KEMBANG CANTIKKU
02
(Tien Kumalasari)
Sunthi mengangkat baju berwarna biru itu, dan
mengambil kartu kecil yang bertuliskan nama Wahyudi. Ada tulisan di atasnya,
tapi kabur, mungkin ketika terjatuh, ada air memasukinya, sehingga tulisannya
benar-benar terhapus, yang kelihatan hanya nama Wahyudi,, yang walaupun agak
kabur, karena tulisannya besar, Sunthi masih bisa membacanya.
“Sebetulnya ada tulisan di atasnya, tapi kok tidak
jelas,” gumamnya, kemudian dia meletakkannya di tempat kering.
“Namanya ‘Wahyudi’ … hm, bagus ya. Kenapa
tidak pakai ‘Bambang’ … Bambang Wahyudi, kan bagus. Atau ‘Joko Wahyudi’ … lebih
bagus kan? Wah, dia pasti senang kalau aku mengingatkan namanya. Habis, dia
ditemukan tanpa ada catatan atau buku, atau KTP, atau apa, yang bisa
menunjukkan asal usulnya. Ya hanya kartu yang ada tulisan ‘Wahyudi’ ini saja.
Apa dia korban perampokan ya?
Ada-ada saja. Bapak itu nemu kok ya orang, bukannya
nemu uang … gitu. Kalau nemu uang, trus yang buanyakkk … kan hidup kami tidak
susah. Simbok tidak setiap hari menjual sayur ke pasar, yang hasilnya hanya
cukup untuk beli beras sama sedikit lauk, dan bapak juga tidak harus duduk di
tepi sungai, memancing ikan, yang terkadang juga hanya mendapat dua tiga ekor,
dijual dua, yang satu untuk lauk. Kalau bosan lauk ikan ya dijual semua, dapat
beras lagi sekilo atau dua kilo.
“Tapi seneng juga ya, nemu orang, ganteng pula, simbok
sampai manggilnya ‘cah bagus’. Hiih, kenapa
aku memuji-muji orang asing yang nggak tahu asal usulnya, trus dia itu orang
baik atau orang jahat. Eh, masak sih, orang ganteng kelakuannya jahat. Tapi ya
siapa tahu sih, wajahnya ganteng, tapi copet. Simbok pernah cerita kan, ada
copet digebugin di pasar, orangnya ganteng, pakaiannya bagus. Yah, semoga saja
cah bagus itu orang baik-baik. Eh bukan ‘cah bagus’ lagi, kan namanya sudah
ketemu?”
Sunthi terus saja bergumam sambil mencuci baju
Wahyudi, dan sekalian bajunya sendiri serta baju bapak dan simboknya.
Ketika sudah selesai mencuci, Sunthi segera masuk ke
dalam rumah. Dilihatnya Wahyudi masih berbaring, tapi matanya terbuka. Sunthi
mendekat.
“Apa sampeyan lapar? Minum tajinnya dulu, kata simbok
ini bisa membuat perut terasa nyaman. Setelah itu makan ya, sama ikan bakar
sisa kemarin, aku belum masak,” kata Sunthi sambil meraih mangkuk berisi tajin.
Wahyudi tak menjawab. Ia bingung akan apa yang terjadi, dan tak sedikitpun ia
bisa mengingat apa yang terjadi, Kepalanya masih terasa berdenyut, tapi dia
membuka mulutnya ketika Sunthi menyuapkan tajin.
“Saya sudah tahu, siapa nama sampeyan,” kata Sunthi
sambil menyuapkan tajinnya.
“Namaku? Siapa namaku?” katanya pelan.
“Wahyudi. Iya kan, itu nama sampeyan?”
“Wahyudi? Siapa Wahyudi?”
“Astaga Mas, itu nama sampeyan.”
“Namaku?” Wahyudi tampak semakin bingung. Ia tak tahu
bahwa namanya Wahyudi.
“Oh iya, ini lho. Eh sebentar, habiskan dulu tajinnya,
nanti aku ambilkan sebuah kartu yang ana tulisan nama sampeyan.
Sunthi sudah selesai menyuapkan tajin, kemudian bergegas
mengambil kartu yang tadi terselip di kantong baju Wahyudi.
“Ini lho Mas, ada jepitannya, tadi ada di saku baju
sampeyan.”
Wahyudi mengamati kartu itu.
“Ini apa?”
“Ini tadi terselip eh dijepitkan di saku baju
sampeyan. Ini nama Sampeyan, bukan?”
“Aku nggak tahu,” lalu Wahyudi memejamkan matanya.
“Ya Tuhan, orang ini ganteng sekali. Tapi kok lupa
semuanya, gimana sih.”
“Ya sudah, mulai sekarang saya memanggilnya Mas
Wahyudi ya.”
“Siapa?” Wahyudi masih bertanya, lemah.
“Sampeyan itu lho, Wahyudi.”
Wahyudi menghela napas, berat. Nama itu sama sekali
asing baginya. Tak satupun ada yang diingatnya mengenai dirinya.
“Lha kamu siapa?”
Tiba-tiba timbul rasa iseng di hati Sunthi.
“Gimana sih mas, aku ini Sunthi, calon istri kamu,”
kata Sunthi sembarangan.
Wahyudi menatap Sunthi. Kepalanya berdenyut ketika ia
mencoba mengingat-ingat.
“Kamu … calon istri aku? Kenapa tanya namaku? Kalau calon istri pasti sudah tahu namaku dong."
"Aku kan cuma nge tes saja, habis dari kemarin sampeyan seperti bingung," Sunthi heran sendiri, kenapa mulutnya bisa menemukan jawaban, supaya Wahyudi tidak curiga.
"Oh, gitu ya."
Sunthi mengangguk dengan tersenyum lucu.
Wahyudi mengernyitkan dahinya, manatap Sunthi tajam.
“Bagaimana aku
bisa mengambil gadis ini sebagai calon istri? Aku sama sekali tidak
menyukainya,” kata batinnya.
Lalu Wahyudi menatap langit-langit rumah, yang terbuat
dari anyaman bambu.
“Sekarang makan ya, perutnya sudah lebih enak?” tanya
Sunthi.
Wahyudi tak menjawab. Tiba-tiba ada rasa kesal
mengetahui bahwa Sunthi adalah calon istrinya. Ia baik, perhatian, tapi kenapa
nggak ada rasa suka di hati Wahyudi.
“Rupanya sampeyan harus dipaksa. Ini, aku ambilkan bubur,
sama ikan bakar ya, buburnya sudah gurih, ikannya sudah aku suwir-suwir,” kata
Sunthi yang sudah mengambilkan sepiring bubur dan suwiran ikan bakar.
“Ayo Mas, makan dulu, setelah ini minum obatnya lagi.”
Wahyudi hanya menurut.
Berhari-hari Wahyudi dirawat oleh keluarga Tukiyo
dengan telaten, sampai kemudian Wahyudi sudah mampu duduk, dan berjalan pelan.
Ia juga bisa mandi sendiri, dan Sunthi selalu menyiapkan ganti dengan baju-baju
punya Tukiyo. Tapi belum ada perubahan tentang ingatan Wahyudi. Semuanya gelap,
kecuali satu yang kemudian diketahuinya, dia adalah calon suami Sunthi. Hal yang sama sekali
tak disukainya.
“Mengapa aku menjadi calon suaminya? Aku tak suka dia.
Bukan karena dia tidak cantik, tapi rasa suka itu tak ada. Bagaimana dia bisa
menjadi calon istriku?” kata batinnya berkali-kali.
***
Sementara itu, di sebuah kampung, Wuri kebingungan,
karena berhari-hari Wahyudi belum pulang. Ia sudah mendengar dari Budi,
kekasihnya, yang mengatakan bahwa hilangnya Wahyudi sudah ditangani polisi. Tapi sudah dua minggu
belum juga ada hasilnya.
Wuri selalu murung, karena Wahyudi sudah seperti kakaknya sendiri.
Di kantornya juga terjadi keresahan, karena saat
menghilang, Wahyudi baru saja mengambil uang dari bank untuk membayar pembelian
barang-barang kebutuhan kantor. Uangnya tidak sedikit, sekitar duapuluh juta.
Perkiraan mereka, Wahyudi di rampok. Tapi mengapa orangnya
juga menghilang, bahkan sepeda motornya juga tak ketahuan dimana rimbanya.
Pada suatu hari, seorang laki-laki datang ke kantor
Wahyudi. Dia menemukan sebuah dompet, yang berisi KTP dan kartu pekerja di
kantor tersebut.
“Bapak menemukannya di mana?”
“Di batas kota ke arah timur, ketika saya sedang turun
dari bis sepulang kerja,” kata penemu dompet itu.
Penemuan itu segera dilaporkannya pada polisi. Tak ada
uang di dalam dompet itu, kecuali KTP dan kartu karyawan.
Kartu karyawan itulah yang membawa si penemu kemudian membawanya ke kantor tersebut.
Kesimpulan sementara, Wahyudi dirampok. Sepeda
motornya juga lenyap.
Penemuan tersebut segera dilaporkannya kepada polisi,
yang kemudian bergerak mempergiat pencarian.
Wuri semakin sedih ketika mendengar tentang penemuan
tersebut.
“Wuri jangan sedih, polisi sudah melacaknya. Mas
Wahyudi pasti selamat,” hibur Budiono yang selalu datang menemani Wuri saat
pulang dari kantornya.
“Tapi mengapa dompetnya ditemukan dan orangnya tidak? Aku
khawatir Mas, dia dirampok, kemudian mas Wahyudi di_”
“Ssst, jangan memikirkan hal buruk.”
“Lalu kenapa Mas?”
“Mari kita doakan saja, agar mas Wahyudi selamat, tak
kurang suatu apa.”
“Kalau dia selamat, mengapa tidak segera pulang?”
Budi tak bisa menjawabnya, karena di benaknya juga
timbul pertanyaan seperti itu. Ia hanya bisa menenangkan Wuri dengan kata-kata
yang sebenarnya juga diucapkannya dengan perasaan tak yakin.
***
Di sebuah taman, di sore hari itu, seorang anak kecil
berumur dua tahunan sedang berlari-lari kecil ke sana kemari. Wajahnya cantik imut, dengan rambut di kucir
dua. Tiba-tiba dia berteriak : “Meeoooo…. Meeoooo …”
Tangannya menunjuk ke arah kucing yang melintas di
depannya.
“Oh, ada kucing ya? Qila mau kucing?” seru seorang
laki-laki ganteng yang kemudian meninggalkan isterinya yang masih duduk di
sebuah bangku, untuk mengejar anak kecil itu.
“Meeoooo … meoooo …”
“Iya, itu meoong, sayang,” kata Sapto yang kemudian
menggendong anak kecil itu.”
“Meeooo … meoooo ….”
Qila, anak kecil itu berteriak karena kucing yang
melintas sudah menghilang di balik rerimbunan pohon di taman itu.
Anak kecil berkucir dua itu memang Qila, adanya. Dia
sedang berada di taman bersama Sapto dan Retno, ayah ibunya.
Sapto menggendong Qila dan membawanya ke arah di mana
kucing tadi berlari. Tapi kucing itu sudah lenyap entah kemana.
“O, meong nya sudah pergi sayang,” kata Sapto.
“Meoooo?”
“Oya, sudah pergi, meongnya ngantuk, bobuk di
rumahnya. Kita ke ibu yuk,” kata Sapto sambil membawa Qila mendekati Retno yang
masih menunggu di taman.
Wajah Retno tampak tidak riang seperti biasanya.
Berita hilangnya Wahyudi juga membuatnya sangat prihatin. Biarpun rasa cinta
yang dulu dimilikinya sudah sirna dengan berjalannya waktu, tapi rasa
persaudaraan itu masih ada. Apalagi Sapto kemudian juga bersahabat dengannya.
Hampir setiap pulang dari Jakarta, Sapto selalu mengajaknya ketemuan, entah
sekedar berjalan-jalan, atau makan malam bersama.
Sapto bukannya tak peduli dengan berita hilangnya
Wahyudi. Dia juga sangat prihatin, dan berharap Wahyudi segera di temukan.
“Buuu … meooo …” kata Qila sambil merosot dari
gendongan ayahnya, lalu mendekati ibunya. Ia seakan mengatakan, bahwa tadi
melihat meong.
“Iya sayang, tadi ada meong ya?” kata Retno yang
kemudian merengkuh anaknya dan mendudukkannya di atas pangkuannya.
“Meooo …bobuk…”
“Oh, meong nya bobuk? Iya, anak pintar, kalau begitu
kita pulang yuk, ini juga saatnya Qila bobuk kan?”
Tapi rupanya Qila belum ingin pulang. Ia merosot dari
pangkuan ibunya, dan kembali berlarian. Retno tersenyum pasrah, tak bisa
mencegah anaknya yang masih ingin bermain-main.
“Anak kita sudah semakin pintar,” gumam Sapto yang kemudian
duduk di samping istrinya.
“Umurnya sudah dua tahun.”
“Benar. Aku selalu merasa kangen kalau harus kembali
ke Jakarta.”
Retno tertawa kecil. Ia sangat berbahagia, menyadari
suaminya sangat mencintai keluarganya.
“Sebenarnya aku ingin membawa kalian ke Jakarta, tapi
tampaknya bapak sama ibu keberatan. Mereka juga rupanya sangat berat berpisah
dengan cucunya,” lanjut Sapto sambil memeluk pinggang istrinya.
“Iya Mas, mau bagaimana lagi. Kasihan bapak sama ibu
kalau terpaksa harus jauh dari Qila.”
“Kecuali kalau Budi segera menikah, dan punya anak,
pasti bapak sama ibu bisa terhibur walau jauh dari Qila.”
“Sebenarnya kan Budi juga sudah ingin menikah. Minggu
kemarin sudah melamar, dan bermaksud tidak lama lagi bisa menikahinya, tapi Wuri
keberatan. Dia mau menikah kalau mas Wahyudi sudah diketemukan,” kata Retno.
“Iya sih. Sebenarnya aku berharap yang terbaik, tapi
bagaimana kalau mas Wahyudi tetap tidak bisa diketemukan? Sudah sebulan mas
Wahyudi menghilang,” gumam Sapto, sendu.
Retno menghela napas. Sedih rasanya membayangkan
Wahyudi tidak selamat.
“Semoga Allah melindunginya,” bisik Retno, pelan.
“Aamiin.”
***
Pagi hari itu Wahyudi sudah merasa baik-baik saja,
tapi ingatannya masih buntu. Ia hanya tahu bahwa namanya Wahyudi, dan Sunthi
adalah calon istrinya. Hal yang sangat tidak disukainya. Tapi dia enggan menanyakannya pada Tukiyo.
“Sungguh aku tidak suka, bagaimana mungkin aku bisa
menjadi calon suaminya?” keluhnya berkali-kali setiap berdekatan dengan Sunthi.
Tapi perasaan itu hanya dikeluhkannya dalam hati.
Pagi itu Wahyudi mendekati Tukiyo.
“Pak, saya mau ikut memancing ya?”
“Ikut? Apa nak Wahyudi sudah sehat benar?”
“Saya merasa sudah lebih baik, tapi tidak enak
duduk-duduk saja di rumah.”
“Baiklah, kalau begitu. Tapi berjalan
agak jauh ya.”
“Tidak apa-apa Pak.”
***
Sambil memancing itu Tukiyo terus
mengajak Wahyudi berbincang, tapi belum ada yang diingat apa yang terjadi di hari-hari yang
dilaluinya.
“Nak Wahyudi juga tidak ingat dimana
nak Wahyudi bekerja?”
“Tidak Pak. Di kartu yang ditemukan Sunthi, sebenarnya
ada tulisan, tapi tidak jelas. Saya benar-benar tidak mengingatnya.”
Wahyudi juga tidak bisa berpikir, mengapa calon mertuanya selalu bertanya. Apakah mereka semua juga sedang mengetes ingatannya seperti Sunthi?
“Ya sudah, untuk sementara nak Wahyudi tinggal saja
bersama kami disini, semoga nak Wahyudi segera bisa mengingatnya, sehingga bisa
segera pulang ke rumah,” kata Tukiyo sambil memasukkan ikan yang sudah di
dapatnya ke dalam keranjang yang sudah disiapkannya.
Wahyudi tak bisa berpikir apapun, setiap ucapan, dianggapnya sedang mengetes ingatannya.
"Berapa banyak ikan yang bapak dapatkan dalam sehari?”
“Sungai ini banyak sekali ikannya. Tapi tidak tentu
bisa mendapat banyak. Terkadang bisa sepuluh, terkadang hanya dua atau tiga.”
“Nanti saya akan membuat kail seperti punya Bapak,
supaya bisa membantu Bapak mencari ikan.”
“Oh, bagus Nak, nanti bapak carikan kayu yang bagus.
Kita buat kail bersama-sama.”
“Kalau punya kesibukan, saya kan bisa membantu.
Sekarang ini saya hanya duduk, dan akhirnya mengantuk.
“Kalau begitu nak Wahyudi tidur saja dulu, lihat, itu
ada hamparan rumput tebal, saya sering berbaring disitu kalau lelah.”
Wahyudi benar-benar mengantuk. Jamu yang diminumkan
mbok Tukiyo barangkali memang memberi efek mengantuk. Setiap siang dia selalu
tidur nyenyak.
“Tidurlah Nak, kalau sudah dapat banyak nanti saya
bangunkan.”
Wahyudi membaringkan tubuhnya diantara rumput tebal
itu. Rasa dingin dari rumput itu membuatnya cepat terlelap.
Tiba-tiba Wahyudi melihat seorang wanita dengan rambut
awut-awutan, menggendong anak perempuan kecil dengan rambut dikepang dua. Anak
kecil itu meronta, lalu Wahyudi mengejarnya, dan kemudian dia berhasil merebut anak kecil itu.
“Qila … Qila …” mulutnya menyebut sebuah nama.
Tukiyo terkejut, lalu mendekati tempat di mana Wahyudi
berbaring.
“Siapa Qila?”
***
Besok lagi ya.
Yes
ReplyDeleteAlhamdulillah. Matur nuwun bunda Tien. Kembang cintaku 2 gasik menyambangiku 🙏💕💕
DeleteSelamat jeng Iin Maimun Juara 1 menjemput keluarga Tukiyo yang sdh merawat Wahyudi.
DeleteTerima kasih bunda Tien Kumalasari salam SEROJA, dan sehat selalu
ReplyDeleteMtnuwun mbk Tien....🙏🙏
Alhamdulillah
ReplyDeleteHooooreeee...
ReplyDeleteTerimakasih bunda Tien Kembang Cantikku 02
ReplyDeleteAlhamdulilah suwun mbakyu Tienkumalasari Kembang Cantikku 02, salam sehat & kangen dari Cibubur
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteAlhamdulilah terima kasih mbak Tien, Kembang Cantikku 02 sdh hadir, salam sehat & bahagia selalu.
ReplyDeleteAlhamdulillah, mtr nuwun bunda Tien ..
ReplyDeleteSehat dan bahagia selalu..
Alhamdulillah, ketemu lagi sama Mas Wahyudi, matur nuwun Bunda Tien Kumalasari, salam sehat selalu
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteSyukron nggih Mbak Tien ..
Semoga kita semua sehat Aamiin🌹🌹🌹🌹🌹
Matur nuwun bu Tien
ReplyDeleteMatur nuwun mbak Tien-ku, Kembang Cantikku sudah tayang.
ReplyDeleteHe he... Wahyudi punya calon istri tapi tidak suka, dasar Sunthi yang suka ngaco. Tapi biarlah waktu yang akan menentukan.
Tokoh - tokoh sudah pada muncul, Sapto , Retno, Wuri, Budi..qila .
Salam sehat penuh semangat mbak Tien, semoga selalu sehat dan sukses.
Alhamdulillah KEMBANG CANTIKKU 02 telah tayang , terima kasih bu Tien sehat n bahagia selalu. Aamiin.
ReplyDeleteUR.T411653L
Alhamdulillah
ReplyDeleteTerimakasih bu Tien
Trims Bu tien
ReplyDeleteMaturnuwun
ReplyDeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDeleteTerima kasih Bu Tien, semoga sehat selalu.
ReplyDeleteMalam Bunda makasih untuk cerbung nya
ReplyDeleteAlhamdulillah..
ReplyDeleteMaturnuwun bu Tien 🙏
Alhamdulillah KC sdh tayang....suwun Bu Tien...🙏
ReplyDeleteSalam sehat selalu..,😊
Alhamdulillah cerbung Kembang Cantikku Eps. 02 sudah tanyang. Matur nuwun mbak Tien Komalasari, semoga mbak Tien tetap sehat, bahagia bersama keluarga, dan selalu dalam lindungan Allah SWT. Aamiin Yaa Robbal Alamiin.
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteMatur nuwun bu Tien
Matur nuwun bunda Tien...🙏
ReplyDeleteAlhamdulillah.. jumpa lagi Wahyudi, Retno, Sapto, Qila, Budi dan Wuri, seru.. terimakasih bunda Tien salam sehat dan aduhai...
ReplyDeleteAlhamdullilah sdh tayang KC 2 nya..terima ksih bunda Tien..slm sayang dan slm sehat all dri Sukabumi🙏🥰🌹
ReplyDeleteMatur nuwun, bu Tien
ReplyDeleteMakasih mba Tien.
ReplyDeleteMudah²an ingatan Wahyudi pulih lagi.
Salam hangat,selalu aduhai
Matur nuwun ibu Tien Kembang Cantikku 02 sdh hadir menghibur kami para penggandrung cerbung Ibu.
ReplyDeleteSemoga nama Qilla yang di sebut2 Wahyudi membuka jalan penelusuran asal usul Wahyudi...
Alhamdulillah, matursuwun bu Tien, semoga sehat selalu
ReplyDeleteAlhamdulillah ..baru baca...siapa cah Bagus yaa
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteSyukron nggih Mbak Tien🌷🌷🌷🌷🌷