Tuesday, September 23, 2025

LANGIT TAK LAGI KELAM 18

 LANGIT TAK LAGI KELAM  18

(Tien Kumalasari)

 

Pak Hasbi duduk ditepi ranjang, terbelalak menatap setumpuk uang yang dibawa Rizki dari luar kamar.

“Dari mana kamu mendapatkannya?”

“Dari kamar tukang kebun itu. Rizki sudah curiga sejak lama, baru sore tadi menemukan buktinya, setelah nekat memasuki kamarnya ketika mereka tidak ada.”

“Bagaimana kamu bisa tahu di mana dia menyimpan uang itu?”

“Ya dicari Pak. Tadinya tidak ketemu, lalu Rizki membuka almari, dan mengangkat tumpukan pakaian, uangnya di simpan di situ. Lalu Rizki mengambilnya dan menunjukkannya pada Bapak.”

“Kamu tidak mengarang cerita kan?”

“Bapak bagaimana sih, kok menuduh Rizki mengarang cerita? Rizki tuh sudah sejak lama curiga. Tapi kalau Rizki bilang pada Bapak tanpa menunjukkan buktinya, mana mungkin Bapak percaya.”

“Bagaimana pak Misdi melakukannya?”

“Dia kan punya anak yang bisa keluar masuk rumah ini. Bapak juga tidak pernah mengunci kamar Bapak, walau Bapak melarang siapapun masuk kecuali kalau Bapak yang menyuruhnya. Simbok pasti tidak berani, tapi Misnah … ? Setiap pagi dia menyapu rumah, apa susahnya menyelinap ke dalam kamar Bapak? Bapak jangan bisa dikelabui oleh mereka. Kebaikan yang tampak, hanya untuk menutupi kebusukannya.”

“Aku ingin melihat kamarnya.”

“Bagus sekali kalau Bapak ingin melihatnya sendiri. Tadi Rizki masih melihat lagi sisa uang yang ada. Rizki hanya mengambil sedikit, supaya nanti Bapak bisa melihatnya sendiri. Barangkali juga uang yang diambil lebih banyak dari yang Rizki temukan, entah disimpan di mana. Mungkin sudah dibawa keluar, dititipkan pada siapa, begitu.”

“Ya sudah, ya sudah, pergilah, besok pagi ketika mereka tak ada aku ingin melihat kamarnya.”

“Silakan Bapak melihatnya sendiri. Tapi Bapak jangan menanyainya sekarang. Tunggu kalau Bapak sudah melihatnya,” kata Rizki sambil berjalan keluar. Senyuman setan tersungging dibibirnya, sementara pak Hasbi termenung masih dengan posisi semula, duduk di tepi ranjang. Di sampingnya, setumpuk uang itu masih ada, tak disentuhnya.

“Pak Misdi melakukannya? Melalui tangan Misnah? Anak kecil pintar yang tampak polos itu? Sayang sekali ….”

Malam sudah larut, dan pak Hasbi belum bisa memicingkan matanya. Ia merebahkan tubuhnya dan gelisah menunggu kantuk menjemputnya. Menjelang pagi ia baru bisa tidur, sehingga ketika simbok menyajikan kopi pahit kesukaannya, pak Hasbi belum keluar dari kamar.

“Tumben tuan belum bangun," kata Misnah yang sedang menyapu.

“Iya, barangkali tidur larut malam.”

“Jangan-jangan tuan memang sakit Mbok,” kata Misnah khawatir.

“Aku juga berpikir begitu, nanti kalau mas Rizki sudah bangun, biar membangunkan ayahnya.”

“Aku sudah hampir selesai Mbok, sebentar lagi mandi, lalu berangkat sekolah.”

“Sarapan sudah aku siapkan di dapur.”

“Sebenarnya Simbok tidak usah melakukannya. Aku tidak biasa dilayani. Nanti aku mengambilnya sendiri.”

“Tidak apa-apa, sekalian menyiapkan sarapan untuk tuan dan mas Rizki. Kalau ayahmu pasti tidak mau sarapan sepagi ini. Biasanya nanti setelah tuan sarapan, ayahmu baru mau. Tapi sebelum berangkat kamu tidak boleh sampai tidak sarapan, nanti tuan marah.”

“Iya Mbok, jangan khawatir,” kata Misnah yang kemudian menyelesaikan tugasnya bersih-bersih, lalu mandi.

Ketika Misnah sarapan, Rizki melongok ke dapur lalu menatapnya sinis.

“Puas-puasin makan enak, sebelum kelaparan di jalanan,” katanya pelan, lalu pergi sebelum Misnah merespon perkataannya.

“Apa maksudnya tuan muda sombong itu? Bicara sembarangan, dikiranya aku takut?” gumamnya pelan, lalu menyelesaikan makan.

***

Ketika ia keluar sambil membawa tas sekolah, ia menghampiri sang ayah yang sedang membersihkan kebun. Ia meraih tangan sang ayah dan menciumnya.

“Misnah berangkat dulu ya Pak.”

“Iya, hati-hati. Eh, sebentar, apa kamu melihat tuan duduk di ruang tengah seperti biasanya?”

“Kelihatannya tuan belum bangun.”

“Belum bangun? Sesiang ini? Tak biasanya begini.”

“Mungkin sedang tak enak badan, bukankah kemarin katanya pusing?”

“Ya ampun, kasihan tuan. Ya sudah, berangkat sana, nanti terlambat.”

“Iya, Misnah berangkat ya Pak.”

“Hati-hati.”

Misnah mengangguk, lalu melangkah dengan ringan menuju sekolah. Mana dia tahu bahwa petaka sedang menunggunya.

***

Simbok selesai menata sarapan untuk sang majikan. Ketika melihat Rizki, simbok minta agar Rizki melihat ayahnya di kamar.

“Tumben sesiang ini tuan belum bangun. Coba mas Rizki lihat, jangan-jangan tuan sakit.”

“Baiklah, aku akan melihatnya,” katanya sambil langsung berbalik, menuju ke kamar ayahnya.

Ketika ia membuka pintu, dilihatnya sang ayah sudah duduk di tepi ranjang. Diam dan tanpa menoleh ketika ia memasuki kamarnya.

“Bapak baru bangun?”

“Semalam bapak tak bisa tidur.”

“Bapak jangan terlalu memikirkan masalah tukang kebun itu. Bapak telah memilih sesuatu yang salah, sekarang Bapak harus rela melepaskannya. Biarkan dia pergi, agar kita hidup tenteram kembali.”

Pak Hasbi menatap Rizki dengan perasaan yang sebenarnya tak senang. Enak saja Rizki bicara, hidup tenteram kembali? Yang ada pastilah rasa sepi. Kembali sepi seperti hari-hari sebelumnya.

“Bapak jadi ingin melihat kamar mereka?”

“Ya, tentu. Sesungguhnya aku tidak percaya mereka melakukan hal buruk itu.”

“Baiklah, akan Rizki antar. Tapi Rizki juga belum jelas benar di mana sesungguhnya mereka menyimpan uangnya. Ayo kita melihatnya bersama,” kata Rizki bersemangat.

Ketika melewati dapur, simbok baru selesai menata meja untuk sarapan.

“Tuan baru bangun? Semua khawatir, jangan-jangan Tuan sakit.”

“Aku hanya bangun kesiangan,” katanya sambil berjalan ke arah belakang. Rizki mengikutinya.

“Tuan mau ke mana?” tanya simbok.

“Gantikan minum untuk bapak, yang tadi sudah dingin,” kata Rizki yang tidak suka simbok banyak bertanya.

“Oh iya, baiklah,” katanya sambil berjalan ke arah ruang tengah. Diambilnya gelas kopi yang memang sudah tidak begitu hangat. Lalu ia ke dapur untuk membuat lagi yang baru. Tapi ia heran melihat sang tuan pergi ke arah belakang pagi-pagi.

“Mungkin kebun di belakang juga ingin dibuat taman,” gumam simbok sambil membawa kopi panas ke meja tuannya, seperti tadi.

Ia melanjutkan pekerjaannya di dapur, sambil menunggu para majikan sarapan.

“Sekarang Bapak percaya kan? Rizki tidak bohong kan?” kata Rizki kepada ayahnya ketika melewati dapur.

Simbok hanya melihatnya sekilas, tapi kemudian mengingatkannya untuk segera sarapan.

“Tuan, sarapan sudah siap. Tapi kalau ingin minum kopi dulu ya silakan,” kata simbok.

“Ya …ya…” jawab pak Hasbi sambil berlalu, tapi keduanya kembali ke dalam kamar lagi.

Pak Hasbi duduk di kursi di kamarnya, wajahnya muram. Ia baru saja menemukan uang di almari pak Misdi, tapi dia tidak mengambilnya.

Ia harus bicara, tapi rasanya tak sampai hati. Pada dasarnya, walau pak Hasbi seorang laki-laki, tapi dia memiliki hati yang lembut seperti sutra.

“Pak, Rizki mau berangkat kuliah ya. Mengenai tukang kebun dan anaknya itu, aku serahkan kepada Bapak saja. Terserah Bapak mau bicara apa, yang jelas Bapak sudah tahu kebenarannya, dan Bapak memang harus bertindak. Kalau dibiarkan terus menerus, Bapak bisa habis-habisan.”

“Tapi aku tidak sampai hati untuk bicara.”

“Bapak bagaimana sih, sudah jelas menemukan bukti, Bapak tidak usah bicara banyak. Suruh dia pergi sekarang juga. Selesai kan. Apa yang membuat Bapak tak sampai hati? Dia saja sampai hati mencuri uang Bapak.”

“Tidak semudah omongmu, Rizki, kami sudah saling mengenal dan sangat dekat.”

“Mengenal dan sangat dekat, lalu Bapak biarkan dia mengkhianati kebaikan Bapak dengan menguras isi almari Bapak? Ya ampun Pak. Tapi baiklah, kalau Bapak tidak sampai hati mengatakannya, biar Rizki saja.”

“Kamu mau mengatakan apa Riz?”

“Ya menyuruh dia pergi lah Pak, masa pencuri dipelihara? Ayo Bapak ke kamarnya, saya akan memanggilnya,” kata Rizki sambil menarik tangan ayahnya, diajaknya ke kamar pak Misdi.

Tapi rupanya Rizki tidak perlu bersusah payah ke depan untuk memanggil, karena pak Misdi sedang sarapan di dapur.

Begitu melihat pak Hasbi, pak Misdi lalu menyambutnya dengan wajah berseri.

“Syukurlah Tuan kelihatan segar, saya kira Tuan sakit.”

“Aku tidak apa-apa,” kata pak Hasbi sambil berlalu, terus ke arah belakang.

“Tuan mau ke mana?” tanya simbok.

“Ini bukan urusanmu,” kata Rizki sambil memelototi simbok.

Simbok terdiam dengan heran. Seperti ada sesuatu yang sangat menegangkan, dan suasana terasa tidak enak.

“Pak Misdi, cepat makannya. Bapakku menunggu di belakang,” kata Rizki sambil mengikuti ayahnya keluar melalui pintu dapur.

Pak Misdi terkejut, dan juga heran. Ia meletakkan sendoknya.

“Habiskan dulu sarapannya, paling tuan akan membuat taman di kebun belakang,” kata simbok.

Tapi perasaan pak Misdi sangat tidak enak. Tatapan mata sang tuan terasa menusuk, tidak seperti biasanya, cerah dan bersahabat.

Ia meletakkan sendok dan tidak menghabiskan sarapannya. Setelah minum seteguk air, ia segera mengikuti ke belakang.

Ia heran, melihat pak Hasbi dan Rizki berdiri di depan kamarnya. Ia segera mendekat sambil membungkukkan badannya.

“Ada apa, Tuan?”

Pak Hasbi diam, benar-benar ia menatap mata tulus dan bersih di wajah pak Misdi. Masa dia sejahat itu? Tapi Rizki segera menghardiknya.

“Pak Misdi, rupanya kebaikan bapak telah kamu balas dengan perbuatan kotor yang sangat menjijikkan.”

Pak Misdi terkejut. Benarkah anak muda itu menyebut namanya? Pak Misdi, bukankah namanya? Siapa yang membalas kebaikan dengan perbuatan kotor dan menjijikkan? Walau begitu pak Misdi dengan mata bodoh menoleh kebelakang. Tak ada siapa-siapa. Berarti pak Misdi yang dimaksud adalah dirinya.

“Mas Rizki bicara apa?”

“Tidak usah pura-pura bodoh. Bapak mau melihat isi almarimu!” kata Rizki sambil menarik pak Hasbi masuk ke dalam kamar. Pak Misdi mengikuti dengan seribu tanda tanya memenuhi benaknya.

“Ada apa ini sebenarnya?” kata pak Misdi, mulai gemetar. Bukan takut karena merasa  berdosa, tapi tatapan mata pak Hasbi sangat menusuk jantungnya.

Tiba-tiba Rizki membuka almari yang ada, lalu mengangkat tumpukan pakaian, dan menjatuhkan setumpuk uang.

“Aaaap… apaa… ini? Ba.. bagaimana … bis ..bisa … inn..nii… uang… sisiss…siaappa?”

“Tidak usah berpura-pura. Bapak kehilangan banyak uang, ternyata ulahmu, dan pastinya dibantu anakmu.”

“Tidaaaaak … tidak mungkiiiin …. ini …. bukaaaan ….” pak Misdi meraung.

“Aku kecewa membawamu kemari, mengangkatmu dari penderitaan,” kata pak Hasbi sambil meninggalkan pak Misdi yang ngelesot di lantai sambil meraung.

“Bawa semua uang itu dan pergilah,” kata pak Hasbi, lembut tapi terasa bagai ribuan pisau menghunjam dadanya.

“Tuan … saya difitnah … saya tidak … tidak mungkin Tuan…”

Rizki menarik tangan sang ayah memasuki rumah, dan mengantarkannya ke dalam kamar.

“Jangan dengarkan kalau dia mendekati Bapak. Orang jahat pasti pandai bicara. Rizki mau berangkat sekarang,” kata Rizki sambil keluar dari kamar, meninggalkan pak Hasbi yang diam seperti orang linglung.

***

Simbok yang ada di dapur tidak mendengar apapun, ia heran ketika melihat pak Misdi membawa tas lalu menghampirinya.

“Mbok, saya pamit. Kalau ada salah, mohon maaf,” katanya pelan, pilu.

“Lho … lho… ini ada apa? Sampeyan itu mau ke mana? Sebenarnya ada apa?”

“Saya dituduh mencuri uang milik Tuan, saya diusir. Tolong mengertilah, saya tidak melakukan apa-apa. Saya difitnah,” katanya sambil melangkah meninggalkan simbok. Di tangannya ada sebuah tas berisi baju-bajunya dan baju Misnah, serta buku-buku pelajaran milik Misnah. Ia sama sekali tak membawa uang yang tadi dituduhkan. Bahkan uang pemberian pak Hasbi yang masih ada di dalam amplop juga ditinggalkan.

Simbok menatapnya heran, ia sama sekali tak mengerti apa yang terjadi. Ia mengantarkan pak Misdi tanpa berkata apa-apa, menatap punggungnya sampai bayangan itu hilang dibalik pagar.

***

Misnah berlarian keluar dari halaman ketika pelajaran usai. Ia heran tapi gembira melihat sang ayah menjemputnya.

“Bapaaak.”

Lalu kegembiraan itu luruh ketika melihat wajah pucat sang ayah.

***

Besok lagi ya.

 

25 comments:

  1. Alhamdulillah, LANGIT TAK LAGI KELAM(LTLK) 18 telah tayang, terima kasih bu Tien, semoga Allah senatiasa meridhoi kita semua, aamiin yra.

    ReplyDelete
  2. Matur nuwun mbak Tien-ku Langit Tak Lagi kelam telah tayang

    ReplyDelete
  3. 🌾🎍🌾🎍🌾🎍🌾🎍
    Alhamdulillah πŸ™πŸ˜
    Cerbung eLTe'eLKa_18
    sampun tayang.
    Matur nuwun Bu, doaku
    semoga Bu Tien selalu
    sehat, tetap smangats
    berkarya & dlm lindungan
    Allah SWT. Aamiin YRA.
    Salam aduhai πŸ’πŸ¦‹
    🌾🎍🌾🎍🌾🎍🌾🎍

    ReplyDelete
  4. Alhamdulillah
    Terima kasih bunda Tien
    Semoga bunda dan keluarga sehat walafiat
    Salam aduhai hai hai

    ReplyDelete
  5. Assalamualaikum bu Tien, maturnuwun cerbung " Langit tak lagi kelam 18 " sampun tayang...
    Semoga ibu Tien serta Pak Tom dan amancu selalu sehat dan penuh berkah aamiin yra .. salam hangat dan aduhai aduhai bun πŸ€²πŸ™πŸ©·πŸ©·

    ReplyDelete
  6. Terimakasih bunda Tien
    Semoga bunda Tien dan pak Tom selalu sehat

    ReplyDelete
  7. Maturnuwun Bu Tien cerbung Langit Tak Lagi Kelam 18 telah tayang, smg Bu Tien tetep sehat bahagia bersama Kel tercinta.

    ReplyDelete
  8. Alhamdulillah LANGIT TAK LAGI KELAM~18 telah hadir. Maturnuwun, semoga Bu Tien & keluarga tetap sehat dan bahagia serta senantiasa berada dalam lindungan Allah SWT.
    Aamiin YRA.🀲

    ReplyDelete
  9. Terima ksih bunda cerbungnya..slmt malam dan slmt istrht..slm sht sllπŸ₯°πŸ™πŸŒΉ❤️

    ReplyDelete
  10. Yaa... Penjahat menang duluan, biar ada konflik yang mungkin mendebarkan. Kalau penjahat langsung ketangkep tidak jadi ada cerita.
    Misnah harus terus sekolah, mungkin ada sumber dana lain.
    Salam sukses mbak Tien yang Aduhai, semoga selalu sehat bersama keluarga, aamiin.

    ReplyDelete
  11. 😭😭😭😭😭

    ReplyDelete

  12. Alhamdullilah
    Matur nuwun bu Tien
    Cerbung *LANGIT TAK LAGI
    KELAM 18*
    * sdh hadir...
    Semoga sehat dan
    bersama keluarga
    Aamiin...



    ReplyDelete
  13. Alhamdulillah.Maturnuwun Cerbung " LANGIT TAK LAGI KELAM ~ 18 " sudah tayang.
    Semoga Bunda dan Pak Tom Widayat selalu sehat wal afiat .Aamiin

    ReplyDelete
  14. Matur nuwun Bu Tien....salam sehat bahagia aduhai dr Yk...

    ReplyDelete
  15. Alhamdulillah
    Syukron nggih Mbak Tien.❤️🌹🌹🌹🌹🌹

    ReplyDelete
  16. Waduuh...seharusnya pak Hasbi tidak mudah percaya omongan Rizki begitu saja ya...kan sudah nampak karakter Rizki yang kurang baik, sedangkan selama ini Pak Misdi sangat baik dan perhatian padanya. Hehe...ibu Tien memang paling piawai mengulur konflik, membuat pembaca gemas dan ikut memaki sang tokoh antagonis ya...terima kasih, buu...salam sehat selalu.πŸ™πŸ»πŸ’–

    ReplyDelete
  17. Terima kasih Bunda, cerbung Langit Tak Lagi Kelam..18..sdh tayang.
    Sehat selalu dan tetap semangat nggeh Bunda Tien.
    Syafakallah kagem Pakdhe Tom, semoga Allah SWT angkat semua penyakit nya dan pulih lagi seperti sedia kala. Aamiin.

    Payah kakek Hasbi...dangkal cara berfikirnya. Ajak cucu kesayangan..s Dewi ngobrol, minta opininya, jangan hanya percaya hasutannya Rizki. Agar tdk menyesal memutuskan suatu perkara.

    ReplyDelete
  18. Mulai rumit masalahnya, kasihan pak Misdi kena fitnah. Terimakasih bunda Tien, sehat dan bahagia selalu bunda Tien sekeluarga, aduhaaii

    ReplyDelete
  19. Alhamdulillah, matursuwun πŸ™

    ReplyDelete

LANGIT TAK LAGI KELAM 19

  LANGIT TAK LAGI KELAM  19 (Tien Kumalasari)   Langkah Misnah terhenti. Kegembiraan karena dijemput sang ayah sirna sudah. Wajah tua itu ti...