KANTUNG BERWARNA EMAS
09.
(Tien Kumalasari)
Andre masih terbelalak, sehingga pak Candra sampai
mengebutkan telapak tangan kedepan wajahnya.
“Hei, ada apa kamu ini ?” ucapnya sambil tertawa.
“Saya … saya … merasa seperti bermimpi.”
“Kamu menolaknya?”
“Buk … bukan … bukan …”
"Nurani memang masih belum jelas pendidikannya. SMA
saja baru mau dilaluinya. Saat untuk kuliah masih akan lama. Tapi aku senang
mendengar Nurani sanggup menjalaninya. Tentu kamu tidak akan sabar menunggu,
bukan?”
Andre mengusap wajahnya, dan menatap pak Candra dengan
tersipu.
“Bukan begitu Pak, bukan.”
“Bukan bagaimana?”
“Bukan saya menolak, karena Nurani masih belum
melewati SMA. Bagi saya Nurani adalah gadis baik, yang sangat mengagumkan
saya.”
“Jadi …?”
“Apakah Bapak tidak terlalu tergesa-gesa memikirkan
jodoh untuk Nurani di saat sekarang ini? Apa tidak akan mengganggu
pelajarannya?”
“Mengapa aku harus mengganggu pelajarannya? Aku bukan
bicara sama Nurani, tapi bicara sama kamu Ndre.”
Andre kebingungan menjawabnya, tapi pak Candra terus
menatapnya, mendesak dengan tatapan tajam, langsung ke dalam ulu hatinya.
“Kamu menolaknya?”
“Saya ….”
“Aku tidak keberatan kalau kamu menolaknya. Aku bisa
mengerti, dan menerimanya dengan senang hati. Aku hanya berangan-angan. Aku
hanya membayangkan, setelah aku tidak ada, kepada siapa aku menitipkan anakku
itu.”
Andre tersenyum.
“Pak Candra terlalu tergesa-gesa dan terlalu jauh
memikirkan sesuatu untuk Nurani, sementara Bapak masih bisa selalu
mendampingi.”
“Kan aku sudah bilang, punya angan-angan itu tidak
salah kan? Sekarang aku ingin mendengar apa jawaban kamu, kelihatannya berat
ya?” desak pak Candra.
“Tidak Pak, sama sekali bukannya saya keberatan. Tapi
apakah Bapak yakin saya bisa mengemban semua harapan Bapak? Belum tentu saya benar-benar
baik.”
“Orang yang merasa dirinya baik, justru dia bukan
orang yang baik. Dia tinggi hati dan sombong.”
“Dan belum tentu juga Nurani suka sama saya.”
“Nah, itu nanti urusan aku. Yang penting kamu sudah
tahu bahwa aku mengharapkan kamu. Tapi baiklah, ini memang bukan pertanyaan
mudah. Masih banyak waktu untuk memikirkannya. Sekarang sebaiknya kita
selesaikan pekerjaan kita, sebelum saat Nurani pulang sekolah.”
“Baiklah Pak,” jawab Andre sambil tersenyum lega.
Paling tidak pak Candra tidak lagi mendesaknya dengan pertanyaan yang
membuatnya berdebar itu.
***
Tiba-tiba pintu ruangan pak Candra terbuka. Pak Candra
menatap ke arah pintu, melihat Karina masuk. Mendapat tatapan tak suka dari
ayahnya, Karina menyadari kesalahannya, ia lupa mengetuk pintu. Lalu dia
keluar, dan mengetuk pintunya keras, baru pak Candra mengatakan ‘masuk’, Karina baru berani masuk.
Ia langsung duduk di sofa., menghadap ke arah dimana
Andre sedang menekuni pekerjaannya.
“Ada apa?” tanya pak Candra.
“Saya boleh ikut kan?” kata Karina.
“Oh ya, kamu masih ingat ajakan bapak tadi ya.
Baiklah, apa pekerjaan kamu sudah selesai?”
“Sudah.”
“Tapi kami baru berangkat setelah saatnya Nurani
pulang dari sekolah. Sekitar jam dua nanti.”
“Yaaah, keburu lapar dong,” keluhnya.
“Mau ikut tidak? Kalau mau ikut ya tunggu, kalau tidak
ya makan saja di kantin.”
Karina
mengalah. Ia duduk di sofa sambil mencari-cari bacaan dirak meja bagian bawah.
“Bapak, di sini nggak ada bacaan ya?”
“Memangnya ini perpustakaan?” kesal pak Candra.
“Barangkali ada majalah.”
“Nggak ada, tunggu saja di situ,” perintah pak Candra.
“Mas Andre sibuk ya?” tanyanya kemudian kepada Andre.
Andre mengangkat kepalanya sebentar, lalu mengangguk.
“Semuanya sibuk sih.”
“Ini jam kerja, kamu jangan mengganggu. Menunggu di
luar sana saja. Nanti kalau kami mau berangkat, bapak beri tahu kamu.”
“Di sini saja, di luar panas, di sini adem,” kata
Karina sambil menyandarkan kepalanya di sofa.
Tapi saat pak Candra dan Andre mau berangkat,
dilihatnya Karina tertidur. Dengkurnya walau halus, mengingatkan pak Candra
pada dengkur istrinya setiap sedang terlelap.
“Jadi ikut
nggak?” katanya sambil menggoyang bahu Karina pelan.
Karina terkejut.
“Sudah siang ya? Aku terlambat?” katanya bingung
sambil mengucek matanya.
“Ini sudah hampir sore, tahu.”
Karina membelalakkan matanya.
“Oh, Bapak ya. Maaf. Karina ketiduran.”
Karina melihat pak Candra keluar dari ruangan, diikuti
Andre. Dengan cepat dia mengenakan sepatunya, lalu tersaruk-saruk mengejarnya.
***
Di rumah makan itu, pak Candra melihat Rian dan Nurani
sudah duduk di sebuah bangku. Ada bu Candra juga di sana. Tapi karena ada Rian,
bu Candra tak berani mengomeli Nurani.
“Bapakmu suka sekali ke rumah makan ini,” omelnya.
“Bukankah Ibu juga pernah makan ke mari, bersama
teman-teman ibu?” kata Rian mengingatkan.
“Hanya sekali, setelah itu tidak lagi. Nggak suka aku
masakannya.”
“Kenapa sekarang ikut kemari?”
“Kata bapak kan kita akan makan siang ke mari. Dan sekarang
ini, untuk waktu makan siang sudah lewat. Kenapa sih, harus menunggu bubaran
sekolah?” omel bu Candra lagi.
“Kalian sudah lama?” tiba-tiba pak Candra dan Andre
mendekat, diikuti Karina.
“Baru saja Pak.”
“Kenapa di restoran ini sih? Makanannya biasa saja,”
omel Karina pula.
“Sudah, nggak usah protes, segera duduk,” kata Rian
menegur adiknya.
Karina duduk sambil merengut. Tapi kemudian dia
berpindah tempat, beralih ke dekat Andre.
“Hei, kenapa pindah-pindah?” tegur pak Candra.
“Enakan di sini, dekat mas Andre. Ya Mas,” katanya
sambil menatap Andre.
“Terserah kamu saja, dimana-mana juga sama kok.”
Pak Candra agak kesal, karena dia bermaksud
mendekatkan Andre dengan Nurani. Tapi ia diam saja. Tak enak juga kelihatan
banget kalau ia punya niat begitu. Nurani juga pasti sungkan.
Makan siang itu berlangsung nyaman, setidaknya itulah
yang tampak, karena pembicaraan didominasi pak Candra yang menanyakan masalah
pelajaran pada Nurani, dan juga kepada Rian. Pak Candra tersenyum dalam hati,
saat sering melihat Andre mencuri-curi pandang ke arah Nurani, sedangkan Nurani
seakan tak merasakannya, karena sibuk menjawab pertanyaan ayahnya.
“Bapak, bolehkah nanti Karina langsung pulang bersama
ibu?”
“Ini kan masih jam kerja. Awas ya, jangan bilang lagi
bahwa perut kamu sakit.”
“Bukan, hanya sangat mengantuk. Lagian pekerjaan
Karina sudah selesai.”
“Karina memang tampak sangat lelah, ijinkan dia, untuk
hari ini saja.”
“Ya sudah, terserah kalian saja.”
“Kalau begitu aku mau pulang duluan bersama Karina ya?”
Karena sudah diijinkan, maka bu Candra memilih
mendahului pulang bersama Karina.
Pak Candra tak bereaksi apapun. Ia melanjutkan makan
siangnya yang belum usai.
“Nurani, selama kamu ujian, tidak usah masak-masak. Bapak
sama Rian mau memesan masakan setiap hari, kalau memang ibumu belum bisa
melakukannya.”
“Memangnya ibu kenapa Pak?” tanya Rian heran.
“Kata dokter, ibumu tidak boleh kecapekan. Ibumu sendiri
yang bilang, apa kamu tidak mendengarnya?”
“Oh ya, mungkin Rian tidak begitu memperhatikan.”
“Kamu siap menghadapi ujian besok?”
“Sangat siap, Pak.”
“Bagus. Bapak selalu berdoa agar kamu berhasil.”
“Aku juga berdoa untuk kamu Nurani,” sela Andre sambil
tersenyum.
Nurani membalas senyuman itu, menatap Andre sekilas,
kemudian mengangguk.
“Terima kasih Mas.”
“Aku apa lagi. Doa selalu untuk adikku yang bandel
ini,” kata Rian bercanda.
“Eeh, memangnya aku bandel?”
“Kalau dikasih tahu, trus nggak nurut, itu namanya
bandel.”
“Memangnya aku melakukan apa?”
“Banyak hal yang membuat kamu tampak bandel. Misalnya
begini, Nurani, istirahat saja dulu, tapi kamu nekat melakukan sesuatu. Sudah,
biar aku yang mencuci, tapi kamu bilang ‘biar aku saja’. Itu kan bandel,” omel
Rian sambil menonjok kening adiknya.
Pak Candra hanya tertawa melihat keakraban mereka. Dan
suasanya setelah bu Candra dan Karina pergi memang terlihat lebih santai dan
banyak canda. Andre ikut tertawa-tawa gembira bersama mereka.
***
Sesampai di rumah, Karina dan bu Candra uring-uringan.
Gara-garanya adalah sekarang Nurani tiba-tiba menjadi perhatian seluruh
keluarga.
“Itu karena ibu tidak mencegah Nurani bersedia
melanjutkan sekolah.
“Waktu itu sangat sulit. Ayahmu memaksa Nurani,
dihadapan ibu. Ibu bisa apa? Aku sudah menatapnya kesal, dia sama sekali tak
melihat ke arah ibu.”
“Padahal belum tentu juga akan berhasil. Omong kosong
apa, sudah tertinggal pelajaran empat tahun lebih, mana bisa dia berhasil?”
“Walau begitu kita tetap harus berjaga-jaga. Sekarang
mana obatnya, akan ibu siapkan sekarang saja, supaya lebih cepat diminum.
“Jangan sekarang Bu, nanti kalau sampai diminum orang
lain bagaimana?”
“Kan di meja kecil di luar kamarnya dia.”
“Dia pasti curiga dong, kalau sore-sore ada minuman di
mejanya. Beda kalau dia baru bangun pagi hari, begitu melihat gelas berisi air
putih pasti langsung diminum. Nggak mungkin dia bertanya-tanya, siapa yang
menyiapkan minumnya.”
“Iya juga sih. Baiklah, nanti malam saja kalau semua
orang sudah tidur.”
“Ibu jangan lupa, obatnya agak banyak. Yang tadi tuh
tidak mempan.”
“Iya, aku tahu, nanti berikan obatnya pada ibu, akan ibu
berikan dosis yang lebih banyak. Tapi nggak mematikan kan Karina?”
“Tidak Bu, tenang saja, dan lihat hasilnya.
“Ya sudah, sekarang kamu istirahat sana dulu, ibu juga
mau istirahat.”
***
Malam hari setelah makan bersama ayahnya, Rian masih
menemani Nurani belajar. Rian yakin Nurani akan berhasil, karena Nurani memang
sangat cerdas.
“Ada kesulitan? Besok apa sih ujiannya?”
“Itu daftarnya.”
“Ada kesulitan?”
“Semoga saja tidak.”
“Besok kamu juga tidak usah membuat sarapan, aku akan
bangun lebih pagi dan menggantikan kamu membuat sarapan,” kata Rian
bersemangat.
“Memangnya Mas Rian akan membuat sarapan apa?”
“Telur mata sapi, dan sambal kecap.”
Nurani terkekeh.
“Itu cukup untuk aku.”
“Nanti bapak tertawa dong, sarapan kayak gitu.”
“Tidak, bapak pasti maklum.”
“Tidak, aku akan membuatnya sebentar. Dan nggak akan
kesiangan kok, percayalah,” kata Nurani.
“Tuh, bandel lagi kan?” kesal Rian. Nurani hanya
tertawa sambil menutup mulutnya.
Rian terpesona melihat tawa itu, tapi kenapa sih,
Nurani selalu menutupinya?
“Nur, kamu tuh kalau tertawa nggak usah tutup mulut
begitu.”
“Ah, malu dong, masa aku tertawa ngablak begitu nggak
boleh ditutupin sih?”
“Soalnya tawa kamu itu manis sekali. Aku suka
melihatnya. Apalagi melihat gigi kamu yang gingsul satu itu.”
“Iih, gigi ini kan tumbuhnya tidak teratur, bikin
malu. Itu sebabnya aku selalu menutupinya.”
“Nggak usah, biarin saja.”
“Ya sudah, Mas Rian ngajakin ngomong terus, kapan aku
belajarnya?”
“Oh iya, maaf. Ya sudah belajar, aku menunggu di luar
kamar kamu, kalau ada yang nggak mengerti, panggil aku ya.”
“Mas Rian tidur saja, nggak usah nungguin, Kalau ada
yang aku nggak tahu, aku nanya besok pagi sebelum berangkat. Ini sudah malam
lho.”
“Baiklah,” kata Rian yang segera keluar, sementara
Nurani menguncinya dari dalam.
Rian belum beranjak dari depan kamar Nurani, ketika
melihat ibunya keluar dari kamar.”
“Ibu belum tidur? Ini sudah malam.”
“Kok kamu ada di situ sih?”
“Tadi nemenin Nurani belajar.”
“Belajar saja pakai ditemenin. Ini sudah malam. Tidur
sana,” kata bu Candra.
Rian tak menjawab, segera masuk ke dalam kamarnya.
***
Karena sudah terbiasa bangun pagi, maka tak bisa
tidak, Nurani juga sudah bangun di pagi buta, dan bermaksud mengerjakan semua
pekerjaan seperti biasanya.
Setelah kekamar mandi dan mengerjakan ibadah, ia baru
keluar dari kamar.
Dengan heran dia melihat lagi segelas air putih di
atas meja kecil di luar kamarnya. Ia duduk dan belum bermaksud menyalakan lampu
di ruangan itu.
“Kok aku lupa ya, sejak kemarin merasa tidak
menyiapkan air putih, tapi selalu saja ada air putih di meja ini. O, aku tahu.
Pasti mas Rian yang melakukannya, karena dia tahu kebiasaan aku sebelum
melakukan apa-apa pasti selalu minum segelas air putih.
Nurani tersenyum, membayangkan kebaikan kakak tirinya
yang satu itu.
Ia juga teringat, ketika Rian melarangnya menutup
mulutnya setiap kali dia tertawa.
“Kenapa sih? Aku cantik ya kalau tertawa?” gumam Nurani
sambil tersenyum lebar, lalu segera menutup lagi mulutnya.
“Sudah menjadi kebiasaan aku, kalau tersenyum lebar
atau tertawa lebar, selalu menutup mulut,” gumamnya lagi sambil meraih gelas
yang siap di depannya. Ia membukanya perlahan, dan sedetik lagi bibirnya sudah
akan menyentuh bibir gelas itu, ketika tiba-tiba sesuatu melompat ke arah
wajahnya, dan gelas yang sudah dipegangnya terjatuh ke pangkuan. Tentu saja
isinya tumpah semua.
Nurani terkejut. Apa yang tadi melompat hampir
menyentuh wajahnya?
***
Besok lagi ya.
Terima kasih Mbak Tien atas hadirnya KBE 09.
ReplyDeleteSalam ADUHAI dari Kota Gudeg.
Wooo Mas Yowa juara 1 nya
DeleteSmg sehat selalu ya Mas
Sudah lumayan entheng Jeng Nani ... Ini tadi tidak sengaja.
DeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteYes
ReplyDelete🌷🦋🍃 Alhamdulillah KBE 09 telah hadir. Matur nuwun Bunda Tien, semoga sehat selalu dan tetap smangaaats...Salam Aduhai🙏🦋🌿
ReplyDeleteAlhamdulillah tayang cepat
ReplyDeleteAlhamdulilah
ReplyDeleteTerima kasih bu tien ... makin seru.... salam sehat bu tien .selamat istirahat
ReplyDeleteMatur nuwun mbak Tien-ku, Kantung Berwarna Emas sudah tayang.
ReplyDeleteAlhamdulillah, KANTUNG BERWARNA EMAS (KBE) 09 telah tayang,terima kasih bu Tien salam sehat, sejahtera dan bahagia selalu. Aamiin.
ReplyDeleteUR.T411653L
Alhamdulillah, matur nuwun, sehat wal’afiat dan bahagia selalu Bunda Tien . .
ReplyDeleteAlhamdulillah....
ReplyDeleteMtnuwun mbk Tien
Alhamdulillah
ReplyDeleteAlhamdulillah...
ReplyDeleteKBE 09 sudah tayang...
Terimakasih bu Tien...
Alhamdulilah, atur nu2un mbakyu Tienkumalasari dear cerbungnya udh tayang, wuaduuh siapakah gerangan yg sdh 2x menolong Nuraini, jadi penasaran, bisa aza ya, sugeng dalu sugeng sare, wassalam dari Tanggamus, Lampung
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteSyukron nggih Mbak Tien 🌷🌷🌷🌷🌷
Alhamdulillah
ReplyDeleteMatur nuwun
Alhsmdulillah dah dj baca makasih bunda
ReplyDeleteMatur suwun bunda Tien,
ReplyDeleteSenang aq kalau lakon menang terus....
Mudah2 sampai akhir , nurani selalu menang dan beruntung
Mudah "an racunnya gak ke minum pak Chandra, bisa gawat kwkwkw
Matur suwun bunda Tien, salam Tahes Ulales dan selalu Aduhaiiii
Uhh... gagal lagi, mau obat tidur yang cespleng malah tumpah.
ReplyDeleteBaru 9 episode penjahat masih berkeliaran. Kalau segera terungkap tidak jadi cerita.
Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI semoga selalu sehat, aamiin.
Alhamdulillah..
ReplyDeleteTerima kasih Bu Tien.
Semoga sehat dan bahagia selalu..
Salam *ADUHAI*
Semoga Nurani sll dilindungi Allah swt yang Maha Mulia. ...
ReplyDeleteTerimakasih Ibu Tien, semoga seha wal afiat sll. Aamiin...
Untung tumpah air putihnya..
ReplyDeletejadi terhindar racun si ibu tiri...😊
Matur nuwun bunda Tien..🙏
Salam sehat selalu..
Alhamdulillah... terima kasih mbu tien... menegangkan....
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteTerima kasih Bu Tien
Semoga bu Tien sehat selalu
Usaha jahat ke-dua gagal. Takutnya yg ketiga berhasil, tapi yg minum air putih beracun ini bukan nurani. Makin seru deh. Aduhai.
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteMba Tien bisa aja. Yah moga aja Nurani selamat dari kejahatan ibu tirinya.
ReplyDeleteMakasih mba Tien.
Sehat selalu
alhamdulillah
ReplyDeleteHallow..
ReplyDeleteYustinhar. Peni, Datik Sudiyati, Noor Dwi Tjahyani, Caroline Irawati, Nenek Dirga, Ema, Winarni, Retno P.R., FX.Hartanti, Danar, Widia, Nova, Jumaani, Ummazzfatiq, Mastiurni, Yuyun, Jum, Sul, Umi, Marni, Bunda Nismah, Wia Tiya, Ting Hartinah, Wikardiyanti, Nur Aini, Nani, Ranti, Afifah, Bu In, Damayanti, Dewi, Wida, Rita, Sapti, Dinar, Fifi, Nanik. Herlina, Michele, Wiwid, Meyrha, Ariel, Yacinta, Dewiyana, Trina, Mahmudah, Lies, Rapiningsih, Liliek, Enchi, Iyeng Sri Setyawati , Yulie, Yanthi , Dini Ekanti, Ida, Putri, Bunda Rahma, Neny, Yetty Muslih, Ida, Fitri, Hartiwi DS, Komariah P., Ari Hendra, Tienbardiman, Idayati, Maria, Uti Nani, Noer Nur Hidayati, Weny Soedibyo, Novy Kamardhiani, Erlin, Widya, Puspita Teradita, Purwani Utomo, Giyarni, Yulib, Erna, Anastasia Suryaningsih, Salamah, Roos, Noordiana, Fati Ahmad, Nuril, Bunda Belajar Nulis, Tutiyani, Bulkishani, Lia, Imah P Abidin, Guru2 SMPN 45 Bandung, Yayuk, Sriati Siregar, Guru2 SMPN I Sawahlunto, Roos, Diana Evie, Rista Silalahi, Agustina, Kusumastuti, KG, Elvi Teguh, Yayuk, Surs, Rinjani, ibu2 Nogotirto, kel. Sastroharsoyo, Uti, Sis Hakim, Tita, Farida, Mumtaz Myummy, Gayatri, Sri Handay, Utami, Yanti Damay, Idazu, Imcelda, Triniel, Anie, Tri, Padma Sari, Prim, Dwi Astuti, Febriani, Dyah Tateki, kel. SMP N I Gombong, Lina Tikni, Engkas Kurniasih, Anroost, Wiwiek Suharti, Erlin Yuni Indriyati, Sri Tulasmi, Laksmie, Toko Bunga Kelapa Dua, Utie ZiDan Ara, Prim, Niquee Fauzia, Indriyatidjaelani,
Bunda Wiwien, Agustina339, Yanti, Rantining Lestari, Ismu, Susana Itsuko, Aisya Priansyah, Hestri, Julitta Happy, I'in Maimun, Isti Priyono, Moedjiati Pramono, Novita Dwi S, Werdi Kaboel, Rinta Anastya, r Hastuti, Taty Siti Latifah, Mastini M.Pd. , Jessica Esti, Lina Soemirat, Yuli, Titik, Sridalminingsih, Kharisma, Atiek, Sariyenti, Julitta Happy Tjitarasmi, Ika Widiati, Eko Mulyani, Utami, Sumarni Sigit, Tutus, Neni, Wiwik Wisnu, Suparmia, Yuni Kun, Omang Komari, Hermina, Enny, Lina-Jogya, mbah Put Ika, Eyang Rini ,Handayaningsih, ny. Alian Taptriyani, Dwi Wulansari, Arie Kusumawati, Arie Sumadiyono, Sulasminah , Wahyu Istikhomah, Ferrita Dudiana, SusiHerawati, Lily , Farida Inkiriwang, Wening, Yuka, Sri, Si Garet, ibu Wahyu Widyawati, Rini Dwi, Pudya , Indahwdhany, Butut, Oma Michelle, Linurhay, Noeng Nurmadiah, Dwi Wulansari, Winar, Hnur, Umi Iswardono , Yustina Maria Nunuk Sulastri Rahayu Hernadi , Sri Maryani, Bunda Hayu Hanin, Nunuk, Reni, Pudya, Nien, Swissti Buana, Sudarwatisri, Mundjiati Habib, Savero, Ida Yusrida, Nuraida, Nanung, Arin Javania. Ninik Arsini, Neni , Komariyah, Aisya Priansyah, Jainah Jan. Civiyo, Mahmudah, Yati Sri Budiarti, Nur Rochmah. Uchu Rideen
. Ninik Arsini, Endah. Nana Yang, Sari P Palgunadi, Echi Wardani, Nur Widyastuti, Gagida family, Trie Tjahjo Wibowo, Lestari Mardi, Susi Kamto, Rosen Rina, Mimin NP, Ermi S, Ira, Nina, Endang Amirul, Wiwik Nur Jannah, Ibu Mulyono, Betty Kosasih, Nanik, Tita, Willa Sulivan, Mimin NP, Suprilina, Endang Mashuri, Rin, Amethys, Adelina, Sari Usman, Caecilia RA, Mimiet, Sofi, Mamacuss, Manggar Ch.,
Matur nuwun, bu Tien
ReplyDeleteSelalu ada kebaikan u Nurani..trim bu Tien
ReplyDeleteSlmt mlm dan slmistirahan bunda Tien..terima ksih unk cerbungnya..Salam sehat sll unk bunda🙏🥰🌹
ReplyDeleteAlhamdulillah Maturnuwun
ReplyDelete
ReplyDeleteAlhamdulillah KANTUNG BERWARNA EMAS~09 sudah hadir.. maturnuwun & salam sehat kagem bu Tien 🙏
Slamet airnya tumpah, ini Amirah ngapain nggak biasanya, wong ndut bolak balik kerja dikit, istirahat banyak, Rian curiga aja, ke kamar mandi kan didalam kamar ada, justru Amirah menghardiknya dengan sengit itulah malah ada kecurigaan, Rian terbangun karena timer di-set waktu seperti biasa, Nuraini bangun.
ReplyDeleteRem rem ayam kok ada gelas diatas meja kecil, semalem kan nggak ada, tapi habis biyungnya kok ada gelas air putih, aneh aja sempet sempetnya nyiapin minum untuk Nurani lagi. Jangan jangan; samber aja itu gelas..
Malah agak berisik sedikit, sori aku curiga aja nggak biasa Amirah melakukannya nyiapin minum untuk Nurani.
Ahk teka teki; Chandra denger Amirah menghardik Rian, kebetulan pintu kamar masih agak terbuka; ngapain, lho aneh Amirah nyiapin minum untuk Nurani?
Ash mbuh
di tut ké mumet.
Èh ada apa kok disamber, aneh aja nggak biasanya Amirah mbuatin minum buatmu, emang nggak boleh ya, lha naruh segelas aer putih disitu terus rogoh rogoh kutu baru karo tolah toleh, lha kok mau langsung Nurani minum, ya tak samber tå.
Iya kalau itu ppo bisa brutumu angop, lha kalau racun tikus coba sini aernya masukin plastik test laborat nanti jadi tahu itu air ada kandungan apa, blaik bisa jadi tertuduh, bahaya kalau Nurani masih disini, besok cari kost an aja kalau kelamaan berbahaya.
Ini proyek masa depan masalahnya, malah mau dibikin mangkrak.
ADUHAI
Terimakasih Bu Tien
Kantung berwarna emas yang ke sembilan sudah tayang
Sehat sehat selalu doaku
Sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
🙏
Orang baik, akan selalu dijaga dari perbuatan jahat, begitu kan bu Tien..
ReplyDeleteTerimakasih salam sehat dan aduhai dari mBantul
Alhamdulillah KANTUNG BERWARNA EMAS~09 sudah hadir.. matursuwun bu Tien. Salam sehat selalu
ReplyDeleteAlhamdulillah KB Emas sdh tayang .... trimakasih bu Tien Salam sehat selalu
ReplyDeleteOrang baik pasti akan selalu dalam lindunganNYA....trims Bu tien
ReplyDeleteAlhamdulillah Nurani selalu dalam lindunganNya
ReplyDeleteAlhamdulillah, matur nuwun bu Tien.salam sehat 🤗🥰
ReplyDeleteBikin deg degan ,,apakah itu yg loncat
Terima kasih Mbak Tien...
ReplyDelete