Wednesday, November 5, 2025

RUMAH KENANGA DI TENGAH BELANTARA 15

 RUMAH KENANGA DI TENGAH BELANTARA  15

(Tien Kumalasari)

 

Melihat Kenanga menatapnya sampai terbelalak, Hasto merasa heran. Ada apa dengan kelinci yang dilihat Rasto dan Sarman? Bahkan dirinya juga melihat kelinci itu. Tapi Kenanga menggeleng-gelengkan kepalanya.

Sanusi dan Alvin kehilangan pancaran kegembiraannya saat mendengar ketiga temannya selamat. Tapi sekarang ia hanya melihat satu orang saja, dan entah ke mana lagi yang dua lainnya.

“Mengapa dengan kelinci itu?” tanya Hasta yang tiba-tiba merasa cemas. Wajah Kenanga juga tampak tidak suka.

Singkong bakar yang mereka bawa diletakkan begitu saja ke tanah, sedangkan selera untuk makan lenyap tiba-tiba.

“Apakah yang harus kami lakukan?” tanya Alvin yang berharap Kenanga bisa menolongnya.

“Aku bisa apa?”

“Kamu tahu semuanya di lingkungan tempat ini kan?” Sanusi menegaskan. Tapi Kenanga menggelengkan kepalanya.

“Keberadaannya tidak jelas di mana.”

“Mengapa dengan kelinci itu?”

“Ada siluman berhasil menyusup ke tempat ini. Tampaknya mereka kesal tak berhasil menjerat mahluk lain yang berani menginjak-injak daerahnya.”

“Aneh. Perselisihan antar mahluk?” kata Sanusi.

“Kami tidak pernah saling mengganggu.”

“Manusia punya derajat paling tinggi di dunia ini, bukan?" kata Sanusi.

“Mereka punya kekuatannya masing-masing.”

“Tak ada yang bisa mengalahkan kekuatan Tuhan Yang Maha Kuasa. Menurut aku, kita bisa menemukan Sarman dan Rasto dengan pertolongan Allah,” kata Sanusi mantap.

“Aku kan sudah bilang, berjalan sambil selewengan akan membuat kita tersesat,” tiba-tiba kakek bersorban sudah ada di tempat itu. Sungguh aneh karena tak seorangpun mendengar langkahnya.

Sanusi dan Alvin menoleh ke arahnya. Mereka teringat akan kesalahannya menoleh ke arah perempuan cantik yang mereka temui, lalu tersesat dan kehilangan kakek bersorban yang ingin menolongnya.

Sekarang apa lagi? Karena tertarik melihat kelinci, maka mereka hilang, dan pastinya tersesat entah ke mana.

“Kakek, tolonglah teman kami.”

“Aku tidak berani janji.”

“Aku percaya Kekek bisa menolongnya, seperti Kakek menolong kami.”

“Itu hanya karena kebetulan,” kata kakek bersorban enteng. Ia tak menatap ke arah anak-anak muda yang mengelilinginya, tapi menatap ke atas langit. Barangkali ada jawab yang dicarinya di atas sana. Walau begitu ada perasaan yakin di hati Alvin dan Sanusi, bahwa kakek bersorban akan menemukan teman-teman mereka yang ‘tersesat’.

Tiba-tiba mereka melihat kelinci melompat-lompat di kejauhan.

“Itu kelincinya!” teriak Hasto.

“Apakah Rasto dan Sarman masih mengikutinya?”

Tapi tak tampak ada yang mengejarnya. Kelinci itu seperti mengejek mereka, melompat ke sana kemari, seperti membuat sebuah tarian yang kocak dan menggemaskan.

“Kalian pulanglah ke rumah Kenanga. Aku akan menangkap kelinci itu,” kata kakek bersorban.

Walaupun ragu karena tak tega meninggalkan tempat itu demi kedua temannya yang ‘hilang’, tapi mereka menuruti apa yang dikatakan sang kakek bersorban.

Kenanga yang sudah tahu tabiat ayahnya yang tak bisa dibantah, mendahului berjalan pulang. Sanusi dan Alvin serta Hasto mengikutinya dengan perasaan campur aduk. Antara sesal dan kecewa.

***

Kelinci itu masih menari-nari, kakek bersorban menatapnya tajam. Seperti tahu bahwa si kakek tidak menyukainya, kelinci itu melompat menjauh. Tapi pada lompatan terakhir, kakek bersorban sudah berdiri di depannya. Kelinci itu terkejut, ingin melompat menjauh, tapi sebelah tangan kakek bersorban berhasil menjangkaunya, membuatnya tak berkutik karena si kakek mencengkeram tengkuknya. Matanya yang kecil berkedip-kedip, lalu seperti ketakutan ia menundukkan kepalanya.

“Kamu ini kelinci jadi-jadian. Karena itu dagingmu tak bakal nikmat untuk dimakan. Orang-orang yang mengejar-ngejar kamu hanya tertipu oleh ulahmu.”

Kelinci itu berkedp-kedip, dan hanya berkedip-kedip. Barangkali ia tak mengerti apa yang dikatakan kakek bersorban, tapi mungkin juga dia mengerti, hanya tak mampu mengucapkan kata-kata.

“Kemana kedua anak itu?”

Kelinci yang berada di tangan kakek bersorban menundukkan kepalanya lagi.

“Bagaimana kalau kamu aku kembalikan ke asalmu? Kita sudah lama hidup berdampingan, apakah aku pernah mengganggu?”

Kakek bersorban berbicara seolah mengerti bahwa kelinci kecil itu tahu apa yang dikatakannya.

“Dia adalah kawan-kawanku.”

Kelinci itu masih menundukkan kepalanya. Ia menggeliat-geliat dalam cengkeraman kakek bersorban.

Tapi si kakek tak hendak melepaskannya.

“Apa kamu merasa kepanasan? Tapi aku tidak membakar kamu, karena kalaupun kamu menjadi matang, dagingmu tak enak dimangsa manusia seperti aku. Apakah kamu merasa gerah? Tapi aku tak akan melepaskan kamu sampai aku tahu di mana kedua anak muda itu berada. Kamu tahu, sebentar lagi ketika kamu tetap tak mau membantu aku menemukan mereka, maka tubuhmu akan menjadi abu.”

Tiba-tiba asap putih mengepul dari tubuh kelinci itu. Ia menggeliat-geliat, lalu kakek bersorban melemparkannya ke tanah.

Suara aneh terdengar, ketika tubuh kelinci itu tiba-tiba menjadi asap, lalu muncullah seekor kera tinggi besar.

“Jadi kamu dari bukit Senyap?”

Kera itu meringis, menampakkan taringnya yang runcing. Tampaknya dia marah karena merasa terganggu. Dengan sekali lompatan dia menerjang si kakek, tapi dengan gerakan ringan kakek bersorban itu menghindarinya.

Kera itu berjingkrak marah, mengulangi lagi gerakan menubruk orang yang ada di depannya, dan sekali lagi si kakek berhasil menghindar. Tak ingin berlama-lama, kakek mengibaskan tangannya membuat kera besar itu terjengkang.

Merasa tak mampu melawan manusia tua yang mandraguna itu, kera itu melompat pergi dan menghilang diantara pepohonan.

“Tapi aku sudah tahu ke mana kamu pergi,” gumam kakek bersorban dengan tersenyum.

***

Kakek bersorban berjalan menasak bukit yang lebat oleh ranting dan pepohonan. Seperti kera yang mendahuluinya, kakek itu seperti tak merasa sulit untuk berjalan. Ia melompati sungai, menginjak batu-batu sungai dan sampai di seberang dengan gerakan lincah. Ia tahu ada beberapa bukit di daerah itu, tapi bukit terbesar adalah bukit Senyap. Siluman-siluman perempuan yang ada di bukit itu senang sekali menculik perjaka-perjaka tampan. Kakek bersorban sangat tahu akan hal itu.

Tak berapa lama kera yang kalah pamor itu sudah sampai di bukit Senyap, mengoceh bersahut-sahutan dengan beberapa kera yang ada di sana.

Kakek bersorban sudah tiba di sana. Ia menatap beberapa kera yang bersahutan, sebagian masih bergelantungan di pohon. Tiba-tiba ia melemparkan banyak buah-buahan ke arah mereka, lalu berpuluh kera datang berebutan. Entah dari mana dia mendapatkan buah-buahan itu.

Kakek bersorban berjalan ke arah tengah. Ia mendongak ke atas sebuah pohon tinggi, dan melihat dua orang laki-laki muda ada di atasnya. Beberapa kera yang berjaga di bawah tiba-tiba ikut berlari ke arah buah-buahan yang disebar si kakek.

Dua laki-laki itu melihat seorang kakek di bawahnya, melambaikan tangan ke arahnya. Keduanya segera meluncur turun, karena di bawah tak ada lagi yang menjaganya.

Kakek bersorban memberi isyarat kepada keduanya agar mengikuti langkahnya. Mereka mengikuti dan sebentar-sebentar menoleh ke arah belakang, khawatir kalau ada yang akan mengejarnya.

“Jangan menoleh ke belakang.”

Sebuah suara menyadarkannya. Suara kakek tua yang lembut dan menenangkan.

Lalu mereka berjalan tanpa menoleh ke belakang, walau telinganya mendengar hiruk pikuk kera berebut buah-buahan.

“Kakek, kami mau kau bawa ke mana?”

Kakek itu tidak menjawab, ia terus melangkah sambil memberi isyarat dengan tangannya agar mengikutinya terus.

***

Ketiga anak muda, Alvin, Sanusi dan Hasta duduk di pelataran rumah Kenanga, di depannya, di sebuah meja kayu, beberapa potong ubi bakar masih tergeletak dan menjadi dingin. Berkali-kali Kenanga mengingatkan, tapi mereka belum berselera untuk menjamahnya. Sebelum diketemukannya dua orang temannya, mereka merasa makan tak enak, tidurpun tak nyenyak.

“Apakah ayahmu bisa menolong mereka?” tanya Alvin sambil menatap Kenanga yang menemani mereka sambil memetik daun-daun obat yang diambilnya sejak kemarin.

“Entahlah, aku tidak tahu.”

“Tampaknya ayahmu itu orang sakti,” kata Hasta, membuat Kenanga terkekeh.

“Apa maksudnya sakti? Ayahku manusia biasa. Ia suka membuat obat. Beberapa orang dusun di bawah sana, kalau sakit sering datang kemari untuk meminta obat. Ayahku dengan suka rela memberi obat. Mereka sering membawakan sayuran, bahkan beras sebagai ungkapan terima kasih, walau sebenarnya ayahku tidak meminta.”

“Tapi kakek itu bisa melakukan banyak hal yang menurutku aneh.”

“Tapi menurut dia, tidak aneh. Dulu aku juga sering menganggapnya aneh, tapi dia memarahi aku, dan mengatakan tidak ada hal yang aneh selama kita bisa melakukannya.”

“Ia suka menolong, dengan caranya.”

“Maaf, menurut aku, usia kakek itu sudah terlalu tua untuk menjadi ayahmu. Lalu di mana ibumu?” tanya Sanusi terus terang sambil tak lupa meminta maaf.

Kenanga tampak sedih.

“Sebenarnya dia bukan ayahku.”

“Nah, aku sudah menduganya. Ia terlalu tua untuk menjadi ayahmu. Kamu anak angkat?”

“Aku ditemukan ayahku saat bayi, di kaki gunung, tanpa diketahui siapa orang tuaku. Dulu, ketika kakek bercerita, lalu aku bertanya siapa orang tuaku, ayahku selalu mengatakan bahwa aku anak jin. Itu jawabnya sambil bercanda. Akhirnya aku tak pernah lagi bertanya. Ayahku sangat mengasihi aku. Dia juga pernah menyekolahkan aku, hanya sampai sekolah dasar. Tidak apa-apa, ilmu yang paling tinggi menurut ayahku, adalah ilmu kebajikan. Manusia tak ada artinya tanpa memiliki kebajikan.”

Ketiganya mendengarkan dengan seksama, dan mencoba memahami apa yang dikatakan Kenanga yang menirukan ajaran ayah angkatnya.

Tiba-tiba Kenanga melihat kupu-kupu berwarna indah. Entah mengapa dia sangat tertarik. Ia berdiri dan mengikutinya, tapi baru beberapa langkah terdengar teriakan.

“Berhenti!”

***

Besok lagi ya.

 

20 comments:

  1. Alhamdulillah eRKaDeBe_15, sdh tayang.
    Matur nuwun Bu Tien.

    ReplyDelete
  2. Alhamdulillah
    Matur sembah nuwun Mbak Tien

    ReplyDelete
  3. Matur nuwun mbak Tien-ku Rumah Kenanga Di Tengah Belantara telah tayang

    ReplyDelete
  4. Alhamdulillah.Maturnuwun Cerbung " RUMAH KENANGA DITENGAH BELANTARA ~ 15 " sudah tayang.
    Semoga Bunda dan Pak Tom Widayat selalu sehat wal afiat .Aamiin

    ReplyDelete
  5. Alhamdulillah sudah tayang
    Terima kasih bunda Tien
    Semoga bunda dan keluarga sehat walafiat
    Salam aduhai hai hai

    ReplyDelete
  6. Alhamdulillah RUMAH KENANGA DI TENGAH BELANTARA~15 telah hadir. Maturnuwun, semoga Bu Tien beserta keluarga tetap sehat dan bahagia serta senantiasa dalam lindungan Allah SWT.
    Aamiin YRA.🀲

    ReplyDelete
  7. πŸ›–πŸŒ΅πŸ›–πŸŒ΅πŸ›–πŸŒ΅πŸ›–πŸŒ΅
    Alhamdulillah πŸ™πŸ˜
    Cerbung eRKaDeBe_15
    sampun tayang.
    Matur nuwun Bu, doaku
    semoga Bu Tien selalu
    sehat, tetap smangats
    berkarya & dlm lindungan
    Allah SWT. Aamiin YRA.
    Salam aduhai πŸ¦‹πŸŒΉ
    πŸ›–πŸŒ΅πŸ›–πŸŒ΅πŸ›–πŸŒ΅πŸ›–πŸŒ΅

    ReplyDelete
  8. Terima ksih bundaaa cerbungnya..slmt mlm dan slmt istrhat..salam seroja uno bunda bersn bpkπŸ™πŸ₯°πŸŒΉ❤️

    ReplyDelete
  9. Alhamdulillah
    Syukron nggih Mbak Tien ❤️🌹🌹🌹❤️❤️

    ReplyDelete
  10. Assalamualaikum bu Tien, maturnuwun cerbung " Rumah Kenanga di Tengah Belantara 15" sampun tayang,
    Semoga ibu Tien serta Pak Tom dan amancu selalu sehat dan penuh berkah aamiin yra .. salam hangat dan aduhai aduhai bun πŸ€²πŸ™πŸ©·πŸ©·

    ReplyDelete
  11. Alhamdulillah, matur nuwun bunda Tien.
    Selalu sehat dan bahagia bersama keluarga, aamiin . .

    ReplyDelete
  12. Terima kasih Bunda, serial baru cerbung Rumah Kenanga Ditengah Belantara....15...sdh tayang.
    Sehat selalu dan tetap semangat nggeh Bunda Tien.
    Syafakallah kagem Pakdhe Tom, semoga Allah SWT angkat semua penyakit nya dan pulih lagi seperti sedia kala. Aamiin.

    Setelah di tolong Kakek...Rasto dan Sarman...selamatkah.

    Saat ini para siluman Bukit Senyap sedang mencari mangsa... menyebar ke daerah lain. Ada yang jadi kelinci, kupu kupu, kucing, he...he...agar mangsa nya tertarik mengejar nya.

    ReplyDelete
  13. Alhamdulillah, maturnuwun Bu Tien cerbungnyaπŸ™

    ReplyDelete
  14. Terima kasih bunda Tien, sehat dan bahagia selalu bunda Tien sekeluarga, Aamiin ya rabbal Alaamiin

    ReplyDelete
  15. Alhamdulillah, matursuwun Bu Tien

    ReplyDelete
  16. Aduhai sekali ceritanya Bunda, bergantian yg tertarik pada "sesuatu". Matur nuwun, semoga Ibu sekeluarga sehat wal'afiat.

    ReplyDelete
  17. Alhamdulillah sudah tayang, terima kasih, ibu. Ceritanya makin seru.

    ReplyDelete
  18. Maturnuwun Bu Tien salam sehat selalu

    ReplyDelete

RUMAH KENANGA DI TENGAH BELANTARA 15

  RUMAH KENANGA DI TENGAH BELANTARA  15 (Tien Kumalasari)   Melihat Kenanga menatapnya sampai terbelalak, Hasto merasa heran. Ada apa dengan...