Monday, August 25, 2025

MAWAR HITAM 49

 MAWAR HITAM  49

(Tien Kumalasari)

 

Mbok Manis gemetar menahan gejolak kepedihan yang merobek-robek batinnya. Cobaan apa ini? Mbok Randu menuntunnya agar duduk di sebuah bangku yang ada di sana. Mbok Manis seperti tak bertenaga. Ia menyeret kakinya ketika mbok Randu menuntunnya.

“Yu, kuat ya Yu, kuat. Ayo duduklah dulu di sini.”

“Pulang Yu, ayo kita pulang,” bisik mbok Manis gemetar.

“Baiklah, aku akan mencari becak dulu, sabar dan kuat ya Yu. Jangan sampai jatuh. Aku yakin sampeyan kuat.”

“Ayo pulang …,” bisiknya lagi karena mbok Randu tampak tak tega meninggalkannya.

“Iya, aku cari becak dulu, duduk dulu di sini ya Yu.”

Mbok Randu bergegas keluar. Tak ada yang bisa dilakukannya di kantor polisi itu.

Sementara itu mbok Manis duduk sambil meletakkan kepalanya di bangku. Matanya berkunang-kunang. Berjuta bintang menari-nari membuatnya mual.

“Sakit Bu?” tanya salah seorang polisi.

“Tidak. Anak saya di rumah sakit mana? Saya boleh menjenguknya?” katanya lemah sambil sedikit mengangkat kepalanya. Matanya menatap polisi yang berdiri di dekatnya.

“Tidak bisa untuk sekarang ini Bu, anak Ibu dijaga ketat, dikhawatirkan akan melarikan diri lagi. Siapapun tidak boleh menjenguknya.”

“Lukanya parah?”

“Kecuali dia perdarahan, luka-luka yang tidak segera terobati menjadi infeksi. Dokter sedang mempertahankan kandungannya.”

“Ya Tuhan … ya Tuhan … dosa apa lagi ini … “ keluhnya sambil kembali meletakkan kepalanya di bangku.

“Ayo Yu, becaknya sudah dapat,” mbok Randu bergegas mendekati sahabatnya, membantunya berdiri, lalu memapahnya keluar. Polisi itu hanya menatapnya iba.

***

Saraswati ikut bersedih mendengar penuturan mbok Randu tentang Sinah, yang kemudian membuat mbok Manis kembali ambruk.

“Apa dia punya suami?”

“Saya tidak tahu, Den Ayu.”

“Kalau dia menikah, tidak apa-apa dia hamil. Semoga kandungannya bisa diselamatkan. Tapi apa ada suaminya? Kabarnya dia melakukan kejahatan dengan dua orang laki-laki. Apa salah satu diantara mereka adalah suaminya?”

“Saya tidak tahu, Den Ayu,” mbok Randu menjawab dengan kalimat yang sama.

“Tapi aku tidak pernah mendengar bahwa yang ditangkap bersamanya itu adalah suaminya,” lanjut Saraswati.

“Melihat tingkahnya nyang tidak benar itu, barangkali juga dia hamil tanpa ada suaminya,” kata mbok Randu dengan nada prihatin.

Saraswati dan mbok Randu hanya mengkhawatirkan keadaan mbok Manis. Betapa lebih hancurnya dia mendengar kehamilan Sinah. Dosanya bertumpuk, setinggi gunung, hati ibu mana yang tidak hancur?

“Yu Manis bilang, Sinah tidak boleh dibezoek. Katanya takut kabur lagi.”

“Lagipula pasti dia dijaga ketat.”

“Benar Den Ayu. Entah kapan yu Manis bisa bertemu anaknya.”

“Barangkali akan diijinkan, karena mbok Manis adalah ibunya. Tapi harus dengan surat keterangan yang lengkap. Nanti aku tanya pada Listyo, barangkali bisa membantu.”

“Saya kira yu Manis sudah tidak ingin bertemu lagi dengan anaknya. Ketika tadi bercerita tentang apa yang dikatakan pak polisi, yu Manis mengatakan kalau tak ingin bertemu anaknya.”

“Kasihan mbok Manis. Kamu harus selalu mendekati dan menghiburnya ya Mbok, berikan apa yang diminta. Jangan sampai dia tidak mau makan dan minum.”

“Iya, Den Ayu, saya selalu memaksanya makan dan minum. Biarpun sedikit, dengan bujukan, akhirnya dia mau. Tapi dia seperti tak berselera apapun. Barangkali dia merasa gagal mendidik anaknya.”

“Iya Mbok, bisa dimengerti.”

“Tapi memang dasarnya Sinah itu susah diatur. Sejak masih bersama kami, Sinah juga tidak pernah mau mendengar kata-kata simboknya. Yu Manis selalu merasa sangat kesal.”

“Semoga apa yang dialaminya bisa menjadi pelajaran baginya, untuk nantinya bisa melangkah ke jalan yang lebih baik.”

“Aamiin. Saya mau ke belakang dulu Den Ayu.”

“Ya Mbok, jangan lupa rawat mbok Manis dengan baik.”

“Sendika Den Ayu.”

Sepeninggal mbok Randu, Saraswati masih tampak termenung. Ia juga sedih, karena mbok Manis adalah salah satu abdi kinasihnya.

***

Pagi hari itu Dewi pamit kepada sang ibu, setelah makan pagi dengan terburu-buru.

“Pagi sekali? Setiap hari ada kelas sepagi ini?” tanya sang ibu.

“Dewi selalu mampir ke rumah sakit dulu.”

“Oh, kamu masih selalu mengunjunginya? Kamu tidak pernah cerita.”

“Karena kemarin-kemarin ada ayahanda. Ayahanda tidak suka Dewi sering-sering mengunjungi pak Hasbi.”

“Iya, ayahandamu takut kehilangan kamu.”

“Ayahanda dan Ibunda tidak usah takut kehilangan Dewi. Dewi tetap putra ayahanda dan Ibunda. Tapi pak Hasbi adalah laki-laki tua yang kesepian. Ia tak punya siapa-siapa. Satu-satunya keturunannya adalah cucunya yang bernama Bening, tapi cucunya itu meninggal. Coba ibu bayangkan, seorang laki-laki tua yang merasa tidak punya siapa-siapa. Dewi selalu merasa trenyuh setiap kali menatapnya. Apalagi Dewi pernah disayangi karena dia menganggap Dewi adalah Bening.”

“Apa dia masih menganggapmu sebagai cucunya yang sudah meninggal itu?”

“Tidak, Kanjeng Ibu. Pak Hasbi sudah ingat kalau Bening sudah meninggal. Tapi dia tidak ingat bahwa Dewi adalah gadis yang pernah ditolongnya dan dianggapnya sebagai Bening, sampai kejadian berebut dengan ayahanda di kampus mas Listyo, lalu menyebabkan pak Hasbi dirawat di rumah sakit.”

“Kalau dia tidak ingat kamu, pasti dia tidak mau kamu selalu datang menjenguk.”

“Dia agak aneh. Merasa lupa-lupa ingat pada Dewi. Kemarin sore, ketika Dewi pamitan, dia sempat menegur, mengapa pulang, aku belum makan. Gitu. Tapi akhirnya dia hanya minta minum. Rupanya ada sedikit di memorinya tentang Dewi yang pernah dianggap sebagai cucunya, tapi itu belum membuatnya benar-benar ingat.”

“Lalu apa yang akan kamu lakukan di sana?”

“Entahlah, serasa ada yang mengikat Dewi untuk selalu mendekatinya dan menyayanginya.”

“Kamu banyak mengalami hal-hal yang luar biasa.”

“Apakah Kanjeng Ibu akan marah kalau Dewi menyayangi pak Hasbi?”

“Tidak. Perbuatan kamu itu mulia. Ibu bangga sama kamu.”

“Terima kasih, Kanjeng Ibu.”

***

Seperti biasanya, sebelum berangkat kuliah Dewi memerlukan mampir ke rumah sakit untuk melihat dan melayani pak Hasbi, kalau pak Hasbi berkenan. Karena terkadang pak Hasbi masih menganggapnya sebagai orang yang sangat asing.

Pagi itu simbok baru membereskan pakaian kotor yang akan dibawa pulang. Wajahnya berseri ketika melihat Dewi datang.

Masih di depan pintu ketika simbok bergegas mendekati dan berbisik.

“Tuan agak aneh pagi ini.”

“Kenapa?” tanya Dewi, dengan suara lirih juga.

“Tiba-tiba bertanya, gadis yang kemarin itu, tidak datang lagi kemari, gitu Non.”

“Masa?”

“Saya akan pulang dulu, Non dekati tuan, pasti tuan senang.”

Dewi mengangguk senang. Rupanya pada alam bawah sadarnya, si kakek masih mengenal seorang gadis yang sangat dekat dengannya dan dianggapnya cucunya. Hanya saja ia belum sepenuhnya bisa menerima. Bahkan cerita simbok yang dikatakan dengan menggebu-gebu, tidak begitu saja menggugah ingatannya.

“Kakek … “ sapa Dewi dengan manis.

“Mengapa kamu datang kemari?”

Dewi tertegun. Tapi dia mencoba tersenyum.

“Kakek sudah makan? Kalau belum, akan Dewi suapin.”

“Sudah sama simbok. Jangan sampai membuat kamu repot.”

“Minum ya?”

“Tadi juga sudah minum.”

“Kakek tidak suka ya, Dewi datang kemari?”

“Aku bukan siapa-siapa kan?”

”Kalau Kakek tidak suka, Dewi akan pergi,” kata Dewi sambil membalikkan tubuhnya. Dewi tak lagi melihat bayangan simbok. Pasti sudah pergi sejak dirinya mendekati pak Hasbi.

“Tunggu.”

Dewi tersenyum, tapi ia menghentikan langkahnya, kemudian dia membalikkan tubuhnya. Ia melihat mata tua yang penuh harap. Dewi mendekat.

“Aku belum minum susu,” kata pak Hasbi lemah.

Dewi menoleh ke arah meja, segelas susu masih utuh belum disentuh.

“Kakek mau aku melayani minum?” katanya sambil meraih gelas susu.

“Apa kamu repot karena aku?”

“Tidak. Bukankah Kakek adalah kakekku?” katanya sambil meraih sedotan, memasukkannya di gelas susu, lalu pak Hasbi menyedotnya hampir setengah gelas.

“Kenapa tidak dihabiskan?”

“Apa benar aku adalah kakekmu?”

Dewi meletakkan gelas susu ke meja kembali.

“Aku suka menjadi cucumu. Aku bukan Bening, tapi bolehkah aku menggantikannya?”

“Bening tidak tergantikan.”

“Benar, setidaknya aku bisa menemani Kakek seperti Bening menemani sebelum ini.”

“Terkadang aku ingin Tuhan segera memanggilku,” katanya lirih, tanpa menatap ke arah Dewi.

“Kakek tidak boleh berkata begitu. Mati dan hidup itu bukan kita yang menentukannya. Perkataan itu menunjukkan bahwa Kakek putus asa. Putus asa itu tidak baik dan tidak boleh.”

“Aku merasa hidupku tidak punya arti.”

“Mengapa Kakek berkata begitu?”

“Apa kamu tahu, apa yang harus aku lakukan?”

“Yang Kakek harus lakukan adalah menyayangi Dewi seperti sebelum Kakek jatuh sakit.”

Pak Hasbi menatap Dewi lekat-lekat, dan tanpa terasa air mata sudah menggenangi pelupuknya.

Dewi meraih tissue dan mengusapnya lembut.

“Sayangi Dewi, seperti sebelum ini. Dewi sudah tidak punya kakek, jadilah kakekku. Mau kan Kek?”

Pak Hasbi memegang tangan Dewi erat.

“Apa kamu bersungguh-sungguh?”

Dewi hanya mengangguk. Air matanyapun hampir runtuh melihat mata tua cekung yang menatapnya tak berkedip.

“Ayo kita pulang.”

“Kakek, saat ini Kakek masih sakit. Jadi menunggu apa kata dokter. Tapi Dewi janji akan datang kemari setiap hari, sebelum dan sesudah pulang kuliah.”

“Kamu sudah jadi mendaftar ulang?”

Rupanya pak Hasbi ingat ketika mengantarnya ke kampus dengan alasan akan mendaftar ulang. Itu kan Bening, menurut pak Hasbi? Tapi Dewi belum ingin banyak bicara. Ia hanya mengangguk.

“Sekarang Dewi mau kuliah dulu ya Kek. Sebentar lagi simbok akan kembali. Nanti sepulang kuliah Dewi akan kemari lagi.”

Pak Hasbi menatapnya sambil tersenyum.

“Kamu cucuku ….”

***

Pak Sunu sedang berbincang dengan Satria di ruangannya, Banyak hal yang mereka bicarakan, dan pak Sunu merasa kagum atas kinerja Satria yang belum begitu lama tapi bisa menyelesaikan semua permasalahan dengan baik. Rupanya pak Sunu benar-benar ingin menempatkan Satria pada posisi pimpinan setelah dirinya kembali ke Jakarta. Walau hal itu merupakan sebuah anugrah, tapi Satria tidak bisa langsung menerimanya. Ia merasa terlalu kecil dan belum banyak pengalaman.

“Kamu bisa melakukannya. Sebulan lagi aku harus kembali ke Jakarta dan kamu pasti sudah siap melakukannya. Jangan khawatir, aku masih akan selalu membantumu.”

Satria terdiam. Baru kemarin malam Andra dan istrinya memberikan rumah tinggalnya untuk ditempati, sekarang pak Sunu ingin mempromosikan dirinya untuk menggantikan kedudukan Andra. Satria tak bisa menerima begitu saja. Butuh perenungan untuk menerima anugrah yang tiba-tiba. Ia justru harus berhati-hati.

Ketika itu terdengar dering telpon di mejanya. Pak Sunu menerimanya dengan sangat serius. Wajahnya tegang ketika kemudian ia meletakkan gagang telponnya.

***

Besok lagi ya,

 

24 comments:

  1. Maturnuwun bu Tien " Mawar Hitam ep 49" sampun tayang . Semoga bu Tien selalu sehat demikian pula pak Tom dan amancu... salam hangat dan aduhai aduhai bun πŸ™πŸ©·πŸ©·

    ReplyDelete
  2. Alhamdulillah MAWAR HITAM~49 telah hadir. Maturnuwun Bu Tien, semoga panjenengan beserta keluarga tetap sehat dan bahagia serta selalu berada dalam lindungan Allah SWT.
    Aamiin YRA..🀲

    ReplyDelete

  3. Alhamdullilah
    Matur nuwun bu Tien
    Cerbung *MAWAR HITAM 49* sdh hadir...
    Semoga sehat dan bahagia bersama keluarga
    Aamiin...



    ReplyDelete
  4. Alhamdulillah Mawar Hitam sudah tayang
    Terima kasih bunda Tien
    Semoga bunda dan keluarga sehat walafiat
    Salam aduhai hai hai

    ReplyDelete
  5. Alhamdulillah.Maturnuwun Cerbung " MAWAR HITAM 49 " sudah tayang
    Semoga Bunda dan Pak Tom Widayat selalu sehat wal afiat .Aamiin

    ReplyDelete
  6. 🌻🌾🌻🌾🌻🌾🌻🌾
    Alhamdulillah πŸ™πŸ˜
    Cerbung eMHa_49
    sampun tayang.
    Matur nuwun Bu, doaku
    semoga Bu Tien selalu
    sehat, tetap smangats
    berkarya & dlm lindungan
    Allah SWT. Aamiin YRA.
    Salam aduhai πŸ’πŸ¦‹
    🌻🌾🌻🌾🌻🌾🌻🌾

    ReplyDelete
  7. Matur nuwun Bu Tien....., jadi ikut deg-degan spt Satria....
    Semoga Ibu sekeluarga sehat wal'afiat....

    ReplyDelete
  8. Terimakasih bunda Tien
    Semoga bunda Tien dan pak Tom selalu sehat

    ReplyDelete
  9. Matur nuwun mbak Tien-ku Mawar Hitam telah tayang

    ReplyDelete
  10. Alhamdulillah, MAWAR HITAM(MH) 49 telah tayang, terima kasih bu Tien, semoga Allah senatiasa meridhoi kita semua, aamiin yra.

    ReplyDelete
  11. Waduuhhhhh apa lg ya...
    Alhamdulillah
    Syukron nggih Mbak Tien .. in Syaa Alloh Selalu Sehat Sehat Sehat Aamiin❤️🌹🌹🌹🌹🌹

    ReplyDelete
  12. Kejutan apalagi ni bikin lurahku kaget?
    Terimakasih Mbak Tien...

    ReplyDelete
  13. Waduh, apa Sinah hamil dengan pak Andra ya? Lalu nanti bayinya diserahkan kepada pasangan Andra-Andira yang sulit punya anak...lalu Sinah di"mati"kan? Hmmm...πŸ€”

    Terima kasih, ibu Tien. Salam sehat selalu.πŸ™πŸ»πŸ’–

    ReplyDelete
  14. Alhamdulillaah, matur nuwun Bu Tien salam sehat wal'afiat,...πŸ™πŸ€—πŸ₯°πŸ’–πŸŒΏπŸŒΈ

    Penasaran dg perjalanan Sinah .😁🀭

    ReplyDelete
  15. Terima kasih Bunda, cerbung Mawar Hitam 49..sdh tayang.
    Sehat selalu dan tetap semangat nggeh Bunda Tien.
    Syafakallah kagem Pakdhe Tom, semoga Allah SWT angkat semua penyakit nya dan pulih lagi seperti sedialakala. Aamiin.

    Paling pak Sunu terima telpon dari Sinah yang jadi provokator, krn halim maka Andra hrs tanggung jawab..😁😁

    ReplyDelete
  16. Terima kasih Bunda Tien, Barokallloh aamiin YR'A ... Hamilnya bukan dng P Andra tetapi dengan Bagus ...cerita sebelumnya, Sinah kan sering bersenang-senang menginap di hotel dengan Bagus

    ReplyDelete
  17. Alhamdulillah, maturnuwun Bu Tien,tetep sehat dan semangat BuπŸ™

    ReplyDelete
  18. Alhamdulillah, matursuwun Bu TieΓ±, selalu sehat dan semangat

    ReplyDelete
  19. Alhamdullilah..terima ksih bunda MH 49 nya sdh tayang...salamseroja dan aduhaai unk bunda bersm bpkπŸ™πŸ₯°πŸŒΉ

    ReplyDelete

MAWAR HITAM 49

  MAWAR HITAM  49 (Tien Kumalasari)   Mbok Manis gemetar menahan gejolak kepedihan yang merobek-robek batinnya. Cobaan apa ini? Mbok Randu m...