Tuesday, January 14, 2020

DALAM BENING MATAMU 85

DALAM BENING MATAMU  85

(Tien Kumalasari)

 

"Apa mas ? Mas tau dimana mbak Mirna? Mas menemuinya?"

"Tidak... ada orang yang mengatakan bahwa Mirna bekerja pada sebuah keluarga di Jl. Dr.Supomo, aku mencarinya dan sudah ketemu, tapi aku belum bertemu Mirna. Dan berarti yang digendong dirumah sakit itu bukan anaknya Mirna."

Anggi tersenyum. Tampaknya suaminya mendapat berita dari sumber yang sama. Ibunya. Kepada siapa lagi ibunya bercerita selain kepada dirinya? 

"Mas tau dari siapa?"

"Dewi."

"Haaa.. itu dia.."

"Apa maksudmu?"

"mBak Dewi yang cerita ya, lalu apa yang harus kita lakukan?"

"Dulu kan kamu ingin sekali segera ketemu Mirna, bagaimana kalau besok kita menemuinya?"

"Bagus mas, aku mau.. mengapa besok sore?"

"Kita tidak akan menemuinya ditempat kerja."

"Mas tau rumahnya?"

"Nanti kita akan tau."

Anggi tersenyum senang. Ia juga melihat guratan kegembiraan diwajah suaminya. Hm.. walau sedikit menyakiti, tapi tak apa, karena suaminya tidak melakukan sesuatu dengan sembunyi-sembunyi.

***

Sore hari sepulang dari kantor Adhit mengajak isterinya pergi ke jalan dr. Supomo. Anggi agak heran karena katanya mereka tidak akan menemui Mirna ditempat kerja. Tapi ketika akan bertanya, Adhit meletakkan jari telunjuknya dibibir, pertanda ia tak boleh banyak bertanya.

Mobil mereka berhenti tepat didepan rumah ber cat kuning itu, tapi diseberang jalan. Mereka mengawasi rumah bagus itu dari seberang, 

"Aku tau, mas akan menunggu ketika mbak Mirna selesai bekerja?"

"Ya, kamu pintar. " kata Adhit sambil tersenyum. Anggi merasa, senyum itu teramat manis. Ia menghela nafas panjang, dan berdo'a  semoga kali ini jalan bagi kebahagiaan suaminya akan terbuka. Sungguh aku rela, begitu ber kali-kali dibisikkan dalam hatinya.

Sudah satu  jam mereka menunggu. Anggi tampak lelah, ia menyandarkan kepalanya dan memejamkan matanya.

"Kamu sakit ?" tanya Adhit khawatir.

"Nggak mas, mungkin karena terlalu tegang, jadi sedikit lemas."

"Sebenarnya aku ingin berangkat sendiri, tapi aku tidak bisa melakukannya. Harus ada kamu, kan kamu yang ingin bertemu sama dia."

"Memangnya mas nggak?" kata Anggi masih dengan mata terpejam, sehingga ia tak melihat mata suaminya yang berbinar.

"Ah, kamu..." hanya itu yang diucapkannya, lalu matanya kembali melihat kearah rumah dengan tembok cat kuning itu.

"Kalau kamu kecapean, kita pulang saja dulu, besok kita kemari lagi."

 "Eit, jangan mas.." kata Anggi sambil mengangkat kepalanya/

"Aku nggak mau kamu lelah lalu kembali jatuh sakit."

"Aku nggak apa-apa mas, sudahlah, kita tunggu saja. Kalau sampai hari gelap dia belum juga keluar, kita akan masuk dan menanyakan kepada pemilik rumah tentang Mbak Mirna. Mungkin dia nggak masuk hari ini, atau...."

"Lihat..." kata Adhit tiba-tiba.

Anggi melongok kearah rumah itu, dan melihat bayangan Mirna keluar dari dalam. Ia tampak berdiri menunggu, kemudian sebuah mobil keluar dari belakang.

"Rupanya dia diantar oleh mobil majikannya." gumam Adhit ketika melihat Mirna masuk kedalam mobil dan keluar dari pekarangan.

"Kita ikuti mas?"

Adhit menstarter mobilnya, dan menjalankannya mengikuti mobil yang melaju membawa Mirna.

"Apakah dia akan pulang?"

"Pastinya, tapi seandainya dia mau kemana gitu, kita akan terus mengikutinya."

Mobil itu berhenti didepan sebuah gang. Adhit melihat Mirna keluar dari mobil.

Adhit menghentikan mobilnya tak jauh dari sana, dan menunggu sampai mobil yang tadi membawa Mirna berjalan menjauh. Adhit dan Anggi turun, berjalan setengah berlari kearah gang, sampai melihat bayangan Mirna.

Langkah setengah berlari dibelakangnya itu membuat Mirna menoleh kebelakang dan melihat siapa yang mengikutinya.

Mirna ingin berlari, tapi kakinya terasa kaku. Gemetar terasa, begitu Adhit dan Anggi sampai didekatnya.

"Mirna.." sapa Adhit pelan.

"mBak Mirna, kami men cari-cari lama sekali."

"Mengapa ? Mengapa ini?" tanya Mirna gugup.

Anggi memegang tangan Mirna nyang basah oleh keringat dingin.

"Dimana mbak Mirna tinggal? Kami ingin bicara."

"Ya Tuhan, bu Anggi, hentikan semua ini."

"Ijinkan kami kerumah mbak.. tolong."

"Dan tolong juga, jangan mengganggu saya lagi."

Hari mulai remang, dan cuaca sedikit mendung. Adhit melihat mata Mirna berkilat. Ada genangan air disana. Alangkah ingin Adhit memeluknya dan mengusap air mata itu. 

"Mbak Mirna, aku ingin bicara. Banyak hal. Tolong ijinkan kami kerumah."

Mirna mendongak keatas. Mendung menggantung dan kegelapan mulai merayapi suasana sore itu. Dalam bingung, Anggi menarik-narik tangannya. 

"Ayo mbak... dimana mbak Mirna tinggal?"

Ada gelegar dan kilat menyambar. Mirna tak bisa berbuat lain. Tak mungkin ia membiarkan tamunya kehujanan. Ia mulai melangkah pelan.Anggi dan Adhit mengikutinya. Mirna membawanya masuk kedalam sebuah pekarangan kecil dan masuk kedalam sebuah rumah sederhana. Begitu kaki melangkah memasuki rumah, hujan tiba-tiba turun bagai tercurah dari langit. Pintu rumah terbuka, dan sesosok laki-laki keluar, lalu memandangi mereka dengan heran.

"Nak Adhit?"

"Ma'af pak, kami mengganggu."

"Masuklah, masuklah, hujan deras sekali," pak Kadir mempersilahkan tamu-tamunya masuk kedalam dengan hati penuh pertanyaan.

Adhit dan Anggi duduk dikursi, berdampingan. Pak Kadir duduk dihadapannya dan Mirna pergi kebelakang. Mungkin untuk bersembunyi untuk tidak keluar lagi, entahlah. Tapi kemudian pak Kadir berteriak agar Mirna membawakan teh hangat untuk tamu-tamunya.

Setelah mereka  ber basa-basi, akhirnya Mirna keluar dengan membawa nampan berisi cawan dengan teh hangat didalamnya.

"Silahkan diminum," katanya pelan. Tapi ketika dia mau melangkah pergi, Anggi menahannya.

"mBak Mirna, duduklah disini, ada hal penting yang akan kami bicarakan."

"Saya mohon..."kata Mirna dengan masih tetap berdiri sambil memeluk nampannya.

"Saya mohon, duduklah," kata Anggi sambil menarik tangan Mirna, yang mau tak mau kemudian duduk diantara mereka.

"Silahkan diminum dulu nak," pinta pak Kadir.

Anggi dan Adhit mengambil cawan itu dan meneguk minuman hangatnya.

"Pertama, saya ingin menanyakan sesuatu. Mungkin ini bukan siapa-siapa, tapi nggak tau kenapa, ada dorongan dihati saya untuk menunjukkannya pada mbak Mirna," kata Anggi sambil membuka tasnya, lalu mengeluarkan dompetnya, dan dari dompet itu diambilnya selembar foto.

"Apakah mbak Mirna mengenal ini ?"

Mirna menerimanya, dan tiba-tiba gemetar tangannya ketika memegang foto itu.

"Bukankah ini ibu?" kata Mirna sambil menunjukkan foto itu kepada bapaknya. 

"Iya benar, ini ibumu dan... ini.. "

"Itu mama saya pak.."

Adhit dan Anggi berpandangan. Adhit juga tak mengira bahwa ternyata Anggi punya sesuatu yang akan ditunjukkannya pada Mirna. Itu foto ibunya? Apa hubungannya dengan Anggi? Tanya Adhit dalam hati.

"Ya Tuhan... ya Tuhan..." keluh pak Kadir.

"Ini.. ini.. ibu saya.. dan.. apakah ini bu Susan? Saya hampir tak mengenalinya. Masih muda dan cantik." kata Mirna.

Mirna masih mengamati foto itu. Wajah ibunya itu sama dengan foto yang disimpannya ketika dia menemukan di dompet bapaknya.

"Mengapa ibu berfoto dengan bu Susan? Mereka saling mengenal?"

"Menurut mama,mbak Daniar ini putrinya bude saya. Karena ibunya sudah meninggal ketika mbak Daniar masih kecil, maka ibu saya yang merawatnya dirumah eyang. Tapi....."

"Ini semua salah saya... saya yang bersalah..." tiba-tiba pak Kadir menutup mukanya dengan kedua tangan. Mirna terkejut, ia mengelus punggung ayahnya, yang tampak tersiksa dengan kejadian itu.

"Saya sudah melarangnya, tapi dia nekat mengikuti saya, katanya dia sangat mencintai saya... lalu... saya mengajaknya pergi.. menjauhi keluarganya yang marah.. karena saya orang miskin.." bergetar suara pak Kadir ketika mengucapkan semuanya. Mirna mendengarnya dengan seksama, sambil meng elus-elus punggung bapaknya.

"Kami menikah setelah dia dibuang oleh keluarganya, lalu Mirna lahir.. tapi.. tapi rupanya dia tak tahan hidup menderita terlalu lama. Mirna masih bayi ketika dia meninggalkan saya, kaarena ada laki-laki lain yang lebih kaya dan membawanya pergi."

Anggi hanya mendengar sampai kakak sepupunya itu pergi bersama laki-laki miskin, yang ternyata adalah pak Kadir, tapi dia tak mengira kalau kemudian dia pergi meninggalkan anaknya yang masih bayi.

Adhit kemudian mengerti kalau pak Kadir akhirnya menikah dengan Widi dan yang berusaha membunuhnya karen dendam. Sungguh cerita yang luar biasa daan membuat semua yang hadir terdiam. 

"Lalu dimana ibunya Mirna sekarang ini?" tanya Adhit.

"Lama sekeli saya mendengar bahwa dia sudah meninggal, tapi saya tidak tau dimana makamnya. Kabarnya dimakamkan dimakam keluarga suaminya.

"Oh, jadi mbak Daniar sudah tiada?"

Pembicaraan itu berkutat hanya tentang ibunya Mirna. Cerita dari pak Kadir itu baru sekarang didengar Mirna. Tentang ibunya .. yang sebenarnya adalah sepupu Anggi. 

"mBak Mirna harusnya memanggil saya tante," kata Anggi sambil tersenyum.

"Saya sungguh tidak menyangka," jawab Mirna masih dengan perasaan tak menentu.

Sementara itu hujan sudah berhenti. 

"Mas, sebaiknya kita pamit dulu. Ini tadi maksud kedatangan saya yang pertama. Yang selanjutnya akan saya bicarakan besok saja, bukan begitu mbak... eh.. Mirna?"

"Itu... tentang.. apa? Saya mohon .. pembicaraan yang lalu itu tidak akan berlanjut.. karena.."

"Besok aku akan menemui kamu. Kita akan bicara empat mata," kata Anggi, dengan nada setengah memaksa.

"Bu.. eh.. tante, saya mohon..."

"Besok sepulang kerja aku akan membawa kamu ketemu mama. Pasti mama akan senang."

Mirna mengangguk. Ia tau sikap bu Susan selama ini kurang baik terhadap dirinya, dan ia ingin memperbaikinya. Bukankah bu Susan ternyata masih terhitung neneknya? Aduhai...

***

Pagi harinya Anggi menemui ibunya dan menceritakan kepadanya tentang Mirna yang sesungguhnya anak Daniar. Bu Susan terkejut.

"Wajah itu, pantesan aku merasa seperti pernah mengenalnya, tapi yang kemudian mengingatkan aku kepada kejadian yang memalukan itu."

"Mama jangan membenci Mirna. Dia gadis yang sangat baik."

"Jangan-jangan dia seperti ibunya."

"Tidak ma, dia baik hati, dia sungguh berbeda dengan ibunya. Mungkin seperti bapaknya."

"Kamu juga bertemu bapaknya? Dia masih miskin seperti dulu?"

"Mama jangan begitu. Kata-kata mama itu seperti memandang rendah kepada seseorang yang bernasib kurang baik."

"Iya ma'af, mama salah bicara."

"Apakah mama nggak ingin bertemu Mirna?"

"Ingin sekali, dimana rumahnya?"

"Besok Anggi akan membawanya kemari, agar mama tau bahwa dia itu seorang gadis yang baik. Anggi mohon mama tidak membencinya ya."

"Semoga pertemuan itu memberikan kesan baik tentang dia. Sesunghuhnya mama bukan pembenci. Baiklah, ajak dia kemari. "

***

Sore itu sepulang bekerja Adhit dan Anggi menjemput Mirna, dan mengajaknya kerumah bu Susan. Bu Susan yang semula kesal terhadap Mirna, begitu mengetahui bahwa ia masih darah dagingnya, kemudian memeluknya dengan erat. Ada rasa haru yang menyesak ketika tangannya merengkuh tubuh gadis yang masih terhitung cucunya itu.

"Saya minta ma'af kalau selama ini membuat eyang kesal," kata Mirna.

"Sudah, lupakanlah, aku senang akhirnya bisa bertemu dengan darah dagingnya Daniar.Aku akan melupakan semuanya. Bagaimana kabar ayahmu?"

"Baik eyang. Kami hidup berdua dengan kehidupan nyang sederhana. Terimakasih karena eyang mau menerima saya sebagai darah daging sendiri."

"Eyang sudah tua, eyang ingin menghilangkan rasa benci itu. Benar, kamu mirip sekali Daniar. Dia itu selalu dimanja oleh ibuku, sehingga sering kelakuannya membuat kesal semua orang. Setiap apa yang diinginkannya harus dituruti. Tapi sudahlah, apakah kamu juga manja seperti ibumu?"

"Tidak eyang, tak ada tempat untuk bermanja. Kami hidup seadanya."

Bu Susan mengangguk senang, kesan tidak suka terhadap Mirna lenyap seketika. Tapi ketika acara ramah tamah itu selesai, dan Anggi menyatakan keinginannya ingin menjadikan Mirna isteri Adhit, bu Susan marah bukan alang kepalang. 

Mirna pucat pasi karena Anggi berbicara dihadapan bu Susan dan juga Adhit.

"Tante jangan begitu, saya sudah bilang.. jangan lanjutkan keinginan tante itu," kata Mirna memelas.

"Permintaan kamu itu tidak wajar Anggi! Mana ada seorang isteri mencarikan isteri lagi untuk suaminya? Dan kamu Adhit, ini karena kamu."

"Ma'af ma, ini kemauan Anggi."

"Tidak, aku tidak setuju !!" kata bu Susan setengah berteriak.

***

besok lagi ya

23 comments:

  1. alhamdulillah.. terima kasih banyak mbak Tien

    ReplyDelete
  2. Makasihh mbakkk taoi kok bahasanya aku baca ada yg mudeng ya nbak....ada kompilasi dll kenapa ya mbak

    ReplyDelete
  3. Sdh ada sdikit benang emas .. namun sll ada masalah yg bikin penasaran

    ReplyDelete
  4. Semoga segera akan ada solusi Adit berhasil menikahi Mirna... heheheee....mau sy sih 😍😍

    ReplyDelete
  5. Selalu ditunggu kelanjutannya,sedikit kadang2 ada yg salah ketik gpp, maju terus mbak, nanti kalau di novelkan bisa diedit

    ReplyDelete
  6. Udah ngga sabar nih nungguin ya hehe

    ReplyDelete
  7. Mbak tien.. untuk part 86 dan selanjutnya ditunggu lho ~

    ReplyDelete
  8. Selalu membuat tal sabar verita selanjutnya.

    ReplyDelete
  9. di tunggu lanjutannya bikin panasaran dan kepengen tahu. nasib mas adit si bos ganteng dan neng mirna yg cantik

    ReplyDelete
  10. Smg mb Tien sll sehat. Aamiin
    Spy terus berlanjut karyanya

    ReplyDelete
  11. Matur nuwun mba Tien part 85 nya, ditunggu part selanjutnya 🤗😘

    ReplyDelete
  12. Makasih MB Tien ...saya tunggu kelanjutannya ya 😘

    ReplyDelete
  13. kelanjutannya mana ya mb.tien...

    ReplyDelete
  14. kelanjutannya mana ya mb.tien...

    ReplyDelete
  15. Numpang promo ya gan
    kami dari agen judi terpercaya, 100% tanpa robot, dengan bonus rollingan 0.3% dan refferal 10% segera di coba keberuntungan agan bersama dengan kami
    ditunggu ya di dewapk^^^ ;) ;) :*

    ReplyDelete

CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG 15

  CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG  15 (Tien Kumalasari)   Wanita itu mempercepat langkahnya. Ia mengenal suara itu, tentu saja. Tapi gerimis ...