semalam masih berbekas di kepalanya, karenanya ia masih juga tersenyum ketika mengetuk pintu dan tak terdengar ada jawaban.
“Suriii! Suriii !!”
Baskoro mengetuk pintu semakin keras.
“Pasti tidur si kerbau itu,” gerutunya sambil mengetuk semakin keras. Tapi tetap tak ada jawaban. Baskoro merasa aneh. Biasanya, walau sedang ngorok pun, Suri selalu dengan cepat membuka pintu kalau tahu dia datang.
“Suriii!!”
“Pak Baskoro baru pulang?”
Sebuah sapa dari tetangganya membuatnya menoleh. Bu Parti tetangganya mendekat.
“Bu Suri biasanya pulang agak malam. Habis maghrib, kira-kira.
“Baru pulang habis maghrib? Biasanya? Berarti dia sering pergi sampai sore?” tanya Baskoro heran.
“Lhoh, memangnya pak Baskoro tidak tahu?”
“Tidak tahu apa ya Bu?”
“Bu Suri kan sekarang berjualan ayam panggang. Dijajakannya di sepanjang tempat. Kabarnya sangat laris. Biasanya habis maghrib baru pulang, dan dagangannya selalu habis.”
Baskoro melongo. Hampir seminggu dia tidak pulang, dan istrinya berdagang sampai dia tidak tahu?
“Bagaimana pak Baskoro sampai tidak tahu?”
“Iya Bu, soalnya saya dinas keluar kota sudah seminggu ini, jadi tidak tahu.”
“O, pantesan. Tapi saya sudah merasakan ayam panggang buatan bu Suri. Enak sekali lhoh,” kata bu Parti sambil berlalu.
Baskoro duduk di kursi teras dengan perasaan kesal. Ia ingin segera beristirahat, dan menyuruh Suri memijit tubuhnya yang terasa pegal, tapi sudah jam lima sore, dia belum juga pulang.
Ia ingin langsung ke rumah keluarga Raharjo, tapi ia butuh tukang pijat sebelum pergi ke sana. Badannya pegal-pegal, hanya Suri yang bisa menyembuhkannya.
Tapi Suri belum juga kembali, sampai tiba-tiba ponselnya berdering.
Baskoro tersenyum sumringah. Telpon dari Hasti.
“Hallo, sayangku,” sambutnya. Rasa pegal yang menggayuti tubuhnya, hilang seketika.
“Mas Baskoro di mana? Kok tidak datang ke rumah?”
“Ini di rumah, baru pulang dari kantor.”
“Ayuk kita jalan-jalan.”
“Apa ibumu tidak ada?”
Ada temannya yang ulang tahun. Dia sudah tahu kalau mas Bas tidak akan ke rumah. Karena itulah aku menelpon. Ayuk Mas.”
“Sekarang?”
“Ya sekarang Mas, masa bulan depan? Kita harus bisa mempergunakan waktu sebaik-baiknya.”
“Tapi aku belum mandi. Bau dong.”
“Tidak apa-apa. Naik taksi saja, aku menunggu di tempat biasa. Ada hotel yang nyaman, mas Baskoro bisa mandi dulu di sana.”
“Baiklah, aku akan berangkat sekarang,” jawab Baskoro bersemangat.
Ia memasukkan motornya ke gudang yang ada di samping rumah, kemudian pergi lagi setelah memanggil taksi.
***
Hari mulai remang. Ada rasa takut di hati Nilam ketika kegelapan mulai menyelimuti bumi. Tapi Nilam bingung harus pergi ke mana?
Ia kembali duduk dan menutup wajahnya dengan kedua tangan. Ia terisak tanpa tahu harus melakukan apa.
Tiba-tiba terdengar langkah-langkah kaki, yang kemudian berhenti. Bulu kuduk Nilam terasa merinding. Udara yag meremang, tak membuatnya bisa melihat jelas siapa yang datang.
“Mengapa kamu menangis?”
Nilam ketakutan. Jangan-jangan suara kuntilanak, atau hantu perempuan yang ingin memangsanya. Eh, benar nggak sih, kuntilanak atau hantu itu mahluk pemangsa manusia?
Nilam diam membeku, lalu terlonjak ketika merasa pundaknya disentuh oleh sesuatu.
“Han … hantu!” pekiknya.
“Hei, enak saja kamu meneriaki aku hantu.”
Debar di dada Nilam terasa sedikit lega. Dia bicara seperti manusia dan dia tak suka diteriaki hantu, berarti dia manusia. Nilam berdiri, membalikkan tubuhnya. Seorang wanita yang sedikit gemuk berdiri sambil menjinjing sebuah keranjang besar.
“Oh, seorang gadis kecil yang cantik, rupanya. Mengapa kamu menangis di sini?”
Suara itu terdengar begitu teduh, membuat Nilam kembali terisak.
“Ada apa?”
“Tolonglah saya.”
Wanita itu adalah Suri, yang dagangannya baru saja habis, dan sedang mencari kendaraan untuk pulang. Ia melihat seorang gadis menangis ditepi sawah, hatinya merasa trenyuh. Ia melihat pakaian yang dikenakan Nilam. Memang pakaian rumahan, tapi itu bukan pakaian orang biasa. Gadis kecil itu pastilah anak seorang kaya.
“Kamu minggat dari rumah?”
“Iya, tolong bawalah saya pergi, saya tak ingin pulang.”
***
Besok lagi ya.
Alhamdulillaah, mtrnwn mb Tien
ReplyDeleteJeng dokter, matur nuwun
DeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteMatur nuwun ibu Salamah
DeleteSuwun mb Tien
ReplyDeleteSami2 Yangtie
Delete"Selamat Hari Ibu " πΉπΉπΉ Ibuku yang wangi jiwanya tetap memenuhi sudut2kalbu ..Aduhai Indah serta sejuk sekali Puisi Bunda .Alhamdulillah Maturnuwun πΉπͺ·πΊππππ
ReplyDeleteHehee... baca di mana pak Herry?
DeleteMatur nuwun mbak Tien-ku Bunga Untuk Ibuku tayang
ReplyDeletealhamdulillah
ReplyDeletematurnuwun bund semoga selalu sehat
Aamiin
DeleteMatur nuwun ibu Nanik
Alhamdulillah BUNGA UNTUK IBUKU~22 sudah hadir, terimakasih bu Tien, semoga sehat dan bahagia senantiasa bersama keluarga.
ReplyDeleteAamiin yra..π€²
Aamiin
DeleteMatur nuwun pak Djodi
Suwun bu Tien
ReplyDeleteSami2 ibu Atiek
DeleteMaturnuwun sanget Bu Tien...
ReplyDeleteππ
Sami2 ibu Indrastuti
DeleteAlhamdulillah Bunga Unt Ibuku sudah tayang, matur nwn bu Tien, sehat selalu
ReplyDeleteAamiin
DeleteSami2 pak Bams
Selamat malam Bunda..terima kasih sudah hadir BUI dah tayang
ReplyDeleteSalam sehat ...kejora.. Aduhai .
Sami2 ibu Sriati
DeleteSalam kejora n aduhai
Alhamdulilah matur nuwun inggih, wassalam...
ReplyDeleteSami2 jeng Sis
DeleteSalam aduhai
πΈπΏπΈπΏπΈπΏπΈπΏ
ReplyDeleteAlhamdulillah BeUI_22
sampun tayang...
Matur nuwun Bu Tien.
Dalam kesibukan Ibu,
tetap menyiapkan tulisan
utk menghibur kita semua
Tetap sehat dan
smangaats nggih Bu
Salam Aduhai πΌπ¦
πΈπΏπΈπΏπΈπΏπΈπΏ
Aamiin
DeleteMatur nuwun jeng Sari
Alhamdulillah
ReplyDeleteTerima kasih ibu Tri
DeleteMatur nuwun, buTien
ReplyDeleteSami2 ibu Anik
DeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteADUHAI.. ADUHAI.. ADUHAI.
Deletealhamsulillah akhirnya episode 22 tayang juga. Wah bisa bisa Nilam diajak ke rumah Baskoro, semoga tidak ketahuan Baskoro bisa runyam. Tapi Suri orang baik, yang penting Nilam selamat
ReplyDeleteTerima kasih ibu Noordiana
DeleteAlhamdulilah BUI 22 sdh tayang... terima kasih bunda Tien K, Selamat Hari Ibu semoga bu Tien tetap menjadi ibu yang hebat dan disayang suami amancu dan para penggemarnya salam hangat dan aduhai bun
ReplyDeleteTobaaat bu Rusmi , hesti dan Baskoro menjijikkan buangeeet .. sabar ya Nilam
Aamiin
DeleteSelamat hari ibu juga ibu Sri
Alhamdulillah, matur nuwun bu Tien,,menyempatkan menulis dg keadaan capek ,,
ReplyDeleteSehat wal'afiat semua ya,, π€π
Nilam & Suri,, wah seru nih kl cerita ttg Baskoro dg ibunya,,, penasaran,
Aduhaiii πππ
Aamiin
DeleteMatur nuwun ibu Ika
Alhamdulillah
ReplyDeleteMatur nuwun bu Tien... salam kejora dan aduhai selalu
Sami2
DeleteSalam aduhai ibu Ratna
Nilam ditolong oleh Suri, jadi nanti akan ada kerja sama menguak fakta.
ReplyDeleteWijan keluar dari sekolah? Terus pindah kemana?
Biarlah si kebo pada suka ria dulu, nanti pada saatnya biar 'ngunduh wohing pakarti'.
Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.
Salam hangat untuk pak Latief
DeleteWaduh Nilam ketemu Suri diajak pulang ketemu Baskoro...waduh klo dicegemek gimana....duh...
ReplyDeleteIbu Anie terima kasih perhatiannya
DeleteNilam... kasihan kamu. Semoga bisa ketemu dengan kakak tercinta. Tapi kok ketemu Suri...jangan2 nanti juga ketemu Baskoro dan dikembalikan ke rumah.
ReplyDeleteWaduh. Piye ya jeng Ira?
DeleteTrimakasih Bu Tien .. Bunga untuk Ibuku telah ada .. trimakasih ... Salam sehat
ReplyDeleteSami2 ibu Endang, salam sehat
DeleteMatur nuwun Bu Tien, tetap sehat njih Bu...aamiin
ReplyDeleteAamiin
DeleteSami2 ibu Reni
Nah nah...akhirnya 'perang Bratayudha' meletus! Mbok kebo dan gudelnya rebutan si brewok, weleh weleh...masalah makin merebak...seru nih!ππ€
ReplyDeleteTerima kasih, bu Tien sayang. Salam sehat!πππ
Sami2 ibu Nana
DeleteTerima kadij dan aduhai
Matur nuwun jeng Tien
ReplyDeleteSelamat hari ibu teruntuk Bunda Tien. Suri beruntung ketemu Nilam bisa mendapat info tentang kelakuan Baskoro.
ReplyDeleteSelamat hari ibu, ibu Komariah.
DeleteAyok kita cari pak Rahardjo jeng Tien Gandengan tangan berdua gitu loo biar gak jatuh ,,,kan carinya dipinggir kali
ReplyDeleteJangan pake sandal jinjit
ReplyDeleteKita pake sandal japit saja
Jinjit ngarep apa mburi mbak Yanik?
DeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteSyukron nggih Mbak Tien ... semoga pada sadar dan taubat .. πΉπΉπΉπΉπΉ
Aamiin Allahumma Aamiiin
DeleteMatur nuwun ibu Susi
Alhamdulillah terima kasih Mbu Tien... makiin asyiik... sehat trs bersama keluarga....
ReplyDeleteAamin
DeleteTerima kasih pak Zimi
Hadeeww...ini ibu dan anak kq saling berebut Baskoro... ndak ada yg lain apa?
ReplyDeleteπ π dasar...π
Matur nuwun Bunda Tien..ππ
Selamat Hari Ibu...π₯°
Sami2 ibu Padmasari
DeleteSelamat hari ibu
ReplyDeleteAlhamdullilah
Bunga untuk ibuku 22 telah hadir
Matur nuwun bu Tien
Semoga sehat selalu dan bahagia bersama keluarga
Aamiin...
Aamiin
DeleteMatur nuwun pak Wedeye
Terima kasih bu Tien ... B U I ke 22 sudah tayang ... Smg bu Tien & kelrg sll sehat dan bahagia ... Salam Aduhai.
ReplyDeleteMaturnuwun bu Tien
ReplyDeleteSami2 ibu Hastri
DeleteAlhamdulillahi rabbil'alamiin
ReplyDeleteTerima kasih bu tien atas tayangan B U I 22
Semoga bu tien sehat2 n senantiasa dlm lindungan n bimbingan Allah SWT .... aamiin yra
Aamiin Allahumma Aamiin
ReplyDeleteMatur nuwun pak Atif
Aamiin
ReplyDeleteSami2ibu Enny, salam aduhai deh
Alhamdulillah, matursuwun Bu Tien semoga sehat selalu... semangat A D U H A I πͺπͺπ₯° ... Happy mother day πΉ
ReplyDeleteTerimakasih Mbak Tien...
ReplyDeleteAamiin Allahumma Aamiin
ReplyDeleteMatur nuwun.pak Munthoni
Alhamdulillah bunda Tienπ
ReplyDeleteSehat sehat selalu njih bundaku
Alhamdulillah...
ReplyDeleteMaturnuwun mbak Tien...
Salam sehat selalu...
Seruuu....
ReplyDeleteMakasih mba Tien.
Salam sehat selalu , aduhai
Haiiiyyyyaa.... Ceritane molai mbulet....
ReplyDeleteHahahaha Detektif Conan saatnya beraksi....
Salam sehat dan tetap semangat dari Rewwin... πΏ
Terima kasih mbak Tien Kumalasari
ReplyDelete