Wednesday, August 20, 2025

MAWAR HITAM 45

 MAWAR HITAM  45

(Tien Kumalasari)

 

Mbok Manis menatap sahabatnya dengan bingung. Benarkah apa yang didengarnya? Sinah kabur?

“Yu, apa benar itu? Bagaimana dia bisa melakukannya? Bukankah di sini penjagaannya ketat?” tanya mbok Randu.

Mbok Manis berdiri, mendekati salah seorang polisi yang berjaga di luar, yang lainnya sibuk mengurus tahanan yang melarikan diri.

“Pak … pak Polisi,  apa benar anak saya kabur?” tanyanya dengan suara gemetar.

“Ibu yang mau bertemu anak ibu itu? Namanya Sinah?”

“Iya Pak.”

“Ya Sinah itu yang kabur. Bukan main liciknya. Dia bisa naik dengan memanjat bibir bak mandi, lalu melompat melalui lobang angin. Dan terjun ke bawah. Tapi kami belum bisa menemukannya. Pasti dia luka. Tapi bisa kabur, kami sedang mengejarnya.”

“Ya ampuun, nduuuk, bagaimana kamu ini? Kok ora mencari dalan padang?” keluh mbok Manis sambil berlinang air mata.

“Apa kita harus menunggu di sini Yu?” kata mbok Randu yang merasa iba melihat wajah mbok Manis yang pucat dan keruh.

“Akan sampai berapa lama? Katanya polisi lagi mencarinya. Kita pulang saja, kepalaku mendadak sangat pusing. Aku sudah tua Yu, berkali-kali ditempa masalah, apa aku kuat?”

“Kamu harus kuat Yu, harus! Ayo sekarang kita pulang saja. Sampeyan juga bisa istirahat, aku masih punya obat pusing yang diberi den ayu ketika aku juga merasa pusing, nanti minum obat itu saja. Sudah, jangan nangis, nanti jadi tontonan.”

Mbok Manis mengangguk sambil mengusap air matanya.

“Kalau sewaktu-waktu anak Ibu pulang, Ibu harus melapor. Kalau tidak, Ibu akan ikut dihukum. Mengerti?” polisi yang berjaga berkata tandas.

“Iya, baik Pak, saya juga tidak suka anak saya jadi buronan polisi. Lebih baik dia dipenjara untuk menebus dosa-dosanya,” jawab mbok Manis sambil terisak.

***

Andra sudah bisa bangun, walau dokter belum mengijinkannya pulang. Andira yang setia menemani, selalu menghiburnya karena Andra ingin segera pulang.

“Sabar Mas, kalau memang kesehatan Mas sudah memungkinkan untuk pulang, pasti juga boleh pulang. Mas juga masih sering mengeluh pusing kan?”

“Kalau hanya pusing kan bisa tiduran di rumah?”

“Mbok jangan ngeyel, namanya orang sakit itu harus percaya sama dokter.”

“Aku pengin ngemil.”

“Lhoh, kok ketularan? Nanti kalau tubuhnya bulat seperti aku bagaimana? Dirumah akan ada bola kembar dong.”

“Ya nggak apa-apa kalau cuma ngemil sedikit. Kamu itu kan makan tidak beraturan, dan sembarang makanan bisa masuk ke mulut, karena itu badanmu bulat seperti bola,” ledek Andra.

“Tapi berat badanku sudah berkurang banyak lho Mas, baju terakhir yang Mas belikan sudah longgar semua. Nanti kalau Mas pulang harus membelikan lagi baju-baju untuk aku.”

“Mana mungkin? Aku kan sudah dipecat? Jadi aku tidak punya pekerjaan. Dari mana bisa membelikan baju untuk kamu? Lagi pula kamu memilihkan kamar yang bagus untuk aku, entah tabunganku cukup untuk membayarnya atau tidak.”

“Mas jangan begitu, bukankah bapak sudah mengatakan kalau nanti setelah sembuh, Mas boleh bekerja lagi?”

“Aku sungkan.”

“Kok sungkan? Sama mertua sendiri mana boleh sungkan?”

“Aku merasa banyak salah, tidak pantas bekerja di sana lagi. Semua orang pasti sudah tahu kalau aku dipecat. Mana mungkin aku masih punya muka untuk tampil lagi di sana?”

“Mas kok gitu. Kalau bapak yang meminta, mana mungkin ada orang berani menentang?”

“Bukan masalah karena bapak yang meminta, aku tahu ayahmu berkuasa, tapi aku tidak punya muka untuk kembali lagi. Sekarang aku ini pengangguran, apa kamu juga masih akan mau menjadi istriku?”

“Tidak, mengapa Mas berkata begitu? Mas harus kembali bekerja.”

“Kalau aku tidak mau? Sungguh jangan memaksa aku. Aku akan bekerja apa saja, dengan keringatku sendiri. Kalau kamu mau, aku akan bahagia, tapi aku tidak sampai hati membuat kamu hidup menderita.”

“Maaas,” Andira menangis terisak.

“Orang miskin itu sengsara. Belum tentu bisa makan setiap lapar. Belum tentu bisa membeli pakaian walau baju sudah compang camping.”

“Jangan begitu. Bukannya aku tak mau hidup susah bersama Mas, aku menyayangkan kalau Mas tidak mau kembali bekerja di perusahaan bapak. Mas sangat dipercaya, mas juga disayang bapak. Keputusan bapak waktu itu terbawa oleh emosi, terbawa oleh rasa kecewa, dan tidak melakukannya dengan pertimbangan matang.”

“Tidak Andira, itu sudah benar. Yang dilakukan bapak bukan karena emosi. Memang yang salah harus mendapat hukuman. Jangan menyalahkan bapak, akulah yang tidak pantas diberi kedudukan.”

“Tidak … tidak … dan tidak … mas harus kembali, sesuai permintaan bapak. Bukan aku tidak mau hidup miskin, aku mau selalu bersama Mas, tapi jangan mengecewakan bapak dengan menolaknya. Tolong Mas, dengarkan aku,” kata Andira sambil memeluk suaminya dengan isak yang tak bisa ditahannya.

Andra merasa sedih. Sungguh ia tak ingin kembali bekerja. Ia sudah dipecat, ia tak punya muka untuk kembali menjalankan perusahaan itu. Ia bertekad akan berusaha sendiri.

“Andira, kamu harus mengerti. Tolong, pahamilah aku.”

“Aku tidak mau mengerti, aku tidak mengerti. Aku hanya ingin agar Mas kembali. Mas ingat, kita ingin punya anak. Ibu sudah menghubungi dokter dan harusnya beberapa hari yang lalu kita menjemputnya saat dia datang.”

Andra tak menjawab, ia mengelus pundak istrinya dengan mata berlinang. Keinginan itu memang ada, tapi dia merasa tak berdaya. Bukan karena dirinya sombong kalau tak mau menerima agar dirinya kembali menjabat pimpinan di perusahaan mertuanya, tapi ia punya harga diri. Ia sudah bersalah, dan ia siap menerima akibatnya. Pemberian maaf memang diharapkan tapi tidak dengan kembali melakukan aktivitasnya seperti semula. Andra sudah bertekad akan hidup sederhana dengan modal sedikit yang ia punya, itupun kalau ada. Kalau tidak ia akan berusaha, entah dengan apa.

“Mas, jangan pergi ya,” isak Andira kembali menggelitik telinganya.

“Aku tetap akan pergi,” kata Andra tandas.

“Mas tidak mencintai aku bukan? Mas benci aku, karena aku gemuk, karena aku tak juga segera menjadi langsing.”

Andra tersenyum sambil mengelus pipi istrinya.

“Aku cinta kamu, walau kamu gemuk seperti bola. Tapi sekarang ini bolanya sudah menjadi lonjong,” canda Andra.

“Mas!! Jangan bercanda. Pokoknya jangan pergi.”

“Andira, mengertilah.”

“Aku tidak mau mengerti.”

Mereka tidak menyangka, pembicaraan itu didengar oleh pak Sunu yang sebenarnya ingin masuk untuk membezoek. Ia tidak menyalahkan Andra. Seseorang harus punya prinsip. Ia merasa sudah dibuang seperti sampah, mana mungkin dia mau kembali? Diam-diam pak Sunu memujinya. Andra bukan laki-laki biasa. Dia menantu pilihan yang tak ada duanya. Yang disayangi seperti anak sendiri.

Pak Sunu mundur menjauh, lalu menulis sebuah pesan singkat untuk Andira. Andira melepaskan pelukan pada suaminya, lalu menghampiri meja, dimana ponselnya tergeletak. Ada notifikasi pesan singkat dari ayahnya, agak panjang, lalu membuatnya tersenyum.

“Ada apa?” tanya Andra sambil kembali membaringkan tubuhnya. Ia memang masih sering merasa pusing.

“Pesan dari bapak. Kata bapak, hari ini tidak bisa membezoek karena sedang ada urusan.”

“Tidak apa-apa, aku tidak harus selalu dibezoek oleh mertua yang sudah aku lukai,” kata Andra.

“Bapak sangat menyayangi mas Andra. Itu sebabnya bapak sangat memperhatikan sakit mas Andra. Bapak juga sudah membayar semua biaya rumah sakit, kalau ada kekurangan, rumah sakit akan menagihnya ke bapak.”

“Terima kasih banyak,” katanya pelan. Ia tahu pak Sunu sebenarnya sangat menyayanginya. Ia hanya merasa bersalah, dan tak berharga.

“Mas, kembali kerja ya,” Andira masih berusaha membujuknya.

“Aku sudah bilang tidak, ya tidak. Kamu tidak perlu mengikuti aku. Walau aku pergi, aku akan tetap mencintai kamu.”

“Tidak Mas, kalau kamu pergi, aku juga akan ikut.”

“Andira, aku hidup seadanya. Jelasnya aku akan menjadi miskin.”

“Kaya atau miskin kita akan selalu bersama.”

“Aku akan berusaha dengan sisa modal yang masih ada padaku. Terima kasih biaya rumah sakit sudah dibayar oleh pak Sunu, selanjutnya aku akan minta pulang paksa, agar tidak lebih membebani.”

“Apa maksudmu?”

“Bapak tidak usah membayar sisa yang belum terbayar. Kalau aku pulang besok kan semuanya sudah cukup. Kalaupun kurang, aku masih ada uang.”

“Mas bersungguh-sungguh? Dengar, Mas harus pulang dalam keadaan benar-benar sehat. Aku masih punya uang, kalau Mas tidak mau bapak yang membiayai, aku yang akan membayar. Masa memakai uang istrinya juga tidak mau?”

“Andira.”

“Dan kalau Mas benar-benar ingin membuka usaha sendiri, mari kita melakukannya bersama-sama.”

“Apa maksudmu?”

“Aku juga punya tabungan. Nanti kita buat usaha bersama, bagaimana?”

“Kamu serius? Bersedia hidup kekurangan bersamaku?”

“Dengan sepenuh hati,” katanya sambil memeluk suaminya erat.

Andra menatapnya haru. Dia tidak akan sendirian, dalam sesal dan duka yang membebaninya.

***

Satria sedang menghadap pak Sunu. Pak Sunu mengatakan bahwa Andra tak mau kembali untuk memimpin perusahaan yang dimilikinya.

“Sayang sekali, mengapa pak Andra tidak bersedia kembali?”

“Mungkin karena harga diri, karena aku sudah memecatnya seketika itu juga,” kata pak Sunu penuh sesal.

“Nanti saya akan menemuinya dan berbicara.”

“Kamu tidak usah melakukannya. Bujukan istrinya saja tidak mempan, apalagi kamu.”

Satria menghela napas panjang.

“Nanti aku akan mengajari kamu, bagaimana memimpin perusahaan,” kata pak Sunu tiba-tiba.

“Apa maksud Bapak?”

Pak Sunu tertawa. Ia menginginkan Satria bisa melakukannya, untuk menggantikan Andra. Tapi pastinya Satria harus belajar dari dirinya.

“Jangan bingung. Nanti kita akan belajar bersama-sama.”

“Bagaimana dengan pak Andra?”

“Dia sudah ada yang mengurusnya.”

“Mengurus bagaimana?”

“Dia akan membuat usaha baru, bersama istrinya. Kamu tenang saja. Dia pasti berhasil,” kata pak Sunu sambil tersenyum.

Tentu saja. Mana mungkin pak Sunu tega melepaskan anak semata wayangnya hidup menderita bersama laki-laki tangguh yang sedang merasa rapuh? Mereka adalah anak-anaknya. Ia akan melakukan apa saja, walau secara diam-diam.

***

Pak Hasbi masih berada di rumah sakit. Kepalanya yang terbentur lantai masih terasa pusing. Setiap hari, Dewi yang sudah pulang ke rumah orang tuanya selalu membezoeknya setelah pulang atau mau berangkat kuliah. Pak Hasbi tidak curiga, karena Dewi yang dianggapnya Bening memang mengatakan bahwa ia ingin kembali kuliah.

Tapi pagi hari itu, ketika sebelum kuliah Dewi mampir, pak Hasbi menatapnya sambil menudingkan jari telunjuknya.

“Kamu siapa?”

Dewi tersenyum. Ia mendekat, meraih tangannya dan mencium tangannya, seperti biasa ia melakukannya. Tapi pagi itu pak Hasbi mengibaskan tangannya.

“Kamu siapa?”

“Kakek, bukankah aku Bening?”

“Pembohong! Bening sudah meninggal setahun lebih yang lalu.”

Dewi mundur dua tindak, dengan mulut ternganga.

***

Besok lagi ya.

27 comments:

  1. Replies
    1. Terima kasih bu Tien dalam kesibukkannya ngurusin mas Tom kontrol ke RS, ke Lab, nyari obat ssi resep dampai sore, masih sempat melanjutkan cerita Dewi dan 'kakek Hasbi'
      Sehat terus dan terus sehat bu Tien.
      Salam SEROJA dan tetep ADUHAI

      Delete
  2. Alhamdulillah..... sehat2 selalu bunda Tien

    ReplyDelete
  3. Alhamdulillah, MAWAR HITAM(MH) 45 telah tayang, terima kasih bu Tien, semoga Allah senatiasa meridhoi kita semua, aamiin yra.

    ReplyDelete
  4. Terimakasih bunda Tien
    Semoga bunda Tien dan pak Tom selalu sehat

    ReplyDelete
  5. Matur nuwun mbak Tien-ku Mawar Hitam telah tayang

    ReplyDelete
  6. Alhamdulillah sudah tayang
    Terima kasih bunda Tien
    Semiga sehat walafiat

    ReplyDelete

  7. Alhamdullilah
    Matur nuwun bu Tien
    Cerbung *MAWAR HITAM 45* sdh hadir...
    Semoga sehat dan bahagia bersama keluarga
    Aamiin...



    ReplyDelete
  8. Maturnuwun bu Tien " Mawar Hitam ep 45" sampun tayang . Semoga bu Tien selalu sehat demikian pula pak Tom dan amancu... salam hangat dan aduhai aduhai bun ๐Ÿ™๐Ÿฉท๐Ÿฉท

    ReplyDelete
  9. Alhamdulillah kakek Hasbi sudah Hadir, terimakasih bu Tien, salam sehat selalu

    ReplyDelete
  10. Alhamdulillah.Maturnuwun Cerbung " MAWAR HITAM 45 " sudah tayang
    Semoga Bunda dan Pak Tom Widayat selalu sehat wal afiat .Aamiin

    ReplyDelete
  11. Matur nuwun Bu Tien, semoga Ibu tetap sehat wal'afiat...

    ReplyDelete
  12. Alhamdulillah MAWAR HITAM~45 telah hadir. Maturnuwun Bu Tien, semoga panjenengan beserta keluarga tetap sehat dan bahagia serta selalu dalam lindungan Allah SWT.
    Aamiin YRA..๐Ÿคฒ

    ReplyDelete
  13. Nah. Berkah dari terbentur jadi ingatkan?? Terus Bening masih berlanjut apa putus hubungan dengan kakek..
    Tinggal sedikit episode lagi kiranya.
    Salam sukses mbak Tien yang Aduhai semoga selalu sehat bersama keluarga, aamiin.

    ReplyDelete
  14. ๐ŸŒท๐ŸŒฟ๐ŸŒท๐ŸŒฟ๐ŸŒท๐ŸŒฟ๐ŸŒท๐ŸŒฟ
    Alhamdulillah ๐Ÿ™๐Ÿ˜
    Cerbung eMHa_45
    sampun tayang.
    Matur nuwun Bu, doaku
    semoga Bu Tien selalu
    sehat, tetap smangats
    berkarya & dlm lindungan
    Allah SWT. Aamiin YRA.
    Salam aduhai ๐Ÿ’๐Ÿฆ‹
    ๐ŸŒท๐ŸŒฟ๐ŸŒท๐ŸŒฟ๐ŸŒท๐ŸŒฟ๐ŸŒท๐ŸŒฟ

    ReplyDelete
  15. Alhamdulillah
    Syukron nggih Mbak Tien❤️❤️๐ŸŒน๐ŸŒน๐ŸŒน๐ŸŒน

    ReplyDelete
  16. Alhamdulillah...semoga Bu Tien sehat sll dan tetap semangat, sabar dlm merawat bpk. Aamiin

    ReplyDelete
  17. Alhamdulillah.... terima kasih Bu Tien semoga sehat selalu.

    ReplyDelete
  18. Maturnuwun Bu Tien, ๐Ÿ™ditengah kesibukan masih sempat mengirim cerbung MH, smg tetap sehat dan bahagia bersama misua tercinta....

    ReplyDelete
  19. terima kasih Bunda Tien.... semoga selalu sehat

    ReplyDelete
  20. Terima kasih Bunda, cerbung Mawar Hitam 45..sdh tayang.
    Sehat selalu dan tetap semangat nggeh Bunda Tien.
    Syafakallah kagem Pakdhe Tom, semoga Allah SWT angkat semua penyakit nya dan pulih lagi seperti sedialakala. Aamiin.

    Hore....kakek Hasbi dapat sembuh. Ini berkat 'Pelatih bertangan dingin' nya Adisoma...๐Ÿ˜

    Skrng Dewi punya kakek angkat ...kakek Hasbi, Kanjeng Rama dan Kanjeng Ibu...pingin nya begitu...๐ŸŒน๐ŸŒน☂️๐Ÿ‡ฎ๐Ÿ‡ฉ๐Ÿ˜

    ReplyDelete
  21. Mbak Tien memang luar biasa...
    Terimakasih Mbak Tien...

    ReplyDelete
  22. Terima ksih bunda mh nya๐Ÿ™salam sht selalu uno bunda bersama bpk๐ŸŒน๐Ÿฅฐ

    ReplyDelete

MAWAR HITAM 45

  MAWAR HITAM  45 (Tien Kumalasari)   Mbok Manis menatap sahabatnya dengan bingung. Benarkah apa yang didengarnya? Sinah kabur? “Yu, apa ben...