LANGIT TAK LAGI KELAM 03
(Tien Kumalasari)
Pak Misdi terbelalak melihat wajah Srining yang mengucapkan kata mengejutkan itu dengan begitu tenang.
“Apa katamu?”
“Apa kamu tidak mendengar? Seharusnya kamu senang, kamu hidup tanpa punya tanggungan kecuali utuk diri kamu sendiri.”
“Apa kamu bukan manusia?” hampir berteriak Misdi.
“Ya ampun Mas, manusia dong. Kalau bukan manusia pasti tidak bisa memilih mana yang terbaik untuk hidupnya. Sudahlah, jangan banyak bicara. Tolong sepeda motorku ini dipompa. Nih, aku beri kamu uang sepuluh ribu.”
“Katakan di mana anakku?”
“Aku bilang, sudah aku buang. Cepatlah, aku sedang buru-buru, mau uang ini atau tidak?”
“Bawa uangmu, aku tidak sudi menerima uang dari tangan pendosa seperti kamu.”
“Baiklah, terserah kamu saja, aku bisa mencari tukang tambal ban lainnya.”
“Katakan dulu, kamu buang di mana anakku?”
“Aku sudah lupa, duapuluhan tahun yang lalu, tapi yakinlah bahwa dia pasti hidup tak kurang suatu apa.”
“Di mana?” Misdi berteriak.
“Sebuah panti asuhan, lupa di mana,” jawabnya sambil nekad menstarter sepeda motornya, walau ban belakangnya gembos.
Misdi menatap perempuan mantan istrinya itu yang tampak menjauh tak peduli. Tapi dari kejauhan ia melihat kemudian sepeda motor itu berhenti, lalu Srining menuntunnya.
Misdi mengusap air matanya, lalu tubuhnya ambruk di bangku kecil tempat dia duduk mengerjakan pekerjaannya. Air matanya masih mengalir ketika ia melanjutkan tugasnya menambal ban seorang pelanggan. Bagaimanapun ia tak mau mengecewakan pemilik sepeda motor itu, yang kalau nanti datang pekerjaannya belum selesai juga.
“Jarot, di buang di mana kamu Nak? Ibumu bukan manusia. Dia iblis. Ya Allah, lindungilah Jarot di manapun dia berada. Tunjukan di mana dia, Ya Rob,” dan air matanya tak berhenti menetes, membasahi pipinya yang mulai mengerut dimakan umur.
“Ada apa Pak?”
Misdi terkejut ketika tiba-tiba seseorang datang. Tersipu ia mengusap air mata dengan ujung bajunya.
“Tidak apa-apa Bu, hanya … teringat sesuatu … yang menyedihkan,” jawabnya terbata.
“Yang menyedihkan jangan diingat-ingat lagi Pak, jalani apa yang ada sekarang ini, dengan rasa syukur,” kata perempuan yang baru datang itu dengan lembut.
Misdi mencoba tersenyum. Seandainya Srining bisa berkata selembut itu.
“Pak, masih ada pekerjaan ya?”
“Ini, Bu, sudah hampir selesai, tinggal mengembalikan bannya, lalu memompanya. Sepeda motor ibu kenapa?”
“Kelihatannya bocor Pak, tadi di rumah sudah dipompa, ini kok gembos lagi. Bisa saya tinggal dulu Pak, nanti saya ambil setelah belanja.”
“Bisa Bu, segera setelah yang ini selesai.”
“Terima kasih ya Pak,” kata ibu, sang pelanggan yang kemudian melangkah pergi, setelah menatap pak Misdi dengan iba. Pasti kesedihannya sudah sangat menyakitkan, terbukti seorang lelaki sampai menangis.
Pak Misdi melanjutkan pekerjaannya, dan menahan tangisnya sebisa mungkin. Malu kalau sampai ada lagi yang melihatnya.
“Aku bukannya cengeng, aku sangat rindu pada anakku. Kasihan kamu le, dibuang ke mana kamu oleh ibumu?” dan kali ini ia bisa menahan air matanya, walau dadanya masih terasa nyeri.
***
Pak Misdi sedang mencuci tangannya, karena sudah menyelesaikan tugasnya, tinggal menunggu pemilik dua kendaraan yang sudah ditambal bannya.
Ia kembali teringat ungkapan Srining yang membuat dadanya serasa bagai ditusuk ribuan pedang.
“Pak, lagi sepi ya? Kok ngelamun?”
Pak Misdi mengangkat wajahnya. Perempuan yang kemarin memberinya empat bungkus nasi dan lauknya sedang berdiri di depannya.
“Ibu ….”
“Kok iba ibu iba ibu sih Pak, simbok. Itu cukup. Aku ini tidak biasa dipanggil ibu, malah nggak enak rasanya.”
“Oh, iya Mbok.”
“Nah, begitu lebih nyaman. Ini, aku bawakan nasi bungkus.”
“Kok lagi sih Bu, eh … Mbok?”
“Tuanku sudah selesai makan, ini ada beberapa bungkus, dimakan ya, sisanya boleh diberikan pada anaknya yang sedang menunggu di rumah.”
“Wah, kok jadi keterusan dapat jatah?”
“Bukan keterusan, hampir setiap hari begini. Ini, apa sampeyan sudah makan?”
“Belum Mbok, mau beli makanan, masih ada dua sepeda motor yang belum diambil, lalu sebuah sepeda kayuh juga masih di sini.”
“O, ya sudah. Kebetulan. Dimakan ya, tapi sampeyan kok kelihatan pucat? Apa sakit?”
“Tidak kok Mbok, tidak apa-apa.”
“Bener lho, kelihatan pucat, kalau memang sakit ya istirahat dulu, jangan terus bekerja.”
“Iya Mbok. Terima kasih banyak ya Mbok.”
“Sama-sama,” kata simbok sambil melangkah pergi.
“Banyak perempuan baik di dunia, mengapa mantan istriku berbuat sesuatu yang tidak masuk akal? Anak sendiri, yang dilahirkannya dengan bertaruh nyawa, dibuang begitu saja demi laki-laki kaya,” gumamnya sambil kembali mengusap air mata yang tak lagi bisa ditahannya.
Karena kesedihannya itu, ia jadi tak mampu membuka bungkusan nasi padahal sebetulnya perutnya juga merasa lapar.
***
Pak Hasbi sedang duduk di teras di udara siang yang panas, ketika melihat simbok masuk ke halaman.
“Dari mana Mbok?”
“Dari memberikan nasi sisa Tuan makan, untuk tukang tambal ban yang mangkal dekat perempatan, Tuan.”
“Biasanya kamu berikan kepada tukang-tukang becak di sana itu.”
“Tadi hanya sedikit, sekitar tiga bungkus saja. Kemarin itu ketika saya membawa bungkusan-bungkusan nasi, ternyata dia juga mau. Kasihan Tuan, tampaknya dia sedang tidak punya uang untuk membeli makan demi anaknya yang ditinggal di rumah. Jadi kemarin itu saya beri empat bungkus. Tapi kebetulan ada banyak nasi tersisa, karena mas Rizki tidak makan.”
“Sekarang dia di mana? Tidak pergi kan?”
“Tadi habis makan sepertinya tidur.”
“Kelihatannya hari ini tidak ada kuliah. Biarkan saja.”
“Aku tidak tidur Pak,” kata Rizki yang tiba-tiba muncul. Simbok kemudian berlalu ke belakang.
“Kata simbok kamu tidur?”
“Tidur sebentar, sekarang mau pergi lagi.”
“Libur kan? Mau pergi ke mana?”
“Ketemu teman, ada urusan.”
“Ya sudah, sana. Jangan lama-lama. Bapak kepengin ditemani ngobrol.”
“Nanti malam kita ngobrol, tapi sekarang aku mau minta uang Pak.”
“Lho, kan bapak sudah memberi kamu uang beberapa hari yang lalu. Lumayan banyak. Masa habis?”
“Ya habis Pak, kan Rizki beli baju-baju segala macam. Dua hari lagi kita ke pesta pernikahan mbak Dewi kan?”
“Kalau pegang uang itu jangan kemudian kamu habiskan untuk yang tidak perlu. Meskipun uangnya banyak, cobalah untuk hidup irit. Jangan menghamburkan uang untuk hal yang tidak perlu.”
“Iya, Rizki tahu kok. Semua yang Rizki beli adalah sesuatu yang perlu. Bapak tidak usah khawatir. Mana Pak, aku mau berangkat sekarang.”
Pak Hasbi merogoh sakunya lalu memberikan beberapa lembar uang untuk Rizki.
“Cuma ini Pak? Tambahin dong.”
“Rizki, bapak bilang apa, kamu tidak boleh boros.”
“Tapi bensin juga hampir habis.”
“Uang itu masih cukup untuk beli bensin dan uang jajan kamu, sudah, berangkat sana, tapi cepat pulang,” tandas pak Hasbi. Rizki pergi dengan mulut cemberut.
Pak Hasbi masih duduk di teras, lalu tak lama kemudian dilihatnya mobilnya keluar dari halaman.
“Anak itu lama-lama semakin membuat aku kesal. Bukan apa-apa, borosnya itu lho. Nanti kalau aku tidak memberinya uang, dia marah-marah. Kalau sudah senggang nanti aku mau bilang pada Dewi, supaya dia bicara sama Rizki. Siapa tahu kalau dengan Dewi dia mau menurut."
***
Sore itu rumah keluarga Adisoma yang di Jogya sangat sibuk. Besok adalah acara siraman penganten.
Listyo dan anak istri sudah sejak siang berada di sana, membantu apa saja yang bisa dikerjakan. Listyo mendekati Dewi, ingin bicara tentang Rizki.
“Dew, Rizki itu punya pacar?”
“Rizki? Masa? Mas Listyo tahu dari mana?”
“Entah pacaran atau tidak, tapi kemarin aku melihat dia di toko pakaian, bersama Citra.”
“Oh ya? Memangnya mereka pacaran? Citra itu teman kuliahnya kan?”
“Iya.”
“Mereka sudah dewasa, lumrah kalau kemudian saling suka. Yang penting bisa saling menjaga, jangan sampai melakukan hal-hal yang melompati rambu kesusilaan. Pastinya mereka tahu.”
“Bukan pacarannya yang ingin aku bicarakan.”
“Mas tadi awalnya bilang tentang pacaran bukan?”
“Ya, tapi aku melihat sesuatu yang sepertinya aku harus bicara sama kamu.”
“Apa tuh?”
“Di toko pakaian itu, Rizki membelikan beberapa baju untuk Citra.”
“Oh ya?”
“Baju-baju yang dipilih adalah baju bermerk. Mahal pastinya. Yang aku ingin tanyakan sama kamu, apakah pak Hasbi memberi uang begitu banyak pada Rizki sehingga Rizki bisa beli baju-baju mahal itu untuk pacarnya?”
“Wah, kalau itu, aku harus bicara pada kakek. Masa sekedar uang saku bisa dipakai untuk baju-baju mahal?”
"Aku takut dia melakukan hal yang kurang benar. Karena itulah aku bicara sama kamu.”
“Nanti setelah semuanya selesai, aku akan bicara pada kakek. Tapi kakek tidak pernah mengeluh soal Rizki. Kakek selalu mengatakan, dengan adanya Rizki, kakek jadi merasa tidak sendirian.”
“Syukurlah, semoga kebaikan pak Hasbi tidak disalah gunakan oleh dia.”
“Tapi nanti aku akan menyempatkan waktu untuk bicara sama kakek,.”
***
Misnah meletakkan bungkusan-bungkusan di meja dapur, tempat di mana mereka makan, baik pagi, siang ataupun malam.
“Bapak, mengapa bungkusannya masih banyak? Ada yang bisa untuk makan malam? Ini dari ibu yang kemarin ya?” berderet pertanyaan Misnah tapi tak satupun dijawab oleh ayahnya.
Ia masih duduk di kursi kayu depan kamar, yang biasanya dipakai duduk ketika pulang dari bekerja untuk melepaskan lelah, dan berbincang berdua.
“Bapak. Ya ampuun, Bapak melamun di sini? Ayo makan,” ajak Misnah sambil mendekati sang ayah.
“Kamu makanlah sendiri saja, bapak sudah makan,” kata Misdi yang tentu saja berbohong. Sejak siang ia tak mampu menelan makanan, gara-gara memikirkan anak laki-lakinya yang entah ada di mana.
“Tapi biasanya Bapak juga makan bersama Misnah kan. Misnah nggak mau makan kalau Bapak tidak makan,” kata Misnah merajuk.
Mendengar hal itu, Misdi terpaksa berdiri, lalu bersama anaknya pergi ke dapur.
“Bapak sudah kenyang.”
“Tapi Misnah nggak mau makan sendiri.”
Misdi terpaksa membuka bungkusan yang belum pernah dibukanya.
“Bapak, ini ayam goreng,” pekik Misnah kegirangan. Mereka belum pernah makan makanan seenak itu. Biasanya Misdi pulang dengan membawa nasi oseng, nasi urap dengan lauk tempe, atau apa saja yang harganya murah.
“Makanlah.”
“Ayo, Bapak juga harus makan, kok cuma dipandangi saja sih Pak,” kata Misnah sambil menggigit paha ayam yang dikunyahnya kemudian dengan nikmat.
“Ini dari ibu yang kemarin?”
“Iya.”
“Ayo … Bapak kenapa sih?”
Misdi membuka bungkusan nasi, lalu makan perlahan, hanya sekedar membuat anaknya senang.
“Ibu itu baik banget ya Pak, setiap hari memberi kita makan?”
“Dari orang kaya, yang makanannya tersisa.”
“Sementara kita kekurangan ya Pak. Bapak sakit? Kok dari tadi hanya diam? Tuh, makanannya hanya dimakan separuh,” kata Misnah cemberut.
Misdi mencoba tersenyum.
“Bapak kan sudah bilang, bapak sudah kenyang. Ini, kalau kamu masih mau, habiskan saja. Kalau masih sisa, panasin seperti kemarin, buat sarapan.”
“Misnah juga sudah kenyang. Dicampur bungkusan yang itu saja, nanti Misnah panasin biar bisa dimakan besok.”
Tiba-tiba Misdi mengeluarkan sejumlah uang, diberikan kepada Misnah.
“Ini Nah, tadi agak rame, uangnya agak banyak. Kamu bawa saja, besok untuk beli makan kamu. Bapak besok tidak buka bengkel.”
“Tuh, Bapak sakit kan? Nanti Misnah kerokin ya.”
“Bapak mau pergi untuk suatu keperluan. Takutnya kamu lapar dan bapak belum pulang. Jadi bawa saja uangnya, untuk beli makanan kamu.”
“Memangnya Bapak mau ke mana?”
“Mencari kakak kamu.”
Misnah menatap ayahnya dengan heran.
***
Besok lagi ya.
Alhamdulillah....
ReplyDeleteeLTeeLKa_03 sudah tayang.
Matur nuwun bu Tien.... Salam SEROJA dan tetap ADUHAI
Alhamdulillah..sdh tayang
ReplyDeleteSehat selalu..tetap semangat
Salam ADUHAI..dari Antspani
π·πΎπ·πΎπ·πΎπ·πΎ
ReplyDeleteAlhamdulillah πππ¦
Cerbung eLTe'eLKa_03
telah hadir.
Matur nuwun sanget.
Semoga Bu Tien dan
keluarga sehat terus,
banyak berkah dan
dlm lindungan Allah SWT.
Aamiinπ€².Salam seroja π
π·πΎπ·πΎπ·πΎπ·πΎ
Matur nuwun mbak Tien-ku Langit Tak Lagi Kelam telah tayang
ReplyDeleteMatur suwun bu Tien
ReplyDeleteTerima ksih bunda cerbungnya..slmt mlm dan slnt istrhat..slm seroja unk bunda sekeluarrga ππ₯°πΉ
ReplyDeleteMatur nuwun, Bu Tien
ReplyDeleteAlhamdulillah.Maturnuwun πCerbung " LANGIT TAK LAGI KELAM 03 " sudah tayang
ReplyDeleteSemoga Bunda dan Pak Tom Widayat selalu sehat wal afiat .Aamiin
Alhamdulillah LANGIT TAK LAGI KELAM~03 telah hadir. Maturnuwun Bu Tien, semoga panjenengan beserta keluarga tetap sehat dan bahagia serta selalu berada dalam lindungan Allah SWT.
ReplyDeleteAamiin YRA..π€²
Alhamdulillah
ReplyDeleteTerimakasih bunda Tien
ReplyDeleteSemoga bunda Tien dan pak Tom selalu sehat
Hamdallah.. sampun tayang
ReplyDeleteAlhamdulillaah "Langit Tak Lagi Kelam-03" sdh hadir
ReplyDeleteTerima kasih Bunda Tien, semoga sehat dan bahagia selalu
Aamiin Yaa Robbal' Aalaamiinπ€²
Alhamdulillaah
ReplyDeleteSepertinya Rizki putra pa MISDI
Makasih bunda
ReplyDeleteAlhamdullilah
Matur nuwun bu Tien
Cerbung *LANGIT TAK LAGI KELAM 03*
* sdh hadir...
Semoga sehat dan bahagia bersama keluarga
Aamiin...
Assalamualaikum bu Tien, maturnuwun cerbung baru " Langit tak lagi kelam 03 " sampun tayang... semoga ibu Tien serta Pak Tom selalu sehat dan penuh berkah aamiin yra .. salam hangat dan aduhai aduhai bun ππ©·πΉ
ReplyDeleteAlhamdulillah Langit tak lagi kelam sudah tayang
ReplyDeleteTerima kasih bunda Tien
Semoga bunda dan keluarga sehat walafiat
Salam aduhai hai hai
Terima kasih Bunda, cerbung Langit Tak Lagi Kelam..03..sdh tayang.
ReplyDeleteSehat selalu dan tetap semangat nggeh Bunda Tien.
Syafakallah kagem Pakdhe Tom, semoga Allah SWT angkat semua penyakit nya dan pulih lagi seperti sedialakala. Aamiin.
Srining adalah wanita yang kejam, krn anak darah daging nya sendiri, di buang entah dimana. Srining hidup nya akan merana, walau 'membelot' ikut suami baru, yang kaya.
Alhamdulillah, LANGIT TAK LAGI KELAM(LTLK) 03. telah tayang, terima kasih bu Tien, semoga Allah senatiasa meridhoi kita semua, aamiin yra.
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteSyukron nggih Mbak Tien ❤️πΉπΉπΉπΉπΉ
Matur nuwun Bu Tien, salam sehat bahagia dan aduhai dr Yk....
ReplyDeleteTerimakasih Mbak Tien...
ReplyDeleteTerimakasih bunda, penggemar setia sdh menikmati karya bunda yang menarik dan membuat penasaran. Salam sehat dan bahagia sehat selalu sekeluarga
ReplyDeleteAlhamdulillaah, matur nuwun Bu Tien, salam sehat wal'afiat semua ya ππ€π₯°ππΏπΈ
ReplyDeletePak Misdi kok kasihan sekali,, untung istrinya sdh diceraikan . Mau cari anakmu ya , sebenarnya tdk jauh hny blm waktu nya berjumpa
Alhamdulillah cerbung dah tayang, ya betul,mungkin Rizki anak pak MISDI yg memberikan nama dari panti, ya Allah perjalanan manusia Allah yg ngatur,......maturnuwun Bu Tien untuk hiburan para pembaca...π
ReplyDelete