Tuesday, June 21, 2022

KEMBANG CANTIKKU 02

 

KEMBANG CANTIKKU  02

(Tien Kumalasari)

 

Sunthi mengangkat baju berwarna biru itu, dan mengambil kartu kecil yang bertuliskan nama Wahyudi. Ada tulisan di atasnya, tapi kabur, mungkin ketika terjatuh, ada air memasukinya, sehingga tulisannya benar-benar terhapus, yang kelihatan hanya nama Wahyudi,, yang walaupun agak kabur, karena tulisannya besar, Sunthi masih bisa membacanya.

“Sebetulnya ada tulisan di atasnya, tapi kok tidak jelas,” gumamnya, kemudian dia  meletakkannya di tempat kering.

“Namanya ‘Wahyudi’ … hm, bagus ya. Kenapa tidak pakai ‘Bambang’ … Bambang Wahyudi, kan bagus. Atau ‘Joko Wahyudi’ … lebih bagus kan? Wah, dia pasti senang kalau aku mengingatkan namanya. Habis, dia ditemukan tanpa ada catatan atau buku, atau KTP, atau apa, yang bisa menunjukkan asal usulnya. Ya hanya kartu yang ada tulisan ‘Wahyudi’ ini saja. Apa dia korban perampokan ya?

Ada-ada saja. Bapak itu nemu kok ya orang, bukannya nemu uang … gitu. Kalau nemu uang, trus yang buanyakkk … kan hidup kami  tidak susah. Simbok tidak setiap hari menjual sayur ke pasar, yang hasilnya hanya cukup untuk beli beras sama sedikit lauk, dan bapak juga tidak harus duduk di tepi sungai, memancing ikan, yang terkadang juga hanya mendapat dua tiga ekor, dijual dua, yang satu untuk lauk. Kalau bosan lauk ikan ya dijual semua, dapat beras lagi sekilo atau dua kilo.

“Tapi seneng juga ya, nemu orang, ganteng pula, simbok sampai manggilnya ‘cah bagus’.  Hiih, kenapa aku memuji-muji orang asing yang nggak tahu asal usulnya, trus dia itu orang baik atau orang jahat. Eh, masak sih, orang ganteng kelakuannya jahat. Tapi ya siapa tahu sih, wajahnya ganteng, tapi copet. Simbok pernah cerita kan, ada copet digebugin di pasar, orangnya ganteng, pakaiannya bagus. Yah, semoga saja cah bagus itu orang baik-baik. Eh bukan ‘cah bagus’ lagi, kan namanya sudah ketemu?”

Sunthi terus saja bergumam sambil mencuci baju Wahyudi, dan sekalian bajunya sendiri serta baju bapak dan simboknya.

Ketika sudah selesai mencuci, Sunthi segera masuk ke dalam rumah. Dilihatnya Wahyudi masih berbaring, tapi matanya terbuka. Sunthi mendekat.

“Apa sampeyan lapar? Minum tajinnya dulu, kata simbok ini bisa membuat perut terasa nyaman. Setelah itu makan ya, sama ikan bakar sisa kemarin, aku belum masak,” kata Sunthi sambil meraih mangkuk berisi tajin. Wahyudi tak menjawab. Ia bingung akan apa yang terjadi, dan tak sedikitpun ia bisa mengingat apa yang terjadi, Kepalanya masih terasa berdenyut, tapi dia membuka mulutnya ketika Sunthi menyuapkan tajin.

“Saya sudah tahu, siapa nama sampeyan,” kata Sunthi sambil menyuapkan tajinnya.

“Namaku? Siapa namaku?” katanya pelan.

“Wahyudi. Iya kan, itu nama sampeyan?”

“Wahyudi? Siapa Wahyudi?”

“Astaga Mas, itu nama sampeyan.”

“Namaku?” Wahyudi tampak semakin bingung. Ia tak tahu bahwa namanya Wahyudi.

“Oh iya, ini lho. Eh sebentar, habiskan dulu tajinnya, nanti aku ambilkan sebuah kartu yang ana tulisan nama sampeyan.

Sunthi sudah selesai menyuapkan tajin, kemudian bergegas mengambil kartu yang tadi terselip di kantong baju Wahyudi.

“Ini lho Mas, ada jepitannya, tadi ada di saku baju sampeyan.”

Wahyudi mengamati kartu itu.

“Ini apa?”

“Ini tadi terselip eh dijepitkan di saku baju sampeyan. Ini nama Sampeyan, bukan?”

“Aku nggak tahu,” lalu Wahyudi memejamkan matanya.

“Ya Tuhan, orang ini ganteng sekali. Tapi kok lupa semuanya, gimana sih.”

“Ya sudah, mulai sekarang saya memanggilnya Mas Wahyudi ya.”

“Siapa?” Wahyudi masih bertanya, lemah.

“Sampeyan itu lho, Wahyudi.”

Wahyudi menghela napas, berat. Nama itu sama sekali asing baginya. Tak satupun ada yang diingatnya mengenai dirinya.

“Lha kamu siapa?”

Tiba-tiba timbul rasa iseng di hati Sunthi.

“Gimana sih mas, aku ini Sunthi, calon istri kamu,” kata Sunthi sembarangan.

Wahyudi menatap Sunthi. Kepalanya berdenyut ketika ia mencoba mengingat-ingat.

“Kamu … calon istri aku? Kenapa tanya namaku? Kalau calon istri pasti sudah tahu namaku dong."

"Aku kan cuma nge tes saja, habis dari kemarin sampeyan seperti bingung," Sunthi  heran sendiri, kenapa mulutnya bisa menemukan jawaban, supaya Wahyudi tidak curiga.

"Oh, gitu ya."

Sunthi mengangguk dengan tersenyum lucu.

Wahyudi mengernyitkan dahinya, manatap Sunthi tajam.

 “Bagaimana aku bisa mengambil gadis ini sebagai calon istri? Aku sama sekali tidak menyukainya,” kata batinnya.

Lalu Wahyudi menatap langit-langit rumah, yang terbuat dari anyaman bambu.

“Sekarang makan ya, perutnya sudah lebih enak?” tanya Sunthi.

Wahyudi tak menjawab. Tiba-tiba ada rasa kesal mengetahui bahwa Sunthi adalah calon istrinya. Ia baik, perhatian, tapi kenapa nggak ada rasa suka di hati Wahyudi.

“Rupanya sampeyan harus dipaksa. Ini, aku ambilkan bubur, sama ikan bakar ya, buburnya sudah gurih, ikannya sudah aku suwir-suwir,” kata Sunthi yang sudah mengambilkan sepiring bubur dan suwiran ikan bakar.

“Ayo Mas, makan dulu, setelah ini minum obatnya lagi.”

Wahyudi hanya menurut.

Berhari-hari Wahyudi dirawat oleh keluarga Tukiyo dengan telaten, sampai kemudian Wahyudi sudah mampu duduk, dan berjalan pelan. Ia juga bisa mandi sendiri, dan Sunthi selalu menyiapkan ganti dengan baju-baju punya Tukiyo. Tapi belum ada perubahan tentang ingatan Wahyudi. Semuanya gelap, kecuali satu yang kemudian diketahuinya, dia adalah calon suami Sunthi. Hal yang sama sekali tak disukainya.

“Mengapa aku menjadi calon suaminya? Aku tak suka dia. Bukan karena dia tidak cantik, tapi rasa suka itu tak ada. Bagaimana dia bisa menjadi calon istriku?” kata batinnya berkali-kali.

***

Sementara itu, di sebuah kampung, Wuri kebingungan, karena berhari-hari Wahyudi belum pulang. Ia sudah mendengar dari  Budi, kekasihnya, yang mengatakan bahwa hilangnya Wahyudi sudah ditangani polisi. Tapi  sudah dua minggu belum juga ada hasilnya.

Wuri selalu murung, karena Wahyudi  sudah seperti kakaknya sendiri.

Di kantornya juga terjadi keresahan, karena saat menghilang, Wahyudi baru saja mengambil uang dari bank untuk membayar pembelian barang-barang kebutuhan kantor. Uangnya tidak sedikit, sekitar duapuluh juta.

Perkiraan mereka, Wahyudi di rampok. Tapi mengapa orangnya juga menghilang, bahkan sepeda motornya juga tak ketahuan dimana rimbanya.

Pada suatu hari, seorang laki-laki datang ke kantor Wahyudi. Dia menemukan sebuah dompet, yang berisi KTP dan kartu pekerja di kantor tersebut.

“Bapak menemukannya di mana?”

“Di batas kota ke arah timur, ketika saya sedang turun dari bis sepulang kerja,” kata penemu dompet itu.

Penemuan itu segera dilaporkannya pada polisi. Tak ada uang di dalam dompet itu, kecuali KTP dan kartu karyawan.

Kartu karyawan itulah yang membawa si penemu kemudian membawanya ke kantor tersebut.

Kesimpulan sementara, Wahyudi dirampok. Sepeda motornya juga lenyap.

Penemuan tersebut segera dilaporkannya kepada polisi, yang kemudian bergerak mempergiat pencarian.

Wuri semakin sedih ketika mendengar tentang penemuan tersebut.

“Wuri jangan sedih, polisi sudah melacaknya. Mas Wahyudi pasti selamat,” hibur Budiono yang selalu datang menemani Wuri saat pulang dari kantornya.

“Tapi mengapa dompetnya ditemukan dan orangnya tidak? Aku khawatir Mas, dia dirampok, kemudian mas Wahyudi di_”

“Ssst, jangan memikirkan hal buruk.”

“Lalu kenapa Mas?”

“Mari kita doakan saja, agar mas Wahyudi selamat, tak kurang suatu apa.”

“Kalau dia selamat, mengapa tidak segera pulang?”

Budi tak bisa menjawabnya, karena di benaknya juga timbul pertanyaan seperti itu. Ia hanya bisa menenangkan Wuri dengan kata-kata yang sebenarnya juga diucapkannya dengan perasaan tak yakin.

***

Di sebuah taman, di sore hari itu, seorang anak kecil berumur dua tahunan sedang berlari-lari kecil ke sana kemari.  Wajahnya cantik imut, dengan rambut di kucir dua. Tiba-tiba dia berteriak : “Meeoooo…. Meeoooo …”

Tangannya menunjuk ke arah kucing yang melintas di depannya.

“Oh, ada kucing ya? Qila mau kucing?” seru seorang laki-laki ganteng yang kemudian meninggalkan isterinya yang masih duduk di sebuah bangku, untuk mengejar anak kecil itu.

“Meeoooo … meoooo …”

“Iya, itu meoong, sayang,” kata Sapto yang kemudian menggendong anak kecil itu.”

“Meeooo … meoooo ….”

Qila, anak kecil itu berteriak karena kucing yang melintas sudah menghilang di balik rerimbunan pohon di taman itu.

Anak kecil berkucir dua itu memang Qila, adanya. Dia sedang berada di taman bersama Sapto dan Retno, ayah ibunya.

Sapto menggendong Qila dan membawanya ke arah di mana kucing tadi berlari. Tapi kucing itu sudah lenyap entah kemana.

“O, meong nya sudah pergi sayang,” kata Sapto.

“Meoooo?”

“Oya, sudah pergi, meongnya ngantuk, bobuk di rumahnya. Kita ke ibu yuk,” kata Sapto sambil membawa Qila mendekati Retno yang masih menunggu di taman.

Wajah Retno tampak tidak riang seperti biasanya. Berita hilangnya Wahyudi juga membuatnya sangat prihatin. Biarpun rasa cinta yang dulu dimilikinya sudah sirna dengan berjalannya waktu, tapi rasa persaudaraan itu masih ada. Apalagi Sapto kemudian juga bersahabat dengannya. Hampir setiap pulang dari Jakarta, Sapto selalu mengajaknya ketemuan, entah sekedar berjalan-jalan, atau makan malam bersama.

Sapto bukannya tak peduli dengan berita hilangnya Wahyudi. Dia juga sangat prihatin, dan berharap Wahyudi segera di temukan.

“Buuu … meooo …” kata Qila sambil merosot dari gendongan ayahnya, lalu mendekati ibunya. Ia seakan mengatakan, bahwa tadi melihat meong.

“Iya sayang, tadi ada meong ya?” kata Retno yang kemudian merengkuh anaknya dan mendudukkannya di atas pangkuannya.

“Meooo …bobuk…”

“Oh, meong nya bobuk? Iya, anak pintar, kalau begitu kita pulang yuk, ini juga saatnya Qila bobuk kan?”

Tapi rupanya Qila belum ingin pulang. Ia merosot dari pangkuan ibunya, dan kembali berlarian. Retno tersenyum pasrah, tak bisa mencegah anaknya yang masih ingin bermain-main.

“Anak kita sudah semakin pintar,” gumam Sapto yang kemudian duduk di samping istrinya.

“Umurnya sudah dua tahun.”

“Benar. Aku selalu merasa kangen kalau harus kembali ke Jakarta.”

Retno tertawa kecil. Ia sangat berbahagia, menyadari suaminya sangat mencintai keluarganya.

“Sebenarnya aku ingin membawa kalian ke Jakarta, tapi tampaknya bapak sama ibu keberatan. Mereka juga rupanya sangat berat berpisah dengan cucunya,” lanjut Sapto sambil memeluk pinggang istrinya.

“Iya Mas, mau bagaimana lagi. Kasihan bapak sama ibu kalau terpaksa harus jauh dari Qila.”

“Kecuali kalau Budi segera menikah, dan punya anak, pasti bapak sama ibu bisa terhibur walau jauh dari Qila.”

“Sebenarnya kan Budi juga sudah ingin menikah. Minggu kemarin sudah melamar, dan bermaksud tidak lama lagi bisa menikahinya, tapi Wuri keberatan. Dia mau menikah kalau mas Wahyudi sudah diketemukan,” kata Retno.

“Iya sih. Sebenarnya aku berharap yang terbaik, tapi bagaimana kalau mas Wahyudi tetap tidak bisa diketemukan? Sudah sebulan mas Wahyudi menghilang,” gumam Sapto, sendu.

Retno menghela napas. Sedih rasanya membayangkan Wahyudi tidak selamat.

“Semoga Allah melindunginya,” bisik Retno, pelan.

“Aamiin.”

***

Pagi hari itu Wahyudi sudah merasa baik-baik saja, tapi ingatannya masih buntu. Ia hanya tahu bahwa namanya Wahyudi, dan Sunthi adalah calon istrinya. Hal yang sangat tidak disukainya. Tapi dia enggan menanyakannya pada Tukiyo.

“Sungguh aku tidak suka, bagaimana mungkin aku bisa menjadi calon suaminya?” keluhnya berkali-kali setiap berdekatan dengan Sunthi. Tapi perasaan itu hanya dikeluhkannya dalam hati.

Pagi itu Wahyudi mendekati Tukiyo.

“Pak, saya mau ikut  memancing ya?”

“Ikut? Apa nak Wahyudi sudah sehat benar?”

“Saya merasa sudah lebih baik, tapi tidak enak duduk-duduk saja di rumah.”

“Baiklah, kalau begitu. Tapi berjalan agak jauh ya.”

“Tidak apa-apa Pak.”

***

Sambil memancing itu Tukiyo terus mengajak Wahyudi berbincang, tapi belum ada yang diingat apa yang terjadi di hari-hari yang dilaluinya.

“Nak Wahyudi juga tidak ingat dimana nak Wahyudi bekerja?”

“Tidak Pak. Di kartu yang ditemukan Sunthi, sebenarnya ada tulisan, tapi tidak jelas. Saya benar-benar tidak mengingatnya.”

Wahyudi juga tidak bisa berpikir, mengapa calon mertuanya selalu bertanya. Apakah mereka semua juga sedang mengetes ingatannya seperti Sunthi?

“Ya sudah, untuk sementara nak Wahyudi tinggal saja bersama kami disini, semoga nak Wahyudi segera bisa mengingatnya, sehingga bisa segera pulang ke rumah,” kata Tukiyo sambil memasukkan ikan yang sudah di dapatnya ke dalam keranjang yang sudah disiapkannya. 

Wahyudi tak bisa berpikir apapun, setiap ucapan, dianggapnya sedang mengetes ingatannya.

"Berapa banyak ikan yang bapak dapatkan dalam sehari?”

“Sungai ini banyak sekali ikannya. Tapi tidak tentu bisa mendapat banyak. Terkadang bisa sepuluh, terkadang hanya dua atau tiga.”

“Nanti saya akan membuat kail seperti punya Bapak, supaya bisa membantu Bapak mencari ikan.”

“Oh, bagus Nak, nanti bapak carikan kayu yang bagus. Kita buat kail bersama-sama.”

“Kalau punya kesibukan, saya kan bisa membantu. Sekarang ini saya hanya duduk, dan akhirnya mengantuk.

“Kalau begitu nak Wahyudi tidur saja dulu, lihat, itu ada hamparan rumput tebal, saya sering berbaring disitu kalau lelah.”

Wahyudi benar-benar mengantuk. Jamu yang diminumkan mbok Tukiyo barangkali memang memberi efek mengantuk. Setiap siang dia selalu tidur nyenyak.

“Tidurlah Nak, kalau sudah dapat banyak nanti saya bangunkan.”

Wahyudi membaringkan tubuhnya diantara rumput tebal itu. Rasa dingin dari rumput itu membuatnya cepat terlelap.

Tiba-tiba Wahyudi melihat seorang wanita dengan rambut awut-awutan, menggendong anak perempuan kecil dengan rambut dikepang dua. Anak kecil itu meronta, lalu Wahyudi mengejarnya, dan kemudian dia berhasil  merebut anak kecil itu.

“Qila … Qila …” mulutnya menyebut sebuah nama.

Tukiyo terkejut, lalu mendekati tempat di mana Wahyudi berbaring.

“Siapa Qila?”

***

Besok lagi ya.

 

 

36 comments:

  1. Replies
    1. Alhamdulillah. Matur nuwun bunda Tien. Kembang cintaku 2 gasik menyambangiku 🙏💕💕

      Delete
    2. Selamat jeng Iin Maimun Juara 1 menjemput keluarga Tukiyo yang sdh merawat Wahyudi.

      Terima kasih bunda Tien Kumalasari salam SEROJA, dan sehat selalu

      Delete
  2. Terimakasih bunda Tien Kembang Cantikku 02

    ReplyDelete
  3. Alhamdulilah suwun mbakyu Tienkumalasari Kembang Cantikku 02, salam sehat & kangen dari Cibubur

    ReplyDelete
  4. Alhamdulilah terima kasih mbak Tien, Kembang Cantikku 02 sdh hadir, salam sehat & bahagia selalu.

    ReplyDelete
  5. Alhamdulillah, mtr nuwun bunda Tien ..
    Sehat dan bahagia selalu..

    ReplyDelete
  6. Alhamdulillah, ketemu lagi sama Mas Wahyudi, matur nuwun Bunda Tien Kumalasari, salam sehat selalu

    ReplyDelete
  7. Alhamdulillah
    Syukron nggih Mbak Tien ..
    Semoga kita semua sehat Aamiin🌹🌹🌹🌹🌹

    ReplyDelete
  8. Matur nuwun mbak Tien-ku, Kembang Cantikku sudah tayang.
    He he... Wahyudi punya calon istri tapi tidak suka, dasar Sunthi yang suka ngaco. Tapi biarlah waktu yang akan menentukan.
    Tokoh - tokoh sudah pada muncul, Sapto , Retno, Wuri, Budi..qila .
    Salam sehat penuh semangat mbak Tien, semoga selalu sehat dan sukses.

    ReplyDelete
  9. Alhamdulillah KEMBANG CANTIKKU 02 telah tayang , terima kasih bu Tien sehat n bahagia selalu. Aamiin.
    UR.T411653L

    ReplyDelete
  10. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  11. Terima kasih Bu Tien, semoga sehat selalu.

    ReplyDelete
  12. Malam Bunda makasih untuk cerbung nya

    ReplyDelete
  13. Alhamdulillah..
    Maturnuwun bu Tien 🙏

    ReplyDelete
  14. Alhamdulillah KC sdh tayang....suwun Bu Tien...🙏
    Salam sehat selalu..,😊

    ReplyDelete
  15. Alhamdulillah cerbung Kembang Cantikku Eps. 02 sudah tanyang. Matur nuwun mbak Tien Komalasari, semoga mbak Tien tetap sehat, bahagia bersama keluarga, dan selalu dalam lindungan Allah SWT. Aamiin Yaa Robbal Alamiin.

    ReplyDelete
  16. Alhamdulillah.. jumpa lagi Wahyudi, Retno, Sapto, Qila, Budi dan Wuri, seru.. terimakasih bunda Tien salam sehat dan aduhai...

    ReplyDelete
  17. Alhamdullilah sdh tayang KC 2 nya..terima ksih bunda Tien..slm sayang dan slm sehat all dri Sukabumi🙏🥰🌹

    ReplyDelete
  18. Makasih mba Tien.
    Mudah²an ingatan Wahyudi pulih lagi.
    Salam hangat,selalu aduhai

    ReplyDelete
  19. Matur nuwun ibu Tien Kembang Cantikku 02 sdh hadir menghibur kami para penggandrung cerbung Ibu.

    Semoga nama Qilla yang di sebut2 Wahyudi membuka jalan penelusuran asal usul Wahyudi...

    ReplyDelete
  20. Alhamdulillah, matursuwun bu Tien, semoga sehat selalu

    ReplyDelete
  21. Alhamdulillah ..baru baca...siapa cah Bagus yaa

    ReplyDelete
  22. Alhamdulillah
    Syukron nggih Mbak Tien🌷🌷🌷🌷🌷

    ReplyDelete

CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG 36

  CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG  36 (Tien Kumalasari)   Satria memandang sungkan kepada dosen yang ada di depannya. Menurutnya Listyo kelew...