MAWAR HITAM 37
(Tien Kumalasari)
Laki-laki tua itu bernama pak Hasbi. Ia hidup sendirian, sebatangkara. Tapi dia kaya raya. Dulu pernah menjadi pengusaha sukses, tapi kemudian ia istirahat karena usia tua. Ia adalah kakek yang kesepian. Istrinya sudah meninggal bersama anaknya, dalam sebuah kecelakaan. Ada seorang cucu yang ditinggalkan oleh mereka, tapi kemudian cucu itu meninggal juga karena sakit, setelah dirawat sampai dewasa. Jadilah kakek Hasbi hidup sendirian.
Pagi buta itu si kakek sedang berjalan-jalan, mencari udara segar. Meskipun sudah disebut kakek-kakek, tapi pak Hasbi masih kuat dan sehat. Ketika sedang berjalan, dilihatnya seorang gadis meringkuk di pinggir jalan. Kakek Hasbi terkejut. Ia mengira gadis itu cucunya.
“Bening? Kamu Bening kan?” katanya sambil berjongkok di dekat sosok yang terkulai lemah.
“Tolong aku ….” rintihnya.
“Kamu bisa berdiri? Ayo kita pulang.”
“Aku tak bisa jalan ….”
“Berdiri dulu, nanti jalan bersama kakek.”
Walau lemah, gadis itu berusaha berdiri, lalu si kakek menangkap tangannya, dan menuntunnya pulang.
Rumah kakek tak jauh dari tempat itu, hanya saja harus memasuki gang kecil. Lalu kakek memapahnya ke dalam rumahnya. Rumah sederhana yang asri dan terawat, itulah rumah pak Hasbi.
“Ayo masuk, berbaringlah di kamarmu sendiri, Bening. Aku akan memanggil pak Mantri agar mengobati kamu. Bagaimana kamu bisa luka parah seperti ini?”
Pak Hasbi membawanya masuk ke dalam sebuah kamar. Kamar yang bersih dan rapi.
“Ketika kamu pergi, aku selalu menyuruh pembantu untuk membersihkan kamarmu ini. Tidurlah, aku akan memanggil pak Mantri. Rumahnya tidak jauh dari sini.”
“Aku bukan Bening, namaku Dewi.”
“Ah ya, tentu saja, aku selalu memanggil kamu Dewi karena kamu adalah Dewi penyambung umurku. Aku sudah mati sejak lama kalau tidak ada kamu yang menguatkan aku.”
“Tapi ….”
“Tidur, berbaringlah, kamu sangat lemah, aku panggil pak Mantri dulu. Eh, tunggu, aku akan membuatkan minuman hangat untuk kamu, agar kamu merasa lebih segar.”
Kakek itu pergi ke dapur. Ia punya seorang pembantu yang datang agak siang, dan bertugas bersih-bersih serta memasak untuk pak Hasbi. Saat itu pembantu belum datang. Pak Hasbi menyeduh teh dalam segelas air, kemudian membawanya ke kamar, dimana Dewi sedang terbaring.
“Minumlah dulu, ini hangat. Biar aku bantu kamu mengangkat kepalamu,” katanya sambil mengangkat kepala Dewi, lalu meminumkan teh yang baru saja dibuatnya. Agak panas, tapi Dewi merasa nyaman karena dia juga kedinginan.
Setengah gelas dari teh hangat itu telah diminumnya, lalu si kakek meletakkan kembali kepala Dewi di bantal.
“Tidurlah dulu dan tahan. Nanti kalau pembantu datang, biar dia menggantikan bajumu, aku juga akan mampir ke rumahnya sebelum ke rumah pak mantri.
Kakek yang baik hati itu keluar dari kamar, meninggalkan Dewi terbaring di ranjang yang bersih, dan wangi. Ia tak ingin membantah ketika kakek tua itu memanggilnya Bening. Ia tak berdaya, dan merasa sakit di sekujur tubuhnya.
Semalam dia mendengar apa yang menjadi rencana Sinah. Ia yakin perempuan itu Sinah, walau heran bagaimana Sinah bisa menjadi seperti itu. Punya mobil, berpakaian bagus. Entah bagaimana caranya. Yang terpikirkan olehnya adalah Sinah membencinya karena dirinya adalah gadis yang disukai Satria, bukan Sinah. Lalu Sinah ingin membunuhnya. Dewi pura-pura pingsan. Ketika mobil di mana dia ada di dalamnya itu meluncur, diam-diam dia melompat keluar, dan terselamatkan oleh semak belukar yang rimbun. Gelap malam dan mendung membantunya terlindungi. Perlahan dia merangkak menjauh, ketika terdengar deburan air sungai saat mobil Sinah terjun ke dalamnya.
Dewi menahan pedih perih yang merayapi seluruh tubuhnya, lalu ketika pagi temaram, seorang kakek memapahnya ke rumahnya.
“Aku tak berdaya, aku juga tak bisa menghubungi siapa-siapa. Tapi kakek itu tampaknya orang baik,” pikirnya.
Dewi berharap akan tertolong dengan kebaikan si kakek. Ia tak tahu sedang berada di mana, dan tak memiliki apapun yang bisa dipakai untuk menghubungi seseorang, ataupun keluarganya. Yang ada hanyalah baju yang melekat di tubuhnya, yang dipakainya kemarin ketika ia berangkat kuliah. Baju itu kotor oleh lumpur dan darah yang sudah berwarna kecoklatan serta mengering.
***
Ketika sedang memikirkan kelanjutan nasibnya, tiba-tiba kamar itu dibuka. Seorang perempuan setengah tua masuk dan mendekatinya.
“Ya ampun, non Bening, simbok tak bisa mengenali Non lagi, semuanya berubah.”
“Namaku Dewi.”
“Iya, tuan juga sering memanggil Non begitu, karena Non dianggapnya Dewi yang menguatkan tuan setelah semua meninggalkannya.”
“Tapi aku ….”
Pembantu itu ke belakang, mengambil waskom berisi air hangat, dan selembar handuk kecil.
Ia membersihkan wajah dan seluruh tubuh Dewi dengan lap yang hangat. Terkadang ia harus meringis ketika lap itu menyapu luka-lukanya.
Dewi sangat lemah, ia membiarkan pembantu itu melepas semua bajunya dan menggantikan baju yang ada di dalam almari.
“Ini baju kesayangan Non, dibelikan tuan ketika lebaran tiga tahun lalu. Lalu Non menghilang setelah kecelakaan. Syukurlah tuan bisa menemukannya.”
“Namaku Dewi,” berulang Dewi mengatakannya tapi pembantu itu tak peduli. Ia sudah selesai mengenakan baju ke tubuh Dewi yang dilakukannya dengan susah payah, lalu menyisir pelan rambutnya yang tampak kotor.
“Besok kalau Non sudah lebih baik, simbok akan mengeramasi rambut Non. Ini kotor sekali. Tapi Non kelihatan masih sakit. Tuan sedang memanggil pak Mantri. Pak Mantri itu pinter mengobati penyakit. Ia sering dianggap sebagai dokter tapi tidak mau. Dia selalu bilang, bahwa dirinya hanyalah mantri kesehatan.”
Pembantu itu mengoceh, dan Dewi tak begitu memperhatikannya. Kepalanya berdenyut, tubuhnya terasa dingin.
Simbok mengambilkan selimut tebal dan menyelimuti tubuh Dewi agar terasa hangat.
Lalu terdengar langkah-langkah kaki mendekat, dan ada yang membuka kamar. Dua orang laki-laki muncul, pak Hasbi dan seorang laki-laki setengah tua lainnya.
“Itu dia, cucu saya pak Mantri, dia kecelakaan dan luka parah.”
“Mengapa sampai begini dan tidak dibawa ke rumah sakit saja?”
“Dia sangat lemah ketika saya menemukannya di jalan, jadi lebih baik saya bawa pulang dulu, lalu memanggil pak Mantri.”
Pak Mantri tampak memeriksa keadaan luka Dewi. Ada luka di kepala yang tampaknya pernah diberi obat. Tadinya kepala itu dibalut perban oleh dokter yang dipanggil Bagus, tapi perban itu sudah lenyap entah ke mana.
Pak Mantri memegang tubuhnya.
“Dia panas, apakah tidak lebih baik dibawa ke rumah sakit saja?”
“Apa pak Mantri tidak sanggup mengobatinya?”
“Saya akan mencobanya, tapi nanti kalau panasnya berlanjut, harap dibawa ke rumah sakit saja. Saya takut ada infeksi karena luka-lukanya terkena kotoran.”
“Baiklah.”
Pak Mantri lebih dulu menyuntik Dewi, untuk menurunkan demamnya. Lalu ia memeriksa luka-lukanya, dan membubuhkan obat seperlunya.
“Benar ya, pak Hasbi, kalau keadaannya tidak membaik, sebaiknya dibawa ke rumah sakit saja.”
“Iya, baiklah, pak Mantri.”
***
Hari agak siang ketika pembantu pak Hasbi masuk ke kamar Dewi, membawakan bubur dan sup ayam yang hangat.
“Non Bening, makan dulu ya. Bagus sekali, Non sudah tidak panas lagi. Lihat, sudah keringatan,” kata pembantu sambil mengelap keringat yang membasahi dahi.
“Aku bukan Bening … “
“Non, makanlah dulu, biar badan Non kuat, kembali sehat. Nanti kalau Non tidak segera sehat, disuntik lagi sama pak Mantri.”
Dewi kehabisan kata-kata untuk meyakinkan pak Hasbi dan pembantunya, yang menganggapnya sebagai Bening.
Dewi menduga, Bening cucu pak Hasbi seumuran dengannya, bahkan bentuk tubuhnya juga sama, buktinya pembantu itu memakaikan baju Bening dan pas di tubuhnya.
Tapi banyak yang dipikirkan Dewi. Ia yakin ayah ibunya sangat sedih karena mengira dirinya celaka dan tak selamat. Ia hanya ingin mengabarkan bahwa dirinya baik-baik saja, walaupun tak bisa bangun. Tapi bagaimana caranya?
Karena tubuhnya lemah, maka ia menerima saja bubur yang disuapkan sang pembantu. Rasanya enak, hangat dan nyaman terasa setelah menyantapnya. Tubuhnya tidak selemah tadi.
Lalu entah karena obat yang diberikan, rasa kantuk menyerangnya, lalu Dewi terlelap.
***
Pencarian atas Dewi terus dilakukan, Satria yang minta ijin untuk absen dari pekerjaannya, ikut mencari dengan caranya. Dengan dibantu Listyo, mereka kembali mencari Dewi dari arah di mana mobil itu tercebur sungai.. Kemungkinan hanyut sudah dilakukan oleh sebuah tim yang dipimpin oleh kepolisian.
Tapi Satria melihat semak yang tersibak, seperti bekas dilalui oleh sesuatu.
“Sepertinya Dewi tidak tercebur sungai. Ia sempat keluar, atau terlempar dari mobil sebelum mobil itu masuk ke dalam sungai.”
“Kamu benar. Berarti dia merangkak atau berjalan ke tepi jalan, lalu ada yang menolongnya. Semoga demikian adanya,” kata Listyo sambil mengamati pinggiran jalan itu, barangkali menemukan sesuatu yang bisa dijadikan petunjuk.
Lalu mereka memasuki rumah demi rumah yang ada di jalan itu, barangkali ada yang melihat seorang gadis terluka. Tapi tak seorangpun memberikan jawaban yang memuaskan. Barangkali karena hari masih pagi, jadi belum banyak orang keluar rumah, apalagi dalam cuaca yang dingin menggigit seperti saat itu.
“Kalau begitu kita ke rumah sakit terdekat. Barangkali ada yang menolongnya lalu membawanya ke sebuah rumah sakit,” kata Listyo yang kemudian menghampiri mobilnya, diikuti Satria yang hatinya semakin bertambah gundah.
“Satria, paling tidak ada gambaran bahwa Dewi selamat, dan semoga ada yang menyelamatkannya,” hibur Listyo ketika melihat wajah Satria muram bagai langit mau menumpahkan hujan.
“Semoga segera ada gambaran untuk itu, Pak.”
Ketika itu ponsel Listyo berdering, dari Adisoma.
“Ya, Paman. Belum, tapi saya dan Satria menemukan suatu titik terang. Tampaknya Dewi tidak hanyut di sungai. Ya … kami melihat tanda-tanda bahwa dia melompat dari dalam mobil sebelum mobil itu masuk ke sungai... Benar Paman, sekarang kami sedang menuju ke rumah sakit di sekitar tempat ini, barangkali ada yang menemukannya lalu membawanya ke rumah sakit. Semoga segera bisa ada titik terang …. baik Paman, mohon doanya.”
Listyo menutup ponselnya dan menghela napas panjang.
“Semoga Dewi bisa segera ditemukan,” bisik Satria pelan.
Tapi ternyata beberapa rumah sakit terdekat tidak ada yang menerima pasien bernama Dewi.
***
Sementara itu beberapa hari telah berlalu. Karena pak Mantri menanganinya setiap hari, kesehatan Dewi semakin membaik. Dia sudah bisa bangun, membuat pak Hasbi merasa senang.
“Bening, kalau kamu sembuh nanti, apapun yang kamu minta pasti kakek penuhi. Harta kakek sangat banyak, itu hanya untuk kamu Bening,” kata pak Hasbi sambil memeluk Dewi dengan linangan air mata. Trenyuh hati Dewi melihat sikap pak Hasbi. Tapi dia bukan Bening, pak Hasbi harus segera disadarkan, dan mengijinkannya untuk pergi.
“Kakek, sesungguhnya aku bukan Bening. Aku ini Dewi, yang tinggal di dekat alun-alun. Aku akan dicelakai oleh seseorang yang ingin membunuhku, yang untunglah kakek segera menolongku.”
“Bening, apapun yang terjadi, kamu adalah cucuku,” kata pak Hasbi masih dengan linangan air mata.
“Baiklah Kek, anggap saja aku ini Bening, tapi ijinkan aku pergi untuk menemui orang tuaku ya.”
“Apa maksudmu? Kamu tidak boleh pergi. Kalau kamu nekat pergi juga, lebih baik aku mati,” lalu pak Hasbi menangis terisak-isak.
Hati Dewi terasa bagai diremas-remas.
***
Besok lagi ya.
Alhamdulillah sdh tayang.....
ReplyDeleteππ»ππ»ππ»ππ»
ReplyDeleteAlhamdulillah ππ
Cerbung eMHa_37
sampun tayang.
Matur nuwun Bu, doaku
semoga Bu Tien selalu
sehat, tetap smangats
berkarya & dlm lindungan
Allah SWT. Aamiin YRA.
Salam aduhai ππ¦
ππ»ππ»ππ»ππ»
Alhamdulillah MAWAR HITAM~37 telah hadir. Maturnuwun Bu Tien, semoga panjenengan beserta keluarga tetap sehat dan bahagia serta selalu dalam lindungan Allah SWT.
ReplyDeleteAamiin YRA..π€²
Alhamdulillah
ReplyDeleteMatur sembah nuwun
Salam sehat selalu
Hamdallah..sampun taysng
ReplyDeleteMarur suwun bu Tien.
ReplyDeleteMatur nuwun mbak Tien-ku Mawar Hitam telah tayang
ReplyDeleteAlhamdulillah sudah hadir.
ReplyDeleteSemoga bu Tien sehat selalu, dapat berkarya terusπ
Alhamdulillah sdh tayang... terima kasih Mbu Tien.. sehat sllubersama keluarga trcnta
ReplyDeleteMatur nuwun, Bu Tien
ReplyDeleteTerimakasih bunda Tien
ReplyDeleteSemoga bunda Tien dan pak Tom selalu sehat
Maturnuwun bu Tien " Mawar Hitam ep 37" sampun tayang . Semoga bu Tien selalu sehat demikian pula pak Tom dan amancu... salam hangat dan aduhai aduhai bun ππ©·π©·
ReplyDeleteAlhamdulillah.Maturnuwun Cerbung " MAWAR HITAM 37 " sudah tayang
ReplyDeleteSemoga Bunda dan Pak Tom Widayat selalu sehat wal afiat .Aamiin
Alhamdulillah,matur nuwun Bunda Tien
ReplyDelete
ReplyDeleteAlhamdullilah
Matur nuwun bu Tien
Cerbung *MAWAR HITAM 37* sdh hadir...
Semoga sehat dan bahagia bersama keluarga
Aamiin...
Matur nuwun Bu Tien. Semoga Ibu sdh fit lagi....begitu pula Bpk Tom...
ReplyDeleteAlhamdulillah, MAWAR HITAM(MH) 37 telah tayang, terima kasih bu Tien, semoga Allah senatiasa meridhoi kita semua, aamiin yra.
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteTerima kasih bunda Tien
Semoga sehat walafiat
Salam aduhai hai hai
Terima ksih bunda MH nya..smg bunda bersm bpk sehat selaluππ₯°πΉ❤️
ReplyDeleteTerima ksih bunda MH nya..smg bunda bersm bpk sehat selaluππ₯°πΉ❤️
ReplyDeleteMaturnuwun Bu Tien MH 37 telah hadir, semoga besuk ontimeπ
ReplyDeleteSehat dan bahagia selalu Bu Tien...
ReplyDeleteBunda Tien matur nuwun,,, semoga slalu sehat ya Bun, barokalloh
ReplyDeleteTerima kasih Bunda, cerbung Mawar Hitam 37..sdh tayang.
ReplyDeleteSehat selalu dan tetap semangat nggeh Bunda Tien.
Syafakallah kagem Pakdhe Tom, semoga Allah SWT angkat semua penyakit nya dan pulih lagi seperti sedialakala. Aamiin.
Hamdallah Dewi selamat. Angan ku melayang...he..he.. Dewi di temukan.berada di tempat asing, jauh dari keramaian, jauh dari tetangga. Di situlah kakek Hasbi hidup sebatang kara, yang merindukan cucu kesayangan satu satu nya. Kakek Hasbi dapat menemukan Dewi, yang di kiranya Bening...ππ☂️π
Alhamdulillah, matur nwn bu Tien, salam sehat selalu.
ReplyDeleteSelamat Kakek Haabi dimunculkan dados tokoh baru di Mahit episode ini
Kirain td Kakek Habi π☺️....
ReplyDeleteAlhamdulillah semakin terang ..berarti dah mo tamat ...
Syukron nggih Mbak Tien ...in Syaa Alloh selalu sehat Aamiin❤️πΉπΉπΉπΉπΉ
Alhamdulillah... terima kasih, semoga sehat selalu.
ReplyDeleteHahaha..
ReplyDeleteMbak Tien ada-ada saja membuat cerita ini dibaca..
Terimakasih Mbak Tien...
Alhamdulillah, Bu Tien matursuwun cerbung "mawar hitamnya". Salam sehat selalu
ReplyDeleteWaah...seandainya Dewi dirawat di RS pasti segera diketemukan keluarganya ya...nampaknya bakalan panjang deh kisah ini, asyiikkk....π
ReplyDeleteTerima kasih, ibu Tien. Semoga cepat sehat kembali.ππ»ππ»ππ»