Thursday, January 9, 2020

DALAM BENING MATAMU 82

DALAM BENING MATAMU  82

(Tien Kumalasari)

Adhit menggeleng-gelengkan kepalanya, tapi tak bisa menolak permintan isterinya. Ia mengikuti mobil yang tadi ditumpangi Mirna. Hatinya sungguh resah. Bagaimana rasanya nanti melihat Mirna menemui mereka sambil menggendong bayinya, dan suaminya yang gagah itu ada disampingnya, mungkin sambil merangkulnya, atau menggandeng tangannya. Aduhai,  ada-ada saja Anggi ini. Untuk apaaa... coba. Batin Adhit penuh dengan rasa tak menentu. Keringat dingin mulai membasahi dahinya, padahal mobilnya ber ac dan lumayan dingin. 

"Mas, kok keringatan?" kata Anggi sambil mengambil tissue yang siap dimobilnya, lalu mengelap keringat suaminya. Tanpa bertanya Anggi sudah tau, pasti Adhit sangat gelisah karena harus bertemu dengan orang yang dicintainya tapi sudah  punya suami dan anak. Ada keinginan untuk membatalkan niyatnya mengikuti mobil Mirna, tapi ada sesuatu yang ingin ditanyakannya. Itu sangat mengganggunya. Foto yang ditemukannya digudang mamanya, mengapa sangat mirip Mirna ya? Entah mengapa ada dorongan ingin mengetahui tentang foto itu. Mungkin benar, banyak orang mirip didunia ini. Tapi mengapa ada dorongan yang tak terbendung untuk menanyakannya pada Mirna. 

Diliriknya lagi suaminya, tampak tegang. Anggi benar-benar merasa iba. 

"Mas, kita nggak perlu masuk dan menemui Mirna ya?"

"Ya, itu lebih baik. Untuk apa coba?" jawab Adhit sambil mengelap keringatnya dengan lengan bajunya.

"Pokoknya kita tau dimana rumahnya saja."

Adhit menghela nafas, sedikit merasa lega. Entah mengapa sesungguhnya ia juga ingin tau dimana Mirna sekarang tinggal. 

"Mas, semakin jauh lho, jangan sampai kita kehilangan buruan kita," kata Anggi mencoba bercanda.

"Nggak, masih bisa , tuh dia belok kekanan. Adduh.. lampu merah nih."

"Yaaah, gimana mas, kalau ke kanan kan nggak bisa terus. Hilang deh.."

Adhit me mukul-mukul kemudi dengan gemas.

"Sabar mas, semoga kita masih bisa mengejarnya," kata Anggi menghibur, padahal dia sendiri sesungguhnya juga khawatir.

Namun ketika lampu hijau dan bisa berjalan kembali, bayangan mobil yang dikejarnya tak lagi tampak. Adhit memacu mobilnya, sedangkan Anggi menoleh kekanan dan kekiri, barangkali mobil itu sudah masuk kesebuah rumah atau berhenti dimana. Bahkan sampai ke perempatan berikutnya, tak lagi dilihatnya mobil itu. Adhit menghentikan mobilnya dijalanan yang sepi.

"Lalu bagaimana?"

"Yah, bagaimana lagi mas, ayo kita pulang."

"Pulang bagaimana, kita kan harus kembali ke rumah sakit Nggi."

"Ah, sebenarnya aku males mas."

"Males bagaimana? Kamu kan harus mendapatkan obat yang tepat, itu sebabnya tadi harus periksa darah dan lain-lain."

"Aku bosan minum obat, lagian aku sudah lebih baik kok."

"Anggi.. kamu harus patuh pada apa yang dikatakan dokter. Aku ingin kamu sehat," kata Adhit sambil memutar kembali mobilnya ke arah rumah sakit.

***

Ternyata sesampai dirumah sakit, hasil lab itu belum keluar, mereka masih harus menunggu. Anggi mulai kesal. Ia kemudian berdiri dan berjalan meninggalkan Adhit.

"Anggi, mau kemana?" tanya Adhit.

"Hanya mau jalan-jalan saja mas, mas saja yang tungguin," kata Anggi sambil menjauh, dan Adhit mendiamkannya. Ia berjalan ke loket, menanyakan apakah hasil lab yang ditunggu masih akan lama, tapi dari tadi jawabannya selalu sama.

"Ditunggu saja dulu pak, sabar ya."

Adhit kembali dudu. Sementara Anggi menuju ke arah ruang bersalin. Tiba-tiba saja timbul ide bagus dibenaknya, yaitu menanyakan alamat wannita yang baru saja pulang setelah melahirkan.

Wajah Anggi berseri, karena menemukan ide yang tadinya tak terbayangkan. Kali ini pasti ia berhasil.

"Selamat siang sus," sapanya kepada suster jaga.

"Siang mbak, ada yang bisa kami bantu?"

"Begini, saya mau membezuk keluarga saya, tapi tampaknya sudah pulang. Bisakah saya menanyakan alamatnya? Saya belum tau rumahnya sih." katanya mencari alasan. 

"Disini untuk yang bersalin mbak.."

"Iya benar, katanya baru siang ini tadi pulang sehabis melahirkan."

"Namanya siapa yambak?"

"Mirna.. aduh.. Mirna siapa ya, saya kurang tau nama lengkapnya. Manggilnya Mirna, gitu saja kok."

"Mirna?"

Perawat itu tampak mem buka-buka catatan, lalu melihat file di komputernya. Anggi menunggu dengan hati berdebar, dalam hati ia bersorak, akhirnya bisa menemukan jalan untuk bertemu Mirna. Tapi kemudian perawat jaga itu meng geleng-gelengkan kepalanya.

"Nggak ada pasien bernama Mirna mbak..bahkan dari semua yang  melahirkan disini selama seminggu kesana.. nggak ada yang namanya Mirna."

"Tapi saya melihat dia pulang hari ini, eh.. maksud saya.. dia katanya pulang hari ini" 

"Yang pulang hari ini ada tiga bu, tapi tidak ada yang namanya Mirna. Ibu Juni, ibu Diana, ibu Maryam... "

"Mungkin kepanjangannya,?" Angggi masih ngeyel.

"Nggak ada bu, nggak ada embel-embel Mirna disemua nama yang ada," kata perawat jaga sedikit kesal.

Anggi mengucapkan terimakasih kemudian melangkah kembali ketempat suaminya menunggu. Ada rasa bingung ketika tadi melihat Mirna, tapi tak ada pasien pulang bernama Mirna. Apakah aku tadi salah liat? Tidak, itu benar mbak Mirna," bisik batin Anggi.

Ketika ia sampai ditempat dimana tadi suaminya menunggu, dilihatnya dia tak ada lagi disana. Anggi men cari-cari, tapi tak juga ketemu. Anggi kemudian memutuskan untuk duduk ditempatnya semula. Ada ibu-ibu yang tadi juga menunggu, menyapanya karena melihat Anggi tampak men cari-cari.

"mBak mencari bapak yang tadi bersama mbak?"

"Iya benar, tadi menunggu disini."

"Sepertinya dia sudah pergi keruang dokter mbak, soalnya hasil lab nya sudah selesai."

"Oh, baiklah, terimakasih banyak ibu," kata Anggi yang kemudian menuju ke ruang dokter. Suaminya tak tampak diruang tunggu, pasti sudah masuk, pikir Anggi yang kemudian memilih menunggu saja diluar. Toh dia tak perlu diperiksa lagi setelah ada hasil lab. nya.

Ia sama sekali tak memikirkan penyakitnya. Masih ada rasa mual dan sesak di ulu hati, tapi tak diperhatikannya.  Ia hanya memikirkan Mirna yang tadi dilihatnya dan ternyata tak ada nama Mirna disana.

Ketika suaminya keluar dari ruang dokter, Mirna justru mengatakan tentang pencariannya yang tak berhasil.

"Mas, tak ada Mirna disana.." katanya.

"Kamu ini bicara apa Nggi?"

Aku tadi keruang bersalin, maksudku ingin menanyakan pasien yang bernama Mirna alamatnya dimana, tapi tak ada nama Mirna disana."

"Kamu? Kamu tadi masih men cari-cari Mirna?"

"Aku pikir aku bisa mendapatkan alamat Mirna dari data pasien yang habis bersalin dan pulang hari ini."

Adhit memelototi isterinya dengan kesal.

"Kamu bukannya memikirkan penyakit kamu, malah Mirna lagi yang kamu fikirkan."

"Ma'af mas," Anggi tertunduk lesu, ia tau suaminya juga kesal melihat kelakuannya.

"Kamu sakit dan harus banyak istirahat, banyak pantangan makan yang harus kamu patuhi," kata Adhit sambil menggandeng tangan Anggi menuju ke ruang instalasi farmasi.

"Memangnya aku sakit apa?"

"Ada perlemakan hati. Harus banyak istirahat dan jangan banyak pikiran. Tidak boleh makan sembarangan."

"Apa itu ?"

"Nanti setelah mengambil obatnya aku ceritakan. Salah kamu sendiri, sa'atnya ketemu dokter kamu malah ngelayap ke mana-mana," omel Adhit.

 "Ma'af mas," 

Adhit menyuruhnya duduk sementara dia menyerahkan resep isterinya ke loket.

"Penyakit apa itu, ah.. aku tak perduli, sakit yang namanya penyakit ini tak seberapa sakit dibandingkan dengan perasaanku," gumamnya dalam hati.

Setelah membayar  harga obat Adhit duduk didekat isterinya, dengan wajah murung.

"Aku sakit apa mas? Tadi mas bilang apa? Perlemakan hati?"

"Perlemakan hati adalah adanya lemak yang berlebih pada organ hati."

"Itu berbahaya?"

"Ya berbahaya kalau tidak segera ditangani. Bisa menjadi penyakit hati."

"Hm, mungkin dokter itu berlebihan."

"Apa katamu? Mana ada dokter berlebihan? Itu terlihat dari semua pemeriksaan, dari kamu di USG tadi dan pemeriksaan lainnya, dokter lalu mengatakan itu. Kamu jangan menyepelekan penyakit kamu Anggi, tolong jangan membuatku cemas."

"Apa mas akan merasa kehilangan seandainya aku mati?"

"Anggi, jangan bicara yang tidak-tidak."

"Aku hanya ingin tau saja, apa mas akan measa kehilangan kalau aku mati."

"Kamu itu isteriku Anggi, mengapa bertanya seperti itu?"

"Itu bukan jawaban mas."

"Mana ada seorang suami tidak kehilangan kalau ditinggal mati isterinya."

"Mas..."

"Stop, jangan bicara so'al kematian. Dan ingat, banyak pantangan yang harus kamu petuhi."

"Apa tuh? 

"Harus banyak istirahat, jangan banyak pikiran, jangan makan makanan berlemak, kurangi makan nasi perbanyak sayuran, jangan makan daging merah.. dan..."

"Aduh mas, sudah.. sudah.. banyak benar pantangannya."

Adhit menghela nafas kesal, melihat Anggi seakan tak perduli pada penyakitnya. Sampai kemudian mereka pulang kerumah, Anggi tak tampak khawatir mendengar penyakit yang dideritanya.

Sebelum kembali ke kantor Adhit berpesan wanti-wanti agar Anggi tak pergi ke mana-mana dan harus banyak istirahat. Ia juga berpesan pada bu Broto agar tidak menyuruh yu Supi memasak yang menjadi pantangan Anggi.

"Jangan lupa obatnya .. dan jangan ngeyel," pesannya kepada Anggi yang hanya dijawab dengan anggukan oleh Anggi.

.***

Hari itu pak Kadir lebih dulu pulang kerumah. Mirna minta ma'af karena hari itu pulang dari rumah sakit setelah melahirkan.

"Jadi majikanmu pulang hari  ini nduk?"

"Iya pak, anaknya lucu sekali deh, gemes Mirna melihatnya. Kenapa ya setiap melihat bayi Mirna jadi teringat waktu harus kehilangan bayi ya pak?"

"Ya sudah, nggak usah di ingat-ingat lagi, pada suatu hari nanti, kamu pasti akan mendapatkan suami yang baik, dan bisa melahirkan anak-anak yang lucu-lucu," hibur bapaknya.

Mirna hanya tersenyum dan mengangguk. Apakah ada keinginan untuk mendapatkan suami lagi? Tiba-tiba wajah Adhit terbayang, tapi kemudin di kibaskannya. Tidak, aku tak boleh memimpikan sesuatu yang tak mungkin.

"Aku mau mandi dulu ya nduk, nungguin kamu pulang jadi mandinya ke sorean."

"Perlu air hangat pak?"

"Nggak usah.. air biasa saja."

"Ya sudah, jangan lama-lama mandinya, nanti kedinginan.."

"Ya..," kata pak Kadir sambil melangkah ke belakang.

Mirna menuju dapur untuk menyiapkan makan malam, tapi tiba-tiba dilihatnya sesuatu terjatuh didepan pintu kamar ayahnya.

"Waah, bapak ni.. dompet sudah pada sobek begini kok nggak mau ganti.. " kata Mirna sambil memunguti isi dompet ayahnya yang berantakan karena dompetnya sudah sobek disana-sini.

Lhoh... bapak kok nyimpen foto jadul kaak begini, ini siapa ya.. perempuan cantik.. tapi sudah lusuh seperti tak terawat.

Mirna memungut foto itu, tak dimasukkan kembali ke dompet karena ingin bertanya bapak ayahnya.

***

besok lagi ya

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

10 comments:

  1. Makasih mb tien........semakin seru dan semakin oenasaran baca lanjutannya......semangat mbakkkak

    ReplyDelete
  2. Tampilan lebih menarik.
    👍👍👍

    ReplyDelete
  3. Pd tampilan versi 'mobile' kok link arsip serta menu search jadi hilang ya mbak?
    Bisakah ditampilkan lagi seperti pada wajah tampilan yg lama?

    ReplyDelete
  4. Tambah seru.. pengen cpt2 baca lanjutannya. D tunggu ya mbak tien. Makasih..

    ReplyDelete
  5. Waaah tmbh seru smkin bikin penasaran,,klo boleh request aga diperpanjang/part ny ,, heee reader ga sabaran nih n ga faham klo mengarang itu sulit ..

    ReplyDelete
  6. wooww... makin seruu, makin penasaran ajaa nich...

    ReplyDelete
  7. Makin penasaran bu was ien
    Jgn lama2 lanjutan nya

    ReplyDelete
  8. Makin seruuu ...aku tunggu lanjutannya ..😘

    ReplyDelete
  9. Numpang promo ya gan
    kami dari agen judi terpercaya, 100% tanpa robot, dengan bonus rollingan 0.3% dan refferal 10% segera di coba keberuntungan agan bersama dengan kami
    ditunggu ya di dewapk^^^ ;) ;) :*

    ReplyDelete

CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG 31

  CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG  31 (Tien Kumalasari)   Sinah terkejut. Pandangan mata simboknya sangat terasa menghujam di dadanya. Ia tah...