LANGIT TAK LAGI MENDUNG 21
(Tien Kumalasari)
Mbok Manis tersenyum sambil menowel pipi gadis bernama Misnah itu.
“Namanya cantik. Kamu juga cantik.”
“Terima kasih, Bu,” jawab Misnah tersipu.
“Panggil aku simbok, jangan ‘bu’."
“Aku juga simbok,” sambung mbok Randu.
Misnah teringat pembantu tuan Hasbi yang dia tidak pernah tahu namanya kecuali simbok. Pada awalnya dipanggil bu, dia juga menolak. Apakah kedua simbok ini juga pembantu maka tak mau dipanggil ibu?
“Kami ini pembantu di rumah ini, biasa dipanggil simbok. Ini Mbok Randu, aku sendiri mbok Manis.”
“Nah, betul kan, apa semua pembantu tak mau dipanggil ibu? Memang beda, simbok sama sibu?” kata batin Misnah yang merasa senang karena roti dagangannya laku banyak di rumah itu.
“Kamu ini baru pulang dari sekolah ya?”
“Iya, mbok.”
“Ya ampun, apa tidak capek?”
“Saya pulang, langsung ambil roti buatan perusahaan roti dekat sekolah, untuk membantu menjualkan. Nanti saya mendapat upah untuk bayar sekolah,” katanya sambil mengemasi sisa dagangannya.
“Owalah, kasihan nduk, orang tuamu di mana?”
“Saya hanya punya ayah.”
“Ayahmu bekerja?”
“Bapak saya tukang tambal ban di dekat pasar sana.”
“Kasihan, saya ambilkan makan ya, kamu pasti belum makan,” kata mbok Randu sambil berdiri.
“Tidak usah Mbok, saya langsung jalan saja.”
“Jangan menolak, kamu pasti belum makan,” sambung mbok Manis.
“Tapi ….”
“Sama ambilkan minum, taruh di botol bekas sirup,” teriak mbok Manis kepada sahabatnya.
“Ya ampun, saya hanya tukang jualan, mengapa harus dikasih makan?”
“Makan itu rejeki. Kamu tidak boleh menolaknya.”
Misnah mengangguk, dan tak terasa air mata sudah tergenang dipelupuknya. Banyak orang baik di dunia ini, mengapa ada orang sejahat Rizki? Ia dan ayahnya teraniaya, bukan karena tak diberi makan dan minum, tapi karena dituduh mencuri. Sakit hati Misnah, dan tentunya juga pak Misdi, ayahnya.
Ketika kemudian mereka mendapat rumah sewa yang boleh dibayar belakangan, pak Misdi langsung mengambil alat-alat bengkel yang masih dititipkan di warung. Ia mencari tempat yang dirasa baik, yaitu di dekat pasar, dibawah pohon asam yang sangat rindang. Misnah yang tak ingin berhenti sekolah, kemudian mencari pekerjaan seusai sekolah, dan kebetulan ada perusahaan roti yang mau mempekerjakannya sepulang sekolah. Sudah seminggu mereka menjalani kehidupan baru, selepas dari rumah pak Hasbi. Misnah menabung hasilnya berdagang roti, sedikit demi sedikit. Pak Misdi sudah melarangnya, karena kasihan kepada Misnah yang pastinya capek setelah sekolah lalu menjajakan roti. Tapi Misnah tetap pada pendiriannya. Tak banyak roti yang dibawanya, mengingat sore harinya dia sudah harus belajar agar bisa mengikuti semua pelajaran sekolahnya.
Setelah roti habis terjual, dia menyusul ayahnya ke bengkel. Biasanya sang ayah sudah menyediakan nasi untuk dimakan berdua. Nasi seadanya yang dibelinya dipasar.
“Ini, makanlah dulu,” tiba-tiba mbok Randu mengejutkannya.
“Ini … saya bawa pulang saja, nanti saya makan bersama bapak,” kata Misnah tersipu. Tak tega rasanya makan sendiri, sementara ayahnya entah sudah makan atau belum.
“Lha kalau begitu aku ganti dulu tempatnya,” kata mbok Randu yang membawa nasi dan lauknya ke belakang.
“Saya … mengapa jadi merepotkan,” katanya sendu.
“Tidak apa-apa, kasihan sama kamu yang pulang sekolah langsung bekerja.”
“Saya sudah biasa melakukannya.”
Berulang kali Misnah mengucapkan terima kasih ketika mbok Randu membawa keluar rantang plastik dua susun, bertutup rapat.
“Besok rantangnya saya kembalikan kemari, terima kasih banyak,” kata Misnah dengan suara bergetar.
“Tidak dikembalikan juga tidak apa-apa Misnah, hanya rantang plastik, di sini masih ada beberapa.”
Misnah hanya tersenyum, kemudian berlalu.
Mbok Randu dan mbok Manis menatap langkah gadis kecil itu dengan perasaan terharu. Mbok Manis malah meneteskan air mata, teringat Sinah yang pembangkang dan akhirnya mengalami nasib yang sangat tragis.
“Kalau saja Sinah sebaik itu,” bisiknya.
“Sudah Yu, ndak usah diingat-ingat lagi. Ayo icipin rotinya, sambil menunggu den ajeng Dewi pulang,” kata mbok Randu sambil menepuk bahu sahabatnya.
Baru saja mereka menggigit roti pisang dan memuji enak, Dewi memasuki halaman dengan sepeda motornya.
“Lagi pada ngapain tuh?” sapa Dewi sambil turun dari sepeda motornya, lalu menghampiri keduanya.
“Ini Den Ajeng, yu Manis mborong roti.”
“Mborong roti? Banyak banget.”
“Ini nanti untuk Den Ajeng, lalu yang lain mau dibagi-bagi untuk para abdi yang lain.”
“Waduh, roti pisang kesukaanku Mbok, ayo masuk dulu. Tumben-tumbenan nih, ada acara mborong roti?”
“Ada anak kecil, jualan roti sepulang sekolah, kami merasa kasihan, lalu membeli beberapa bungkus roti dagangannya.”
“Oh ya? Anak itu pasti anak yang rajin dan bersemangat membantu orang tuanya.”
“Katanya hasil berjualan itu untuk biaya sekolahnya.”
“Memangnya dia tak punya orang tua?”
“Orang tuanya hanya ayahnya, pekerjaannya tukang menambal ban.”
Dewi berhenti melangkah.
“Anak tukang tambal ban? Jangan-jangan Misnah,” kata Dewi pelan.
“Benar Den Ajeng, namanya Misnah, kami tadi menanyainya? Kok Den Ajeng tahu?”
“Mana anak itu? Sudah lama perginya?”
“Baru saja Den Ajeng.”
Dewi membalikkan tubuhnya dan berlari ke arah jalan. Ia menoleh ke sana kemari, mencari bayangan penjual roti, tapi ia tak melihatnya. Mungkin sudah berjalan menjauh, atau berbelok di tikungan.
“Ia pasti Misnah, anak pak Misdi. Aduh, ke mana ya dia?”
Dewi memasuki rumah dengan perasaan kecewa.
***
Mbok Manis dan mbok Randu membagikan roti yang mereka beli kepada beberapa abdi lainnya. Rumah Dewi adalah rumah peninggalan dari almarhum kakeknya yang lumayan besar. Beberapa abdi mengurus rumah itu, dari halaman sampai ke dalam rumah, tidak cukup hanya mbok Randu dan mbok Manis yang sudah semakin tua, dan hanya bertugas memasak dan mengurus momongannya bersama suaminya. Mereka ada empat orang, yang mengabdi bertahun-tahun dengan setia. Karena itulah Adisoma dan istrinya merasa tenang putri satu-satunya menghuni rumah itu sejak masih kuliah. Apalagi sekarang ada suami yang menemaninya.
“Kelihatannya den ajeng mengenal Misnah. Tadi dikejarnya sampai ke jalan,” kata mbok Manis.
“Dan seperti sangat ingin bertemu dia. Siapa sebenarnya Misnah?”
“Entahlah, sepertinya sangat penting.”
“Lalu akan dicari ke mana, orang jualan pasti muter entah kemana.”
“Tapi bukankah besok dia akan datang lagi kemari?” kata mbok Manis yang tiba-tiba teringat sesuatu.
“Siapa yang akan datang kemari?” kata Dewi yang sudah keluar dari kamarnya.
“Gadis kecil penjual roti itu, Den Ajeng.”
“Kalian pesan roti lagi?”
“Bukan. Tadi yu Randu memberi makan dengan wadah rantang. Katanya besok dia akan datang untuk mengembalikan rantang itu.”
“Benarkah?”
“Katanya sih begitu. Tapi ya nggak tahu juga, kan hanya rantang plastik, tidak dikembalikan juga tidak apa-apa sebenarnya.”
“Kalau dia memang anak yang jujur, pasti benar-benar kembali kemari,” gumam Dewi.
“Kami kasihan melihatnya. Pulang sekolah langsung berjualan, katanya untuk biaya sekolah,” kata mbok Manis.
“Besok kalau dia datang, beri tahu aku ya. Aku mau ketemu dia.”
“Baiklah, Den Ajeng.”
***
Pak Misdi tersenyum melihat anaknya datang.
“Duduklah dulu Nah, maaf tadi belum sempat beli nasi, habis pekerjaan sedang rame. Tunggu sebentar, keburu lapar ya?”
“Tidak usah Pak, aku sudah membawa nasi.”
“Lhoh, kok tiba-tiba kamu datang membawa rantang?”
“Ini tadi aku jualan di sebuah rumah kuno, dua orang pembantunya membeli daganganku agak banyak, dan tidak cukup dengan itu, dia juga memberi aku makan dan minum. Ketika aku bilang bahwa makanannya akan saya bawa saja, mereka menggantinya dengan rantang. Ini yang bawah nasi, yang di atas lauknya.”
“Alhamdulillah, hari ini banyak rejeki ya Nah, kita bisa nabung untuk membayar sewa rumah dan bayar sekolah kamu.”
“Iya Pak, sekarang ayo kita makan,” kata Misnah yang memang sudah merasa lapar. Ia mengambil piring dan sendok yang selalu dibawanya, karena setiap hari makan siang berdua di tempat mangkal.
“Ini adalah anugrah. Kita terima saja difitnah orang, tapi Allah memberi jalan untuk rejeki kita.”
“Kan Bapak pernah bilang, jangan takut menjadi miskin karena Allah Maha Kaya.”
“Benar, dan diberikanNya kekayaan itu untuk kehidupan kita. Juga untuk umat yang memintanya. Karena itu jangan lupa selalu mengingatNya. Kamu tidak melupakan shalat walau sedang menjajakan dagangan kamu kan?”
“InsyaaAllah tidak pak, setiap sudah waktunya, Misnah selalu berhenti di masjid atau mushala. Bahkan terkadang di situ ada saja orang yang membeli dagangan Misnah.”
“Alhamdulillah. Anak baik, semoga kelak kamu hidup mulia dan berkecukupan, tidak miskin seperti bapakmu ini.”
“Aamiin. Tapi apapun dan bagaimanapun kehidupan Misnah kelak, Bapak akan selalu bersama Misnah.”
“Kalau kamu sudah bersama suami kamu?”
“Tetap saja Bapak harus bersama Misnah.”
Pak Misdi menatap anaknya dengan perasaan yang mengharu biru. Makan siang kali itu, entah mengapa terasa sangat nikmat. Bukan karena lauknya yang enak, tapi karena rasa ‘menerima’ yang terungkap dari keduanya. Tak ada sesal walau teraniaya, tak ada sesal walau hidup susah, karena percaya ada yang Maha Kaya yang akan selalu memberi, dan itu adalah anugrah. Rasa percaya juga anugrah, bukan?
“Sebentar lagi kita pulang. Kamu harus istirahat dan belajar.”
Misnah mengangguk dan tersenyum. Itu sudah kewajibannya.
***
Malam hari itu pak Hasbi duduk ditemani simbok, di ruang tengah. Rizki belum pulang. Entah mengapa beberapa hari ini Rizki selalu pulang malam.
“Kalau kamu mau pulang, pulang saja Mbok, aku tidak apa-apa.”
“Tidak bisa begitu Tuan, mas Rizki belum pulang, nanti Tuan sendirian.”
“Biasanya aku juga tidak apa-apa sendirian saja.”
“Tapi saat ini Tuan tampak seperti kurang sehat, tidak tega saya membiarkan Tuan sendirian.”
“Kalaupun ada Rizki, paling juga dia langsung masuk ke kamarnya. Aku juga sendirian kan?”
“Tapi suasananya berbeda.”
“Kamu bilang aku kurang sehat?”
“Setidak nya tidak sumringah seperti biasanya.”
“Sebenarnya aku tidak apa-apa. Apa kamu kira aku merasa susah kehilangan uangku yang pastinya lumayan banyak? Tidak. Aku biasa saja.”
“Tapi Tuan memikirkan perginya pak Misdi.”
“Aku hanya kasihan pada dia. Mengapa dia melakukan hal seburuk itu? Padahal kalau dia butuh sesuatu, dia bisa minta padaku. Ya kan?”
“Ya berbeda Tuan. Namanya minta itu kan harus dilandasi keberanian. Berat lho Tuan, bilang minta. Bilang pinjam saja berat.”
“Tapi memilih jalan buruk seperti itu kan tidak benar. Sayang sekali, Misnah masih sangat muda, tapi dididik untuk melakukan dosa.”
Simbok diam saja. Sesungguhnya dia tidak percaya Misnah melakukannya. Simbok lebih cenderung mencurigai Rizki. Entah apa maksudnya, tapi sejak awal Rizki kan tidak suka pada pak Misdi dan anaknya. Simbok tidak tahu kalau Rizkilah yang sering mengambil uang ayahnya. Pada pikiran simbok, Rizki hanya ingin menyingkirkannya. Simbok ingin mengatakannya pada sang tuan, tapi tidak berani.
“Kalau memang butuh uang, mengapa uang gaji juga tidak dibawanya?” kata simbok, mirip bergumam, pada akhirnya
“Untuk menutupi keburukannya, barangkali. Sudahlah, aku tidak ingin membicarakannya. Kamu pulang saja, nanti anakmu menunggu."
Simbok mendengar mobil masuk ke halaman, berarti Rizki sudah pulang. Karena itulah kemudian simbok segera pamit.
***
Siang hari itu Misnah keluar dari halaman sekolah, memanggul tas sekolahnya di punggung, lalu berjalan ke tempat perusahaan roti untuk mengambil dagangan. Ia juga membawa rantang yang diberikan kedua simbok yang baik hati, yang telah membeli roti dagangannya kelewat banyak.
Dengan keranjang dagangan dia mulai menjajakan dagangannya. Beberapa roti telah terjual, lalu ia menuju rumah kuno yang pembantunya sangat baik hati.
Ketika ada pembeli yang menghentikannya di jalan, Misnah dengan gembira melayaninya. Ia teringat kata-kata ayahnya. Allah Maha Kaya, janganlah takut menjadi miskin. Mintalah maka Allah akan memberi.
Sambil menata lagi dagangannya di keranjang, ia mengambil dompet uangnya untuk dimasukkan ke dalam saku, sebelum melanjutkan langkahnya.
Tapi tiba-tiba seorang pengendara sepeda berhenti, lalu merebut dompet itu dan kabur.
Misnah menjerit keras.
“Tolooong!! Itu … punyakuuu !!”
Tapi tak ada yang menolongnya, karena jalanan tergolong sepi. Pengendara sepeda yang mencopet itu sudah hilang entah kemana. Misnah ambruk di pinggir jalan sambil menangis sesenggukan.
“Ya Allah, bagaimana ini ….”
Tiba-tiba sebuah mobil berhenti. Pengendaranya seorang laki-laki muda.
“Heii!!" teriaknya sambil membuka jendela mobilnya.
Misnah menatapnya, dan matanya menyala bagai menyemburkan api.
***
Besok lagi ya.
Alhamdulillah
ReplyDeleteAlhamdulillah...
ReplyDeleteEps_21 sdh tayang.
Matur nuwun Dhe.....
Assalamualaikum bu Tien, maturnuwun cerbung " Langit tak lagi kelam 21 " sampun tayang...
ReplyDeleteSemoga ibu Tien serta Pak Tom dan amancu selalu sehat dan penuh berkah aamiin yra .. salam hangat dan aduhai aduhai bun π€²ππ©·π©·
Matur suwun Bu Tien
ReplyDeleteππΏππΏππΏππΏ
ReplyDeleteAlhamdulillah πππ¦
Cerbung eLTe'eLKa_21
telah hadir.
Matur nuwun sanget.
Semoga Bu Tien dan
keluarga sehat terus,
banyak berkah dan
dlm lindungan Allah SWT.
Aamiinπ€².Salam seroja π
ππΏππΏππΏππΏ
Matur nuwun mbak Tien-ku Langit Tak Lagi Kelam telah tayang
ReplyDeleteSiapakah yang membuat Misnah marah? Terimakasih bunda Tien, sehat dan bahagia selalu bunda Tien sekeluarga....
DeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteTerima kasih bunda Tien
Semoga sehat walafiat
Salam aduhai hai hai
Matur nuwun Bu Tien, salam aehat bahagia aduhai dari Yk....
ReplyDeleteTerimakasih bunda Tien
ReplyDeleteSemoga bunda Tien dan pak Tom selalu sehat
Alhamdulillah, LANGIT TAK LAGI KELAM(LTLK) 21 telah tayang, terima kasih bu Tien, semoga Allah senatiasa meridhoi kita semua, aamiin yra.
ReplyDeleteHamdallah...sdh tayang
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteSyukron nggih Mbak Tien❤️πΉπΉπΉπΉπΉ
Alhamdulillah LANGIT TAK LAGI KELAM~21 telah hadir. Maturnuwun, semoga Bu Tien & keluarga tetap sehat dan bahagia serta senantiasa berada dalam lindungan Allah SWT.
ReplyDeleteAamiin YRA.π€²
Alhamdulillah, matur nuwun bunda Tien.
ReplyDeleteSemoga Bunda selalu sehat wal'afiat dan bahagia bersama keluarga
Yang membuka jendela mobil mungkin itu Rizki, Misnah melihatnya terus marah ingat dia difitnah,... Maturnuwun Bu Tien cerbung yg menarik,semoga Bu Tien sehat dan bahagia,terus berkarya menulis cerbung untuk hiburan para pembacaππ
ReplyDeleteTerima kasih Bunda, cerbung Langit Tak Lagi Kelam..21..sdh tayang.
ReplyDeleteSehat selalu dan tetap semangat nggeh Bunda Tien.
Syafakallah kagem Pakdhe Tom, semoga Allah SWT angkat semua penyakit nya dan pulih lagi seperti sedia kala. Aamiin.
Misnah gadis kecil pemberani krn benar, dia tdk takut sama Rizki, krn dialah yang memfitnah Misnah dan Bp nya, di jebak jadi pencuri uangnya tuan Hasbi. Itulah ide jahat dari Rizki.
Pencopet itu orang suruhan Rizki...
ReplyDeleteTerimakasih Mbak Tien...
Terima ksih bunda..slm sht sll unk bunda sekel ππ₯°πΉ❤️
ReplyDeleteAlhamdulillaah "Langit Tak Lagi Kelam-21" Sudah hadir
ReplyDeleteTerima kasih Bunda Tien, semoga sehat dan bahagia selalu.
Aamiin π€²
Alhamdulillah.Maturnuwun Cerbung " LANGIT TAK LAGI KELAM 21 " sudah tayang.
ReplyDeleteSemoga Bunda dan Pak Tom Widayat selalu sehat wal afiat .Aamiin
Alhamdulillah, matursuwun Bu Tienπ
ReplyDelete