RUMAH KENANGA DI TENGAH BELANTARA 14
(Tien Kumalasari)
Kenanga sampai di rumahnya sambil membawa beberapa buah ubi kayu yang baru diambilnya di kebun sambil berjalan pulang. Ia langsung ke belakang rumah, menyalakan kayu untuk membakar ubi.
Ketika asap ubi itu terbawa angin, dari arah depan sang ayah berteriak.
“Kenanga, kamu sudah kembali?”
Kenanga hanya menjawab ‘sudah’ tapi sambil membolak-balikkan ubi yang dibakarnya.
“Kalau sudah matang bawa kemari ubinya, ada yang akan membantu menghabiskan,” kata sang ayah tanpa bertanya tentang apa yang dikerjakan Kenanga, karena dari aromanya ia sudah tahu bahwa anaknya sedang membakar ubi.
“Iya. Nanti Kenanga siapkan untuk Bapak.”
“Bukan hanya bapak, ada dua yang lainnya.”
Kenanga heran. Pagi mulai merayap. Dari arah timur cahaya keemasan menembus belantara itu melalui sela-sela dedaunan.
Rasa dingin yang menggigit perlahan sirna. Kenanga masih jongkok di depan api kayu, sambil membolak-balikkan ubi supaya tidak gosong. Tapi perkataan sang ayah tentang dua orang lainnya sedikit mengganggunya. Walau begitu ia tak segera meninggalkan perapian itu, takut ubinya gosong.
Telinganya mendengar sang ayah bicara, entah dengan siapa. Ketika ubinya matang, Kenanga baru bangkit, mengambil piring dari tanah di dapur, lalu meletakkan beberapa potong di atasnya, setelah mengentas sisanya di wadah yang lain.
Kenanga membawa piring itu ke depan, dan melihat sang ayah sedang duduk bersama dua orang anak muda yang mengenakan pakaian ayahnya.
Sejenak Kenanga termangu. Di depan perapian yang dibuat sang ayah, udara tampak menghangatkan kedua pemuda itu, yang duduk tenang sambil menyeruput minuman di dalam cangkir kaleng yang pastinya disajikan oleh ayahnya.
“Ke sini, mengapa berdiri saja di situ?”
Kenanga mendekat. Dalam hati ia bertanya-tanya tentang kedua tamunya. Merekakah yang dicari ketiga anak muda yang masih menunggu sambil memelototi sungai?
Kenanga meletakkan piring itu di tanah.
“Ini anakku, Kenanga,” kata kakek bersorban memperkenalkan nama anaknya, membuat keduanya terhenyak, dan langsung menatap kaki Kenanga yang telanjang tanpa alas. Membuat kakek bersorban tersenyum.
“Dia anakku, bukan siluman,” katanya yang membuat keduanya tersipu.
“Dia … siapa?” tanya Kenanga pelan. Walau begitu, Alvin dan Sanusi merasa seperti mengenal suara itu.
“Dia, dua anak muda yang tersesat.”
“Apakah … kalian punya tiga orang teman yang terpisah?” tanya Kenanga.
”Ini aku mengenal suaranya,” pekik Alvin yang terpana melihat Kenanga yang wajahnya bagai bersinar terkena terangnya nyala perapian.
“Kamu yang memberi kami minuman dan makanan ketika kami masih terjebak di dalam goa?” tanya Sanusi.
“Ini kalian?” kata Kenanga hampir terpekik.
“Ternyata kita ketemu di sini. Kakek ini yang menyelamatkan kami,” kata Alvin.
“Tapi kami masih harus mencari ketiga teman kami yang entah berada di mana. Ketika kami tinggalkan, dia masih ada di dalam goa.”
Kenanga tersenyum manis sekali. Cahaya di wajahnya seakan bersaing dengan cahaya matahari yang menyelinap di antara daun-daun yang berayun pelan oleh angin yang mengelusnya.
Kedua anak muda itu menatapnya takjub.
“Kalian ingin ketemu mereka?”
“Kamu melihatnya?”
“Dia ada di tepi sungai, menunggu kedua sahabatnya muncul dari grojogan di depan goa"
“Apa?”
“Itu teman-teman kami,” pekik Alvin.
“Ayo kita temui mereka, dia juga pasti memikirkan kita,” ajak Sanusi.
“Sebentar, makan dulu ubinya, baru ke sana. Sudah jelas keadaannya selamat, tidak usah terburu-buru,” kata Kenanga.
Kakek bersorban masuk ke dalam rumah, lalu keluar lagi membawa sebuah mangkuk yang ternyata berisi obat.
“Oleskan pada kedua tangan dan telapak kalian yang terluka, jangan sampai menjadi bengkak karena luka yang terkena kotoran bisa berbahaya.”
“Baik, Kek, terima kasih banyak,” jawab Sanusi yang segera menerima mangkuk itu, mengoleskan isinya yang berwarna kehijauan, ke setiap luka yang ada di tubuh mereka. Alvin mengikutinya. Aroma daun tercium, ada wangi yang walaupun tipis tapi menyegarkan. Tak lama setelah itu rasa perih yang tadinya terasa lenyap seketika. Kakek bersorban itu ternyata benar-benar ahli pengobatan.
Keduanya segera mengupas ubi kayu dengan tergesa-gesa, keinginan untuk segera bertemu teman mereka sudah sangat menggebu-gebu.
“Jangan terburu-buru, ubi itu masih panas.”
“Begini saja, bawa saja ubi itu ke sana, aku juga menyiapkannya untuk mereka tadi,” kata Kenanga, yang disetujui oleh keduanya.
Tapi keduanya tetap saja kelihatan terburu-buru. Bagaimana tidak, sudah lama rasa khawatir menghantui setiap langkah mereka. Berita bahwa mereka selamat sangat membuat mereka merasa senang.
***
Sementara itu ketiganya sudah mandi dan berganti pakaian yang diberikan Kenanga. Mereka minum dan melahap makanan yang dibawakan Kenanga, membuat tubuh mereka semakin terasa hangat, dan rasa lapar segera terobati. Tapi mereka sesekali menoleh ke arah sungai, dengan harap-harap cemas.
“Kalau sungai itu ada ikannya, kita bisa menangkapnya lalu membakarnya,” kata Rasto.
“Aliran sungai begitu deras, biasanya tak ada ikan di sungai seperti itu.”
“Apa ya yang terjadi pada Sanusi dan Alvin? Mereka belum muncul juga.”
“Kalau benar dugaan Kenanga bahwa mereka salah jalan dan kembali ke bukit Senyap, harapan untuk ketemu sangat tipis.”
“Apakah Kenanga berani ya, pergi ke sana? Itu kan bukit siluman?”
“Maksudmu kamu mau meminta Kenanga untuk mencari mereka?”
“Maksudku ya bersama kita, tidak hanya Kenanga.”
“Dunia siluman sangat aneh. Hanya orang-orang pintar yang bisa mengalahkannya.”
“Orang pintar itu orang berilmu kan? Yang bisa melihat ke dunia gaib?”
“Benar, tapi tidak sembarang orang bisa melakukannya."
"Kalau bukan karena nasib baik, kita tidak akan selamat.”
“Siluman itu tidak berani menjamah goa yang penuh misteri itu. Kenapa ya?”
“Entahlah. Orang jaman dahulu punya kekuatan yang tersembunyi. Mungkin mereka memiliki sesuatu yang ditakuti para siluman.”
“Goa yang aneh, ada harta karun terpendam,” gumam Sarman.
“Tapi kita tidak menemukan harta itu, yang kita ketemukan hanya tengkorak berserakan.”
”Kalau kamu menemukan, lalu kamu ingin mengambilnya?”
“Entahlah, yang namanya harta, siapa yang tidak tertarik?”
“Ada-ada saja. Bukankah kata Kenanga banyak orang yang berusaha mengambil harta itu tapi tak ada yang selamat?”
“Benar, karena goa itu penuh pintu-pintu batu yang aneh.”
Tiba-tiba Rasto melihat sesuatu.
“Hei, lihat, ada kelinci berlarian di sana.”
“Lucu sekali.”
“Kalau kita bisa menangkapnya, kita bisa makan sate kelinci. Kenanga pasti bisa memasaknya.”
“Kamu mau ke mana?” tanya Hasto yang melihat Rasto kemudian berdiri.
“Aku mau tahu, ke mana larinya kelinci itu.” kata Rasto sambil beranjak pergi.
“Jangan macam-macam. Kembalilah.”
“Memangnya gampang menangkap kelinci?”
Kelinci itu terlihat lagi, Rasto semakin bersemangat mendekati. Tapi memang benar, kelinci itu seperti mengejeknya, memperlihatkan dirinya, lalu meloncat dengan kecepatan kilat.
Rasto yang penasaran terus memburunya. Peringatan teman-temannya sama sekali tak dihiraukannya.
“Kenapa anak itu?” kata Sarman.
“Pengin sekali makan daging kelinci.” kata Hasto.
“Ada-ada saja. Dia lupa bahwa tempat ini sangat berbahaya.”
Tapi kemudian Rasto yang mengejar kelinci tak lagi kelihatan. Banyak semak-semak yang menutupi pandangan mereka.
“Heran, mengapa tiba-tiba Rasto ingin mengejar kelinci?”
“Panggil dia, suruh dia kembali,” pinta Hasto yang mengkhawatirkan temannya.
“Kamu di sini ya, awasi terus sungai itu, jangan sampai dia muncul dan kamu tidak melihatnya,” kata Sarman yang kemudian berdiri dan berlari mencari Rasto yang tak lagi kelihatan bayangannya.
Sarman celingukan ke sana kemari. Bayangan temannya tak kelihatan, apalagi kelinci itu. Sarman heran melihat ulah temannya. Mengapa tiba-tiba tertarik pada kelinci? Kalau hanya ingin makan sate kelinci, kan bisa ditahannya sampai mereka kembali pulang?
“Seperti orang ngidam saja.” gerutu Sarman yang kesal melihat ulah temannya.
“Rastoooo! Kamu di mana?”
Tak ada jawaban. Semak-semak disibakkan, tak ada bayangan sahabatnya. Hati Sarman mulai ciut. Bukan sekali ini ia kehilangan teman gara-gara mereka pergi meninggalkan yang lainnya. Memang agak terasa aneh, mengapa tiba-tiba mereka melihat kelinci, lalu Rasto begitu tertarik mengejarnya.
“Rastoooo…!!”
Suara Sarman hanya ditelan kesunyian, diantara pagi yang mulai menjelang.
***
Sanusi dan Alvin sudah sampai ke pinggir sungai. Kenanga mengantarkannya sambil membawa sebagian singkong bakar yang masih hangat.
Hatinya gembira ketika melihat Hasto masih duduk di tepi sungai, dan terus mengawasi ke arah sungai. Alvin dan Sanusi terharu menyaksikan kesetiaan temannya.
Tak tahan Alvin berteriak.
“Hastooo!”
Hasto terkejut, lalu menoleh, dan hampir berjingkrak kegirangan melihat kedua temannya datang bersama Kenanga.
“Alvin! Sanusi! Syukurlah kamu selamat.”
Mereka bertemu dan berangkulan. Barangkali kalau pantas mereka akan bertangisan.
Tapi kemudian Sanusi dan Alvin heran ketika tak melihat yang dua lainnya.
“Mana Rasto dan Sarman?”
Wajah Hasto muram seketika.
“Gara-gara Rasto mengejar kelinci,”
“Apa? Kelinci apa?” yang berteriak adalah Kenanga.
***
Besok lagi ya.
Alhamdulillah
ReplyDeleteMatur sembah nuwun Mbak Tien
Alhamdulillah....
ReplyDeleteeRKaDeBe_14 sdh ditayangkan.
Matur nuwun Bu Tien....
Maturnuwun bu
ReplyDeleteAlhamdulillah RUMAH KENANGA DI TENGAH BELANTARA~14 telah hadir. Maturnuwun, semoga Bu Tien beserta keluarga tetap sehat dan bahagia serta senantiasa dalam lindungan Allah SWT.
ReplyDeleteAamiin YRA..π€²
Assalamualaikum bu Tien, maturnuwun cerbung " Rumah Kenanga di Tengah Belantara 14" sampun tayang,
ReplyDeleteSemoga ibu Tien serta Pak Tom dan amancu selalu sehat dan penuh berkah aamiin yra .. salam hangat dan aduhai aduhai bun π€²ππ©·π©·
Alhamdulillah.Maturnuwun Cerbung " RUMAH KENANGA DITENGAH BELANTARA ~ 14 " sudah tayang.
ReplyDeleteSemoga Bunda dan Pak Tom Widayat selalu sehat wal afiat .Aamiin
Alhamdulillah, maturnuwun Bu Tien πceritanya tambah greget,semoga Bu Tien tetap sehat semangat bahagia bersama Kel tercinta.
ReplyDeleteMatur nuwun mbak Tien-ku Rumah Kenanga Di Tengah Belantara telah tayang
ReplyDeleteMatur nuwun, Bu Tien
ReplyDeleteSelamat mlm bundaqu cerbungnya..trima ksih dan slm sehat sll unk bunda sekelππ₯°πΉ❤️
ReplyDeleteMatur suwun bu Tien..
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteTerima kasih bunda Tien
Semoga sehat walafiat
Salam aduhai hai hai
π️π³π️π³π️π³π️π³
ReplyDeleteAlhamdulillah ππ¦
Cerbung eRKaDeBe_14
telah hadir.
Matur nuwun sanget.
Semoga Bu Tien dan
keluarga sehat terus,
banyak berkah dan
dlm lindungan Allah SWT.
Aamiinπ€².Salam seroja π
π️π³π️π³π️π³π️π³
Matur nuwun Bu Tien, salam sehat aduhai dari Yk....
ReplyDeleteAduh...
ReplyDeleteAlhamdulillah
Syukron nggih Mbak Tien❤️πΉπΉπΉπΉπΉ
Gara-gara Rasto ingin kelinci, mereka terpisah lagi.... Terimakasih bunda Tien sehat dan bahagia selalu bersama keluarga tercinta... Aduhaii
ReplyDeleteMasih panjang ceritanya. Mbak Tien bisa-bisanya mempermainkan perasaan pemirsa ...
ReplyDeleteTerimakasih Mbak Tien...
Terima kasih Bunda, serial baru cerbung Rumah Kenanga Ditengah Belantara....14...sdh tayang.
ReplyDeleteSehat selalu dan tetap semangat nggeh Bunda Tien.
Syafakallah kagem Pakdhe Tom, semoga Allah SWT angkat semua penyakit nya dan pulih lagi seperti sedia kala. Aamiin.
Rasto & Sarman...nekat mengejar kelinci jadi jadian, bakalan ketemu siluman Kenanga dan siluman Widuri..ini.