KANTUNG BERWARNA EMAS
16
(Tien Kumalasari)
Pak Candra mengambil ponselnya, mencoba menelpon
Nurani, tapi hanya ada nada panggil, tak ada sahutan. Pak Candra menjadi panik.
“Paling jalan-jalan sama Karina atau sama Rian,” kata bu Candra
santai. Tentu saja santai. Ia baru saja menelpon Karina, dan Karina
menjawabnya.
“Ada apa Bu?”
“Kamu tahu di mana Nurani?”
“Ibu tenang saja,
nggak ada sinyal di sini,” jawab Karina kemudian menutupnya.
“Karin, kamu melihat Nurani?” bu Candra berteriak,
menunjukkan pada suaminya, bahwa dia perhatian atas belum munculnya Nurani.
“Bisa sambung, Karina?”
“Bisa tuh Pak, tapi dia juga sedang mencari Nurani,
katanya.”
“Kenapa bisa berpisah. Mana Andre tadi? Oh ya, Rian?”
pak Candra kemudian menelpon Rian.
“Ya Pak, sedang mencari Nurani. Kemana anak itu.
Sebentar Pak. Kalau dia naik, nggak ada sinyal di sana.”
Pak Candra semakin gelisah. Semua orang mencari
Nurani. Lalu dia sendiri berjalan menuju tebing, barangkali bisa menemukan
Nurani di sana.
“Aku di sini saja, nungguin tas nya anak-anak ya Pak,”
kata bu Candra, tapi tidak didengarkan oleh pak Candra. Hatinya sedang sangat
gelisah.
“Nuraniiii! Nuraniii!!”
Teriakan bersahutan terdengar menggema, bahkan sampai
menyentuh langit. Tapi tak ada jawaban. Nurani seperti lenyap di telan bumi.
Bu Candra berbaring di rerumputan. Tak sedikitpun terbersit
rasa khawatir ketika semua orang mencemaskan Nurani. Ia malah bersyukur
seandainya Nurani tak ditemukan.
“Apa Karina melakukan sesuatu? Tapi tadi dia tidak
mengatakan apa-apa.? Apa dia takut ayahnya mendengarnya? Ah, entahlah. Yang
penting aku menunggu saja di sini. Pasti akan segera terdengar kabar yang akan
menyenangkan hati,” gumamnya sambil tersenyum. Semilir angin menyapu lembut
dedaunan, membuat kantuk menyergapnya.
***
Karina berlarian, jauh ke atas bukit, menggandeng
tangan Nurani.
“Kemana kita? Jangan jauh-jauh, nanti pada mencari
kita,” kata Nurani.
Tapi Karina terus menariknya.
“Aku sudah sering kemari. Diatas, pemandangannya
sangat bagus. Kamu bisa memotretnya, dan hasilnya jangan ditanya. Baguuus
sekali,” kata Karina sambil terus menarik tangan Nurani. Mereka berjalan jauh
dari tempat di mana ayahnya menunggu, sehingga tidak mendengar
teriakan-teriakan mereka.
“Kita sudah jauh.”
“Tidak apa-apa, nanti setelah memotret, kita langsung kembali.
Tuh, sedikit lagi kita sampai, siapkan kamera kamu, aku juga mau memotret dari
atas. Pemandangan di bawah, kalau dipotret dari atas, hasilnya seperti hidup.”
Nurani akhirnya menurut. Sebenarnya dia sangat suka.
Berkali-kali ponselnya menjepret apa saja yang menarik baginya. Mereka akhirnya
tiba di tepi tebing.
“Wuiiih, kita sudah berada ditempat tinggi.
“Iya, nah … sekarang kamu lihat kan, pemandangannya
sangat bagus. Dari sini, jurang di bawah itu bagus kalau di potret dari sini.
Ayo Nur, mulailah memotret.”
“Iya … iya, ini aku lagi memotret,” teriak Nur
kegirangan. Ia memang melihat pemandangan yang begitu bagus. Tak henti-hentinya
dia memotret.
***
Rian menoleh, ketika mendengar langkah mengikutinya.
“Rian?” teriak Andre.
“Ya Mas.”
“Belum bisa sambung sama Nurani? Aku menelpon
berkali-kali nggak bisa.”
“Kalau dia naik, mungkin nggak bisa Mas, sinyal buruk.”
“Waduh, kemana anak itu? Mengapa tidak mengajak kita
sih.”
“Tadi Karina yang mengajaknya. Katanya ada pemandangan
bagus. Nurani sedang seneng-senengnya motret,” sesal Rian.
“Nuraniiii!”
Bisa menelpon Karina?”
“Tidak bisa juga. Mereka pasti ke atas.”
“Kalau begitu kita naik saja ke atas.”
“Riaaan! Andree !!” tiba-tiba terdengar teriakan pak
Candra dari bawah. Keduanya berhenti.
“Bapak jangan naik, jalannya terjal,” teriak Rian.
“Iya, Bapak di bawah saja, biar kami yang naik ke
atas,” sambung Andre.
“Aku tidak bisa diam saja menunggu. Tadi Karina bisa
dihubungi, kenapa Nurani tidak?”
“Saya juga barusan menghubungi Karina, tapi tidak
bisa. Di atas nggak ada sinyal Pak.”
“Aku ikut kalian.”
“Bapak turun saja, menunggu di bawah.”
“Jalannya terjal Pak. Biar kami saja. Nanti begitu
ketemu kami akan segera mengabari Bapak,” bujuk Rian.
Pak Candra memang sudah sedikit naik ke atas. Baru
sedikit, dan napasnya sudah terengah-engah. Ia yakin tak akan kuat sampai ke
atas.
“Turunlah Pak,” pinta Andre.
Akhirnya pak Candra menurut. Mengatur napas sebentar,
kemudian melangkah turun.
***
Sangat kesal pak Candra ketika melihat istrinya
tertidur.
“Kok malah tidur sih Bu?” teriaknya kesal.
Bu Candra terkejut. Ia membuka matanya, dan melihat
wajah sang suami muram bagai langit tertutup mendung.
“Maaf, aku ketiduran. Udara sejuk sekali,” katanya
sambil bangkit.
“Bisa-bisanya kamu tidur, sementara semua orang sedang
mencari Nurani, dan Karina juga susah dihubungi.
“Bukankah Rian dan Andre sudah menyusul mereka?”
“Iya, tapi mereka belum ketemu. Ada-ada saja. Karina
tadi yang mengajak Nurani,” karena kesal pak Candra menyalahkan Karina.
“Nurani ingin memotret pemandangan indah. Bukan salah
Karina dong.”
Tiba-tiba terdengar Karina berteriak.
“Ibuuuu !”
“Itu Karina. Mengapa sendiri?” tanya pak Candra.
“Nurani sudah kembali?” tanya Karina sambil mendekat.
“Apa katamu? Bukankah tadi pergi sama kamu?”
“Tadi perginya bareng Karina, tapi dia kemudian pergi
kemana-mana sendiri, Karina suruh tungguin, dia nekat naik ke atas.”
“Kamu ketemu Rian?”
“Tidak. Kemana mas Rian?”
“Dia naik mencari Nurani. Bagaimana kamu bisa tidak
ketemu? Dia bersama Andre."
“Banyak jalan bersimpang di atas sana. Mungkin Karina
lewat jalan yang berbeda,” jawab Karina yang kemudian menjatuhkan tubuhnya ke
rumput.
“Hadduh, capeknya.”
Pak Candra mencoba menghubungi Andre, tidak
tersambung. Demikian juga ketika menghubungi Rian. Hal itu membuatnya semakin
gelisah.
“Harusnya, kalau tadi kamu berangkatnya berdua,
pulangnya juga harus berdua. Mengapa turun sendiri dan tidak tahu di mana dia?”
“Maaf Pak. Kami sedang memotret, tidak memperhatikan kiri-kanan.
Karina tersadar ketika kemudian tidak menemukan Nurani. Karina sudah berteriak,
tapi Nurani tidak menjawab. Karina pikir, Nurani sudah turun duluan,” kata
Karina panjang lebar.
“Aku mau naik,” kata pak Candra nekat.
“Jangan Pak. Jalannya susah lhoh. Bapak tunggu di sini
saja,” kata Karina.
“Bapak tidak bisa menunggu,” kata pak Candra yang
langsung melangkah pergi.
“Bagaimana ini Bu?”
“Biarkan saja. Kita sudah memperingatinya. Kalau dia
nekat, bukan salah kita,” kata bu Candra sambil duduk memeluk kedua lututnya.
“Aku lapar sekali.”
“Bukankah tadi sudah makan?”
“Jalan mendaki, menguras tenaga. Jadi lapar lagi.”
“Katakan tentang Nurani,” kata bu Candra pelan.
“Nanti saja. Jangan di sini. Banyak rumput dan pepohonan
punya telinga,” kata Karina sambil membongkar kotak berisi bekal yang masih
tersisa.
***
Rian dan Andre mencari dengan jalan terpisah. Hari
menjelang sore, dan belum ada tanda-tanda Nurani ditemukan.
“Nuraniiiii !!” Rian berteriak.
“Nuraniiiiiii!” Andre tak mau kalah. Keduanya tak
berhenti memanggil-manggil. Hati mereka sudah diliputi kegelisahan.
Ketika kemudian bertemu, tanpa mengucapkan apapun,
mereka bisa membaca wajah masing-masing, bahwa pencarian itu tak berhasil.
“Kemana dia?” Rian mulai menitikkan air mata. Dia
bukan lelaki cengeng, tapi kegelisahan yang mendera membuatnya tak bisa
membendung keluarnya air mata yang sejak tadi ditahannya.
“Coba hubungi Karina lagi.”
Rian memutar nomor Karina, terdengar sahutan,
terputus-putus.
“Karina! Kamu di mana?”
“Nggak jelas, suaranya terputus.”
“Karina, kamu di mana?”
“Sama … ibu.”
“Nurani juga?”
“Terputus-putus, nggak jelas suara kamu.”
“Ada Nurani di dekat kamu?”
“Tidak.”
Lalu sambungan itu terputus. Rian mencoba lagi, tapi
tidak bisa. Wajahnya langsung pias ketika sepotong kata ‘tidak’ sempat
terdengar oleh telinganya.
“Bagaimana?”
“Tampaknya Karina sudah turun. Tapi tidak bersama
Nurani.”
“Apa? Lalu di mana dia?”
Rian mencoba menelpon lagi, tapi tak berhasil.
“Yang jelas, bahwa dia sudah di bawah, tapi tidak
bersama Nurani,” keluh Rian, sedih.
“Apa yang harus kita lakukan?”
“Lapor ke team SAR. “
“Kamu saja turun, aku akan tetap mencari.”
“Hari mulai gelap. Butuh peralatan untuk melihat ke
sekeliling,” kata Rian.
“Ponselku masih hidup. Kamu turun, agar ada bantuan.
Dan jangan lupa, tenangkan bapak, aku khawatir, tadi bapak tampak pucat.
“Baiklah, kalau begitu. Mas Andre hati-hati.”
Andre mengangguk. Iapun cemas. Ia terus menelusuri jalan
setapak yang melingkar-lingkar sambil terus memanggil-manggil nama Nurani.
“Nuraniiii !”
Hanya gema yang terdengar, membuat hati Andre semakin
miris.
“Ya Allah, selamatkanlah Nurani,” doanya sambil tak
urung meleleh juga air matanya.
***
Rian terus melangkah turun dari bukit. Udara semakin
gelap. Ia terpaksa menyalakan senter di ponselnya untuk melihat jalan. Beberapa
meter lagi dia akan sampai di bawah. Tapi tiba-tiba senternya menangkap
sesuatu. Sesosok tubuh tergeletak tak bergerak. Rian mendekat setengah berlari,
tapi kakinya tersandung akar pohon, membuatnya jatuh terguling.
“Adduh, kenapa aku tidak melihat ada akar pohon
melintang. Ya Tuhan, siapa orang itu?” gumamnya sambil berusaha bangkit,
kemudian melangkah tertatih, mendekati sosok yang diam tak bergerak.
Tiba-tiba Rian berteriak begitu melihat siapa sosok
yang diam tak bergerak itu.
“Bapaak?”
Rian membalikkan tubuh ayahnya yang tengkurap.
“Bapak? Mengapa Bapak nekat?”
Pak Candra membuka matanya, tubuhnya terkulai lemas.
“Mana, Nurani?”
“Bapak sakit, jangan berpikir tentang Nurani dulu,
ayo turun, bapak harus dibawa ke rumah sakit,” katanya sambil berusaha
membangunkan ayahnya dengan susah payah.
“Nurani …” bisik ayahnya.
“Kita turun dulu. Rian akan menelpon team SAR yang
akan membantu melakukan pencarian.”
“Jadi … belum ketemu?”
“Mas Andre masih di atas. Bapak harus percaya, Nurani akan
ditemukan,” kata Rian yang setengah menyeret tubuh ayahnya.
Dari jauh dilihatnya ibunya dan Karina masih duduk di
atas rumput seperti saat tadi ditinggalkan.
“Karina! Bantu aku!” teriak Rian.
Karina menoleh dan tekejut. Ia bangkit dan berlari
mendekati kakaknya yang sedang memapah ayahnya.
“Ibu, siapkan mobilnya!” Rian berteriak kepada ibunya,
yang segera bangkit mengambil mobil. Untunglah mereka duduk-duduk tidak jauh
dari mobil mereka.
“Kenapa Bapak?”
“Kenapa kamu tidak melarangnya ketika bapak mau naik?”
tegur Rian kesal kepada adiknya.
“Kami sudah melarangnya, bapak nekat,” jawab Karina.
“Kita harus ke rumah sakit.”
“Mana mas Andre?”
“Masih mencari Nurani. Bantu menaikkan bapak ke mobil.”
Rian melarikan mobil keluar dari area wisata, menuju
rumah sakit terdekat, sambil terus menelpon team SAR dan memberikan petunjuk
seperlunya.
Di perjalanan, tak henti-hentinya pak Candra menyebut
nama Nurani, dan Rian selalu menghiburnya dengan kata-kata yang penuh harapan.
***
Saat menunggu ketika pak Candra masih ditangani,
bukannya mengkhawatirkan sakit pak Candra, Karina dan bu Candra malah khawatir
kalau Nurani ditemukan.
“Semoga mereka tidak bisa menemukannya. Kalau ketemu,
habislah aku,” gumam Karina lirih.
“Kalau mengingat apa yang kamu katakan tadi, rasanya
sulit menemukannya dalam keadaan hidup,” kata bu Candra pelan.
Mereka berbincang ketika Rian sedang berbicara serius
di ponselnya.
“Semoga saja benar. Sungguh menyakitkan bersaing
dengan si bodoh itu.”
“Kamu tidak akan mendapat saingan lagi. Percayalah
sama ibu.”
“Nanti Ibu juga harus membantu mendekatkan Karina sama
mas Andre. Karina suka sama dia, tapi Bapak sepertinya selalu mendekatkannya
sama Nurani.”
“Kalau Nurani tidak ada, bukankah kamu yang akan
menjadi penggantinya?”
“Semoga saja terjadi ya Bu.”
Rian mendekati mereka.
“Team SAR sudah bergerak mencari,” katanya.
“Ya ampuun, semoga mereka bisa menemukannya. Aku sudah
mengingatkannya agar tidak terlalu jauh dari aku, tapi dia terus saja memotret.
Apapun dipotretnya,” kata Karina sambil memperlihatkan wajah sedih.
“Harusnya kamu tidak terlalu jauh dari dia.”
“Memangnya dia itu anak kecil, yang harus aku kawal
terus setiap langkahnya? Aku kan juga ingin memotret pemandangan yang aku suka,”
bantah Karina.
“Namanya kecelakaan, ya jangan lalu menyalahkan
adikmu.,” tegur ibunya.
Rian kemudian mendekat ke arah dokter yang keluar dari
ruangan UGD.
“Bagaimana bapak saya dok?”
“Pak Candra harus dirawat intensif. Ada serangan jantung.
Kalau malam ini beliau bisa melewati masa kritis, besok dipindahkan ke ruang
rawat, dan harus dirawat sampai keadaannya benar-benar stabil.”
“Apakah itu berbahaya?”
“Jaga perasaannya, Jangan membuatnya terkejut.”
Rian pucat pasi. Ingatan akan Nurani membuatnya cemas.
Bukan hanya cemas atas Nurani, tapi juga cemas kalau ayahnya mendengar hal-hal yang
membuatnya terkejut.
***
Hari benar-benar gelap. Andre masih duduk di tepi tebing,
mengarahkan senter ponselnya yang entah akan bertahan sampai berapa lama lagi.
Tapi yang terdengar hanyalah suara jangkrik dan burung malam, yang membuat
hatinya semakin miris.
“Nurani, di mana kamu?” lirih suaranya, nyaris seperti
isak.
Tiba-tiba Andre menyadari, bahwa ada suara lain
diantara burung malam itu.
Suara kucing?
***
Besok lagi ya.
Alhamdulillah
ReplyDeleteWah mb Susi udah duluan....beda detik kyknya nih
DeleteSelamat Susi Herawati.. .
DeleteAkhirnya berhasil juga.
Karena sprinternya lagi cari tiket pulang ke Yogja..... Jadi gak,ikut balapsn
Horeee 🥰 manusang bu Tien 🌹🫰🏻
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDelete
ReplyDeleteMtnuwun mbk Tien 🙏🙏
Syukron nggih Mbak Tien 🌷🌷🌷🌷🌷
ReplyDeleteSelamat ya mba Susy Herawati.. juara 1 👍👍🌹
DeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteJuaranya 5 orang 20.58 WIB:
Delete1. Susi Herawati
2. Sofi
3. Ika Larangan
4. Uti Nani
5. Atiek
Matur nuwun bu Tien salam sehat dari mBandung
Pasti Karina yg udh dorong nurani.
DeleteNurani anak baik, insya Allah selamat
Matur nuwun mbak Tien-ku, Kantung Berwarna Emas sudah tayang.
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteMatur nuwun buuuu
Alhamdulillah, matur nuwun mbak Tidn salam sehat
ReplyDelete👍👍👍
ReplyDelete🙏🙏
Mtrnwn mb Tien
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteAlhamdulillah 🙏🙏 Terima kasih bunda Tien
ReplyDeleteAlhamdulillah .... Trimakasih bu Tien
ReplyDelete😢😢😢😢
ReplyDeleteSemoga suara kucing itu yg menuntun Andre menemukan Nurani, terima kasih Bu Tien salam sehat selalu
ReplyDelete
ReplyDeleteAlhamdulillah KANTUNG BERWARNA EMAS~16 sudah hadir.. maturnuwun & salam sehat kagem bu Tien 🙏
alhamdulillah
ReplyDeleteAlhamdulilah..
ReplyDeleteTks bunda Tien.. Nurani sdh tayang
Semoga bunda sehat" selalu..
Salam aduhaii dr sukabumi 🙏🙏🌹❤️
Ternyata Kucing berwarna Emas ikut mencari Nurani. Atau mungkin bahkan yang menyelamatkan..??
ReplyDeleteDan penjahat harus menanggung akibat perbuatannya.
Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.
Alhamdulillah Maturnuwun.makin seru
ReplyDeleteAlhamdulillah, terima kasih b. Tien.
ReplyDeleteMatur suwun bunda Tien, baru bisa gabung di blog...
ReplyDeleteAlhamdulillah...
ReplyDeleteKucing ikut membantu?. ..
ReplyDeleteTerima kasih Mbak Tien...
iya tuh...kucingnya sdh dtg..
DeleteSemoga Nurani bs segera ditemukan..
Alhamdulillah, mtr nuwun.. sehat & bahagia selalu Bunda Tien . .
ReplyDeleteAlhamdulillah, KANTUNG BERWARNA EMAS (KBE) 16 telah tayang,terima kasih bu Tien salam sehat, sejahtera dan bahagia selalu. Aamiin.
ReplyDeleteUR.T411653L
Alhamdulillah sdh tayang.... waah.. makin ruame... sehat² Mbu Tien bersama keluarga trcnta
ReplyDeleteTerima kasih bu tien... semoga nurani segera ditemukan dan pak chandra bisa melewati masa kritis ... salam sehat bu tien
ReplyDeleteAlhamdulillah sudah tayang ...
ReplyDeleteMatur nuwun Bu Tien...
Moga Bu Tien sekeluarga Sehat selalu....
Aamiin...
Matur nuwun Ibu Tien, ceritanya selalu seru dan menarik. Semoga Ibu sekeluarga selalu sehat dan bahagia, aamiin.
ReplyDeleteAlhamdulillah KBE 16 sdh hadir
ReplyDeleteTerima kasih Bu Tien, semakin seru dan bikin penasaran lanjutan ceritanya.
Semoga Ibu sehat dan bahagia selalu.
Aamiin
Hallow mas2 mbak2 bapak2 ibu2 kakek2 nenek2 ..
ReplyDeleteWignyo, Opa, Kakek Habi, Bambang Soebekti, Anton, Hadi, Pri , Sukarno, Giarto, Gilang, Ngatno, Hartono, Yowa, Tugiman, Dudut Bambang Waspodo, Petir Milenium (wauuw), Djuniarto, Djodhi55, Rinto P. , Yustikno, Dekmarga, Wedeye, Teguh, Dm Tauchidm, Pudji, Garet, Joko Kismantoro, Alumni83 SMPN I Purwantoro, Kang Idih, RAHF Colection, Sofyandi, Sang Yang, Haryanto Pacitan, Pipit Ponorogo, Nurhadi Sragen, Arni Solo, Yeni Klaten, Gati Temanggung, Harto Purwokerto, Eki Tegal dan Nunuk Pekalongan, Budi , Widarno Wijaya, Rewwin, Edison, Hadisyah,
Wo Joyo, Tata Suryo, Mashudi, B. Indriyanto, Nanang, Yoyok, Faried, Andrew Young, Ngatimin, Arif, Eko K, Edi Mulyadi, Rahmat, MbaheKhalel, Aam M, Ipung Kurnia, Yayak, Trex Nenjap, Sujoko, Gunarto, Latif, Samiadi, Alif, Merianto Satyanagara, Rusman, Agoes Eswe, Muhadjir Hadi, Robby, Gundt, Nanung, Roch Hidayat, Yakub Firman, Bambang Pramono, Gondo Prayitno , Zimi Zaenal M. , Alfes, Djoko Bukitinggi, Arinto Cahya Krisna , HerryPur, Djoni August. Gembong. Papa Wisnu, Djoni, Entong Hendrik, Dadung Sulaiman, Wirasaba, Boediono Hatmo, R.E. Rizal Effendy, Tonni, Koko Hermanto, Radieska51, Henrinurcahyo, Subagyo, Bam's, Mbah Wi, Tjoekherisubiyandono, Apip Mardin, Suprawoto, Beny Irwanto,
Hallow..
ReplyDeleteYustinhar. Peni, Datik Sudiyati, Noor Dwi Tjahyani, Caroline Irawati, Nenek Dirga, Ema, Winarni, Retno P.R., FX.Hartanti, Danar, Widia, Nova, Jumaani, Ummazzfatiq, Mastiurni, Yuyun, Jum, Sul, Umi, Marni, Bunda Nismah, Wia Tiya, Ting Hartinah, Wikardiyanti, Nur Aini, Nani, Ranti, Afifah, Bu In, Damayanti, Dewi, Wida, Rita, Sapti, Dinar, Fifi, Nanik. Herlina, Michele, Wiwid, Meyrha, Ariel, Yacinta, Dewiyana, Trina, Mahmudah, Lies, Rapiningsih, Liliek, Enchi, Iyeng Sri Setyawati , Yulie, Yanthi , Dini Ekanti, Ida, Putri, Bunda Rahma, Neny, Yetty Muslih, Ida, Fitri, Hartiwi DS, Komariah P., Ari Hendra, Tienbardiman, Idayati, Maria, Uti Nani, Noer Nur Hidayati, Weny Soedibyo, Novy Kamardhiani, Erlin, Widya, Puspita Teradita, Purwani Utomo, Giyarni, Yulib, Erna, Anastasia Suryaningsih, Salamah, Roos, Noordiana, Fati Ahmad, Nuril, Bunda Belajar Nulis, Tutiyani, Bulkishani, Lia, Imah P Abidin, Guru2 SMPN 45 Bandung, Yayuk, Sriati Siregar, Guru2 SMPN I Sawahlunto, Roos, Diana Evie, Rista Silalahi, Agustina, Kusumastuti, KG, Elvi Teguh, Yayuk, Surs, Rinjani, ibu2 Nogotirto, kel. Sastroharsoyo, Uti, Sis Hakim, Tita, Farida, Mumtaz Myummy, Gayatri, Sri Handay, Utami, Yanti Damay, Idazu, Imcelda, Triniel, Anie, Tri, Padma Sari, Prim, Dwi Astuti, Febriani, Dyah Tateki, kel. SMP N I Gombong, Lina Tikni, Engkas Kurniasih, Anroost, Wiwiek Suharti, Erlin Yuni Indriyati, Sri Tulasmi, Laksmie, Toko Bunga Kelapa Dua, Utie ZiDan Ara, Prim, Niquee Fauzia, Indriyatidjaelani,
Bunda Wiwien, Agustina339, Yanti, Rantining Lestari, Ismu, Susana Itsuko, Aisya Priansyah, Hestri, Julitta Happy, I'in Maimun, Isti Priyono, Moedjiati Pramono, Novita Dwi S, Werdi Kaboel, Rinta Anastya, r Hastuti, Taty Siti Latifah, Mastini M.Pd. , Jessica Esti, Lina Soemirat, Yuli, Titik, Sridalminingsih, Kharisma, Atiek, Sariyenti, Julitta Happy Tjitarasmi, Ika Widiati, Eko Mulyani, Utami, Sumarni Sigit, Tutus, Neni, Wiwik Wisnu, Suparmia, Yuni Kun, Omang Komari, Hermina, Enny, Lina-Jogya, mbah Put Ika, Eyang Rini ,Handayaningsih, ny. Alian Taptriyani, Dwi Wulansari, Arie Kusumawati, Arie Sumadiyono, Sulasminah , Wahyu Istikhomah, Ferrita Dudiana, SusiHerawati, Lily , Farida Inkiriwang, Wening, Yuka, Sri, Si Garet, ibu Wahyu Widyawati, Rini Dwi, Pudya , Indahwdhany, Butut, Oma Michelle, Linurhay, Noeng Nurmadiah, Dwi Wulansari, Winar, Hnur, Umi Iswardono , Yustina Maria Nunuk Sulastri Rahayu Hernadi , Sri Maryani, Bunda Hayu Hanin, Nunuk, Reni, Pudya, Nien, Swissti Buana, Sudarwatisri, Mundjiati Habib, Savero, Ida Yusrida, Nuraida, Nanung, Arin Javania. Ninik Arsini, Neni , Komariyah, Aisya Priansyah, Jainah Jan. Civiyo, Mahmudah, Yati Sri Budiarti, Nur Rochmah. Uchu Rideen
. Ninik Arsini, Endah. Nana Yang, Sari P Palgunadi, Echi Wardani, Nur Widyastuti, Gagida family, Trie Tjahjo Wibowo, Lestari Mardi, Susi Kamto, Rosen Rina, Mimin NP, Ermi S, Ira, Nina, Endang Amirul, Wiwik Nur Jannah, Ibu Mulyono, Betty Kosasih, Nanik, Tita, Willa Sulivan, Mimin NP, Suprilina, Endang Mashuri, Rin, Amethys, Adelina, Sari Usman, Caecilia RA, Mimiet, Sofi, Mamacuss, Manggar Ch.,
Terima kasih bu Tien
ReplyDeleteAlhamdulillah, matursuwun Bu Tien . ... salam sehat & bahagia selalu
ReplyDeleteYa Alloh selamatkan lah nurani lindungi dia ....trims Bu tien
ReplyDeleteMatur nuwun bu Tien, baru baca episode 16 karena tidur awal..tidak ikut lomba nih...juara akhir. Semoga Nurani segera ditemukan dengan bantuan suara kucing..sepertinya kucing almh bu Candra ibuny Nurani selalu muncul di saat Nurani dalam bahaya.
ReplyDeleteGila Karina rasa sengitnya melangit berjilit jilit kaya nggak ada cowok laen selaen Andre, cakepnya Andre kaya apa seeh, tuh si meauwnya sudah kasih tanda dimana Nurani berada, masalah nggak juga tuntas kalau Nurani nggak berani bilang kalau yang mendorong dari bukit berbunga itu Karina; yang berbunga-bunga mau menyingkirkan Nurani dari persaingan mendapatkan Andre dan sekaligus kekayaan Chandra karena Nurani ahli waris utama, soal perusahaan kan biar Andre orang yang dipercaya Chandra mengelolanya, Karina pikir itu jalan singkat untuk capaian angannya, kadang gemulai rayu Amirah bikin Chandra terlena bahkan terlepas begitu saja, mengawasi keamanan membimbing Nurani, itupun baru disadari akhir akhir ini.
ReplyDeleteDari adanya masalah itu diceritakan ke Andre justru Andre punya empati lebih pada Nurani, daripada Karina, Andre pun tahu jatuhnya dari atas bukit itu didorong Karina dari igauan Nurani, setengah sadar mengungkapkan ketakutannya.
Persaingan tidak sehat, jadi sakit ya..
Kadang sudah tau diri tidak mampu, mulai bikin issue bisik bisik tetangga, kalau perlu suara kethus meneror menakut nakuti; tampang sangar, gertak biar terlihat gahar ujung ujungnya membesar besarkan masalah.
Perlu regulasi dipersingkat tuh, mana bisa, biasanya juga koar koar cari pasar, kaya iklan, heboh duluan baru..
Nguomong uowapa kaya lambe turah
ADUHAI
Terimakasih Bu Tien
Kantung berwarna emas yang ke enam belas sudah tayang
Sehat sehat selalu doaku
Sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
🙏
Makasih mba Tien.
ReplyDeleteSelamatkan Nurani
Alhamdulillah, matur nuwun bu Tien
ReplyDeleteSalam sehat wal'afiat 🤗🥰
Ada meaunya Nuraini ,,,tambah rame nih ,,apakah Nuraini didorong dari tebing oleh karina,,,
Terima kasih bunda Tien..slm seroja dri sukabumi..🙏😍🌹
ReplyDelete