Monday, December 19, 2022

KANTUNG BERWARNA EMAS 12

 

KANTUNG BERWARNA EMAS  12

(Tien Kumalasari)

 

Nurani tersenyum lucu. Mungkin ia tidak begitu mengerti apa maksud perkataan ayahnya, dan ia merasa mengatakan yang sebenarnya.

“Nurani, semua kakak akan baik kepada adiknya,” kata pak Candra.

“Tuh, Bapak tahu.”

“Maksud bapak, kebaikan yang lain.”

“Kebaikan ada berapa macam sih Pak?” tanya Nurani yang merasa nyaman berbincang dengan ayahnya. Begitu santai, tidak seperti dikejar waktu, sementara tak ada yang lain kecuali hanya ada dia dan ayahnya.

“Kebaikan itu ya perilaku baik, begitu saja. Tapi ada lho kebaikan yang lebih.”

“Maksudnya kebaikan yang sangat baik?”

“Kebaikan yang mengandung maksud … “

Pak Candra merasa bingung untuk mengatakan apa sebenarnya maksudnya, sementara Nurani menjawabnya kemana-mana.

“Kalau kebaikan mengandung maksud, bukankah berarti kebaikan yang tidak tulus? Baik karena ada maksudnya. Ya kan Pak?”

“Maksud bapak begini … “

Pak Candra diam sejenak, mencari kata yang tepat agar dimengerti oleh Nurani. Aduh, mengapa tiba-tiba Nurani kelihatan bodoh? Atau saking pinternya?

“Andre adalah baik.”

“Ya, Nurani sudah tahu dan sudah mengenalnya.”

“Tapi maksud bapak adalah baik dalam arti sikap dia sebagai laki-laki.”

“Adakah baik bagi laki-laki dan perempuan?”
Pak Candra menghela napas, dan kemudian dia bermaksud mengatakan apa sebenarnya maksud dari kata-katanya.

“Nurani. Kamu itu sudah besar. Dalam pendidikan sih … kamu masih sangat muda. Masih SMA, itu juga baru awal, kamu belum bisa melewatinya karena waktu. Tapi, sebagai seorang gadis, kamu itu sudah dewasa.”

“Bapak mau menikahkan Nurani?” kata Nurani tiba-tiba dengan polosnya.

“Nah, lebih kurangnya begitu,” kata pak Candra yang hampir menemukan kata yang tepat.

“Jangan Pak, Nurani belum ingin menikah.”

“Tidak sekarang. Tapi lama-lama kamu juga akan menikah kan?”

“Benar, belum sekarang.”

“Tahukah kamu, bahwa menikah itu tidaklah semudah membalikkan telapak tangan?”

“Ya, tentu saja.”

“Apa yang harus dipikirkan saat menikah?”

“Itu Nurani belum ingin memikirkannya. Nurani masih ingin sekolah.”

“Benar. Tapi kan kamu harus tahu, besok-besok, kalau memiliki seorang suami, harus suami yang baik, yang bisa melindungi kamu, menyayangi kamu.

“Bapak ada-ada saja, kan Nurani belum memikirkannya. Besok kalau sudah waktunya, Nurani ingin, Bapak lah yang memilihkannya untuk Nur.”

“Nah, kalau begitu, bapak akan memilihkannya sekarang buat Nur.”

“Bapak? Kenapa tergesa-gesa?”

“Bapak sudah tua, kalau sewaktu-waktu bapak tidak ada, bapak harus yakin bahwa ada yang melindungi kamu dan menyayangi kamu.”

Tiba-tiba Nurani menubruk ayahnya, dan merangkulnya erat.

“Bapak jangan begitu, Bapak akan tetap ada untuk Nur. Bapak harus selalu ada di dekat Nurani,” katanya, sambil diselingi isak.

“Mengapa kamu ini Nur?” kata pak Candra sambil mengelus kepala Nur.

“Bapak bicara yang enggak-enggak sih.”

"Kamu harus tahu, bahwa sewaktu-waktu bapak bisa saja meninggalkan kamu.”

“Tidak, tidak …. “ Nurani mempererat pelukannya.

“Nur, heiii … berdirilah. Bapak ingin bicara enak.”

“Tapi Bapak bicara yang nggak enak.”

“Baiklah. Duduklah dulu. Bapak itu hanya ingin, kamu kelak akan mendapatkan suami yang baik, yang bisa melindungi kamu, membahagiakan kamu. Hanya itu kok.”

“Ya, Bapak, Nur sudah tahu.”

“Andre laki-laki yang cocok buat kamu,” tak tahan berputar-putar, akhirnya pak Candra langsung mengatakan pokok keinginannya.

Nurani terkejut.

“Andre suka sama kamu, dan bapak juga suka sama Andre.”

“Tapi Nurani suka sama mas Rian.”

“Lhoh, kok ngomong itu lagi? Rian kan kakak kamu, itu berbeda.”

“Tapi Nurani ingin, kelak punya suami seperti mas Rian.”

Pak Candra menggaruk-garuk kepalanya.

Tiba-tiba angin berembus sangat dingin, karena malam semakin larut.

“Tak terasa kita sudah berbincang cukup lama. Pasti kamu lelah. Sekarang tidurlah.”

“Mengapa udara tiba-tiba terasa dingin ya?”

“Malam sudah larut,” kata pak Candra sambil berdiri.

Nurani mengikutinya, tapi tiba-tiba terdengar suara aneh. Seperti suara kucing.

“Kucing?” langkah Nurani terhenti.

“Ada apa?”

“Nurani mendengar suara kucing.”

“Di mana? Kok bapak tidak mendengarnya?”

“Seperti dari atas sana, eh tidak … jauh.”

Pak Candra merangkul putrinya, diajaknya masuk.

“Dulu ibumu almarhumah memelihara seekor kucing.”

“Oh ya?”

“Lucu kucingnya, warnanya keemasan, dia sangat menyayangi ibu kamu. Ketika ibumu meninggal. Dia menangis sedih.”

“Menangis?”

“Air mata keluar dari kedua matanya.”

“Dimana kucing itu?”

“Dia menghilang begitu saja.”

“Nurani lupa-lupa ingat tentang kucing itu. Tapi kalau melihatnya sebentar saja, pasti Nurani ingat.”

“Ya sudah, dia sudah pergi entah kemana. Sekarang tidurlah, malam sudah larut.”

***

Saat membaringkan tubuhnya itu Nurani tiba-tiba mengingat kucing kecil milik ibunya, yang dulunya dia tak pernah memperhatikannya. Ia ingat kucing itu selalu tidur setiap menyentuh kaki ibunya, membuatnya terkadang iri, saat ibunya mengelus kepala kucing itu.

Mengapa tadi tiba-tiba dia mendengar suara kucing? Hanya perasaannya saja? Kenapa ayahnya tidak mendengarnya?

“Dasar aku suka ngelantur. Mungkin bukan suara kucing. Atau kucing tetangga di sebelah. Tapi rasanya tak ada tetangga memiliki kucing sih,” gumamnya sambil memeluk guling dan memejamkan matanya.

Tiba-tiba dia teringat kata-kata ayahnya tentang Andre, lalu dadanya berdebar kencang. Mengapa berdebar?

“Benci sekali melihat matanya yang melihatku dengan aneh. Hiih, kok tiba-tiba teringat dia sih? Bapak ada-ada saja. Mas Andre suka sama aku? Suka seperti apa? Sepertinya bapak ingin agar aku sama mas Andre …. Ah tidak, aku benci cara dia menatap aku. Mengapa bapak seperti ingin aku dekat sama dia? Tadi aku sebenarnya tahu apa maksud bapak, hanya saja aku pura-pura tidak mengerti. Aku mana mungkin bisa menyukai dia? Bukankah aku suka sama mas Rian? Hanya mas Rian laki-laki baik di dunia ini.

Lalu terbayang semua kebaikan Rian. Bagaimana dia menjaganya, melindunginya. Bukankah itu yang diinginkan ayahnya? Tidak cukupkah Rian bagi ayahnya?

“Tidak mau mas Andre, aku hanya mau mas Rian,” bisiknya sambil menyembunyikan wajahnya di balik bantal.

Tapi belum sampai lelap menyergapnya, ia merasa haus. Ia bangkit, dan keluar dari kamar. Sebelum dia melangkah ke belakang, dilihatnya ibunya masuk ke kamar, kemudian menutupnya lagi.

“Rupanya ibu juga merasa haus,” gumamnya kemudian kembali masuk ke kamarnya setelah meneguk segelas air.

***

Pagi hari itu, walau tidur larut malam, Nurani tetap terbangun pada jam yang sama. Melakukan ibadah, bersih-bersih rumah dan memasak untuk sarapan. Ia juga memasak untuk makan siangnya nanti, karena ia sudah selesai ujian, dan bisa kembali melakukan tugas-tugas di rumah saperti biasanya.

Pak Candra berdiri dari meja dapur, di mana akhir-akhir ini dia selalu menghirup susu coklatnya di sana sambil menunggui Nurani membuat sarapan.

“Bapak mau mandi dulu. Kok belum ada yang bangun ya?” gumamnya sambil masuk ke dalam kamarnya.

Pak Candra heran, ketika melihat sang istri masih pulas tertidur, dan mendengkur lebih keras.

Perlahan dia menggoyang tangan istrinya.

“Bu … bu, sudah siang, kok masih ngorok sih?”

Bu Candra membuka sedikit matanya, lalu mengatupkannya kembali.

“Hei, bangun … “

“Tolong … masih ngantuk …” lalu berkali-kali dibangunkan, bu Candra tetap saja mendengkur.

Pak Candra beranjak ke kamar mandi. Ia pikir istrinya tidur sampai larut sehingga tak bisa bangun pagi. Padahal semalam waktu dirinya masuk kamar, sang istri sudah terlelap.

Ketika pak Candra selesai berpakaian, ia melihat Rian dan Nurani sudah duduk menunggu di ruang makan. Karina tak kelihatan.

“Mana adikmu?” tanya pak Candra kepada Rian.

“Masih sama ibu barangkali.”

“Ibumu masih tidur.”

“Masih tidur?”

“Biarkan saja, barangkali semalam nggak bisa tidur. Panggil Karina, nanti aku terlambat. Ada meeting pagi ini.”

Rian berdiri, dan memasuki kamar adiknya. Matanya terbelalak melihat Karina masih meringkuk di bawah selimut.

“Karina !!” panggilnya keras sambil menarik selimut.

Karina membuka matanya.

“Jam berapa?”

“Jam tujuh. Bapak sudah mau berangkat,” hardiknya kesal.

Karina melompat bangun langsung lari ke kamar mandi. Agak heran karena bukan ibunya yang membangunkan.

“Saya belum sarapan,” keluhnya begitu keluar dari kamar dan melihat ayahnya sudah menenteng tas kerjanya. Ia tak melihat ibunya. Rian dan Nurani sudah berangkat ke sekolah mereka.

“Sarapan di kantin. Bapak ada meeting pagi,” kata pak Candra sambil terus melangkah.

Karina buru-buru memakai sepatunya, lalu dengan terpincang-pincang mengejar ayahnya yang sudah memasuki mobil. Ia lupa menanyakan di mana ibunya karena terburu-buru.

Baru setelah dalam perjalanan, Karina teringat ibunya.

“Apakah ibu pergi pagi-pagi? Biasanya ibu yang membangunkan Karina.”

“Ibumu masih tidur.”

“Apa? Masih tidur?” tanya Karina terkejut.

“Sudah bapak bangunkan, hanya menggeliat, lalu tidur lagi.”

“Kok aneh.”

“Memang aneh. Tapi biarkan saja. Toh ibumu tidak punya tugas apa-apa di rumah. Semua sudah dikerjakan Nurani,” kesal pak Candra.

Tapi Karina berpikir lain. Tak biasanya ibunya tak membangunkan dia.

“Mengapa ya, ibu masih tidur? Sakit kah?” gumam Karina lagi.

“Bapak tadi memegang tangannya. Biasa saja. Tidak ada tanda-tanda sakit. Dia hanya mengantuk, dan ingin tidur."

“Ya Tuhan,” keluh Karina yang tiba-tiba ingat menyebut Tuhan.

“Ada apa? Biarkan saja tidur sepuasnya. Kalau nanti bangun, makanan sudah siap, rumah sudah bersih. Kenapa kamu tampak risau?” tanya pak Candra.

“Bukan begitu, tak biasanya ibu pulas sampai siang.”

“Biarkan saja ini menjadi kebiasaan. Paling-paling setelah bangun, makan, lalu pergi bersama teman-temannya,” omel pak Candra.

Karina terdiam. Pikirannya melayang kearah keinginan ibunya untuk mencoba obat seperti yang telah diminumkannya pada Nurani. Tapi kalau Nurani saja tidak mempan, bagaimana ibunya bisa seperti teler begitu? Sayang sekali tadi dia tak sempat menemui ibunya. Habis ayahnya seperti sangat tergesa-gesa. Kalau dia harus menemui ibunya juga, sudah pasti dirinya bakal kena semprot.

Rasa khawatir itu terus menghantuinya, makanya begitu sampai di ruangannya, dia langsung menelpon. Tapi sama sekali tak ada jawaban. Ada nada panggil, ada tanda bahwa ponselnya aktif, tapi tak sedikitpun ibunya mengangkatnya.

“Celaka.  Jangan-jangan benar, karena pengaruh obat itu. Kok bisa ya, padahal Nurani saja tidak mempan. Aduh, ibu sih, pakai ingin nyoba-nyoba segala,” gumamnya khawatir.

Lalu Karina menelpon temannya.”

“Apa lagi? Jangan bilang obat yang kemarin juga tidak mempan setelah diminum saudara tiri kamu.”

“Bukan, ibuku tampaknya mencoba meminumnya. Sampai sekarang dia belum bangun juga.”

Tanpa disangka temannya justru tertawa.

“Kok tertawa sih?”

“Bagi yang belum pernah, itu akan membuatnya tidur selama dua hari.”

“Apa katamu? Saudara tiriku meminumnya dua hari berturut-turut dan tidak ada reaksi apa-apa. Bagaimana kamu bisa mengatakan bahwa ibuku bisa jadi akan tidur selama dua hari?”

“Bisa lebih, dan dia akan terus seperti orang kelelahan, selalu ingin tidur.”

“Kamu gila.”

“Kamu yang gila. Siapa suruh membeli obat itu?”

“Tapi Nurani minum sampai dua kali dan tidak ada reaksi apa-apa.”

“Hanya satu yang terjadi, yaitu bahwa dia tidak meminumnya.”

“Tidak, ibuku sudah bertanya, dia meminumnya kok. Dua kali obatnya diminumnya.”

“Obat apa? Siapa sakit?”

Karina terlonjak kaget ketika tiba-tiba ayahnya sudah ada di depannya.

“Oh, Bapak kok ada di sini.”

“Pimpinan kamu ke ruangan aku memberikan laporan, dan bilang bahwa begitu datang kamu sudah telpon-telponan.”

“Iya Pak, maaf. Karina hanya … hanya khawatir karena ibu,” katanya sambil  menutup pembicaraannya dengan temannya.

“Kenapa khawatir? Orang tidur kok dikhawatirkan? Kamu tadi bilang obat .. obat apa?”

“Saya … itu Pak, bilang  sama ibu, kalau sakit harus minum obat.”

“Kan bapak sudah bilang bahwa ibumu hanya mengantuk?”

“Iya sih.”

“Letakkan ponsel kamu dan mulailah bekerja,” katanya sambil melangkah keluar dari ruangan. Karina terpaksa mematuhi  perintah sang ayah, sekaligus pimpinan tertinggi di perusahaan itu.

***

Begitu sampai di ruangannya, ponsel pak Candra berdering.  Dari Rian.

“Ada apa Rian? Bapak mau meeting ini.”

“Maaf pak, hanya mau bilang, nanti Rian tidak bisa menjemput Nurani, karena ada kelas sampai sore.”

“Oh ya, baiklah. Biar nanti bapak yang mengurusnya. Jam berapa dia pulang?”

“Katanya sekitar jam sebelas, ada rapat guru.”

“Baiklah. Jangan khawatir.”

“Terima kasih Pak.”

Pak Candra meletakkan ponselnya.

“Bapak sudah ditunggu di ruang meeting,” kata Andre.

“Baiklah. Oh ya Ndre, aku bisa minta tolong sama kamu?”

“Ya Pak.”

“Jam sebelas nanti, tolong kamu jemput Nurani ya.”

***

Beaok lagi ya.

39 comments:

  1. Replies
    1. Walah sprinterku kepontal karo jeng Noordiana HP

      Sugeng dalu bu Tien, wilujeng dahar bakmi godhog bu Citro.

      Delete
    2. Terima kasih,Ibu Tien cantiiik.... Sangat menghibur. Semoga Ibu sehat terus ....

      Delete
  2. Matur nuwun mbak Tien-ku Kantung Berwarna Emas sudah tayang

    ReplyDelete
  3. Alhamdulillah, KANTUNG BERWARNA EMAS (KBE) 12 telah tayang,terima kasih bu Tien salam sehat, sejahtera dan bahagia selalu. Aamiin.
    UR.T411653L

    ReplyDelete
  4. Alhamdulillah sudah tayang...

    Matur nuwun Bu Tien...

    ReplyDelete
  5. Alhamdulilah
    Terimakasih cerbungnya bunda Tien
    Semoga bunda Tien sekeluarga selalu sehat wal'afiat aamiin

    ReplyDelete
  6. πŸŒΉπŸ¦‹πŸƒ Alhamdulillah KBE 12 telah hadir. Matur nuwun Bunda Tien, semoga sehat selalu dan tetap smangaaats...Salam AduhaiπŸ™πŸ¦‹⚘

    ReplyDelete
  7. Alhamdulillah, matur nuwun, sehat dan bahagia selalu Bunda Tien

    ReplyDelete
  8. Maturnuwun, mbak Tien semoga mbak Tien sehat dan selalu dlm lindungan Allah SWT, Aamiin..

    ReplyDelete

  9. Alhamdulillah KANTUNG BERWARNA EMAS~12 sudah hadir.. maturnuwun & salam sehat kagem bu Tien πŸ™

    ReplyDelete
  10. Alhamdulillah KANTUNG BERWARNA EMAS~12 sudah hadir.. matursuwun & salam sehat selalu bu Tien

    ReplyDelete
  11. Alhamdulilah..
    Tks bunda Tien..
    Asiiiik.. Nurani sdh tayang
    Salam sehat selalu utk bunda πŸ™πŸ™πŸ₯°πŸ₯°πŸŒΉπŸŒΉ

    ReplyDelete
  12. Alhamdulillah .....
    Yg ditunggu2 sdh datang...
    Matur nuwun bu Tien ...
    Semoga sehat selalu....
    Tetap semangat ....

    ReplyDelete
  13. Alhamdulilah, terima kasih bu tien... kbe sdh tayang . Makin seru ... gak apa apa riyan juga baik, rajin dan bertanggung jawab tidak spt ibu dan adiknya .... salam sehat bu tien

    ReplyDelete
  14. Lha da lahh... silahkan tidur dua hari dua malam, nanti biar diperiksa dokter dan ketahuan penyebabnya.
    Kok Nurani tidak tertarik pada Andre ya, dia baik loh.
    Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.

    ReplyDelete
  15. Matur nuwun bunda Tien..πŸ™
    Sehat selalu...Aamiin 🀲🀲
    ..

    ReplyDelete
  16. Alhsmdulillah dah tayang makasih bunda

    ReplyDelete
  17. Terimakasih Bunda Tien KBE 12 dah tayang...semakin seruuu....
    senjata makan tuan
    sehat2 selalu ya Bun....salam aduhayyy

    ReplyDelete
  18. Alhamdulillah KBE 12 sudah hadir
    Terima kasih Bu Tien, semoga Ibu sehat selalu.
    Aamiin

    ReplyDelete
  19. Alhamdulillah
    Syukron nggih Mbak Tien 🌹🌹🌹🌹🌹

    ReplyDelete
  20. Weee....senjata dimakan sendiri...kwkwkwk...dasar Bu Candra ....
    Bagaimana kelanjutannya ?
    Kita tunggu episode berikutnya......

    Matur suwun bunda Tien, salam Tahes Ulales bunda dari tak lupa selalu Aduhaiiii

    ReplyDelete
  21. Hallow..
    Yustinhar. Peni, Datik Sudiyati, Noor Dwi Tjahyani, Caroline Irawati, Nenek Dirga, Ema, Winarni, Retno P.R., FX.Hartanti, Danar, Widia, Nova, Jumaani, Ummazzfatiq, Mastiurni, Yuyun, Jum, Sul, Umi, Marni, Bunda Nismah, Wia Tiya, Ting Hartinah, Wikardiyanti, Nur Aini, Nani, Ranti, Afifah, Bu In, Damayanti, Dewi, Wida, Rita, Sapti, Dinar, Fifi, Nanik. Herlina, Michele, Wiwid, Meyrha, Ariel, Yacinta, Dewiyana, Trina, Mahmudah, Lies, Rapiningsih, Liliek, Enchi, Iyeng Sri Setyawati , Yulie, Yanthi , Dini Ekanti, Ida, Putri, Bunda Rahma, Neny, Yetty Muslih, Ida, Fitri, Hartiwi DS, Komariah P., Ari Hendra, Tienbardiman, Idayati, Maria, Uti Nani, Noer Nur Hidayati, Weny Soedibyo, Novy Kamardhiani, Erlin, Widya, Puspita Teradita, Purwani Utomo, Giyarni, Yulib, Erna, Anastasia Suryaningsih, Salamah, Roos, Noordiana, Fati Ahmad, Nuril, Bunda Belajar Nulis, Tutiyani, Bulkishani, Lia, Imah P Abidin, Guru2 SMPN 45 Bandung, Yayuk, Sriati Siregar, Guru2 SMPN I Sawahlunto, Roos, Diana Evie, Rista Silalahi, Agustina, Kusumastuti, KG, Elvi Teguh, Yayuk, Surs, Rinjani, ibu2 Nogotirto, kel. Sastroharsoyo, Uti, Sis Hakim, Tita, Farida, Mumtaz Myummy, Gayatri, Sri Handay, Utami, Yanti Damay, Idazu, Imcelda, Triniel, Anie, Tri, Padma Sari, Prim, Dwi Astuti, Febriani, Dyah Tateki, kel. SMP N I Gombong, Lina Tikni, Engkas Kurniasih, Anroost, Wiwiek Suharti, Erlin Yuni Indriyati, Sri Tulasmi, Laksmie, Toko Bunga Kelapa Dua, Utie ZiDan Ara, Prim, Niquee Fauzia, Indriyatidjaelani,
    Bunda Wiwien, Agustina339, Yanti, Rantining Lestari, Ismu, Susana Itsuko, Aisya Priansyah, Hestri, Julitta Happy, I'in Maimun, Isti Priyono, Moedjiati Pramono, Novita Dwi S, Werdi Kaboel, Rinta Anastya, r Hastuti, Taty Siti Latifah, Mastini M.Pd. , Jessica Esti, Lina Soemirat, Yuli, Titik, Sridalminingsih, Kharisma, Atiek, Sariyenti, Julitta Happy Tjitarasmi, Ika Widiati, Eko Mulyani, Utami, Sumarni Sigit, Tutus, Neni, Wiwik Wisnu, Suparmia, Yuni Kun, Omang Komari, Hermina, Enny, Lina-Jogya, mbah Put Ika, Eyang Rini ,Handayaningsih, ny. Alian Taptriyani, Dwi Wulansari, Arie Kusumawati, Arie Sumadiyono, Sulasminah , Wahyu Istikhomah, Ferrita Dudiana, SusiHerawati, Lily , Farida Inkiriwang, Wening, Yuka, Sri, Si Garet, ibu Wahyu Widyawati, Rini Dwi, Pudya , Indahwdhany, Butut, Oma Michelle, Linurhay, Noeng Nurmadiah, Dwi Wulansari, Winar, Hnur, Umi Iswardono , Yustina Maria Nunuk Sulastri Rahayu Hernadi , Sri Maryani, Bunda Hayu Hanin, Nunuk, Reni, Pudya, Nien, Swissti Buana, Sudarwatisri, Mundjiati Habib, Savero, Ida Yusrida, Nuraida, Nanung, Arin Javania. Ninik Arsini, Neni , Komariyah, Aisya Priansyah, Jainah Jan. Civiyo, Mahmudah, Yati Sri Budiarti, Nur Rochmah. Uchu Rideen
    . Ninik Arsini, Endah. Nana Yang, Sari P Palgunadi, Echi Wardani, Nur Widyastuti, Gagida family, Trie Tjahjo Wibowo, Lestari Mardi, Susi Kamto, Rosen Rina, Mimin NP, Ermi S, Ira, Nina, Endang Amirul, Wiwik Nur Jannah, Ibu Mulyono, Betty Kosasih, Nanik, Tita, Willa Sulivan, Mimin NP, Suprilina, Endang Mashuri, Rin, Amethys, Adelina, Sari Usman, Caecilia RA, Mimiet, Sofi, Mamacuss, Manggar Ch.,

    ReplyDelete
  22. Terima kasih Bu Tien. Sehat selalu nggih Bu πŸ™πŸ₯°

    ReplyDelete
  23. Alhamdulillah
    Terimakasih bu tien telah menayangkan kabee 12
    Semoga bu tien sehat2 selalu

    ReplyDelete
  24. Rasain Bu Candra teler.....trims Bu tien

    ReplyDelete
  25. Alhamdulillah, matur nuwun bu Tien
    Salam sehat wal'afiat

    Ada hohor nya juga tambah seru
    πŸ™πŸ™πŸ˜Š

    ReplyDelete
  26. Dah ada gambaran, jadi selama ini meauw piaraan yang hilang, yang menampakan diri bagi yang mau membuat kacau penghuni rumah Chandra, apalagi ditujukan anak tersayang pemilik meauw.
    Amirah masih mendengkur seharian; yang ribut malah Karina, tukang ngebangunin nya nggak bangun-bangun.
    Nurani kurang gaul, nggak pernah keluar rumah ya maklumin aja lihat lelaki melihat nya kagum; Nurani menanggapinya ya aneh aja, padakΓ© kinjΓͺng arep di encup, ya cari aman untuk menghindar.
    Kekuatiran Karina menjadikan; ada sesuatu yang janggal, ditutup-tutupi kalau sampai ugd pemeriksaan lab wauw ketahuan OD.
    Hanya karena penasaran, dan ketidak percayaan jadilah klenger sendiri, rupanya gagal mau bikin klenger sang terzalimi kan ada meauw kesayangan yang jagain.
    Bikin proyek orientasinya minus yang didapat; bisa dipastikan negatip, bahkan tidak berhasil.

    Terimakasih Bu Tien
    Kantung berwarna emas yang ke dua belas sudah tayang
    Sehat sehat selalu doaku
    Sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
    πŸ™

    ReplyDelete
  27. Sehat sehat bu Tien
    πŸ˜πŸ˜πŸ™πŸ»πŸ™πŸ»πŸ™πŸ»

    ReplyDelete
  28. Hatur nuhun bunda..slmsht sllπŸ™πŸ₯°πŸŒΉ

    ReplyDelete

KETIKA BULAN TINGGAL SEPARUH 13

  KETIKA BULAN TINGGAL SEPARUH  13 (Tien Kumalasari)   Arumi heran melihat sikap Bachtiar yang kelihatan tidak suka. Ia mengira, Bachtiar ti...