Monday, September 16, 2019

DALAM BENING MATAMU 01

DALAM BENING MATAMU  01

(Tien Kumalasari)

Adhitama sedang meneliti penawaran kerja sama dari sebuah perusahaan ketika sebuah ketukan pintu terdengar, dan Ayudya masuk serta langsung duduk didepannya.

"Udah beres mas, masih tersisa tiga orang yang harus mas Adhit sendiri mewawancarainya. Cantik-cantik, pintar, tapi yang namanya Mirna aku sebenarnya kurang suka," kaya Ayudya sambil meletakkan beberapa map lamaran diatas meja.

"Mana Mirna?" tanya Adhitama sambil mem buka-buka map yang disodorkan adiknya. 

Mereka kakak beradik yang memegang sebuah perusahaan besar milik mendiang kakeknya. Tumbuh dalam lingkungan keluarga yang saling mengasihi dan kemudian berhasil menjadikan keduanya orang-orang yang pintar dan bermartabat. Ketika lulus dari pendidikan sarjana, mereka langsung belajar menguasai perusahaan yang diwariskan oleh kakeknya. Adhitama yang cerdas tak lama kemudian berhasil memajukan perusahaan itu, dengan dibantu oleh Ayudya, adiknya yang usianya hanya terpaut kira-kira dua setengah tahunan dari padanya.

"Mana dia?" tanya Adhitama lagi.

"Itu, yang terakhir."

"Ini cantik, prestasi pendidikannya bagus, mengapa kamu tidak suka?" kata Adhit sambil memandangi foto yang terpambang disurat lamaran itu lekat-lekat.

"Matanya agak genit, gitu.."

"Ahaa.. yang bekerja kan buka matanya Yud..." kata Adhit sambil tertawa. Bagaimanapun wajah itu memang sangat menarik baginya.

"Ya pasti akan ada pengaruhnya donk, nanti mas nggak konsentrasi sama pekerjaan hanya memandangi wajah sekretaris mas yang matanya genit itu," sungut Ayudya.

"Kamu itu, kalau  bekerja jangan atas dasar like and dislike donk. Tapi aku suka ini, kapan kamu suruh dia menemui aku."

"Tuh, kan..." Ayudya cemberut, tapi kakaknya hanya menangggapinya sambil tertawa.

***

"Eyang, aku sudah pulang..." teriak Ayudya sambil masuk kedalam rumah.

"Oh, sayang, mana kakak kamu?" tanya bu Broto sang nenek, sambil memeluk cucunya dan menciumi kedua pipinya. Hal yang selalu dilakukannya setiap cucu-cucunya pulang.

Bu Broto senang, karena sepeninggal suaminya ia ditemani kedua cucunya yang semula tinggal di Jakarta, dan sekarang mengurusi perusahaan kakeknya  di Solo.

"Mana dia ?" ulang sang nenek.

"Itu yang, masih memarkir mobilnya. Eyang masak apa hari ini?" tanya Ayudya sambil nyelonong ke meja makan dan membuka tudung sajinya.

"Hm... aku lapar lagi yang..." pekik Ayudya gembira begitu melihat ayam goreng disana, kemudian dicomotnya sebuah paha.

"Eeiit.. cuci tanganmu dulu dong Yud, kebiasaan deh, pulang-pulang langsung nyomot makanan."

Ayudya memeletkan lidahnya, kemudian meletakkan paha yang sudah digigitnya sebagian disebuah piring.kemudian lari kekamarnya.

Bu Broto meng geleng-gelengkan kepalanya sambil tersenyum. 

"Eyang," Adhitama yang masuk kerumah belakangan juga langsung memeluk neneknya.

"Kok tumben jam segini sudah pada pulang," tegur bu Broto.

"Ini kan sudah sore yang, jam setengah lima lho," seru Adhit sambil melangkah kebelakang.

"Oh, iya... " keluh bu Broto sambil menepuk jidatnya.

"Udara panas sekali akhir-akhir ini," gumam bu Broto sambil mencari yu Supi dibelakang. Yu Supi adalah pembantu keluarga Broto setelah pak Broto meninggal. Ia rajin dan pintar memasak.

"Supi, minuman untuk anak-anak sudah disiapkan?"

"Sudah bu, ini mau saya bawa keruang tengah," sahut yu Supi yang sudah membawa nampan berisi tiga cawan teh hangat.

"Ya sudah, taruh saja dulu, sama srabinya Pi, nanti ditanyakan lagi oleh momonganmu yang satu itu. Pagi tadi sudah pesan wanti-wanti."

"Ya bu, sudah saya siapkan, biar saya ambil dulu."

"Ya, anak itu sejak masih didalam perut ibunya, sukanya srabi bukan main. Sampai dewasa begitu, kalau ada yang mau keluar pasti bilang... nitip srabi ya.... Hm.. ," guman bu Broto sambil duduk menunggu cucu-cucunya berganti pakaian. Biasanya mereka duduk-duduk dulu sebentar, minum teh hangat, baru kemudian mandi.

"Waduuh... ada srabi lagi?" celetuk Adhit begitu duduk menghadapi teh hangatnya dimeja ruang tengah itu.

"Adikmu tuh, kalau mau ambil saja, kalau nggak mau kan masih ada makanan lainnya. Itu ada kroket sama risoles, enak lho."

"Iya yang, beres, nanti Adhit sikat semuanya,"jawab Adhit sambil mencomot sepotong kroket.

"Bagaimana pekerjaan dikantor?"

"Baik yang, Adhit baru mau memperluas lahan kantor, dengan membeli pekarangan penduduk yang ada dibelakang kantor."

"Memangnya mau dijual?"

"Kalau boleh Adhit mau beli pekarangan itu, baru ditanyakan boleh tidaknya, soalnya gudang yang ada itu kayaknya kurang besar."

"Eyang senang kalian bisa meneruskan usaha itu dengan lebih baik le. Kalau eyang kakungmu masih ada pasti bangga memiliki cucu-cucu seperti kalian."

"Adhit juga masih harus banyak belajar yang. Keberhasilan Adhit ini kan juga tidak lepas dari bantuan para stafnya eyang dulu," kata Adhit merendah.

"Tapi Dhit, kamu juga harus memikirkan diri kamu sendiri lho, kamu itu sudah pantas punya isteri, sudah ada yang cocog belum?"

Adhit tertawa keras, sambil mencomot lagi sepotong kroket.

"Kok tertawa? Sudah ada belum?"

"Sudah yang, itu.. calon sekretaris baru," kata Ayudhya yang tiba-tiba sudah duduk disamping neneknya.

Adhitama memelototi adiknya.

"Jangan percaya omongan dia eyang, suka ngaco dia tuh," sungut Adhit.

Ayudya hanya tertawa sambil mengambil sepotong srabi kesukaannya.

"Memangnya kamu sudah dapat sekretaris baru?" tanya bu Broto.

"Belum eyang, baru nyari."

"Hampir dapat yang, cantik, tapi genit."

"Yudya ! Pekik Adhit sambil melempar potongan tissue kearah adiknya. Ayudya menjerit kecil dan membalasnya, dan mereka saling lempar sambil tertawa tawa.

Bu Broto tersenyum menyaksikan keakraban kedua cucunya. Matanya berlinang karena haru. Teringat waktu mereka akan dilahirkan, banyak peristiwa yang mengharu biru kehidupan anak gadisnya ketika itu.

Pertikaian penuh gelak tawa itu berhenti ketika ponsel bu Broto berdering.

"Sst.. diam, nih dari ibumu," kata bu Broto yang kemudian menjawab telephone itu.

"Hallo nduk, " sapa bu Broto. "Iya, lagi santai nih sama anak-anakmu. Tuh, lagi berantem sambil lempar-lemparan tissue, ramainya bukan main."

"Ibuuuu..." teriak Ayudya keras, supaya didengar oleh ibunya.

"Ibuuuuu.. ini bu... anak perempuan ibu nakal.."

"Kamu yang nakal to mas."

"Kamu usil."

"Kamu!!" 

"Kamu!!"

"Aduuh.. itu lho nduk.. anakmu, berisik banget... iya.. iya.. nggak apa-apa, ibu senang, rumah ini jadi ramai kalau mereka ada. Betul nduk, baik kok.. oh.. mau ke Solo? Belum? Ya sudah, tungguin kalau suami kamu punya waktu luang.. ya nduk.. ati-ati ya... iya.. ibu sehat kok.. kamu juga ya. Nggak usah kirim apa-apa, disini sudah ada semuanya. Ya nduk, salam buat suamimu .."

"Aah, jadi kangen sama ibu, besok kalau liburan aku mau ke Jakarta ya yang," kata Ayudya yang sudah lelah berantem dengan kakaknya, lalu bersandar ke bahu neneknya.

"Nanti sama aku, kalau sendirian nanti kamu ilang."

Dan Ayudya merengut lagi, tapi disambut senyum mengejek dari kakaknya yang kemudian lari kebelakang.

"Aku mandi dulu ya eyang."

***

Gadis bernama Mirna itu sudah menghadap didepan Adhitama. Adhitama menatapnya tajam. Dia cantik, ah, mana mata genit yang dikatakan Ayudya, nggak ada kok, pikirnya. Biasa saja, bahkan gadis itu menundukkan kepala ketika Adhit menatapnya.

"Nama kamu Mirna Astuti?"

"Ya pak," jawab Mirna pelan.

"Coba ceriterakan tentang diri kamu."

"Apa?"

"Cerita saja, kamu siapa, bagaimana kamu bisa sampai ketempat ini.. atau apa saja, aku mau mendengar semuanya."

"Saya, anak tunggal dari seorang janda. Ibu saya ditinggalkan oleh ayah saya ketika mengalami kecelakaan yang menyebabkan dia cacat seumur hidup."

"Kecelakaan apa?"

"Wajahnya tersiram air keras ketika bertengkar dengan ayah saya."

Mata Adhitama membesar. Ada orang sekejam itu sama isterinya?

"Ayahmu menyiramnya?"

Mirna mengangguk, matanya ber kaca-kaca.

"Dulu ibu saya sangat cantik, dan ayah seorang pencemburu. Ketika itu saya masih klas 2 SMP. Kemudian ayah pergi ketika melihat wajah ibu tidak bisa pulih seperti sedia kala."

"Tidak melaporkannya ke polisi?"

"Ibu tidak mau. Lalu ibu bekerja apa saja supaya bisa membesarkan dan menyekolahkan saya sampai lulus sarjana."

Ada rasa iba menyelinap dihati Adhit mendengar kisah itu. Lingkungan keluarganya yang penuh kasih sayang, jauh dari pertengkaran dan ketegangan. Mendengar kisah itu, runtuhlah belas kasihan dihatinya.

"Kamu pernah bekerja dimana ?"

"Menjadi pelayan toko, untuk meringankan beban ibu."

"Darimana kamu tau bahwa disini membutuhkan sekretaris?"

"Ada iklan yang ibu baca, kemudian mengatakannya pada saya."

***

Sudah seminggu Mirna bekerja sebagai sekretaris Adhitama. Pekerjaannya bagus, sopan. Ah, mana mata genit itu? Adhit selalu men cari-cari dimata Mirna seperti yang dikatakan Ayud, tapi tak juga ketemu. Gadis itu cantik, santun, tekun, tak ada kurangnya. Tapi ia menolak kalau Ayud mengatakan bahwa dia suka pada sekretarisnya. Tidak, Adhitama priya ganteng dan sukses yang tak mudah jatuh cinta. Gadis cantik  banyak ditemuinya, tapi belum satu pun nyanthol dihatinya.

Ia sedang memeriksa beberapa berkas ketika tiba-tiba dibacanya sebuah pesan WA.

"MAS ADHIT, APA KABAR?"

Tak ada nama di pesan itu, tak ada photo profil yang tampak. Siapa dia?

***

besok lagi ya

 

 

 

 

 

 


No comments:

Post a Comment

KUPETIK SETANGKAI BINTANG 01

  KUPETIK SETANGKAI BINTANG  01. (Tien Kumalasari)   Minar melanjutkan memetik sayur di kebun. Hari ini panen kacang panjang, sangat menyena...