KANTUNG BERWARNA EMAS
17
(Tien Kumalsari)
Andre terlonjak berdiri, menatap ke arah sekelilingnya
sambil menyalakan senternya.
“Salahkah telingaku? Aku mendengar suara kucing?
Adakah di hutan seperti ini seekor kucing? Tapi seperti sayup terbawa angin,
suara kucing itu terdengar lagi. Andre lebih memperhatikan suara itu, diantara
derik binatang malam yang bersahutan. Ada rasa merinding di kuduknya, tapi
Andre tetap melangkah mencari. Ia melangkah sambil memperhatikan ke sekeliling.
Entah mengapa, Andre tiba-tiba tertarik dengan suara
kucing itu.
“Dari mana datangnya suara kucing? Salahkah kupingku?”
gumamnya sambil terus melangkah. Sepi di sekitar, lalu Andre melihat beberapa
kelompok orang menuruni bukit dan menyusuri jurang dari ujung yang lain. Rupanya
pencarian sudah dilakukan.
Tiba-tiba mata Andre terpaku pada sepasang sorot tajam
dari arah depan.
“Apakah itu mata kucing?” gumamnya sambil melangkah ke
depan, dan mengarahkan senternya ke arah sepasang mata itu.
“Aduh, jangan-jangan binatang buas,” tiba-tiba langkah
Andre terhenti.
Tapi suara kucing kembali terdengar, kali ini lebih
jelas.
“Berarti itu kucing.”
Andre melangkah mendekat, dan semakin dekat. Sepasang
mata tajam itu tak bergerak. Keberanian Andre muncul. Kalau itu binatang buas,
dia pasti sudah diterjangnya.
Ia terus melangkah, dan matanya terbelalak melihat
sesosok tubuh tergolek di dekat kucing itu.
Andre setengah berlari mendekat.
“Nurani? Apa kamu Nurani?”
Andre sudah sangat dekat, dan dengan heran ia melihat
seekor kucing berbulu keemasan sedang menjilat-jilat wajah dari tubuh yang tergolek
itu.
“Nuranii!!” Andre berteriak. Tubuh itu memang Nurani,
tergeletak di tepi tebing, sebelah kakinya terjuntai kebawah. Andre
mendekapnya. Tubuh Nurani dingin beku. Tak peduli apapun, Andre mendekapnya.
Lalu ia menyelimutkan jacket yang dibawanya ketubuh Nurani yang diam tak
bergerak.
“Toloooong!” Andre berteriak, berharap mendapat
bantuan. Ia terus mendekap tubuh Nurani,
agar mendapatkan kehangatan. Napas Nurani terdengar lemah. Andre menggendongnya
di pundak sambil terus berteriak.
“Toloooong !!”
Beberapa lampu senter terlihat dari arah depan. Andre
merasa lega. Mereka membawa tandu, dan Nurani dibawa turun dengan aman. Mata
Andre berkaca-kaca, oleh haru dan rasa syukur.
“Semoga Nurani selamat,” bisiknya berkali-kali.
***
Rian mondar mandir dengan sangat gelisah. Ia tak bisa
meninggalkan ayahnya, tapi pikirannya terus ke arah Nurani.
“Rian, kamu itu kenapa? Duduklah di sini, nanti juga
akan ada berita kalau terjadi apa-apa,” tegur ibunya.
“Iya Mas, pusing kepalaku melihat kamu mondar mandir
kayak setrikaan,” omel Karina.
Rian tak menjawab, ia kesal melihat sikap adik dan
ibunya yang seperti tak perhatian atas peristiwa demi peristiwa yang terjadi.
Tiba-tiba ponsel Rian berdering.
“Ya Mas?”
“Alhamdulillah Rian, Nurani di temukan,” suara Andre
dari seberang.
“Apa?” Rian melonjak senang.
“Apakah dia baik-baik saja?”
“Keadaannya tidak begitu baik. Dia tidak sadar, ini
perjalanan ke rumah sakit terdekat.
“Berarti ke sini, aku akan menunggu di depan.”
“Bagaimana bapak?”
“Dalam perawatan intensif, semoga berita ini
membuatnya senang dan pulih.”
“Ada apa? Nurani ditemukan?” teriak bu Candra.
“Syukur alhamdulillah Bu, ditemukan.”
“Apa dia masih hidup?" teriak Karina tak kalah keras.
“Dia akan baik-baik saja,” kata Rian yang kemudian
melangkah ke arah depan.
Bu Candra dan Karina saling pandang. Tampak rona cemas
membayangi wajah-wajah mereka. Karina mulai pucat pasi, Ia meremas tangan
ibunya untuk menutupi kegelisahannya.
“Ibu, bagaimana kalau Nurani masih hidup, lalu
mengatakan semuanya?”
“Diamlah, ibu juga sedang mencari cara agar bisa
mengatasi semuanya. Kamu malah membuat ibu ketakutan.”
“Aku benar-benar takut Bu, tolong Bu …”
“Kamu ceroboh, bagaimana dia masih selamat? Kamu tidak
sungguh-sungguh melakukannya.”
“Aku merasa sudah melakukannya dengan baik Bu, tebing
itu curam, dia jatuh ke bawah, dan banyak bebatuan di sana. Bagaimana bisa
selamat?”
“Iya, diamlah dulu, tanganmu membuat tangan ibu
terluka. Kamu lupa, kukumu panjang-panjang. Sakit, tahu!”
“Ya ampuun, bagaimana mereka bisa menemukannya?”
“Tenanglah Karina, jangan ribut. Berpikir … berpikir …”
“Bu, bagaimana kalau kita pulang saja?”
“Apa maksudmu?”
“Karina tidak berani bertemu mereka.”
“Kamu jangan panik, banyak cara untuk mencegah mulutnya
bicara.”
“Bagaimana caranya Bu?”
“Ibu sudah pikirkan, pasti ada jalan. Kamu tenang
saja.”
“Benarkah ada jalan.”
“Pasti ada. Lagi pula kamu belum-belum sudah panik,
belum tentu juga Nurani ditemukan masih hidup.”
“Iya juga. Belum tentu dia hidup. Mati … mati … mati …
Kamu harus mati,” ucapnya bengis.”
***
Nurani masih diam, tubuhnya sudah tidak sedingin tadi,
Rian mengikuti brankar yang membawanya sampai ke ruang IGD sambil terus
memanggil-manggil namanya.
“Nurani, kamu harus kuat ya. Kamu gadis kuat, kamu
bisa melewatinya. Ingat bapak ya Nur, kamu harus kuat,” bisiknya berkali-kali.
Andre mengusap air matanya.
Tapi kemudian perawat meminta agar mereka tidak
mengikutinya ke dalam.
Andre menggandeng tangan Rian, diajaknya duduk. Wajah
mereka kelihatan gelisah.
“Apa dia selamat?” tanya Karina.
“Ya, semoga saja dia tertolong. Banyak luka di
tubuhnya,” kata Andre.
“Semoga …” kata Karina, yang kelanjutannya hanya diucapkan
dari dalam hati.
Tiba-tiba Rian menatap Karina.
“Karin, kamu pulanglah, ambilkan pakaian untuk bapak,
juga untuk Nurani.”
“Bagaimana aku tahu pakaian Nurani?”
“Kamu kan perempuan. Tahu dong apa yang dibutuhkan
seorang perempuan.”
“Ayo pulang sama ibu, ibu juga harus menyiapkan baju
bapak. Di sini sudah ada Andre dan Rian,” kata bu Candra sambil menarik tangan
Karina, diajaknya berdiri.
Akhirya Karina menurut. Tapi hatinya tidak merasa lebih
tenang ketika mengingat wajah Nurani yang tampaknya masih hidup.
“Dia masih hidup.”
“Sssst, diam. Ayo pulang dulu,” hardik ibunya, pelan.
***
Bu Candra dan Karina memasuki rumah, dengan perasaan
yang masih gelisah.
“Bu, aku tidak tahu baju Nurani yang mana yang harus
aku bawa.”
“Ambil saja sekenanya, yang penting baju, aku akan mengambil
untuk ayahmu.”
Tapi begitu masuk ke dalam, keduanya terkejut, melihat
ruang tengah berantakan. Banyak barang terserak dilantai, beberapa diantaranya
pecah, termasuk sebuah vas bunga mahal kesayangan bu Candra.
“Ada apa ini? Mengapa berantakan begini, seperti
diterpa angin ribut?” pekik bu Candra.
Ia memungut serpihan vas kesayangannya, lalu
membantingnya lagi ke lantai.
“Ibu bagaimana sih, malah di banting lagi, lebih
hancur tuh, lihat,” kata Karina yang tak bisa melakukan apa-apa karena heran
dan terkejut.
“Rupanya rumah kita disatroni maling.”
“Ayo Ibu periksa dulu barang-barang Ibu,” kata Karina
sambil beranjak ke kamarnya. Pintu mereka terkunci rapat, tapi mereka terkejut
melihat barang-barang juga berantakan. Baju-baju di dalam almari berantakan.
“Benar-benar ada maling!” teriak bu Candra.
Dia memungut sebuah gelang yang terjatuh, dan kotak
perhiasan yang terserak. Tapi tak satupun perhiasan itu hilang.
“Bukan maling? Kalau maling pasti perhiasan ini sudah
di sikat habis,” kata bu Candra sambil memunguti barang-barang dan perhiasannya.
“Ibu … kamarku juga berantakan,” tiba-tiba Karina
datang ke kamar ibunya, melihat barang-barang ibunya berserakan, seperti juga
barang-barangnya.
“Tidak satupun perhiasan di curi. Ini bukan maling.”
“Benar, ada dompet uang terjatuh dilantai, tapi
uangnya utuh.”
“Ini benar-benar aneh. Ada orang yang datang hanya
untuk mengobrak abrik rumah kita.”
“Lalu apa yang dicarinya?”
“Entahlah, ibu juga tidak tahu.”
“Barangkali dia mencari surat-surat berharga.”
“Mungkin. Tapi bapakmu menyimpan semua surat berharga
di dalam bank.”
“Karena tidak ketemu, lalu dia mengamuk. Tapi
bagaimana dia bisa masuk ke dalam kamar yang terkunci? Pintu depan tadi juga
masih terkunci kan? Apa dia punya kunci serep yang bisa dipakai untuk membuka
semua pintu?”
“Hih, aku gemas sekali. Lihat. Kita harus bekerja
keras,” gerutu bu Candra sambil memunguti lagi baju dan barang-barang yang
berserakan.
“Bereskan kamar kamu, lalu bantu membersihkan rumah.
Hati-hati banyak pecahan kaca, jangan berjalan dengan kaki telanjang,” perintah
ibunya.
Mau tak mau Karina harus melakukannya. Di rumah itu
tak ada siapa-siapa. Orang yang biasanya diperintah sedang berada di rumah
sakit.
“Ini benar-benar hari buruk!! Padahal hari sudah
malam!” teriak Karina penuh emosi.
Dan ternyata yang berantakan bukan hanya ruang tengah
dan kamar-kamar mereka. Ruang makan dan dapur tak kalah kacaunya. Benar-benar
seperti diterjang gempa lokal.
“Ya ampuun, bisa sampai pagi kita melakukan semua ini,”
keluh Karina yang memang tak pernah melakukan apa-apa di rumah itu.
***
Andre masih duduk dengan kegelisahan yang sama.
Tentang Nurani, tentang pak Candra. Sementara berjam-jam menunggu, Karina dan
ibunya belum kembali padahal mereka memikirkan baju Nurani yang agak basah.
“Kenapa Karina dan ibu lama sekali? Nurani butuh baju
ganti,” keluh Rian.
“Jangan-jangan mereka ketiduran,” kata Andre.
“Ini keterlaluan. Biar aku telpon mereka.
“Bagaimana kalau kita beli saja baju untuk Nurani, dia
butuh baju ganti.”
“Tengah malam begini?”
“Aku akan mencari, barangkali di kios rumah sakit ada
juga menjual baju,” kata Andre sambil beranjak pergi.
Rian menghela napas. Walau sebenarnya agak sungkan
karena Andre kan orang lain, tapi dia bersyukur tidak sendirian dalam
menghadapi situasi seperti ini.
Tiba-tiba seorang perawat keluar.
“Keluarga bapak Candra?” panggilnya.
Rian seperti melompat dari tempat duduknya, menghambur
menghampiri sang perawat.
“Ada apa?”
“Bapak Candra sudah sadar, apakah Anda ingin
menemuinya?”
“Tentu saja, saya anaknya,” kata Rian yang kemudian
bergegas masuk.
Rian mendekati pak Candra, yang masih di infus dan ada
penyambung oksigen terpasang.
“Rian,” bisiknya lirih.
“Ya, Pak. Rian dan mas Andre menunggui di luar.”
“Nurani?”
“Bapak harus tenang. Nurani sudah ditemukan.”
“Dia baik-baik saja?”
“Tentu saja Pak,” kata Rian membesarkan hati pak
Candra.
Rian terharu, melihat mata ayahnya tampak berbinar.
“Mana dia?”
“Sedang dirawat.”
“Dia kenapa?” pak Candra tampak terkejut.
“Hanya kedinginan, Bapak tenang saja.”
Pak Candra megangguk, lalu memejamkan matanya.
Ketika keluar, Rian mendapati Andre membawa bungkusan.
“Dapat bajunya?”
“Hanya daster, dan perlengkapannya, entahlah, aku
menyerahkannya pada penjual, pokoknya lengkap, luar dalam. Dan ini, sudah aku
dapat. Aku juga membeli untuk bapak, sarung kaos lengan panjang pokoknya
lengkap semua. Untunglah mereka menyediakannya.
“Serahkan pada perawat, biar mereka menggantikannya.”
Andre kemudian menemui petugas ruang IGD dan menyerahkan
baju untuk Nurani, juga untuk pak Candra.
“Belum ada kabar?”
“Bapak sudah sadar.”
“Ah, syukurlah. Kamu beri tahu bapak bahwa Nurani
sudah ditemukan?”
“Sudah, bapak tampak gembira. Semoga menjadikan jalan
untuk kesembuhannya.”
“Aku senang mendengarnya.”
“Mas Andre apa tidak ingin pulang dulu? Biar aku yang
menunggu bapak dan Nurani di sini.”
“Tidak, aku temani kamu.”
“Pasti capek dong.”
“Kamu dan aku merasakan hal yang sama. Gelisah,
khawatir, ya kan? Jadi kita harus saling menguatkan,” kata Andre sambil menarik
Rian agar duduk di kursi tunggu.
Dan karena lelah, mereka pun tertidur.
***
Di rumah, Karina dan ibunya terkapar di sofa. Mereka
belum membersihkan rumah dengan sempurna, tapi karena lelah, mereka tak bisa
melanjutkannya.
Bu Candra bahkan sampai mendengkur.
Keduanya terkejut ketika mendengar ponsel berdering.
Karina melompat mengambil ponselnya. Ia berharap
sebuah berita yang akan membuatnya tenang. Tapi tidak. Ia kena semprot kakaknya.
“Karina, apa yang kamu lakukan?”
“Apa? Bagaimana Nurani?”
“Kamu tidak menjawab pertanyaan aku. Apa yang kamu
lakukan? Bukankah semalam aku meminta kamu mengambil baju untuk Nurani dan juga
bapak?”
“Oh, iya Mas, maaf. Ini kan sudah malam, ibu tidak
berani menyetir, aku demikian juga,” jawab Karina sekenanya.
“Apa maksudmu? Ini sudah pagi!”
Karina terkejut. Ia menoleh ke arah jam dinding, yang
kebetulan saat itu berdentang enam kali.
“Oh, pagi.”
“Kamu benar-benar tidak bisa diandalkan!” teriak Rian
marah, kemudian menutup ponselnya.
“Bu … Bu,” Karina membangunkan ibunya.
“Hmm, apaan sih. Capek banget aku.”
“Ini sudah pagi. Mas Rian menelpon, marah-marah.”
“Pagi?”
Bu Candra bangun, mengucek matanya.
"Aduh, pekerjaan kita belum selesai. Ayo, bagian dapur
belum selesai.”
“Lapar Bu, pesan makanan untuk sarapan pagi dulu.”
“Terserah kamu, sama minuman hangat, nggak usah
membuat apapun di rumah.”
***
Andre dan Rian merasa lega, pak Candra sudah berhasil
melewati masa kritis, dan sudah dipindahkan ke ruang inap.
Mereka juga lega, Nurani sudah tersadar, walau
wajahnya masih tampak pucat.
Karena keadaannya tidak berbahaya, maka Nurani pun
segera dipindahkan ke ruang rawat inap.
“Kenapa aku di sini, aku mau pulang,” keluhnya ketika
menyadari bahwa dirinya ada di rumah sakit.
“Kamu masih harus di rawat. Lihat, tangan dan kaki
kamu penuh luka. Pasti terkoyak karena duri dan ranting,” kata Rian.
“Sebenarnya apa yang terjadi?” tanya Andre lembut.
“Aku … aku … hanya terpeleset.”
***
Besok lagi ya.
Mtrnwn
ReplyDeleteAlhamdulillah,
DeleteMakin tambah penasaran,
Bunda Tien memang top, mengaduk aduk perasaan pembaca 🙈
Wah..jaaan juahat mekakat ya, bu Candra dan Karina. Semoga kejahatannya segera terbongkar. Jahat banget lho...itu pembunuhan berencana.
DeleteDi sisi lain, Nurani memang punya pamomong, wujudnya kucing berwarna emas.
Dalam ajaran Jawa kuno, setiap orang memang ada pamomongnya. Kakang kawah, adi ari-ari. Getih, puser, sedulur papat, lima pancer.
Air ketuban yang mendahului kelahiran, adalah kakang/kakak. Ari-ari yang lahir kemudian, adalah adik. Getih/darah selalu menyertai persalinan, dan puser, pusat yang diwakili oleh tali pusat, adalah keseluruhan pamomong si jabang bayi. 5 serangkai, 4 unsur dan 1 pancer/si jabang bayi. Oleh karenanya ke 4 pamomong tadi selalu disertakan dalam doa, sebagai wujud eling atau ingat akan asal-usul manusia.
Percaya atau tidak, nek moyang kita secara naluriah meyakini bahwa placenta dan tali placenta itu sangat "sakti" karena mencukupi kebutuhan hidup di jabang bayi selama dalam kandungan. Oleh karenanya diperlakukan dengan baik dan sakral. Ari2 dibersihkan, kemudian dibungkus kain mori, dimasukkan kendil, lalu ditanam, dijagain, diberi pelita, didoain supaya si jabang bayi sehat selamat karena selalu terjaga lahur batinnya.
Terbukti kemudian, bahwa tali placenta merupakan sumber sel punca atau stemcell yang ternyata mampu menyelamatkan nyawa karena bisa menyembuhkan penyakit degeneratif.
Jika seseorang berperilaku baik, prihatin dan taat manembah/beribadah, maka 4 pamomong itu akan aktif menjaga dan melindunginya. Dalam kisahnya Nurani, pamomongnya berwujud kucing kesayangan almh ibundanya.
Wallahualaam bisawab
Maturnuwun mbak Tien sayang. Ceritanya sangat menyentuh dan bernas.
kenapa tdk berterus terang, di dorong gitu
DeleteYayaya..........
ReplyDeleteMatur nuwun, bu Tien. Salam sehat.🙏😀
ReplyDelete
ReplyDeleteMtnuwun mb Tien 🙏🙏
Alhamdulillah...
ReplyDeleteKBE 17 sudah hadir...
Matunuwun Bu Tien, salam sehat selalu...
Alhamdulillah , Terima kasih bunda Tien
ReplyDeleteAlkhamdulillah
ReplyDeleteMatur nuwun sanget bu Tien, salam aduhaiiii 🌹🫰🏻
Matur nuwun mbak Tien-ku, Kantung Berwarna Emas sudah tayang.
ReplyDeleteAlhamdulillah .....
ReplyDeleteYg ditunggu2 sdh datang...
Matur nuwun bu Tien ...
Semoga sehat selalu....
Tetap semangat ....
Alhamdulillah, KANTUNG BERWARNA EMAS (KBE) 17 telah tayang,terima kasih bu Tien salam sehat, sejahtera dan bahagia selalu. Aamiin.
ReplyDeleteUR.T411653L
Sugeng ndalu bu Tien
ReplyDeleteAlhamdulillah, matur nuwun.. sehat dan bahagia selalu Bunda Tien . .
ReplyDelete👍👍👍
ReplyDelete🙏🙏
Alhamdulillah KBE 17 sdh hadir
ReplyDeleteTerima kasih Bu Tien, semoga Ibu sehat dan bahagia selalu.
Aamiin
Alhamdulillah
ReplyDeleteSyukron nggih Mbak Tien🌹🌹🌹🌹🌹
Alhamdulilah, matur nuwun
ReplyDeleteTerima kasih
ReplyDeleteJangan-jangan Nurani bohong..jatuh didorong Karina bilang terpeleset.. kasihan Nurani
ReplyDeletePak Candra dan Nurani akan baik baik saja. Dan Nurani menyembunyikan kejahatan Karina. Terlalu baik untuk sebuah kejahatan besar.
ReplyDeleteBegitulah, penjahat biar beraksi sepuasnya, tinggal pada akhirnya menuai hasilnya.
Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.
Suwun..
ReplyDeleteAlhamdulilah kbe 17 sdh tayang ... habislah riwayat karina dan ibunya krn bantuan kucing berbulu emas ... salam sehat bu tien
ReplyDeletePenasaran sama mpus nya....🥰
ReplyDeleteSeru aah...
ReplyDelete
ReplyDeleteAlhamdulillah KANTUNG BERWARNA EMAS~17 sudah hadir.. maturnuwun & salam sehat kagem bu Tien 🙏
Makasih bunda cerbungnya, mskin degdegan aja
ReplyDeleteYa ampun ..... segitu bencinya karina .....
ReplyDeleteTerimakasih bu Tien, semoga bu Tien sekeluarga sehat selalu .
Alhamdulillah Maturnuwun
ReplyDeleteAlhamdulillah, Nurani selamat, juga Pak Candra. Semoga kejahatan Karina dan Ibu nya segera menuai karma.
ReplyDeleteTerima kasih Mbak Tien. Semoga selalu sehat. Aamiin.
Walah nurani kenapa gak mau jujur sih klau di celakai Karina ....trims Bu tien
ReplyDeleteAduh masih nutupi kesalahan Karina tp sdh di kerjain kucing berbulu emas kucing ibu Nurani
ReplyDeletealhamdulillah... maturnuwun
ReplyDeleteMatur nuwun, bu Tien
ReplyDeleteHallow mas2 mbak2 bapak2 ibu2 kakek2 nenek2 ..
ReplyDeleteWignyo, Opa, Kakek Habi, Bambang Soebekti, Anton, Hadi, Pri , Sukarno, Giarto, Gilang, Ngatno, Hartono, Yowa, Tugiman, Dudut Bambang Waspodo, Petir Milenium (wauuw), Djuniarto, Djodhi55, Rinto P. , Yustikno, Dekmarga, Wedeye, Teguh, Dm Tauchidm, Pudji, Garet, Joko Kismantoro, Alumni83 SMPN I Purwantoro, Kang Idih, RAHF Colection, Sofyandi, Sang Yang, Haryanto Pacitan, Pipit Ponorogo, Nurhadi Sragen, Arni Solo, Yeni Klaten, Gati Temanggung, Harto Purwokerto, Eki Tegal dan Nunuk Pekalongan, Budi , Widarno Wijaya, Rewwin, Edison, Hadisyah,
Wo Joyo, Tata Suryo, Mashudi, B. Indriyanto, Nanang, Yoyok, Faried, Andrew Young, Ngatimin, Arif, Eko K, Edi Mulyadi, Rahmat, MbaheKhalel, Aam M, Ipung Kurnia, Yayak, Trex Nenjap, Sujoko, Gunarto, Latif, Samiadi, Alif, Merianto Satyanagara, Rusman, Agoes Eswe, Muhadjir Hadi, Robby, Gundt, Nanung, Roch Hidayat, Yakub Firman, Bambang Pramono, Gondo Prayitno , Zimi Zaenal M. , Alfes, Djoko Bukitinggi, Arinto Cahya Krisna , HerryPur, Djoni August. Gembong. Papa Wisnu, Djoni, Entong Hendrik, Dadung Sulaiman, Wirasaba, Boediono Hatmo, R.E. Rizal Effendy, Tonni, Koko Hermanto, Radieska51, Henrinurcahyo, Subagyo, Bam's, Mbah Wi, Tjoekherisubiyandono, Apip Mardin, Suprawoto, Beny Irwanto,
Terima kasih atas sapaannya mba Tien..
DeleteSemoga selalu sehat dan tetap berkarya.. Aamiin
Matur nuwun sapaanya bu..
DeleteSemoga selalu sehat
Dan tetap semangat berkarya
Hallow..
ReplyDeleteYustinhar. Peni, Datik Sudiyati, Noor Dwi Tjahyani, Caroline Irawati, Nenek Dirga, Ema, Winarni, Retno P.R., FX.Hartanti, Danar, Widia, Nova, Jumaani, Ummazzfatiq, Mastiurni, Yuyun, Jum, Sul, Umi, Marni, Bunda Nismah, Wia Tiya, Ting Hartinah, Wikardiyanti, Nur Aini, Nani, Ranti, Afifah, Bu In, Damayanti, Dewi, Wida, Rita, Sapti, Dinar, Fifi, Nanik. Herlina, Michele, Wiwid, Meyrha, Ariel, Yacinta, Dewiyana, Trina, Mahmudah, Lies, Rapiningsih, Liliek, Enchi, Iyeng Sri Setyawati , Yulie, Yanthi , Dini Ekanti, Ida, Putri, Bunda Rahma, Neny, Yetty Muslih, Ida, Fitri, Hartiwi DS, Komariah P., Ari Hendra, Tienbardiman, Idayati, Maria, Uti Nani, Noer Nur Hidayati, Weny Soedibyo, Novy Kamardhiani, Erlin, Widya, Puspita Teradita, Purwani Utomo, Giyarni, Yulib, Erna, Anastasia Suryaningsih, Salamah, Roos, Noordiana, Fati Ahmad, Nuril, Bunda Belajar Nulis, Tutiyani, Bulkishani, Lia, Imah P Abidin, Guru2 SMPN 45 Bandung, Yayuk, Sriati Siregar, Guru2 SMPN I Sawahlunto, Roos, Diana Evie, Rista Silalahi, Agustina, Kusumastuti, KG, Elvi Teguh, Yayuk, Surs, Rinjani, ibu2 Nogotirto, kel. Sastroharsoyo, Uti, Sis Hakim, Tita, Farida, Mumtaz Myummy, Gayatri, Sri Handay, Utami, Yanti Damay, Idazu, Imcelda, Triniel, Anie, Tri, Padma Sari, Prim, Dwi Astuti, Febriani, Dyah Tateki, kel. SMP N I Gombong, Lina Tikni, Engkas Kurniasih, Anroost, Wiwiek Suharti, Erlin Yuni Indriyati, Sri Tulasmi, Laksmie, Toko Bunga Kelapa Dua, Utie ZiDan Ara, Prim, Niquee Fauzia, Indriyatidjaelani,
Bunda Wiwien, Agustina339, Yanti, Rantining Lestari, Ismu, Susana Itsuko, Aisya Priansyah, Hestri, Julitta Happy, I'in Maimun, Isti Priyono, Moedjiati Pramono, Novita Dwi S, Werdi Kaboel, Rinta Anastya, r Hastuti, Taty Siti Latifah, Mastini M.Pd. , Jessica Esti, Lina Soemirat, Yuli, Titik, Sridalminingsih, Kharisma, Atiek, Sariyenti, Julitta Happy Tjitarasmi, Ika Widiati, Eko Mulyani, Utami, Sumarni Sigit, Tutus, Neni, Wiwik Wisnu, Suparmia, Yuni Kun, Omang Komari, Hermina, Enny, Lina-Jogya, mbah Put Ika, Eyang Rini ,Handayaningsih, ny. Alian Taptriyani, Dwi Wulansari, Arie Kusumawati, Arie Sumadiyono, Sulasminah , Wahyu Istikhomah, Ferrita Dudiana, SusiHerawati, Lily , Farida Inkiriwang, Wening, Yuka, Sri, Si Garet, ibu Wahyu Widyawati, Rini Dwi, Pudya , Indahwdhany, Butut, Oma Michelle, Linurhay, Noeng Nurmadiah, Dwi Wulansari, Winar, Hnur, Umi Iswardono , Yustina Maria Nunuk Sulastri Rahayu Hernadi , Sri Maryani, Bunda Hayu Hanin, Nunuk, Reni, Pudya, Nien, Swissti Buana, Sudarwatisri, Mundjiati Habib, Savero, Ida Yusrida, Nuraida, Nanung, Arin Javania. Ninik Arsini, Neni , Komariyah, Aisya Priansyah, Jainah Jan. Civiyo, Mahmudah, Yati Sri Budiarti, Nur Rochmah. Uchu Rideen
. Ninik Arsini, Endah. Nana Yang, Sari P Palgunadi, Echi Wardani, Nur Widyastuti, Gagida family, Trie Tjahjo Wibowo, Lestari Mardi, Susi Kamto, Rosen Rina, Mimin NP, Ermi S, Ira, Nina, Endang Amirul, Wiwik Nur Jannah, Ibu Mulyono, Betty Kosasih, Nanik, Tita, Willa Sulivan, Mimin NP, Suprilina, Endang Mashuri, Rin, Amethys, Adelina, Sari Usman, Caecilia RA, Mimiet, Sofi, Mamacuss, Manggar Ch.,
Alhamdulillah .... Trimakasih Bu Tien ... salam sehst selalu
ReplyDeleteIh gitu ya
ReplyDeleteterpeleset?!
Ya udah nyatanya kalau semua di nikmati, ya happy happy saja tuh.
Dilempit rapi gawa nang nggadhean, hèh apané,
tuh yang di obrak abrik meauwnya bu Chandra.
Kok mrono, biasané ngono.
Anyêl aku; wuah umêp, kêmêbul.
Lha gimana lagi, situasine nggak baik untuk heboh, kan masih darurat lagian tenaga juga masih lemah, di cancel dulu nanti kalau sudah siap; biar aja merasakan kebebasannya, pasti adalah pembalasan itu akan ada walau bukan dari diri, pasti ada yang mbales; jadi nggak usah emosi emosian lah nggak baek, istirahat aja yang bener bener istirahat.
Betulan: coba kalau emosional dan ketakutan nggak bakal bisa seperti ini.
Mending tutup mata, syukur pingsan, sambil membiarkan gemlundung sampai berhenti sendiri.
Itu kalau sadar malah kepanikan, ketakutan, ngehabisin tenaga ketemunya trauma.
Sok tahu, itu jurus mengglundungkan diri, jurusan ngguling guling; ya, kalau bantal; cepet merem no.
hé hé hé
Rian sama Andre punya kepanikan dengan alasannya sendiri sendiri, iya, biar punya privasi mazing².
Yang jelas Rian lebih tahu kalau biyungnya sama Karina ngegrub sendiri, sama-sama nggak respect lah dengan situasi kedaruratan seperti itu: kesannya pembiaran.
jorkan saja, syukur² game over dua duanya.
Sadis..
bèn umepé mumpluk.
ADUHAI
Terimakasih Bu Tien
Kantung berwarna emas yang ke tujuh belas sudah tayang
Sehat sehat selalu doaku
Sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
🙏
Terima kasih Mbak Tien...
ReplyDeleteMakasih mba Tien.
ReplyDeleteSalam hangat selalu.
Alhamdulillah
ReplyDeleteTerima kasih bu tien
Alhamdulillah Nurani sudah sadar, semoga Nurani setelah pulang nanti jadi berubah lebih berani bahkan terhadap Karina dia bisa membuat Karina tunduk.....terima kasih bu Tien salam sehat selalu
ReplyDeleteAlhamdulillah sudah tayang, matursuwun bu Tien
ReplyDeleteSalam sehat selalu
Alhamdulilah Nurani sdh ketemu..
ReplyDeleteKucingnya yg di rmh juga dtg
Tks bunda Tien..Nurani sdh sadar..
Semoga Karina & ibu tirinya sadar dan ga berani lg jahat sm Nurani
Alhamdullilah .trima ksih bunda..slm sht sll🙏😍🌹
ReplyDeleteAlhamdulillah, matur nuwun bu Tien
ReplyDeleteSalam sehat wal'afiat 🤗🥰
Aduhaaaai tuh meaunya sdg marah mengobrak abrik rumah ,,,seru juga Amirah n karina sdg beresin rmh,,,
Selanjutnya ,,Nuraini seperti nya tdk mau cerita kl sdh dicelakakan karina
Mulia nya,,,,,
Nurani memang orang yang baik hati..meski dicelakai Karina tetapi tidak mau mengatakan terus terang.
ReplyDeleteBerhati mulia
ReplyDelete𝐌𝐚𝐭𝐮𝐫 𝐧𝐮𝐰𝐮𝐧 𝐁𝐮 𝐓𝐢𝐞𝐧.
ReplyDelete