LANGIT TAK LAGI KELAM 20
(Tien Kumalasari)
Dewi heran ketika melihat Listyo datang ke rumah sore hari, dan tampaknya ia juga baru pulang dari mengajar.
Dewi menyambutnya begitu Listyo turun dari mobil.
“Kok kebetulan banget, aku datang ketika kamu juga sedang ada di depan?”
“Menunggu suami pulang, ee… yang datang suami orang,” katanya sambil tersenyum.
“Beruntung dong aku ini, tidak usah ketuk pintu, yang punya rumah sudah menunggu,”
“Baru pulang dari kampus ya?”
“Iya, kelihatan? Karena aku bau keringat?”
“Tidak, Kamu ada-ada saja. Ini kan jam bubaran kampus, aku hafal dong. Ayo masuk, tumben nih, ada berita apa?” kata Dewi sambil mengajak Listyo masuk ke pendopo.
“Sebenarnya bukan hal penting, bagi aku. Tapi aku pikir kamu perlu mengetahuinya,” kata Listyo setelah duduk.
“Masalah apa ya, kok aku deg-degan?”
“Masalah tukang kebun di rumah pak Hasbi.”
“Pak Misdi? Kenapa memangnya? Kakek senang sekali punya teman ngobrol, katanya dia tidak akan kesepian walau ditinggal Rizki seharian.”
“Tampaknya pak Misdi sudah tak ada lagi di sana.”
“Masa? Kok Mas tahu?”
“Aku mendengar Rizki bicara sama pacarnya yang ganjen itu. Katanya dia senang karena tukang kebun sudah tidak ada di sana.”
“Pak Misdi, sudah tidak di sana lagi?”
“Menurut pembicaraan yang aku dengar. Ketika mau pulang, di parkiran mobil, mereka bicara begitu. Tampaknya Rizki punya rencana.”
“Rencana apa kira-kira?”
“Yang jelas pasti buruk. Mereka bicara tentang kepergian tukang kebun dengan gembira. Sepertinya kepergian itu memang diinginkan oleh mereka. Lalu pasti ada rencana lain, entah apa.”
“Aku besok akan ke rumah kakek. Apa benar pak Misdi sudah tidak ada di sana? Ada apa, lalu kakek bagaimana ….”
“Sepertinya pembicaraan biasa, tapi aku merasa ada yang luar biasa. Aku mencurigai gerak-gerik mereka.”
“Sejauh ini, kata kakek, Rizki baik. Dia juga santun, dan pastinya tidak menyusahkan kakek. Itu yang aku tangkap dari apa yang dikatakan kakek.”
“Aku tidak tahu pasti, entahlah. Aku juga tidak tahu, mengapa harus datang kemari dan mengatakannya pada kamu.”
“Tiba-tiba aku juga merasa kurang enak. Kalau saja aku bisa kesana sekarang, pasti aku ke sana. Tapi saatnya Satria pulang, dia juga pasti capek. Jadi besok pagi saja aku ke sana.”
“Ya, lakukan yang terbaik. Semoga tak ada yang harus dikhawatirkan. Entah mengapa, aku kurang suka pada keduanya. Rizki itu pintar, tapi suka seenaknya. Citra biasa saja, tapi lengketnya pada Rizki karena Rizki begitu royal pada dia. Bahkan aku pernah melihat Rizki membelikan baju mahal, yang ternyata dipakai ketika menghadiri pernikahan kamu.”
“Baiklah, terima kasih informasinya, pasti aku akan menanyakannya pada kakek dan bertanya tentang apa yang terjadi. Tunggu sebentar, aku suruh simbok buatkan minum.”
“Tidak usah, aku langsung pulang saja,” katanya sambil berdiri, dan Dewi tak bisa menahannya. Tapi kemudian benaknya dipenuhi oleh banyak pertanyaan tentang Rizki dan apa maksud perkataan Rizki yang didengar oleh Listyo..
***
Simbok sedang termenung di dapur, pikirannya melayang ke arah Misnah, yang kalau pagi di jam-jam segini pasti sedang makan sebelum berangkat ke sekolah.
“Misnah anak baik, dan rajin. Masa dia bisa berbuat seburuk itu? Tak ada tingkahnya yang aneh-aneh. Ketika menemukan uang di depan kamar tuan saja dia kembalikan. Itu yang ngomong tuan sendiri lhoh. Bagaimana dia kemudian dituduh mencuri?”
“Mboook,” tiba-tiba Rizki berteriak.
Simbok kaget, bergegas menghampiri.
“Tolong ambilkan minum dong, kok minumnya nggak disediain di sini?”
“Oh iya, simbok lupa, sebentar Mas.”
“Hanya mengambil minum saja, masa tidak bisa ambil sendiri?” omel pak Hasbi yang makan pagi bersama Rizki.
“Biasanya disediakan.”
“Ini Mas, maaf, simbok lupa. Dari tadi memikirkan Misnah, biasanya Misnah makan didapur sebelum berangkat sekolah."
“Mengapa memikirkan orang jahat? Sudah jelas bukan orang baik-baik, mengapa sih simbok kelihatan suka banget sama dia,” tegur Rizki tak senang.
“Menurut simbok dia baik. Mana simbok tahu apa yang dilakukan?”
“Sekarang aku beri tahu simbok, bahwa dia bukan orang baik-baik. Masih untung aku tidak melaporkannya ke polisi. Kalau aku lapor, sudah jelas dia pasti dipenjara.”
“Sudah, Rizki, simbok hanya ngomong sedikit, kamu merespon panjang banget. Sakit kupingku mendengarnya,” kata pak Hasbi tak senang.
“Maaf Bapak, hanya menunjukkan pada simbok tentang perbuatan buruk yang ditutupinya dengan perilaku yang tampaknya baik.”
“Sudah, diam.”
Rizki diam, sang ayah agak pendiam sejak kemarin, dan apa yang dikatakannya selalu salah, Tapi Rizki mencoba mengalah. Iapun diam, tak meladeni kekesalan sang ayah.
“Pak, akhir-akhir ini Rizki banyak waktu luang, kalau Bapak ingin mengirimkan sumbangan ke yayasan-yayasan atau panti-panti seperti biasanya, Rizki bisa kok. Kasihan simbok, pekerjaannya menjadi banyak lagi.”
“Kamu, mau mengirimkannya?”
“Iya, Rizki banyak waktu luang kok.”
“Bulan ini sudah simbok. Nanti bulan depan saja. Biasanya awal bulan.”
“Seminggu lagi sudah awal bulan. Rizki hanya mengingatkan Bapak, jangan sampai kelupaan.”
“Iya, terima kasih sudah diingatkan.”
“Mengapa Bapak makan hanya sedikit?”
“Tidak apa-apa, hanya sarapan, tidak perlu banyak.”
“Ya sudah, akhir-akhir ini Bapak seperti kurang bersemangat, Rizki khawatir Bapak sakit. Atau Rizki antar ke dokter dulu?”
“Tidak usah, aku tidak apa-apa. Kalau aku merasa kurang sehat, ada pak Mantri yang bisa aku panggil sewaktu-waktu.”
“Bapak jangan menyepelekan penyakit, kalau Bapak sakit, Rizki juga susah.”
“Bapak bilang, bapak tidak apa-apa, jadi sekali lagi jangan khawatir.”
“Baiklah. Sekarang Rizki mau berangat kuliah. Kalau boleh, Rizki mau minta uang saku, tidak usah banyak-banyak, hanya untuk pegangan saja.”
“Baiklah, akan bapak ambilkan,” kata pak Hasbi sambil berdiri lalu beranjak ke arah kamar.
Rizki mengambil tas kuliahnya. Ketika dia keluar, sang ayah sudah duduk di ruang tengah.
“Ini uang yang dikembalikan pak Misdi.”
“Pak Misdi mengembalikan uangnya?”
“Uang yang ada di kamarnya ditinggalkan semua, bahkan dua buah amplop gajinya juga ditinggalkan.”
“Tentu saja. Yang disembunyikan di luar pasti juga banyak.”
“Entahlah. Bawa saja uang ini semuanya.”
“Jangan Pak, Rizki tidak mau membawa uang banyak, ini saja cukup. Yang lain disimpan Bapak saja,” kata Riski sambil mengambil beberapa lembar uang, lalu meraih tangan ayahnya serta tak lupa menciumnya, kemudian beranjak pergi.
Pak Hasbi menghela napas panjang. Entah mengapa, setiap melihat uang yang diambil dari kamar pak Misdi, perasaan pak Hasbi terasa aneh. Seperti ada yang hilang dari hatinya. Lama sekali dia duduk di ruang tengah, sampai kemudian terdengar sepeda motor memasuki halaman.
Simbok melongok ke arah depan, lalu berteriak.
“Ada non Dewi.”
Pak Hasbi bangkit, tergopoh menyambut sang cucu. Dewi turun dari sepeda motornya lalu menghambur ke arah kakeknya.
“Kakek, apa kabar?”
“Baik sekali. Kenapa pagi-pagi sudah sampai di sini?”
“Kangen sama Kakek,” katanya riang.
Pak Hasbi menariknya masuk ke dalam, lalu mengajaknya duduk di ruang tengah.
“Kakek kelihatan tak bersemangat. Kakek sakit?”
“Kakek baik-baik saja.”
“Kok sepi, mana pak Misdi?” Dewi pura-pura tak tahu.
“Pak Misdi sudah pergi kemarin."
“Pergi ke mana?”
Pak Hasbi menghela napas berat, tampak kesedihan di matanya.
“Aku kira dia baik, aku menyayangkan semua itu.”
“Apa maksud Kakek? Dia pergi tanpa pamit? Tanpa alasan yang jelas?”
“Dia tega mencuri uang kakek.”
“Mencuri?” Dewi berteriak.
“Kamu pasti tak menduganya. Dia hangat dan baik. Bisa menjadi teman ngobrol yang menyenangkan.”
“Lalu ….”
“Lalu tiba-tiba aku merasa uangku semakin berkurang, dan Rizki menggeledah kamar pak Misdi, lalu menemukan sejumlah uang di almarinya."
Dewi melongo. Ia baru saja mengenal pak Misdi, baru sekali bertemu dan hanya sebentar bicara. Tapi ia tak menemukan sesuatu yang mencurigakan. Tak terlihat seperti orang jahat. Sang kakek juga merasa mendapatkan teman berbincang yang menyenangkan.
“Ini sungguh aneh. Dan mengejutkan. Benarkah pak Misdi melakukannya?”
“Mestinya Misnah yang melakukannya, karena yang sering masuk ke rumah itu dia. Tapi … entahlah, semakin aku memikirkannya, semakin aku bingung.
“Berapa banyak uang Kakek yang hilang?”
“Entahlah, aku tak pernah menghitung uangku. Aku menyadari kalau ada yang hilang ketika melihat tumpukan itu menipis. Aku mengingat ingat untuk apa uang itu, dan merasa aku sudah pikun. Sampai kemudian Rizki menemukan bukti bahwa mereka pelakunya.”
Dewi mengangguk-angguk, bukan berarti ia setuju dan membenarkan berita itu. Ia teringat apa yang dikatakan Listyo. Rizki berkata bahwa dia senang tukang kebun itu sudah pergi, lalu seperti ada rencana yang entah apa.
Bisa jadi Rizki yang membuat semua ini terjadi. Yang membuat agar Misnah atau pak Misdi menjadi tertuduh pencurian uang, padahal … siapa … ? Lalu Dewi menebak-nebak. Tapi ia tak mengucapkan apapun. Pak Hasbi harus berhenti disebuah titik terlebih dulu, yaitu menduga pak Misdi dan Misnah pelakunya. Kalau dia mengucapkan walau sepatah dugaan saja, pikiran pak Hasbi akan bertambah puyeng. Karena itulah Dewi diam saja.
“Ya sudah, kamu tidak usah ikut memikirkannya. Aku tidak menyesali hilangnya uangku, biarkan saja, aku ikhlas kok. Tapi kenapa pak Misdi? Kenapa dia, orang yang aku anggap sangat baik?”
“Kakek menyuruh Dewi tidak memikirkannya, jadi Kakek juga tidak usah memikirkannya lagi. Kalau Kakek butuh teman, Dewi akan kemari setiap pagi.”
“Benarkah?” wajah pak Hasbi mendadak berseri.
“Tentu saja benar. Untuk kakekku ini, apa sih yang tidak?”
“Tapi kamu sudah bersuami, masa kamu sering datang kemari? Suamimu pasti tak suka. Tugas istri itu mengurus suami, bukan mengurus kakek,” kata pak Hasbi dengan wajah sendu.
“Dewi datang kemari kalau Satria ada di kantor. Siang menjelang sore, Dewi pulang karena Satria juga sudah saatnya pulang.”
“Bagus sekali kalau kamu mau. Dan kalau kamu suka, kamu boleh menyuruh simbok masak apa saja yang disukai suami kamu, lalu kamu bisa membawanya pulang.”
“Baiklah Kakek, sekalian aku belajar masak sama simbok.”
Wajah yang semakin menua itu tampak berbinar, Dewi terharu melihatnya.
***
Seorang gadis berjalan di panas terik itu, sambil menjinjing sebuah keranjang yang berisi makanan, sedang di punggungnya tergantung tas sekolah yang penuh berisi buku. Gadis itu masih memakai seragam sekolah. Di sebuah halaman teduh, dua orang wanita paruh baya sedang berbincang, bernaungkan sebuah pohon rambutan yang rindang.
Melihat ada orang di sana, gadis itu masuk perlahan, dengan sedikit ragu.
“Mau mencari siapa, Nak?” tanya mbok Manis, salah satu dari perempuan paruh baya itu.
“Saya mau jualan. Maukah Ibu membelinya?” katanya sambil mendekat.
“Jualan apa?”
Gadis itu menurunkan bawaannya. Keranjang itu berisi beberapa potong kue yang masih hangat.
“Ini, roti, masih baru.”
“Hm, baunya sedap. Ini roti pisang, aku mau dua ya Yu,” kata mbok Randu.
“Ambil, mana yang kamu suka. Beli sepuluh, nanti dibagi ke teman-teman yang lain,” kata mbok Manis sambil beranjak ke belakang.
“Sepuluh potong ya Yu?”
“Ya, kalau kurang boleh nambah, masih ada tidak roti pisangnya?” kata mbok Manis berteriak karena sudah sampai di dalam.
“Roti pisangnya masih ada?”
“Saya membawa duapuluh, yang lain roti semir mentega.”
“Yang sepuluh roti pisang, karena Non juga suka nih, yang lima roti semir ya.”
“Terima kasih Bu,” katanya sambil memisahkan roti yang dipilih.
“Tidak usah dibungkus, nanti juga akan saya letakkan di piring.”
“Uangnya berapa?” mbok Manis mengulurkan uang.
“Namamu siapa?”
“Nama saya Misnah.”
***
Besok lagi ya.
Alhamdulillah
ReplyDeleteπ π₯π π₯π π₯π π₯
ReplyDeleteAlhamdulillah ππ
Cerbung eLTe'eLKa_20
sampun tayang.
Matur nuwun Bu, doaku
semoga Bu Tien selalu
sehat, tetap smangats
berkarya & dlm lindungan
Allah SWT. Aamiin YRA.
Salam aduhai ππ¦
π π₯π π₯π π₯π π₯
Alhamdulillah....
ReplyDeleteWasyukurillah....
Terima ksih bundaqu cerbungnya..slmt mlm dan slm sht sll unk bunda sekeluargaππ₯°πΉ❤️
ReplyDeleteAlhamdulillah LANGIT TAK LAGI KELAM~20 telah hadir. Maturnuwun, semoga Bu Tien & keluarga tetap sehat dan bahagia serta senantiasa berada dalam lindungan Allah SWT.
ReplyDeleteAamiin YRA.π€²
Alhamdulillah, LTLK dah tayang, matur nwn bu Tien, salam sehat dari mBantul
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteTerima kasih bunda Tien
Semoga bunda dan keluarga sehat walafiat
Matur nuwun mbak Tien-ku Langit Tak Lagi Kelam telah tayang
ReplyDeleteAssalamualaikum bu Tien, maturnuwun cerbung " Langit tak lagi kelam 20 " sampun tayang...
ReplyDeleteSemoga ibu Tien serta Pak Tom dan amancu selalu sehat dan penuh berkah aamiin yra .. salam hangat dan aduhai aduhai bun π€²ππ©·π©·
Alhamdulillah, LANGIT TAK LAGI KELAM(LTLK) 20 telah tayang, terima kasih bu Tien, semoga Allah senatiasa meridhoi kita semua, aamiin yra.
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteSyukron nggih Mbak Tien ❤️πΉπΉπΉπΉπΉ
Pengen *ngruwes si rizki sebel*
Terimakasih bunda Tien
ReplyDeleteSemoga bunda Tien selalu sehat
Alhamdulillaah " Langit Tak Lagi Kelam -20" sdh hadir.
ReplyDeleteTerima kasih Bunda Tien, semoga sehat dan bahahia selalu.
Aamiinπ€²
Alhamdulillah, matur nuwun bunda Tien.
ReplyDeleteSmg selalu sehat dan bahagia bersama keluarga, aamiin π€²
Orang baik sllu bertemu orang baik... semoga Rizki akan cepet terbongkar atas ulahnya...
ReplyDeleteTerima kasih Mbu Tien, sehat sllu bersama keluarga trcnta...
Matur nuwun, Bu Tien
ReplyDeleteAlhamdulillah Musnah orang baik ketemu dng orang2 baik, smg nasibnya berubah menjadi baik, maturnuwun Bu Tien cerbungnya dah tayang,smg Bu Tien tetepsehat walafiatππͺ
ReplyDeleteMatur nuwun Bu Tien, semoga Ibu sekeluarga sehat wal'afiat....
ReplyDeletePuji Syukur terima kasih Bu Tien, semoga Ibu dan Kel sehat2, terima kasih eps 20 sudah muncul, semakin penasaran
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteTerima kasih pak Tugiman
Hehe...Dewi ada-ada saja. Kok tahu sih 'jam pulang kampus'? Bukannya mahasiswa kuliah beda-beda ya? Atau dia hafal jadwal mengajarnya Listyo hari itu?π€π
ReplyDeleteTerima kasih, ibu Tien. Sehat selalu ya...ππ»
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteTerima kasih ibu .
Alhamdulillah.... cerbung asyiik sudah tayang. Akhirnya Misnah bertemu Dewi. Terimakasih bunda Tien, sehat dan bahagia selalu bunda Tien sekeluarga... Aamiin Allahumma Aamiin π€²π€²π€²
ReplyDeleteAlhamdulillah, matursuwun Bu Tien
ReplyDeleteSehat2 selalu bersama keluarga π€²π
Alhamdulillah.Maturnuwun Cerbung " LANGIT TAK LAGI KELAM 20 " sudah tayang.
ReplyDeleteSemoga Bunda dan Pak Tom Widayat selalu sehat wal afiat .Aamiin
Terimakasih Mbak Tien...
ReplyDeleteAlhamdulillaah, matur nuwun Bu Tien salam sehat wal'afiat semua ya ππ€π₯°πΏπΈ
ReplyDeleteDah mulai terbuka ya oleh Dewi , tp Pak Hasbi blm paham, setia menunggu Bu Tien selanjutnya
Aduhai ππ❤️