LANGIT TAK LAGI KELAM 19
(Tien Kumalasari)
Langkah Misnah terhenti. Kegembiraan karena dijemput sang ayah sirna sudah. Wajah tua itu tidak menggambarkan rasa suka cita. Kuyup oleh duka. Apa yang terjadi?
“Bapak? Kok tumben menjemput Misnah? Bapak juga membawa barang-barang Misnah?”
“Ayo kita pergi. Nanti kita bicara sambil jalan.”
Sambil berjalan, kepala Misnah diliputi banyak pikiran, yang semuanya terasa tak enak.
Di sebuah warung, pak Misdi mengajak Misnah berhenti, lalu keduanya duduk di sebuah bangku. Misnah belum mengucapkan satu pertanyaanpun, walau benaknya sudah penuh oleh beribu pertanyaan yang membuatnya sedikit pusing. Ini sesuatu yang aneh, dan sangat tidak mengenakkan. Dijemput sambil membawa barang-barang, berarti pergi dari rumah yang selama ini menampung dan memberi mereka kehidupan yang lebih layak.
“Makanlah, bapak masih punya uang sedikit, hasil menambal, dan yang kamu berikan ketika itu.”
Nasi urap dan dua kerupuk menemani mereka makan, tapi nasi yang dimakan terasa bagaikan sekam.
“Habiskan nasimu, kamu pasti lapar.”
“Bapak juga, mengapa makan sedikit-sedikit begitu?”
Pak Misdi meraih gelas teh pahit yang dipesannya, lalu meneguknya perlahan.
“Iya, harus makan banyak, karena kita masih harus berjalan lagi. Jangan sampai nggak kuat jalan.”
“Memangnya ada apa ini Pak? Perasaan Misnah sangat tidak enak.”
“Apalagi bapak.”
“Ada apa?”
“Habiskan dulu makanmu, baru bapak akan cerita.”
Misnah bergegas menghabiskan makanannya. Ia sudah sangat ingin mendengar apa yang terjadi.
Lalu pak Misdi mengatakan semuanya. Tentang tuduhan, tentang uang yang ditemukan di almari, lalu mereka mengusirnya.
“Apa? Uang apa?” pekik Misnah, sehingga pak Misdi menutup mulutnya dengan telapak tangan.
“Mengapa kamu berteriak? Pelan-pelan saja. Bapak ngomongnya pelan, tapi kamu malah berteriak.”
“Aku tidak mengerti. Uang apa? Bapak memang menyimpan uang di almari itu kan?” tanyanya kemudian, lebih pelan.
“Uang yang entah dari mana, bapak tidak tahu. Tiba-tiba ada di almari, bukan sedikit, setumpuk atau dua tumpuk uang, entah berapa.”
“Pasti ada yang memfitnah kita.”
“Tentu saja. Kita difitnah. Dibuat agar uang tuan Hasbi ada di kamar kita, lalu tuan Hasbi menuduh kita mencurinya.”
“Karena itu kita diusir?”
“Pastinya.”
“Apa Bapak tidak bisa menjawabnya? Mengatakan kalau tidak tahu menahu tentang uang itu?”
“Sudah, tapi mana mungkin mereka percaya? Bukti mengarah pada sebuah pencurian yang dilakukan oleh kita. Mas Rizki sampai menuding-nuding bapak, dan tak mau mendengar apa yang bapak katakan.”
“Kurangajar. Ini pasti perbuatasn orang gila itu,” geram Misnah.
“Ssst, jangan ngomong kasar begitu.”
“Dia itu memang tidak suka pada kita. Dia mencari jalan untuk mengusir kita. Atau dia sendiri yang mencuri uang ayahnya dan kita dijadikannya kambing hitam.”
“Entahlah.”
“Aku akan ke sana, aku ingin mengatakan ketika melihat dia membuka almari tuan Hasbi. Pasti dia sedang mencuri uangnya.”
“Sssst.”
“Aku mau kesana. Aku tidak takut pada anak muda sombong itu.”
“Tidak usah. Kita pergi saja.”
“Tapi kita dituduh mencuri.”
“Biarkan saja. Ada yang melihat dengan sejelas-jelasnya tentang apa yang terjadi, yaitu Allah Yang Maha Kuasa. Kita tidak usah khawatir karena kebenaran akan terkuak. Pemilik keadilan yang sebenar-benarnya, tak akan membiarkan kita sengsara selamanya.”
Wajah Misnah muram. Mulutnya mengerucut . Tampak sekali bahwa dia tidak terima diperlakukan semena-mena. Tapi dengan lembut sang ayah mengelus rambutnya.
“Sabar ya. Kita harus ikhlas menerimanya.”
Misnah menghela napas panjang, kemudian mengangguk pelan.
“Apa yang harus kita lakukan sekarang?”
“Kita punya tangan dan kaki, punya akal budi. Semua bisa kita gerakkan untuk berusaha, demi tercapainya keinginan kita.”
“Kembali menjadi penambal ban?”
“Tentu saja. Alat-alat bapak masih ada. Kita cari sewa kamar dulu, yang sederhana, lalu kita ambil alat-alat kita.”
“Mengapa diambil? Kita masih bisa buka di sana kan?”
“Tidak, kita harus pindah dari sana. Bapak tak ingin bertemu mereka lagi. Tempat itu kan dekat dengan rumah tuan Hasbi?”
“Misnah berhenti sekolah saja ya.”
“Kalau bisa jangan Nduk, bapak akan mencari uang, semoga bisa membiayai sekolah kamu.”
“Kasihan Bapakku ini,” kata Misnah sambil bersandar ke bahu ayahnya.
“Hei, ada apa kamu ini? Bapak tidak apa-apa. Sejak dulu hidup serba susah, bisa bapak jalani, mengapa ketika kita harus kembali ke dunia lama lalu harus mengeluh? Ayo, habiskan minum kamu, kita cari tempat untuk berteduh dulu,” kata pak Misdi sambil menepuk bahu Misnah, demi memberinya semangat.
***
Simbok masih bingung dengan kejadian pagi tadi. Tiba-tiba pak Misdi pergi, karena dituduh mencuri?
Simbok tak percaya pak Misdi ataupun Misnah melakukannya.
Selesai masak, ia belum melihat sang tuan keluar dari kamarnya. Simbok pergi ke belakang untuk melihat bekas kamar pak Misdi.
“Ya Tuhan, dia benar-benar pergi dengan membawa pakaiannya. Bahkan buku-buku Misnah juga tak ada di atas meja.”
Simbok membuka almari, dan terkejut melihat uang berserakan di dalam, lalu ada dua amplop tergeletak pula disana.
“Ini uang yang ditemukan tuan di dalam almari pak Misdi, dan karena itu pak Misdi dituduh mencuri? Kalau memang dia menginginkan uang, mengapa uangnya tidak dibawa? Nah, amplop ini juga berisi uang. Sepertinya uang gaji dari tuan untuk pak Misdi, seperti kalau tuan memberikan gaji untuk aku. Selalu gaji itu dimasukkannya ke dalam amplop. Dulu aku pernah minta agar tidak usah dimasukkan amplop, tapi tuan tidak mau mendengar. Katanya, tuan terbiasa membayar karyawan-karyawannya ketika itu, dengan uang yang dimasukkan ke dalam amplop.”
Simbok mengumpulkan uang itu, juga dua buah amplop yang kelihatannya belum pernah dibuka, ke dalam sebuah keranjang yang kebetulan ada di sana, lalu ia bergegas masuk ke dalam rumah.
“Mengapa tuan belum juga keluar dari kamar? Jangan-jangan tuan sakit beneran,” gumam simbok.
Karena perasaan khawatir, ia nekat mengetuk pintu kamar, kemudian membukanya pelan.
“Maaf, Tuan,” katanya hati-hati, ketika melihat sang tuan ternyata sedang duduk di sebuah kursi.
“Ada apa?”
“Makan siang sudah saya siapkan, Tuan. Mengapa Tuan tidak keluar kamar sejak pagi?”
“Apa Misnah sudah pulang?”
“Mengapa Tuan menanyakan Misnah? Bapaknya sudah pergi, mana mungkin dia datang kemari?”
“Apa dia tahu kalau bapaknya pergi?”
“Kamar pak Misdi sudah kosong, semua baju dan buku-buku Misnah sudah tidak ada. Tapi saya menemukan ini,” kata simbok sambil menunjukkan keranjang berisi uang dan dua amplop yang pastinya juga berisi uang.”
Pak Hasbi menerima keranjang itu. Uang yang pagi tadi ditemukan Rizki, dan dua amplop berisi uang, yang kemudian dibukanya.
“Ini uang gaji pak Misdi, tidak pernah dibuka, apalagi dipergunakan. Mengapa tidak dibawa?”
“Dia hanya membawa baju-baju dan buku-buku sekolah Misnah.”
Pak Hasbi menghela napas.
“Entah mengapa dia melakukannya. Tapi mengapa uang-uang ini ditinggalkannya?”
“Tuan juga menuduh pak Misdi mencuri uang Tuan?”
“Aku tidak sembarangan menuduh. Buktinya ada.”
“Tapi Tuan ….”
“Sudah, jangan ikut campur lalu membuat perasaanku menjadi bertambah kacau. Sesungguhnya dia bisa menghibur aku, menemani aku dalam kesendirianku.”
“Kalau begitu_”
“Pergilah.”
Simbok tak berani lagi mengucap apapun. Ia mundur dari kamar, tapi sebelum benar-benar keluar, dia masih mengingatkan pak Hasbi untuk makan.
“Tuan lebih baik makan dulu, sayurnya sudah dingin.”
“Rizki belum pulang?”
“Belum, Tuan.”
Pak Hasbi berdiri, lalu beranjak ke ruang makan. Pikirannya kosong. Rasa bimbang menghantuinya. Dunia terasa sepi, tak ada teman berbincang.
“Apa salah aku mengangkatnya dari hidupnya yang kekurangan?”
Pak Hasbi makan sendirian, karena Rizki belum juga pulang seperti hari-hari terakhir ini yang selalu pulang sebelum sore.
***
Setelah sang tuan selesai makan, simbok melihat nasi dan lauk masih tersisa banyak. Teringat olehnya ketika sering memberi makan tukang-tukang becak, termasuk pak Misdi si tukang tambal ban. Sudah menjelang sore, tak mungkin Rizki makan di rumah.
“Apakah pak Misdi kembali menjadi tukang tambal ban ya? Coba aku ke sana sambil membawa bungkusan nasi. Aku kok tidak percaya kalau pak Misdi benar-benar mau mencuri. Buktinya, uang yang dituduhkan tidak dibawa, bahkan dua bulan gajinya juga tidak dibawa,” gumam simbok sambil membungkus nasi dan lauknya menjadi beberapa bungkus.
Ia melongok ke dalam untuk pamitan kepada sang tuan, tapi ia tak melihatnya duduk di ruang tengah seperti biasanya.
“Yang aku heran, tuan sepertinya juga merasa kehilangan. Sikapnya sangat berbeda. Wajahnya muram dan tampak sedih begitu. Ah, entahlah, aku mau ke sana dulu, nanti kan bisa omong-omong sama pak Misdi sehingga tahu jelas apa yang terjadi.”
Simbok bergegas keluar sambil membawa keresek berisi nasi. Ia langsung menuju ke arah di mana biasanya pak Misdi mangkal membuka tambal ban, yang digeluti sebelumnya.
Tapi ketika sampai di sana, ia tak menemukan pak Misdi. Tukang warung yang melihatnya segera menyapa.
“Mencari siapa Bu?”
“Pak Misdi tidak buka tambal ban lagi?”
“Tadi dia datang kemari, mengambil semua alat-alatnya. Tampaknya mau pindah lokasi.”
“Pindah ke mana ya Pak? Dia mengatakannya pada Bapak?”
“Saya juga bertanya, tapi dia bilang belum bisa memastikan persisnya, baru mau melihat-lihat dulu.”
“O, ya sudah. Terima kasih ya Pak.”
Simbok membalikkan badannya, pergi ke tempat mangkal tukang-tukang becak yang biasa diberinya makanan.
“Ke mana ya, pindahnya pak Misdi?” gumamnya pelan.
***
Rizki belum pulang walau jam kuliah sudah usai. Ia bergembira bersama Citra merayakan kemenangannya. Mereka masih duduk di bawah pohon beringin besar yang ada di halaman, sambil makan cemilan yang dibelinya dari kantin.
“Mengapa kita tidak makan saja di restoran Riz, sudah lama kita tidak makan enak.”
“Kita harus irit. Kalau tidak, kita tak akan berhasil memiliki mobil. Uang yang aku kembalikan ke bapak, demi membuktikan bahwa tukang kebun itu pencurinya, lumayan banyak. Aku harus mendapatkan gantinya. Jadi jangan terburu-buru ingin makan enak.”
“Bagus sekali Riz, lalu apa rencana kamu selanjutnya?”
“Kamu tenang saja, rencana pasti sudah ada, jangan dulu banyak bertanya, kamu tahu beres saja.”
“Kalau kamu mengambil uang ayahmu, sementara tak ada orang lain kecuali pembantu, siapa yang akan dituduh ayahmu selain kamu?”
“Sudah, kamu tenang saja. Dan jangan banyak bertanya.”
“Tapi mobil itu nantinya jadi kan, atas namaku saja?”
“Kok itu terus yang kamu bicarakan sih.”
”Ini demi keselamatan kamu, supaya tidak dicurigai.”
“Itu masalah gampang, yang penting uangnya ada ditangan dulu, dan cukup.”
“Tapi kelihatan sekali kalau kamu tidak rela. Berarti kamu tidak benar-benar sayang sama aku.”
“Apa sih, tidak ada hubungannya antara sayang dan kepemilikan mobil. Sudah jangan bicara lagi. Ayo kita pulang.”
Rizki melangkah menuju parkiran sementara Citra mengikuti di belakangnya. Ada seseorang di parkiran yang ingin menyapa, tapi diurungkannya.
“Yang penting aku senang, tukang kebun itu sudah tak ada lagi, soal selanjutnya nanti gampang,” kata Rizki.
Sementara itu Listyo yang juga mau mengambil mobil di parkiran mendengar perkataan terakhir Rizki, dan membuatnya heran.
***
Besok lagi ya.
Matur suwun bu Tien
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteWa syukurillah
Alhamdulillah
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteTerima kasih bunda Tien
Semoga sehat walafiat
Assalamualaikum bu Tien, maturnuwun cerbung " Langit tak lagi kelam 19 " sampun tayang...
ReplyDeleteSemoga ibu Tien serta Pak Tom dan amancu selalu sehat dan penuh berkah aamiin yra .. salam hangat dan aduhai aduhai bun π€²ππ©·π©·
Matur nuwun mbak Tien-ku Langit Tak Lagi kelam telah tayang
ReplyDeleteππ₯ππ₯ππ₯ππ₯
ReplyDeleteAlhamdulillah πππ¦
Cerbung eLTe'eLKa_19
telah hadir.
Matur nuwun sanget.
Semoga Bu Tien dan
keluarga sehat terus,
banyak berkah dan
dlm lindungan Allah SWT.
Aamiinπ€².Salam seroja π
ππ₯ππ₯ππ₯ππ₯
Terima ksih bunda cerbungnya..slmt mlm dan slm sht sllππ₯°πΉ❤️
ReplyDeleteAlhamdulillah, matur nuwun Bunda Tien.
ReplyDeleteSemoga Bunda selalu sehat dan bahagia bersama keluarga, aamiin π€² π
Terimakasih bunda Tien
ReplyDeleteSemoga bunda Tien dan pak Tom selalu sehat
Alhamdulillah terima kasih Mbu Tien... masihan Pak Hasbi... sehat sllu Mbu Tien bersama keluarga trcnta
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteSyukron nggih Mbak Tien ❤️πΉπΉπΉπΉπΉ
ReplyDeleteAlhamdullilah
Matur nuwun bu Tien
Cerbung *LANGIT TAK LAGI
KELAM 19*
* sdh hadir...
Semoga sehat dan
bersama keluarga
Aamiin...
Hamdallah sdh tayang
ReplyDeleteAlhamdulillah LANGIT TAK LAGI KELAM~19 telah hadir. Maturnuwun, semoga Bu Tien & keluarga tetap sehat dan bahagia serta senantiasa berada dalam lindungan Allah SWT.
ReplyDeleteAamiin YRA.π€²
Alhamdulillah, LANGIT TAK LAGI KELAM(LTLK) 19 telah tayang, terima kasih bu Tien, semoga Allah senatiasa meridhoi kita semua, aamiin yra.
ReplyDeleteAlhamdulillah.Maturnuwun Cerbung " LANGIT TAK LAGI KELAM ~ 19 " sudah tayang.
ReplyDeleteSemoga Bunda dan Pak Tom Widayat selalu sehat wal afiat .Aamiin
Alhamdulillah cerbung telah tayang, maturnuwun Bu Tien, sehat dan bahagia sll bersama Kel tercinta,
ReplyDeleteTerimakasih Mbak Tien...
ReplyDeleteNah lo...Rizki ketahuan Listyo, biar dilaporkan ke Dewi, terus pak Hasbi, seru deh...kalau tidak dipelintir ceritanya oleh ibu Tien, karena masih jauh dari tamat.π
ReplyDeleteTerima kasih, ibu...salam sehat.ππ»
Alhamdulillaah, matur nuwun Bu Tien salam sehat wal'afiat semua ya ππ€π₯°ππΏπΈ
ReplyDeleteMakin seru nih,,,,,mau pakai cara apa ambil uang pak Hasbi ya Rizππ€
Alhamdulillah, matursuwun Bu Tien. Sehat selalu nggih Buππ
ReplyDeleteJangan2 si mbok jadi kambing hitam berikutnya.... Terimakasih bunda Tien, salam sehat dan bahagia selalu bunda Tien sekeluarga.... Aduhaaii
ReplyDelete