KEMBANG CANTIKKU
03
(Tien Kumalasari)
“Nak Wahyudi … “ Tukiyo menggoyang-goyangkan tubuh
Wahyudi, yang kemudian bangkit dengan bingung.
“Ada apa Pak? Sudah dapat banyak?”
“Belum, tapi nak Wahyudi tadi memanggil-manggil nama Qila.
Siapa Qila?”
Wahyudi mengerutkan keningnya.
“Qila? Siapa dia?”
Tukiyo menghembuskan napas kesal.
“Tadi sampeyan memanggil-manggil nama Qila … Qila …
begitu.”
“Siapa ya?”
“Aduh, mana saya tahu. Tadi nak Wahyudi mimpi apa?”
“Mimpi?” Wahyudi mengerutkan keningnya, lalu
dipejamkannya matanya. Ia mencoba mengingat ingat. Tapi kemudian dia
menggelengkan kepalanya.
“Ya sudah, sampeyan tidur lagi saja, saya mau melihat
kail saya,” kata Tukiyo sambil menjauh.
Wahyudi kembali membaringkan tubuhnya.
“Apa tadi dia bilang? Qila … ? Nama itu seperti tak
asing bagiku. Qila … Qila … Qila …” Wahyudi terus bergumam.
Tukiyo menoleh kearah Wahyudi, setelah meletakkan ikan
yang tersangkut di kailnya, di keranjang.
“Siapa Qila yang dipanggilnya? Tapi kok aneh, dia
tidak ingat sesuatu, padahal aku mendengar dengan jelas dia memanggil nama itu.
Tadi aku berharap dia mengingat sesuatu, ternyata tidak, apakah Qila itu nama
istrinya? Atau calon istrinya?” gumam Tukiyo sambil memasang umpannya lagi.
Sementara itu Wahyudi yang membaringkan kembali
tubuhnya merasa bingung. Ia memijit-mijit keningnya karena sedikit pusing. Siapa
Qila?
Tapi tiba-tiba terbayang lagi gambaran dalam mimpinya.
Perempuan dengan rambut awut-awutan, anak kecil dengan kucir dua.
“Siapa yang namanya Qila? Perempuan dengan wajah
bengis itu? Atau anak kecil yang … ah ya … aku menggendongnya. Wajahnya imut,
lucu, siapa dia? Apakah aku hanya sekedar mimpi?”
Wahyudi masih merasa pusing, ketika Tukiyo mengajaknya
pergi dari tempat itu.
“Saya mau menjual ikan-ikan ini, nak Wahyudi pulang
saja ya? Kelihatannya kok seperti tidak sehat begitu.”
“Kepala saya pusing setiap mencoba mengingat sesuatu,”
keluhnya sambil berjalan mengikuti Tukiyo.
“Belum ingat yang namanya Qila? Apa itu nama isteri
nak Wahyudi? Atau calon istri?” Tukiyo masih mencoba bertanya.
“Entahlah,” keluh Wahyudi lagi.
“Baiklah, jangan dipaksa mengingat-ingat, pulanglah
dan beristirahat.”
“Istriku? Calon istri? Laki-laki setengah tua ini
masih memancing-mancing ingatanku. Bukankah calon istriku adalah Sunthi?” kata
batin Wahyudi.
Tapi Qila … aku merasa nama itu tidak asing lagi. Ah …
ya … aku pernah bermimpi sebelumnya. Mimpi yang sama. Kapan ya? Apakah nama
Qila hanya ada di dalam mimpiku saja? Namanya aneh, tapi aku merasa akrab
dengan nama itu, wajahnya juga. Imut, dengan rambut dikucir dua,” Wahyudi terus
membatin.
“Nak, sampeyan kebablasan, rumah kita disana, jangan
mengikuti saya, saya mau menyetorkan ikan ini ke juragan yang ada di pasar,”
kata Tukiyo sambil berhenti, untuk mengingatkan Wahyudi yang terus saja
berjalan.
“Oh, benarkah? Iya … harusnya saya ke sana. Maaf ya
Pak,” kata Wahyudi sambil membalikkan badannya.
Di depan pintu rumah sederhana itu, Sunthi berdiri
menunggu. Wahyudi merasa aneh. Nama Sunthi begitu asing. Juga wajah itu. Ia
membuang muka, tak berani bertatap muka dengan ‘calon istrinya’.
“Mas, nggak ikut bapak ke pasar?” tanyanya sambil tersenyum
manis. Ada rasa senang ketika mempermainkan Wahyudi dengan mengatakan bahwa
dirinya adalah calon istrinya.
“Aku agak pusing,” jawabnya singkat, lalu masuk ke
rumah. Sunthi mengikutinya.
“Alangkah senangnya kalau aku ini benar-benar calon istrinya.
Semoga bapak sama simbok tidak tahu bahwa aku telah membohongi mas Wahyudi,”
kata batin Sunthi, yang masih mengikuti di belakangnya.
“Mas, baju sampeyan kok banyak tertempel rumput?”
Wahyudi mengibaskan bajunya.
“Tadi tiduran di tepi sungai ya? Memang kalau di sana
hawanya sejuk, rasanya hanya pengin tidur. Dulu saya sering ikut bapak ke
sungai, dan tertidur di sana,” Sunthi mengoceh sambil mengibaskan potongan
rumput yang tersisa di baju cah bagus bernama Wahyudi itu.
Wahyudi membaringkan tubuhnya di balai-balai, tempat
dia tidur sebelumnya. Mimpi itu terus mengikutinya.
“Qila … siapa kamu?”
Wahyudi memejamkan matanya, ketika Sunthi membawakan
nasi dengan sayur mbayung di sebuah mangkuk.
“Makan dulu mas. Sayur bobor mbayung, sama irisan
kates.”
“Nanti saja, aku makan sendiri,” kata Wahyudi sambil
memejamkan matanya.
Sunthi masih memegangi mangkuk itu, sambil menatapnya
kagum.
“Kamu kok tampan banget sih mas, gemesss akuuu,” kata
batin Sunthi sambil tersenyum.
Rupanya Sunthi terjerumus kedalam kata main-main yang
diucapkannya, dan tumbuhlah rasa aneh di dalam hatinya.
“Celaka, aku benar-benar suka sama dia, bagaimana ini?”
ia masih membatin sambil meninggalkan Wahyudi yang terbaring sambil memejamkan
mata.
***
Malam itu Tukiyo dan istrinya sedang duduk di bangku
bambu depan rumahnya.
“Bagaimana ya? Sudah sebulan lebih, nak Wahyudi belum
bisa mengingat apapun,” keluh Tukiyo.
“Apa sampeyan keberatan kalau dia tinggal disini?”
kata istrinya.
“Bukan keberatan mbokne, tapi berarti dia itu masih
sakit, belum sembuh benar.”
“Iya sih, apa kita bawa ke dukun saja ya Pak?”
“Hush, dukun mana? Kamu tahu dimana ada dukun pintar?”
“Nggak tahu sih, nanti di pasar aku mau nanya-nanya,
barangkali ada yang tahu.”
“Tadi waktu ikut aku ke sungai, dia tertidur. Dan
dalam tidur itu dia menyebut sebuah nama.”
“Oh ya, berarti dia mengingat sesuatu?”
“Tidak. Nama yang di sebut itu Qila.”
“Qila? Nama kok aneh,” kata mbok Tukiyo.
“Jangan-jangan itu nama istrinya, atau calon istrinya.”
“Apa? Dia sudah punya istri?” tiba-tiba Sunthi
menyusul kedua orang tuanya, lalu mengambil bangku kecil, dan duduk di depan
mereka.
“Kamu itu bagaimana. Aku ya nggak tahu, orang dia sendiri
juga nggak ingat,” kata bapaknya.
"Wah, seandainya … dia itu mau menjadi suami aku ya
mbok?” Sunthi nekat.
“Hush! Kamu itu omong apa. Omong nggak jelas begitu.
Nanti kalau keluarganya mencari, lalu kamu mau apa?” kata Tukiyo kesal.
“Iya sih … ‘
“Anak perempuan nggak boleh begitu. Malu!” tukas Tukiyo.
“Semoga saja nggak ada yang nyari sampai kemari,” kata
Sunthi enteng.
“Sunthi !”
Sunthi lari masuk ke dalam rumah. Ia merasa sudah
sangat nekat dengan mengucapkan kata itu di depan kedua orang tuanya. Dan dia
kena marah. Bagaimana kalau mereka tahu bahwa Sunthi sudah mengatakan pada
Wahyudi bahwa dia adalah calon istrinya? Celaka kan? Marah bapaknya bisa
berujung tongkat melayang menggebugi tubuhnya.
Keluarga Tukiyo walaupun orang desa yang sederhana,
tapi menjunjung tinggi sopan santun dan tata krama. Seorang perempuan tidak
boleh mendahului suka kepada laki-laki, apalagi sampai mengucapkannya.
“Bagaimana anakmu itu mbokne, tampaknya dia suka sama
nak Wahyudi.”
“Iya sih, nak Wahyudi itu bagus alus. Perempuan mana
yang tidak suka,” kata mbok Tukiyo sedikit membela anaknya.
“Tapi kan tidak boleh begitu itu. Kecuali kalau nak
Wahyudi yang minta. Lagipula dia itu siapa, jangan-jangan sudah punya istri.
Aku masih penasaran dengan nama yang disebutnya. Tampaknya nama seorang
perempuan. Menurut aku, barangkali ingatannya bisa segera pulih. Tanpa dia
sadari dia menyebut sebuah nama. Pasti nama itu punya arti untuk dia.”
Mbok Tukiyo diam termenung. Ada sih keinginan untuk
mengambil mantu Wahyudi, apalagi Sunthi itu bagi gadis desa seumurnya sudah
waktunya punya suami.
Ia ingat penjual bakso keliling langganannya di pasar.
Dia itu ya lumayan cakep, baik, dan tekun dalam bekerja. Mbok Tukiyo punya
keinginan menjadikannya menantu, tapi kok Wahyudi lebih ganteng ya.
“Kamu mikir apa mbokne. Jangan katakan, kamu juga
pengin mengambil nak Wahyudi jadi menantu,” kata Tukiyo sambil menoleh ke arah
istrinya.
“Sunthi itu kan sudah dewasa, sudah saatnya punya
suami,” kata mbok Tukiyo seakan mengeluh.
“Jodoh itu kalau sudah saatnya, pasti akan datang
mbokne.”
“Siapa tahu, kedatangan nak Wahyudi itu memang diberikan
Gusti Allah untuk anak kita.”
“Lhaaah, kok kamu punya pikiran begitu? Apa kamu tidak
khawatir, kalau suatu hari nanti ada keluarga yang mencarinya, atau tiba-tiba
ingatan nak Wahyudi pulih kembali. Kalau kita menjadikannya menantu, bisa kacau
semuanya, apalagi kalau ternyata dia sudah punya istri.”
“Apa iya ya, dia sudah punya istri?” mbok Tukiyo masih
berharap.
“Menurut aku, umur dia itu bukan muda lagi. Sudah
lebih dari dewasa. Kelihatan kan wajahnya seperti apa?”
“Menurut aku, wajahnya ya ganteng, tampan, muda,” kata
mbok Tukiyo ngeyel.
“Dasar perempuan,” kesal Tukiyo yang kemudian masuk ke
rumah, meninggalkan istrinya yang masih termangu di pelataran.
***
Saat masuk rumah, mbok Tukiyo melihat Sunthi masih
tergolek diatas tempat tidur di kamarnya, tapi dia belum memejamkan matanya.
“Nduk, kok belum tidur ?”
“Iya Mbok, kok susah banget mau tidur.”
“Kamu mikirin apa?”
“Nggak mikirin apa-apa,” katanya sambil membalikkan
tubuhnya, memunggungi simboknya.
“Apa kamu suka sama dia?” kata mbok Tukiyo berbisik,
takut Wahyudi yang tidur di luar kamar itu mendengarnya.
Sunthi menggelengkan kepalanya.
“Yang bener?”
Sunthi terdiam. Ia menyesal tadi mengungkapkan sesuatu
tanpa disadarinya, dan membuat ayahnya marah.
“Kalau kamu memang suka, besok aku mau bicara sama
dia?” kata mbok Tukiyo masih dengan berbisik.
Sunthi membalikkan lagi tubuhnya, tertelentang, lalu
menatap simboknya yang duduk di tepi pembaringan.
“Kamu mau?”
Mata Sunthi berkedip-kedip. Wajah tampan itu melintas
dimatanya. Lalu membuatnya berdebar-debar.
Lalu Sunthi menganggukkan kepalanya.
mBok Tukiyo mengusap kepala anaknya dengan lembut.
Naluri seorang ibu, ia ingin anaknya berbahagia bukan?
“Ya sudah, tidurlah. Besok simbok mau bicara sama dia.”
Sunthi mengedipkan matanya lagi.
“Sudah, tidur. Besok kamu bangun kesiangan lho,” kata
mbok Tukiyo sambil keluar dari kamar.
***
Pagi hari itu Wahyudi sudah bangun. Ia berharap mimpi
seperti siang harinya, tapi ternyata mimpi itu tidak datang lagi. Ia hanya
mencatat sebuah nama, Qila. Tapi siapa Qila, masih gelap baginya.
Mbok Tukiyo sudah berangkat ke pasar dengan
menggendong kacang panjang sebakul yang baru saja dipanen.
Tukiyo sudah menyiapkan kail dan wadah ikan yang akan
dibawanya ke sungai.
“Nak Wahyudi mau ikut lagi?”
“Nanti saja saya menyusul Pak, saya belum mandi.”
“Kalau mau, saya tunggu.”
“Tidak, nanti Bapak kesiangan.”
“Baiklah, saya berangkat dulu ya.”
Wahyudi mengantarkannya sampai ke pintu depan, lalu membalikkan
tubuhnya untuk masuk ke dalam rumah. Tapi di pintu itu kebetulan Sunthi mau
keluar, sehingga mereka bertabrakan, dan Sunthi jatuh terduduk.
“Adduuuh …” rintihnya.
“Maaf ya, tidak tahu aku, kalau kamu mau keluar.”
“Addduh,” Sunthi masih merintih sambil memegangi tubuh
bagian belakangnya.
“Sakit?”
“Tidak. Namanya orang jatuh ya sakit,” jawabnya kesal.
“Bisa berdiri?”
“Tidak,” kata Sunthi sambil mengangkat tangannya,
berharap Wahyudi mau menolongnya.
Wahyudi menarik tangannya, kemudian Sunthi berdiri.
Ketika Sunthi mengulaskan senyuman yang menurutnya senyum termanis yang
dimilikinya, Wahyudi sudah meninggalkannya. Ia ingin mandi, kemudian
berjalan-jalan, entah kemana.
“Ya ampuun, sama calon isteri sendiri kok begitu amat,”
keluhnya. Sambil mengelus punggungnya yang masih terasa nyeri.
Wahyudi sudah selesai mandi, kemudian berganti
pakaian. Yang dikenakannya juga pakaian pak Tukiyo, karena hanya itu yang ada. Baju
yang dipakainya saat datang dalam keadaan pingsan tidak ada di sekitar tempat
itu. Entah Sunthi menyimpannya di mana dan Wahyudi juga tidak kepikiran untuk
menanyakannya.
“Mau ke mana Mas?” tanya Sunthi ketika melihat Wahyudi
berjalan keluar rumah.
“Jalan-jalan,” jawabnya tanpa menoleh.
“Aku temani ya?” kata Sunthi sambil mengejarnya.
“Tidak, aku mau menyusul bapak ke sungai,” jawabnya
sambil terus melangkah.
Sunthi mengerucutkan mulutnya. Agak kesal melihat
sikapnya yang dingin.
***
Tapi hanya sebentar Wahyudi menemani Tukiyo di kali,
karena Tukiyo segera beranjak dengan membawa ikan-ikan yang di dapatnya agak
banyak di hari yang belum begitu siang.
Wahyudi memilih pulang, karena ia merasa sangat letih.
Barangkali karena kesehatannya belum pulih benar.
Ketika sampai di rumah, mbok Tukiyo ternyata sudah
duduk di balai-balai tempatnya tidur, sambil membuka-buka sebuah bungkusan.
“Lha ini, nak Wahyudi sudah datang,” kata mbok Tukiyo gembira.
“Itu apa Mbok?”
“Ini nak, simbok membelikan dua potong baju untuk
sampeyan,” kata mbok Tukiyo sambil mengangkat dua baju itu ke hadapan Wahyudi.
“Simbok punya uang?”
“Ya punya nak, kebetulan beberapa hari ini dagangan
simbok selalu habis, tadi malah masih pagi sudah ada yang memborong. Cobain
nak, tadi simbok mengukurnya dengan badannya Tino, tukang bakso di pasar yang
badannya segede nak Wahyudi.
Wahyudi mengamati dua hem lengan pendek, yang satu
berwarna orange menyolok, satunya merah muda.
“Bagus kan nak? Warnanya seger ya,” kata mbok Tukiyo
yang berasa bangga dengan pilihan warnanya.
“Harganya nggak mahal, dan ini celananya, hanya satu,
besok kalau ada uang lagi simbok belikan lagi.
Wahyudi mengernyitkan keningnya.
“Warna bajunya kok begitu amat. Itu kalau mata
memandang apa tidak silau,” katanya dalam hati.
“Nggak suka to nak? Ini warna yang indah.”
“Iya Mbok, terima kasih, besok saja saya pakai,”
katanya sambil meletakkan kembali celana warna biru muda itu, dan baju-bajunya.
“Nak, dengar, simbok mau bicara, duduklah dulu,” kata
mbok Tukiyo.
Wahyudi duduk di samping perempuan tua yang hari itu
dirasanya sangat berlebihan ramahnya.
“Saya ingin, nak Wahyudi menjadi menantu saya.
Bagaimana?” kata simbok pelan.
Wahyudi terkejut, jawabannya diluar dugaan.
“Bukankah Sunthi itu calon istri saya? Kok simbok
ngomong begitu lagi?”
***
Besok lagi ya.
Alhamdulillah
ReplyDeleteAlhamdulillah.. trimakasih bunda Tien.. smg sehat sll salam Aduhaaai ❤️😘
DeleteSelamat mb Susi Herawati biar gak keliru krn Kawan Susi bnyk
DeleteSelamat jeng Susi Herawati, malam.ini juara 1.
DeleteAlhamdulillah KaCe_03 sdh tayang.
mature nuwun bunda
Alhmdllh, terima kasih....
ReplyDeleteYes
ReplyDeleteYess...
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteMatur nuwun mbak Tien-ku Kembang Cantikku sudah tayang
ReplyDeleteHarusnya tukiyo lapor paling tidak ke RT, atau kalurahan.
DeleteKenapa ya qila yang terlintas dipikiran Wahyudi.
Salam sehat mbak Tien yang selalu ADUHAI.
Alhamdulilah..
ReplyDeleteTerimakasih bunda Tien..
Salam sehat selalu..
Salam aduhai..
Terima kasih....
ReplyDeleteAlhamdulillah sdh tayang ... Trimakasih bu Tien. Salam sehat....
ReplyDeleteTerimakasih Bunda Tien, Ka Ce 03 dah tayang,
ReplyDeletesehat2 selalu ya Bun...salam aduhaiiii
Syukron Mbak Tien ...🌷🌷🌷🌷🌷
ReplyDeleteAlhamdulillah akhirnya ... pas buka blog pas tayang ..jadilah Rezeqi komen pertama .. Terima kasih juga Kakek Habi , tidak ikut balapan☺️
Makasih Bunda untuk cerbungnya
ReplyDeleteAlhamdulillah KEMBANG CANTIKKU 03 telah tayang , terima kasih bu Tien sehat n bahagia selalu. Aamiin.
ReplyDeleteUR.T411653L
Trims Bu Tien sehat selalu
ReplyDeleteAlhamdulillaah dah tayang makasih bunda
ReplyDeleteAlhamdulillah,matur nuwun bu Tien
ReplyDeleteSunthi kamu nakal ya
Salam sehat wa'afiat ya bu Tien
Matur nuwun, bu Tien
ReplyDeleteAlhamdulillah Kembang Cantikku 03 sdh tayang
ReplyDeleteTerima kasih Bu Tien, semoga sehat wal'afiat dan bahagia selalu
Aamiin
Alhamdulillah, mtr nuwun bunda Tien.
ReplyDeleteSehat dan bahagia selalu . .
Alhamdulillah cerbung Kembang Cantikku Eps. 03 sudah tanyang. Matur nuwun mbak Tien Komalasari, semoga mbak Tien tetap sehat, bahagia bersama keluarga, dan selalu dalam lindungan Allah SWT. Aamiin Yaa Robbal Alamiin.
ReplyDeleteTerimakasih bunda Tien, salam seaht selalu dan aduhai.
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteMatur nuwun bunda Tien..KC 03 telah tayang..
ReplyDeleteSalam ADUHAI selalu kagem bunda Tien...🙏
Ceritanya bagus...
ReplyDeleteTerima kasih mbak Tien...
Alhamdulillah, suwun Bu Tien....
ReplyDeleteSalam sehat selalu....😊🙏
Alhamdulillah, matursuwun bu Tien KC 03 nya
ReplyDeleteSalam sehat selalu
Hallow mas2 mbak2 bapak2 ibu2 kakek2 nenek2 ..
ReplyDeleteWignyo, Opa, Kakek Habi, Bambang Soebekti, Anton, Hadi, Pri , Sukarno, Giarto, Gilang, Ngatno, Hartono, Yowa, Tugiman, Dudut Bambang Waspodo, Petir Milenium (wauuw), Djuniarto, Djodhi55, Rinto P. , Yustikno, Dekmarga, Wedeye, Teguh, Dm Tauchidm, Pudji, Garet, Joko Kismantoro, Alumni83 SMPN I Purwantoro, Kang Idih, RAHF Colection, Sofyandi, Sang Yang, Haryanto Pacitan, Pipit Ponorogo, Nurhadi Sragen, Arni Solo, Yeni Klaten, Gati Temanggung, Harto Purwokerto, Eki Tegal dan Nunuk Pekalongan, Budi , Widarno Wijaya, Rewwin, Edison, Hadisyah,
Wo Joyo, Tata Suryo, Mashudi, B. Indriyanto, Nanang, Yoyok, Faried, Andrew Young, Ngatimin, Arif, Eko K, Edi Mulyadi, Rahmat, MbaheKhalel, Aam M, Ipung Kurnia, Yayak, Trex Nenjap, Sujoko, Gunarto, Latif, Samiadi, Alif, Merianto Satyanagara, Rusman, Agoes Eswe, Muhadjir Hadi, Robby, Gundt, Nanung, Roch Hidayat, Yakub Firman, Bambang Pramono, Gondo Prayitno , Zimi Zaenal M. , Alfes, Djoko Bukitinggi, Arinto Cahya Krisna , HerryPur, Djoni August. Gembong. Papa Wisnu, Djoni, Entong Hendrik, Dadung Sulaiman, Wirasaba, Boediono Hatmo, R.E. Rizal Effendy, Tonni, Koko Hermanto, Radieska51, Henrinurcahyo, Subagyo, Bam's, Mbah Wi, Tjoekherisubiyandono
Hallow..
ReplyDeleteYustinhar. Peni, Datik Sudiyati, Noor Dwi Tjahyani, Caroline Irawati, Nenek Dirga, Ema, Winarni, Retno P.R., FX.Hartanti, Danar, Widia, Nova, Jumaani, Ummazzfatiq, Mastiurni, Yuyun, Jum, Sul, Umi, Marni, Bunda Nismah, Wia Tiya, Ting Hartinah, Wikardiyanti, Nur Aini, Nani, Ranti, Afifah, Bu In, Damayanti, Dewi, Wida, Rita, Sapti, Dinar, Fifi, Nanik. Herlina, Michele, Wiwid, Meyrha, Ariel, Yacinta, Dewiyana, Trina, Mahmudah, Lies, Rapiningsih, Liliek, Enchi, Iyeng Sri Setyawati , Yulie, Yanthi , Dini Ekanti, Ida, Putri, Bunda Rahma, Neny, Yetty Muslih, Ida, Fitri, Hartiwi DS, Komariah P., Ari Hendra, Tienbardiman, Idayati, Maria, Uti Nani, Noer Nur Hidayati, Weny Soedibyo, Novy Kamardhiani, Erlin, Widya, Puspita Teradita, Purwani Utomo, Giyarni, Yulib, Erna, Anastasia Suryaningsih, Salamah, Roos, Noordiana, Fati Ahmad, Nuril, Bunda Belajar Nulis, Tutiyani, Bulkishani, Lia, Imah P Abidin, Guru2 SMPN 45 Bandung, Yayuk, Sriati Siregar, Guru2 SMPN I Sawahlunto, Roos, Diana Evie, Rista Silalahi, Agustina, Kusumastuti, KG, Elvi Teguh, Yayuk, Surs, Rinjani, ibu2 Nogotirto, kel. Sastroharsoyo, Uti, Sis Hakim, Tita, Farida, Mumtaz Myummy, Gayatri, Sri Handay, Utami, Yanti Damay, Idazu, Imcelda, Triniel, Anie, Tri, Padma Sari, Prim, Dwi Astuti, Febriani, Dyah Tateki, kel. SMP N I Gombong, Lina Tikni, Engkas Kurniasih, Anroost, Wiwiek Suharti, Erlin Yuni Indriyati, Sri Tulasmi, Laksmie, Toko Bunga Kelapa Dua, Utie ZiDan Ara, Prim, Niquee Fauzia, Indriyatidjaelani,
Bunda Wiwien, Agustina339, Yanti, Rantining Lestari, Ismu, Susana Itsuko, Aisya Priansyah, Hestri, Julitta Happy, I'in Maimun, Isti Priyono, Moedjiati Pramono, Novita Dwi S, Werdi Kaboel, Rinta Anastya, r Hastuti, Taty Siti Latifah, Mastini M.Pd. , Jessica Esti, Lina Soemirat, Yuli, Titik, Sridalminingsih, Kharisma, Atiek, Sariyenti, Julitta Happy Tjitarasmi, Ika Widiati, Eko Mulyani, Utami, Sumarni Sigit, Tutus, Neni, Wiwik Wisnu, Suparmia, Yuni Kun, Omang Komari, Hermina, Enny, Lina-Jogya, mbah Put Ika, Eyang Rini ,Handayaningsih, ny. Alian Taptriyani, Dwi Wulansari, Arie Kusumawati, Arie Sumadiyono, Sulasminah , Wahyu Istikhomah, Ferrita Dudiana, SusiHerawati, Lily , Farida Inkiriwang, Wening, Yuka, Sri, Si Garet, ibu Wahyu Widyawati, Rini Dwi, Pudya , Indahwdhany, Butut, Oma Michelle, Linurhay, Noeng Nurmadiah, Dwi Wulansari, Winar, Hnur, Umi Iswardono , Yustina Maria Nunuk Sulastri Rahayu Hernadi , Sri Maryani, Bunda Hayu Hanin, Nunuk, Reni, Pudya, Nien, Swissti Buana, Sudarwatisri, Mundjiati Habib, Savero, Ida Yusrida, Nuraida, Nanung, Arin Javania. Ninik Arsini, Neni , Komariyah, Aisya Priansyah, Jainah Jan. Civiyo, Mahmudah, Yati Sri Budiarti, Nur Rochmah. Uchu Rideen
. Ninik Arsini, Endah. Nana Yang, Sari P Palgunadi, Echi Wardani, Nur Widyastuti, Gagida family, Trie Tjahjo Wibowo, Lestari Mardi, Susi Kamto, Rosen rina, Mimin NP, Ermi S, Ira, Nina, Endang Amirul, Wiwik Nur Jannah, Ibu Mulyono, Betty Kosasih, Nanik, Tita, Willa Sulivan, Mimin NP, Suprilina, Endang Mashuri, Rin, Amethys,
Pak Nanang mana yaa
ReplyDeleteMakasih mba Tien.
ReplyDeleteTerima ksih bunda Tien KC nya..slm sht sll dan tetap semangat🙏🌹
ReplyDeleteMenghangat
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteMatur nuwun bu Tien
Qila ingat pasti akan ingat Retno...ooo ma Sunti deh
ReplyDelete