KANTUNG BERWARNA EMAS
12
(Tien Kumalasari)
Nurani tersenyum lucu. Mungkin ia tidak begitu
mengerti apa maksud perkataan ayahnya, dan ia merasa mengatakan yang
sebenarnya.
“Nurani, semua kakak akan baik kepada adiknya,” kata
pak Candra.
“Tuh, Bapak tahu.”
“Maksud bapak, kebaikan yang lain.”
“Kebaikan ada berapa macam sih Pak?” tanya Nurani yang
merasa nyaman berbincang dengan ayahnya. Begitu santai, tidak seperti dikejar
waktu, sementara tak ada yang lain kecuali hanya ada dia dan ayahnya.
“Kebaikan itu ya perilaku baik, begitu saja. Tapi ada
lho kebaikan yang lebih.”
“Maksudnya kebaikan yang sangat baik?”
“Kebaikan yang mengandung maksud … “
Pak Candra merasa bingung untuk mengatakan apa
sebenarnya maksudnya, sementara Nurani menjawabnya kemana-mana.
“Kalau kebaikan mengandung maksud, bukankah berarti
kebaikan yang tidak tulus? Baik karena ada maksudnya. Ya kan Pak?”
“Maksud bapak begini … “
Pak Candra diam sejenak, mencari kata yang tepat agar
dimengerti oleh Nurani. Aduh, mengapa tiba-tiba Nurani kelihatan bodoh? Atau saking
pinternya?
“Andre adalah baik.”
“Ya, Nurani sudah tahu dan sudah mengenalnya.”
“Tapi maksud bapak adalah baik dalam arti sikap dia
sebagai laki-laki.”
“Adakah baik bagi laki-laki dan perempuan?”
Pak Candra menghela napas, dan kemudian dia bermaksud mengatakan apa sebenarnya
maksud dari kata-katanya.
“Nurani. Kamu itu sudah besar. Dalam pendidikan sih …
kamu masih sangat muda. Masih SMA, itu juga baru awal, kamu belum bisa
melewatinya karena waktu. Tapi, sebagai seorang gadis, kamu itu sudah dewasa.”
“Bapak mau menikahkan Nurani?” kata Nurani tiba-tiba
dengan polosnya.
“Nah, lebih kurangnya begitu,” kata pak Candra yang
hampir menemukan kata yang tepat.
“Jangan Pak, Nurani belum ingin menikah.”
“Tidak sekarang. Tapi lama-lama kamu juga akan menikah
kan?”
“Benar, belum sekarang.”
“Tahukah kamu, bahwa menikah itu tidaklah semudah
membalikkan telapak tangan?”
“Ya, tentu saja.”
“Apa yang harus dipikirkan saat menikah?”
“Itu Nurani belum ingin memikirkannya. Nurani masih
ingin sekolah.”
“Benar. Tapi kan kamu harus tahu, besok-besok, kalau
memiliki seorang suami, harus suami yang baik, yang bisa melindungi kamu,
menyayangi kamu.
“Bapak ada-ada saja, kan Nurani belum memikirkannya.
Besok kalau sudah waktunya, Nurani ingin, Bapak lah yang memilihkannya untuk
Nur.”
“Nah, kalau begitu, bapak akan memilihkannya sekarang
buat Nur.”
“Bapak? Kenapa tergesa-gesa?”
“Bapak sudah tua, kalau sewaktu-waktu bapak tidak ada,
bapak harus yakin bahwa ada yang melindungi kamu dan menyayangi kamu.”
Tiba-tiba Nurani menubruk ayahnya, dan merangkulnya
erat.
“Bapak jangan begitu, Bapak akan tetap ada untuk Nur.
Bapak harus selalu ada di dekat Nurani,” katanya, sambil diselingi isak.
“Mengapa kamu ini Nur?” kata pak Candra sambil
mengelus kepala Nur.
“Bapak bicara yang enggak-enggak sih.”
"Kamu harus tahu, bahwa sewaktu-waktu bapak bisa saja
meninggalkan kamu.”
“Tidak, tidak …. “ Nurani mempererat pelukannya.
“Nur, heiii … berdirilah. Bapak ingin bicara enak.”
“Tapi Bapak bicara yang nggak enak.”
“Baiklah. Duduklah dulu. Bapak itu hanya ingin, kamu kelak
akan mendapatkan suami yang baik, yang bisa melindungi kamu, membahagiakan
kamu. Hanya itu kok.”
“Ya, Bapak, Nur sudah tahu.”
“Andre laki-laki yang cocok buat kamu,” tak tahan
berputar-putar, akhirnya pak Candra langsung mengatakan pokok keinginannya.
Nurani terkejut.
“Andre suka sama kamu, dan bapak juga suka sama Andre.”
“Tapi Nurani suka sama mas Rian.”
“Lhoh, kok ngomong itu lagi? Rian kan kakak kamu, itu
berbeda.”
“Tapi Nurani ingin, kelak punya suami seperti mas
Rian.”
Pak Candra menggaruk-garuk kepalanya.
Tiba-tiba angin berembus sangat dingin, karena malam
semakin larut.
“Tak terasa kita sudah berbincang cukup lama. Pasti
kamu lelah. Sekarang tidurlah.”
“Mengapa udara tiba-tiba terasa dingin ya?”
“Malam sudah larut,” kata pak Candra sambil berdiri.
Nurani mengikutinya, tapi tiba-tiba terdengar suara
aneh. Seperti suara kucing.
“Kucing?” langkah Nurani terhenti.
“Ada apa?”
“Nurani mendengar suara kucing.”
“Di mana? Kok bapak tidak mendengarnya?”
“Seperti dari atas sana, eh tidak … jauh.”
Pak Candra merangkul putrinya, diajaknya masuk.
“Dulu ibumu almarhumah memelihara seekor kucing.”
“Oh ya?”
“Lucu kucingnya, warnanya keemasan, dia sangat
menyayangi ibu kamu. Ketika ibumu meninggal. Dia menangis sedih.”
“Menangis?”
“Air mata keluar dari kedua matanya.”
“Dimana kucing itu?”
“Dia menghilang begitu saja.”
“Nurani lupa-lupa ingat tentang kucing itu. Tapi kalau
melihatnya sebentar saja, pasti Nurani ingat.”
“Ya sudah, dia sudah pergi entah kemana. Sekarang
tidurlah, malam sudah larut.”
***
Saat membaringkan tubuhnya itu Nurani tiba-tiba
mengingat kucing kecil milik ibunya, yang dulunya dia tak pernah
memperhatikannya. Ia ingat kucing itu selalu tidur setiap menyentuh kaki ibunya,
membuatnya terkadang iri, saat ibunya mengelus kepala kucing itu.
Mengapa tadi tiba-tiba dia mendengar suara kucing? Hanya
perasaannya saja? Kenapa ayahnya tidak mendengarnya?
“Dasar aku suka ngelantur. Mungkin bukan suara kucing.
Atau kucing tetangga di sebelah. Tapi rasanya tak ada tetangga memiliki kucing sih,” gumamnya sambil memeluk guling dan memejamkan matanya.
Tiba-tiba dia teringat kata-kata ayahnya tentang Andre,
lalu dadanya berdebar kencang. Mengapa berdebar?
“Benci sekali melihat matanya yang melihatku dengan
aneh. Hiih, kok tiba-tiba teringat dia sih? Bapak ada-ada saja. Mas Andre suka
sama aku? Suka seperti apa? Sepertinya bapak ingin agar aku sama mas Andre …. Ah
tidak, aku benci cara dia menatap aku. Mengapa bapak seperti ingin aku dekat
sama dia? Tadi aku sebenarnya tahu apa maksud bapak, hanya saja aku pura-pura
tidak mengerti. Aku mana mungkin bisa menyukai dia? Bukankah aku suka sama mas
Rian? Hanya mas Rian laki-laki baik di dunia ini.
Lalu terbayang semua kebaikan Rian. Bagaimana dia
menjaganya, melindunginya. Bukankah itu yang diinginkan ayahnya? Tidak cukupkah
Rian bagi ayahnya?
“Tidak mau mas Andre, aku hanya mau mas Rian,”
bisiknya sambil menyembunyikan wajahnya di balik bantal.
Tapi belum sampai lelap menyergapnya, ia merasa haus.
Ia bangkit, dan keluar dari kamar. Sebelum dia melangkah ke belakang,
dilihatnya ibunya masuk ke kamar, kemudian menutupnya lagi.
“Rupanya ibu juga merasa haus,” gumamnya kemudian
kembali masuk ke kamarnya setelah meneguk segelas air.
***
Pagi hari itu, walau tidur larut malam, Nurani tetap
terbangun pada jam yang sama. Melakukan ibadah, bersih-bersih rumah dan memasak
untuk sarapan. Ia juga memasak untuk makan siangnya nanti, karena ia sudah
selesai ujian, dan bisa kembali melakukan tugas-tugas di rumah saperti biasanya.
Pak Candra berdiri dari meja dapur, di mana
akhir-akhir ini dia selalu menghirup susu coklatnya di sana sambil menunggui
Nurani membuat sarapan.
“Bapak mau mandi dulu. Kok belum ada yang bangun ya?”
gumamnya sambil masuk ke dalam kamarnya.
Pak Candra heran, ketika melihat sang istri masih
pulas tertidur, dan mendengkur lebih keras.
Perlahan dia menggoyang tangan istrinya.
“Bu … bu, sudah siang, kok masih ngorok sih?”
Bu Candra membuka sedikit matanya, lalu mengatupkannya
kembali.
“Hei, bangun … “
“Tolong … masih ngantuk …” lalu berkali-kali
dibangunkan, bu Candra tetap saja mendengkur.
Pak Candra beranjak ke kamar mandi. Ia pikir istrinya
tidur sampai larut sehingga tak bisa bangun pagi. Padahal semalam waktu dirinya
masuk kamar, sang istri sudah terlelap.
Ketika pak Candra selesai berpakaian, ia melihat Rian
dan Nurani sudah duduk menunggu di ruang makan. Karina tak kelihatan.
“Mana adikmu?” tanya pak Candra kepada Rian.
“Masih sama ibu barangkali.”
“Ibumu masih tidur.”
“Masih tidur?”
“Biarkan saja, barangkali semalam nggak bisa tidur. Panggil
Karina, nanti aku terlambat. Ada meeting pagi ini.”
Rian berdiri, dan memasuki kamar adiknya. Matanya
terbelalak melihat Karina masih meringkuk di bawah selimut.
“Karina !!” panggilnya keras sambil menarik selimut.
Karina membuka matanya.
“Jam berapa?”
“Jam tujuh. Bapak sudah mau berangkat,” hardiknya
kesal.
Karina melompat bangun langsung lari ke kamar mandi.
Agak heran karena bukan ibunya yang membangunkan.
“Saya belum sarapan,” keluhnya begitu keluar dari
kamar dan melihat ayahnya sudah menenteng tas kerjanya. Ia tak melihat ibunya.
Rian dan Nurani sudah berangkat ke sekolah mereka.
“Sarapan di kantin. Bapak ada meeting pagi,” kata pak
Candra sambil terus melangkah.
Karina buru-buru memakai sepatunya, lalu dengan
terpincang-pincang mengejar ayahnya yang sudah memasuki mobil. Ia lupa
menanyakan di mana ibunya karena terburu-buru.
Baru setelah dalam perjalanan, Karina teringat
ibunya.
“Apakah ibu pergi pagi-pagi? Biasanya ibu yang
membangunkan Karina.”
“Ibumu masih tidur.”
“Apa? Masih tidur?” tanya Karina terkejut.
“Sudah bapak bangunkan, hanya menggeliat, lalu tidur
lagi.”
“Kok aneh.”
“Memang aneh. Tapi biarkan saja. Toh ibumu tidak punya
tugas apa-apa di rumah. Semua sudah dikerjakan Nurani,” kesal pak Candra.
Tapi Karina berpikir lain. Tak biasanya ibunya tak
membangunkan dia.
“Mengapa ya, ibu masih tidur? Sakit kah?” gumam Karina
lagi.
“Bapak tadi memegang tangannya. Biasa saja. Tidak ada
tanda-tanda sakit. Dia hanya mengantuk, dan ingin tidur."
“Ya Tuhan,” keluh Karina yang tiba-tiba ingat menyebut
Tuhan.
“Ada apa? Biarkan saja tidur sepuasnya. Kalau nanti
bangun, makanan sudah siap, rumah sudah bersih. Kenapa kamu tampak risau?”
tanya pak Candra.
“Bukan begitu, tak biasanya ibu pulas sampai siang.”
“Biarkan saja ini menjadi kebiasaan. Paling-paling
setelah bangun, makan, lalu pergi bersama teman-temannya,” omel pak Candra.
Karina terdiam. Pikirannya melayang kearah keinginan
ibunya untuk mencoba obat seperti yang telah diminumkannya pada Nurani. Tapi
kalau Nurani saja tidak mempan, bagaimana ibunya bisa seperti teler begitu?
Sayang sekali tadi dia tak sempat menemui ibunya. Habis ayahnya seperti sangat
tergesa-gesa. Kalau dia harus menemui ibunya juga, sudah pasti dirinya bakal kena
semprot.
Rasa khawatir itu terus menghantuinya, makanya begitu sampai
di ruangannya, dia langsung menelpon. Tapi sama sekali tak ada jawaban. Ada
nada panggil, ada tanda bahwa ponselnya aktif, tapi tak sedikitpun ibunya
mengangkatnya.
“Celaka.
Jangan-jangan benar, karena pengaruh obat itu. Kok bisa ya, padahal Nurani
saja tidak mempan. Aduh, ibu sih, pakai ingin nyoba-nyoba segala,” gumamnya
khawatir.
Lalu Karina menelpon temannya.”
“Apa lagi? Jangan bilang obat yang kemarin juga tidak
mempan setelah diminum saudara tiri kamu.”
“Bukan, ibuku tampaknya mencoba meminumnya. Sampai
sekarang dia belum bangun juga.”
Tanpa disangka temannya justru tertawa.
“Kok tertawa sih?”
“Bagi yang belum pernah, itu akan membuatnya tidur
selama dua hari.”
“Apa katamu? Saudara tiriku meminumnya dua hari
berturut-turut dan tidak ada reaksi apa-apa. Bagaimana kamu bisa mengatakan
bahwa ibuku bisa jadi akan tidur selama dua hari?”
“Bisa lebih, dan dia akan terus seperti orang
kelelahan, selalu ingin tidur.”
“Kamu gila.”
“Kamu yang gila. Siapa suruh membeli obat itu?”
“Tapi Nurani minum sampai dua kali dan tidak ada
reaksi apa-apa.”
“Hanya satu yang terjadi, yaitu bahwa dia tidak meminumnya.”
“Tidak, ibuku sudah bertanya, dia meminumnya kok. Dua
kali obatnya diminumnya.”
“Obat apa? Siapa sakit?”
Karina terlonjak kaget ketika tiba-tiba ayahnya sudah
ada di depannya.
“Oh, Bapak kok ada di sini.”
“Pimpinan kamu ke ruangan aku memberikan laporan, dan
bilang bahwa begitu datang kamu sudah telpon-telponan.”
“Iya Pak, maaf. Karina hanya … hanya khawatir karena ibu,”
katanya sambil menutup pembicaraannya
dengan temannya.
“Kenapa khawatir? Orang tidur kok dikhawatirkan? Kamu
tadi bilang obat .. obat apa?”
“Saya … itu Pak, bilang sama ibu, kalau sakit harus minum obat.”
“Kan bapak sudah bilang bahwa ibumu hanya mengantuk?”
“Iya sih.”
“Letakkan ponsel kamu dan mulailah bekerja,” katanya
sambil melangkah keluar dari ruangan. Karina terpaksa mematuhi perintah sang ayah,
sekaligus pimpinan tertinggi di perusahaan itu.
***
Begitu sampai di ruangannya, ponsel pak Candra
berdering. Dari Rian.
“Ada apa Rian? Bapak mau meeting ini.”
“Maaf pak, hanya mau bilang, nanti Rian tidak bisa
menjemput Nurani, karena ada kelas sampai sore.”
“Oh ya, baiklah. Biar nanti bapak yang mengurusnya. Jam
berapa dia pulang?”
“Katanya sekitar jam sebelas, ada rapat guru.”
“Baiklah. Jangan khawatir.”
“Terima kasih Pak.”
Pak Candra meletakkan ponselnya.
“Bapak sudah ditunggu di ruang meeting,” kata Andre.
“Baiklah. Oh ya Ndre, aku bisa minta tolong sama kamu?”
“Ya Pak.”
“Jam sebelas nanti, tolong kamu jemput Nurani ya.”
***
Beaok lagi ya.
Yes
ReplyDeleteYes
ReplyDeleteWalah sprinterku kepontal karo jeng Noordiana HP
DeleteSugeng dalu bu Tien, wilujeng dahar bakmi godhog bu Citro.
Terima kasih,Ibu Tien cantiiik.... Sangat menghibur. Semoga Ibu sehat terus ....
DeleteMatur nuwun mbak Tien-ku Kantung Berwarna Emas sudah tayang
ReplyDeleteAlhamdulillah, KANTUNG BERWARNA EMAS (KBE) 12 telah tayang,terima kasih bu Tien salam sehat, sejahtera dan bahagia selalu. Aamiin.
ReplyDeleteUR.T411653L
Mtrnwn
ReplyDeleteAlhamdulillah sudah tayang...
ReplyDeleteMatur nuwun Bu Tien...
Alhamdulilah
ReplyDeleteTerimakasih cerbungnya bunda Tien
Semoga bunda Tien sekeluarga selalu sehat wal'afiat aamiin
πΉπ¦π Alhamdulillah KBE 12 telah hadir. Matur nuwun Bunda Tien, semoga sehat selalu dan tetap smangaaats...Salam Aduhaiππ¦⚘
ReplyDeleteAlhamdulillah, matur nuwun, sehat dan bahagia selalu Bunda Tien
ReplyDeleteMaturnuwun, mbak Tien semoga mbak Tien sehat dan selalu dlm lindungan Allah SWT, Aamiin..
ReplyDelete
ReplyDeleteAlhamdulillah KANTUNG BERWARNA EMAS~12 sudah hadir.. maturnuwun & salam sehat kagem bu Tien π
ππ
ReplyDeleteAlhamdulillah KANTUNG BERWARNA EMAS~12 sudah hadir.. matursuwun & salam sehat selalu bu Tien
ReplyDeleteAlhamdulilah..
ReplyDeleteTks bunda Tien..
Asiiiik.. Nurani sdh tayang
Salam sehat selalu utk bunda πππ₯°π₯°πΉπΉ
Alhamdulillah .....
ReplyDeleteYg ditunggu2 sdh datang...
Matur nuwun bu Tien ...
Semoga sehat selalu....
Tetap semangat ....
Alhamdulillah
ReplyDeleteTerima kasih Bu Tien
Alhamdulilah, terima kasih bu tien... kbe sdh tayang . Makin seru ... gak apa apa riyan juga baik, rajin dan bertanggung jawab tidak spt ibu dan adiknya .... salam sehat bu tien
ReplyDeleteLha da lahh... silahkan tidur dua hari dua malam, nanti biar diperiksa dokter dan ketahuan penyebabnya.
ReplyDeleteKok Nurani tidak tertarik pada Andre ya, dia baik loh.
Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.
Matur nuwun bunda Tien..π
ReplyDeleteSehat selalu...Aamiin π€²π€²
..
Alhsmdulillah dah tayang makasih bunda
ReplyDeleteTerimakasih Bunda Tien KBE 12 dah tayang...semakin seruuu....
ReplyDeletesenjata makan tuan
sehat2 selalu ya Bun....salam aduhayyy
Alhamdulillah ... trima kasih bu Tien
ReplyDeleteAlhamdulillah KBE 12 sudah hadir
ReplyDeleteTerima kasih Bu Tien, semoga Ibu sehat selalu.
Aamiin
Terima kasih... sehat trs.mbu tien
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteSyukron nggih Mbak Tien πΉπΉπΉπΉπΉ
Weee....senjata dimakan sendiri...kwkwkwk...dasar Bu Candra ....
ReplyDeleteBagaimana kelanjutannya ?
Kita tunggu episode berikutnya......
Matur suwun bunda Tien, salam Tahes Ulales bunda dari tak lupa selalu Aduhaiiii
Hallow..
ReplyDeleteYustinhar. Peni, Datik Sudiyati, Noor Dwi Tjahyani, Caroline Irawati, Nenek Dirga, Ema, Winarni, Retno P.R., FX.Hartanti, Danar, Widia, Nova, Jumaani, Ummazzfatiq, Mastiurni, Yuyun, Jum, Sul, Umi, Marni, Bunda Nismah, Wia Tiya, Ting Hartinah, Wikardiyanti, Nur Aini, Nani, Ranti, Afifah, Bu In, Damayanti, Dewi, Wida, Rita, Sapti, Dinar, Fifi, Nanik. Herlina, Michele, Wiwid, Meyrha, Ariel, Yacinta, Dewiyana, Trina, Mahmudah, Lies, Rapiningsih, Liliek, Enchi, Iyeng Sri Setyawati , Yulie, Yanthi , Dini Ekanti, Ida, Putri, Bunda Rahma, Neny, Yetty Muslih, Ida, Fitri, Hartiwi DS, Komariah P., Ari Hendra, Tienbardiman, Idayati, Maria, Uti Nani, Noer Nur Hidayati, Weny Soedibyo, Novy Kamardhiani, Erlin, Widya, Puspita Teradita, Purwani Utomo, Giyarni, Yulib, Erna, Anastasia Suryaningsih, Salamah, Roos, Noordiana, Fati Ahmad, Nuril, Bunda Belajar Nulis, Tutiyani, Bulkishani, Lia, Imah P Abidin, Guru2 SMPN 45 Bandung, Yayuk, Sriati Siregar, Guru2 SMPN I Sawahlunto, Roos, Diana Evie, Rista Silalahi, Agustina, Kusumastuti, KG, Elvi Teguh, Yayuk, Surs, Rinjani, ibu2 Nogotirto, kel. Sastroharsoyo, Uti, Sis Hakim, Tita, Farida, Mumtaz Myummy, Gayatri, Sri Handay, Utami, Yanti Damay, Idazu, Imcelda, Triniel, Anie, Tri, Padma Sari, Prim, Dwi Astuti, Febriani, Dyah Tateki, kel. SMP N I Gombong, Lina Tikni, Engkas Kurniasih, Anroost, Wiwiek Suharti, Erlin Yuni Indriyati, Sri Tulasmi, Laksmie, Toko Bunga Kelapa Dua, Utie ZiDan Ara, Prim, Niquee Fauzia, Indriyatidjaelani,
Bunda Wiwien, Agustina339, Yanti, Rantining Lestari, Ismu, Susana Itsuko, Aisya Priansyah, Hestri, Julitta Happy, I'in Maimun, Isti Priyono, Moedjiati Pramono, Novita Dwi S, Werdi Kaboel, Rinta Anastya, r Hastuti, Taty Siti Latifah, Mastini M.Pd. , Jessica Esti, Lina Soemirat, Yuli, Titik, Sridalminingsih, Kharisma, Atiek, Sariyenti, Julitta Happy Tjitarasmi, Ika Widiati, Eko Mulyani, Utami, Sumarni Sigit, Tutus, Neni, Wiwik Wisnu, Suparmia, Yuni Kun, Omang Komari, Hermina, Enny, Lina-Jogya, mbah Put Ika, Eyang Rini ,Handayaningsih, ny. Alian Taptriyani, Dwi Wulansari, Arie Kusumawati, Arie Sumadiyono, Sulasminah , Wahyu Istikhomah, Ferrita Dudiana, SusiHerawati, Lily , Farida Inkiriwang, Wening, Yuka, Sri, Si Garet, ibu Wahyu Widyawati, Rini Dwi, Pudya , Indahwdhany, Butut, Oma Michelle, Linurhay, Noeng Nurmadiah, Dwi Wulansari, Winar, Hnur, Umi Iswardono , Yustina Maria Nunuk Sulastri Rahayu Hernadi , Sri Maryani, Bunda Hayu Hanin, Nunuk, Reni, Pudya, Nien, Swissti Buana, Sudarwatisri, Mundjiati Habib, Savero, Ida Yusrida, Nuraida, Nanung, Arin Javania. Ninik Arsini, Neni , Komariyah, Aisya Priansyah, Jainah Jan. Civiyo, Mahmudah, Yati Sri Budiarti, Nur Rochmah. Uchu Rideen
. Ninik Arsini, Endah. Nana Yang, Sari P Palgunadi, Echi Wardani, Nur Widyastuti, Gagida family, Trie Tjahjo Wibowo, Lestari Mardi, Susi Kamto, Rosen Rina, Mimin NP, Ermi S, Ira, Nina, Endang Amirul, Wiwik Nur Jannah, Ibu Mulyono, Betty Kosasih, Nanik, Tita, Willa Sulivan, Mimin NP, Suprilina, Endang Mashuri, Rin, Amethys, Adelina, Sari Usman, Caecilia RA, Mimiet, Sofi, Mamacuss, Manggar Ch.,
Terima kasih Bu Tien. Sehat selalu nggih Bu ππ₯°
ReplyDeleteTerima kasih Mbak Tien...
ReplyDeleteAlhamdulillah Maturnuwun
ReplyDeleteSemakin seru .
ReplyDeleteMakasih mba Tien
Alhamdulillah
ReplyDeleteTerimakasih bu tien telah menayangkan kabee 12
Semoga bu tien sehat2 selalu
Rasain Bu Candra teler.....trims Bu tien
ReplyDeleteAlhamdulillah, matur nuwun bu Tien
ReplyDeleteSalam sehat wal'afiat
Ada hohor nya juga tambah seru
πππ
Dah ada gambaran, jadi selama ini meauw piaraan yang hilang, yang menampakan diri bagi yang mau membuat kacau penghuni rumah Chandra, apalagi ditujukan anak tersayang pemilik meauw.
ReplyDeleteAmirah masih mendengkur seharian; yang ribut malah Karina, tukang ngebangunin nya nggak bangun-bangun.
Nurani kurang gaul, nggak pernah keluar rumah ya maklumin aja lihat lelaki melihat nya kagum; Nurani menanggapinya ya aneh aja, padakΓ© kinjΓͺng arep di encup, ya cari aman untuk menghindar.
Kekuatiran Karina menjadikan; ada sesuatu yang janggal, ditutup-tutupi kalau sampai ugd pemeriksaan lab wauw ketahuan OD.
Hanya karena penasaran, dan ketidak percayaan jadilah klenger sendiri, rupanya gagal mau bikin klenger sang terzalimi kan ada meauw kesayangan yang jagain.
Bikin proyek orientasinya minus yang didapat; bisa dipastikan negatip, bahkan tidak berhasil.
Terimakasih Bu Tien
Kantung berwarna emas yang ke dua belas sudah tayang
Sehat sehat selalu doaku
Sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
π
Sehat sehat bu Tien
ReplyDeleteππππ»ππ»ππ»
Hatur nuhun bunda..slmsht sllππ₯°πΉ
ReplyDelete