MAWAR HITAM 29
(Tien Kumalasari)
Andira terkekeh melihat wajah suaminya yang tiba-tiba berubah. Ia segera mengambilkan minum agar sang suami berhenti terbatuk-batuk.
“Ya ampun Mas, pelan-pelan makannya.”
“Iya, daging belum dikunyah tertelan,” jawab Andra seenaknya.
“Hati-hati lho Mas, tersedak bisa menjadikan hal yang fatal.”
“Tidak, aku tidak apa-apa."
“Mas Andra aneh. Kok tiba-tiba seperti orang kaget begitu. Memangnya Mas selingkuh? Aku tidak percaya ah. Masa suamiku yang baik ini selingkuh?”
Andira berkata sambil tertawa menggoda suaminya. Andra hanya tersenyum. Ucapan sang istri sangat mengena. Sebenarnya kalau Andira tidak mengecualikan masalah selingkuh, Andra ingin mengatakan semuanya.
“Mengapa Mas meragukan Andira? Apapun yang terjadi, aku akan tetap mencintai Mas, dengan segenap rasa. Tapi perselingkuhan itu kan berbeda. Itu menunjukkan bahwa cinta seseorang itu tidak utuh. Terbelah-belah. Apakah harus ada toleransi untuk pasangan yang tega mengkhianati keutuhan cinta?” lanjut Andira seenaknya, tanpa sadar bahwa hal itulah yang pernah dilakukan suaminya.
“Tidak, aku tidak meragukan kamu, aku sangat dan sangat mempercayaimu.”
“Terima kasih Mas, senang mendengarnya. Tapi kenapa tiba-tiba Mas menanyakan hal itu? Kalau begitu aku dong yang gantian bertanya. Apakah Mas juga mencintai aku seperti aku mencintai Mas?”
“Aku tentu saja sangat mencintai kamu, Andira.”
“Cinta yang utuh? Tidak terbelah-belah?”
Andra mengacungkan kedua jempol tangannya, karena mulutnya sedang mengunyah makanannya. Atau barangkali tak mampu menjawabnya.
Andira merasa senang dengan jawaban sang suami, walau hanya dengan isyarat jempol.
Tapi sebenarnya hati Andra sedang sangat gelisah. Sungguh ia ingin mengatakannya, tapi entah kemana larinya keberanian itu, apalagi setelah mendengar ungkapan kata istrinya tadi.
“Kok makannya sedikit Mas? Biasanya nambah.”
“Sudah, aku sudah kenyang.”
Andira juga sudah makan sepiring buah dan sayuran yang habis dilahapnya, kemudian keduanya beranjak ke ruang tengah lagi untuk sekedar menunggu kantuk, karena hari juga sudah mulai malam.
***
Tapi Sinah yang sejak sore ingin sekali mendamprat Bagus, tidak segera bisa menghubunginya. Entah mengapa, ponsel Bagus sepertinya mati.
“Kemana orang bodoh itu sekarang? Dan kemana juga ponselnya dibawa, jangan-jangan ketinggalan entah di mana seperti ketika dia meninggalkan sepatunya,” omelnya panjang pendek.
Karena kesal Sinah kembali menghubungi Andra, tapi seperti juga ketika menghubungi Bagus, ponsel Andra juga mati. Andra memang mematikan ponselnya. Ia tahu, sepeninggalnya dari rumah Sinah, Sinah pasti ingin terus menghubunginya.
“Tidak apa-apa pak Andra, besok aku kan bisa datang ke kantor. Aku tidak terima kamu menjawab seenaknya seperti tadi. Tapi celaka benar aku, apa memang pak Andra mandul? Iya juga sih, nyatanya istri yang dinikahinya bertahun-tahun belum juga hamil. Tapi itu tidak masalah, banyak jalan untuk mengakali pengusaha bodoh itu. Aku pasti akan melakukannya.”
Malam sudah larut ketika Bagus kemudian menelpon. Sebenarnya Sinah enggan mengangkat, tapi ia ingin sekali mendampratnya sejak sore tadi.
“Mawar, sepatuku tertinggal di kamar kamu,” kalimat pertama yang diucapkan Bagus memicu kemarahan yang semakin memuncak.
“Apa maksudmu? Gara-gara sepatu bau kamu itu, aku mendapat malu,” hardiknya.
“Mendapat malu? Kamu kan tidak memakai sepatu aku, sehingga ada yang mengolok-olokmu?”
“Dasar dungu. Bodoh. Pak Andra memasuki kamar aku dan melihat sepatu bau itu, apa menurutmu yang dipikirkan olehnya? Kamu tidak bisa mengerti juga?”
“Dia melihat sepatu itu, lalu kamu jawab apa? Biasanya kamu pintar mencari alasan.”
“Dia hanya mengatakan ada sepatu didekat ranjang, lalu pergi begitu saja.”
“Dia marah?”
“Kamu tidak berhak untuk bertanya-tanya. Aku hanya ingin mengatakan bahwa kamu bodoh dan ceroboh. Bagaimana kamu bisa pergi dengan meninggalkan sepatumu?”
“Aku kan tergesa-gesa, karena kamu menyuruh aku cepat pergi?”
“Dasar orang nggak punya otak. Semestinya kalau orang berjalan kan harus memakai sandal, atau sepatu. Tapi kamu bisa pergi begitu saja. Bagaimana cara berpikir kamu?”
“Sekarang di mana sepatu itu, biar aku ambil.”
“Sudah aku buang ke tempat sampah.”
“Mawar, itu kan sepatu baru? Bagaimana kamu bisa membuangnya? Akan aku cari sekarang, itu harganya jutaan.”
“Jangan kemari malam ini, aku sedang tidak ingin diganggu.”
“Tapi sepatu itu ….”
“Cari saja besok di tempat sampah!”
Sinah menutup ponselnya lalu melemparkannya di pembaringan begitu saja. Ia tak bisa tidur, ia harus bisa mengatasi semuanya, termasuk memaksa Andra agar mau menikahinya secara resmi. Ia boleh saja disuruh-suruh oleh Satria, tapi kedudukannya sebagai nyonya Andra akan membuat semua orang menghormatinya bukan?
***
Dewi sedang makan pagi ketika itu, dan mbok Randu wanti-wanti agar jangan tergesa-gesa, karena Dewi kan tidak harus menunggu becak, lalu jalan becaknya kan pelan-pelan. Beda kalau naik sepeda motor kan bisa lebih cepat.
“Iya Mbok, itu benar, aku bisa ke kampus lebih cepat, karena naik sepeda motor. Tapi ini juga sudah cukup siang, kalau aku makan lambat-lambat, tetap saja akan terlambat.”
“Ini baru jam tujuh Den Ajeng, biasanya juga tidak kesiangan.”
“Iya … iya Mbok, jangan khawatir, ini aku juga pelan-pelan makannya, dikunyah tigapuluh dua kali makanannya.”
Mbok Randu terkekeh mendengarnya.
“Dikunyah tigapuluh dua kali? Kalau itu apa tidak kebanyakan? Bisa berjam-jam kalau simbok yang makan.”
“Aturannya begitu Mbok, makan sehat harus mengunyah cukup, kira-kira tiga puluh dua kali.”
“Wah, kalau itu simbok, mana bisa, mulut simbok bisa terkena sakit pegel linu.”
“Lha mengapa begitu?”
“Lha simbok sudah habis giginya, makan juga sering hanya ditelan saja, kalau harus mengunyah sampai sebanyak itu ya terkena sakit pegel linu beneran.”
“Lho, ya jangan langsung ditelan Mbok, kalau memang susah mengunyah, masak nasinya yang lembek.”
“Iya, simbok sudah tahu, masalah mengunyah itu simbok baru mendengar. Lha wong simbok tidak makan sekolahan.”
“Jangan makan sekolahan Mbok, makan nasi dan lauk pauknya saja.”
“Kalau itu ya sudah. Setiap hari tiga kali, masih ditambah dan lain-lainnya.”
“Sudah Mbok, aku sudah kenyang,” kata Dewi sambil berdiri setelah mentertawakan konyolnya mbok Randu.
Mbok Randu segera membawa piring-piring kotor ke belakang, dan membersihkan meja makan, sementara Dewi menyiapkan piranti yang mau dibawa.
Tiba-tiba ponsel Dewi berdering, Dewi segera mengangkatnya, dari Listyo.
“Ya Mas, ada apa, aku mau berangkat nih.”
“Hari ini aku mau ke Solo, apa kamu mau ikut? Kebetulan, hari ini aku tidak mengajar, jadi ingin mengunjungi keluarga di Solo. Aku tidak tahu apa kamu bisa ikut atau tidak.”
“Mas LIstyo bersama anak-anak juga?”
“Iya, semuanya, karena sudah lama juga kami tidak mengunjungi keluarga di Solo. Barangkali kamu bisa, ayuk bareng sekalian.”
“Aku ada kelas pagi, tapi nanti memang pulang agak awal. Hanya saja sayang sekali aku nggak bisa ikut. Aku juga mau pulang ke Solo, tapi besok Minggu depan. Barangkali bareng sama Satria.”
“Ya sudah kalau begitu.”
“Tapi kalau Mas tidak keberatan, aku tuh punya makanan kesukaan kanjeng ibu, kalau Mas mau mampir ke rumah, biar nanti mbok Randu siapkan.”
“Nggak apa-apa, nanti aku mampir ke situ, mau berangkat pagi ini.”
“Ya sudah, biar disiapkan simbok, aku mau berangkat sekarang.”
“Baik, aku ke situ dulu.”
Setelah menutup ponselnya, Dewi segera berpesan kepada mbok Randu.
“Mbok, ada bakpia di samping meja makan, dan juga krasikan, nanti mas Listyo mau mampir kemari. Tolong simbok siapkan ya, biar dikirimkan ke kanjeng ibu oleh mas Listyo.”
“Semuanya?”
“Ya, semua saja. Aku diberi teman kuliah, kebanyakan kemarin. Kebetulan bakpia itu kan kesukaan kanjeng ibu.”
“Baiklah, segera saya siapkan.”
"Simbok tungguin saja di depan setelah ini, supaya tidak kelamaan mas Listyo menunggu, soalnya dia mau langsung pergi ke Solo.”
“Baiklah.”
“Aku mau berangkat dulu ya.”
“Hati-hati di jalan, Den Ajeng.”
“Ya Mbok.”
***
Hari itu memang ada kuliah pagi, dan Dewi mengendarai sepeda motornya lebih cepat dari biasanya.
“Gara-gara simbok melarang aku makan cepat-cepat, jadinya waktuku mepet. Ditambah telpon dari mas Listyo juga,” gumamnya sambil melajukan kendaraannya.
Tapi di sebuah perempatan kecil, sebuah mobil melaju tiba-tiba, membuat Dewi sangat terkejut. Ia berjalan lebih minggir, tapi mobil itu tetap saja menyerempet sepeda motornya, membuatnya terjatuh, dan luka parah, karena jalanan berbatu.
Jalanan itu memang agak sepi. Pengendara mobil itu turun. Ada dua orang laki-laki yang kemudian mendekat ke arah Dewi yang masih meringis menahan sakit. Bukan hanya tangannya yang terluka, tapi juga kepalanya berdarah-darah.
“Ya ampun Mbak, bagaimana sih, Mbak kurang hati-hati.”
Dalam menahan sakit itu Dewi masih bisa menjawab.
“Saya sudah berjalan minggir, Anda tetap saja menabrak saya.”
“Maaf, tapi jangan khawatir, mari saya antarkan ke rumah sakit, saya akan bertanggung jawab,” kata salah seorang dari laki-laki itu.
Dewi merasa kesakitan, ia tak mampu menolak, barangkali ke rumah sakit adalah satu-satunya pilihan. Karenanya ia menurut ketika salah seorang laki-laki itu memapahnya ke dalam mobil.
“Sepeda motor saya … “ kata Dewi lemah.
“Biar nanti saya urus,” kata yang satunya lagi.
Mobil itu melaju dikendarai oleh salah satu dari mereka, sedangkan yang satunya mengambil sepeda motor Dewi. Dewi sudah setengah pingsan, darah mengucur di kepalanya, begitu banyak.
***
Sementara itu mbok Randu sudah membungkus makanan seperti yang dipesan bendoronya, lalu diletakkannya di meja depan, lalu dia menunggu kedatangan Listyo. Dan memang tak lama kemudian Listyo sudah datang dan segera mbok Randu menyerahkan titipan Dewi kepadanya.
“Hanya ini MBok?”
“Iya, Den.”
“Dewi sudah lama perginya?”
“Tadi setelah menerima telpon, langsung berangkat dengan terburu-buru.”
“Ya sudah aku pergi dulu ya Mbok.”
“Mobilnya penuh Den?”
“Iya, anak istri semua ikut.”
“Wah, senengnya. Kalau ketemu yu Manis nitip salam ya Den.”
“Iya, nanti aku sampaikan.”
Setelah menerima bungkusan, Listyo segera pamit.
Ia mengendarai mobilnya pelan, karena jalanan di daerah situ agak kurang bagus.
“Mbak Dewi mana?” tanya Aryo.
“Tidak ikut, dia ada kuliah hari ini.”
“Sudah lama tidak ketemu mbak Dewi.”
“Nanti kalau liburan kita main ke sana.”
Tapi tiba-tiba di tepi jalan, Listyo melihat sesuatu. Ia menghentikan mobilnya.
“Ada apa Mas?” tanya Arum.
“Sepertinya tadi ada kecelakaan. Lihat, ceceran darah di situ. Tapi tunggu dulu,” kata Listyo yang kemudian turun dari mobil. Ia melihat sebuah tas. Ia mengenalinya sebagai tas kuliah Dewi. Ada beberapa bukunya yang terserak keluar.
“Ini kan tas Dewi?” katanya sambil mengangkat tas itu. Wajahnya langsung pias. “Dewi kecelakaan?” pekiknya.
***
Besok lagi ya.
Alhamdulillah....
ReplyDeleteeMHa_29 sudah tayang.
Terima kasih Bu Tien, semoga sehat selalu, dan tetap ADUHAI π©·π©·πΉ
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun mas Kakek
Alhamdulillah MAWAR HITAM~29 telah hadir. Maturnuwun Bu Tien, semoga panjenengan beserta keluarga tetap sehat dan bahagia serta selalu dalam lindungan Allah SWT.
ReplyDeleteAamiin YRA..π€²
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Djodhi
Hamdallah...sampun tayang
ReplyDeleteNuwun pak Munthoni
DeleteAlhamdulilah, maturnuwun bu Tien " Mawar Hitam episod 29" sampun tayang, Semoga bu Tien selalu sehat dan juga Pak Tom bertambah sehat dan semangat, semoga kel bu Tien selalu dlm lindungan Allah SWT aamiin yra π€²π€²
ReplyDeleteSalam hangat dan aduhai aduhai bun π©·π©·
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Sri
Aduhai aduhai
Matur nuwun mbak Tien-ku Mawar Hitam telah tayang
ReplyDeleteSami2 pak Latief
DeleteMatur suwun Bu Tien.
ReplyDeleteSami2 pak Indriyanto
DeleteMatur nuwun, Bu Tien
ReplyDeleteSami2 ibu Anik
Delete
ReplyDeleteAlhamdullilah
Matur nuwun bu Tien
Cerbung *MAWAR HITAM 29* sdh hadir...
Semoga sehat dan bahagia bersama keluarga
Aamiin...
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Wedeye
Waduuuh itu pasti suruhan bagus, sinah, dasar sinah keganjenan, centil ingin merebut pacar orang....
ReplyDeleteEeh kok jadi marah... Terbawan esmosi. Makasih bunda
Sami2 ibu Engkas
DeleteAlhamdulillah.Maturnuwun Cerbung " MAWAR HITAM 29 " sudah tayang
ReplyDeleteSemoga Bunda dan Pak Tom Widayat selalu sehat wal afiat .Aamiin
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Herry
ππΏππΏππΏππΏ
ReplyDeleteAlhamdulillah ππ
Cerbung eMHa_29
sampun tayang.
Matur nuwun Bu, doaku
semoga Bu Tien selalu
sehat, tetap smangats
berkarya & dlm lindungan
Allah SWT. Aamiin YRA.
Salam aduhai ππ¦
ππΏππΏππΏππΏ
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun jeng Sari
Aduhai
Terima kasih Bunda, cerbung Mawar Hitam 29...sdh tayang.
ReplyDeleteSehat selalu dan tetap semangat nggeh Bunda Tien.
Syafakallah kagem Pakdhe Tom, semoga Allah SWT angkat semua penyakit nya dan pulih lagi seperti sedialakala. Aamiin.
Waduh...waduh Jagat Dewa Bathara...Dewi berhasil di cederai oleh pengendara mobil yang ugal ugalan...seperti nya ini suruhannya Sinah. Sinah pasti tertawa puas...melihat Dewi luka berat dan berdarah darah.
Tunggu tgl main nya ya Sinah, rumah Prodeo siap menampung mu...π₯Ίπ³
Matur nuwun Bu Tien, salam sehat bahagia aduhai dari Yk....
ReplyDeleteSami2 ibu Reni
DeleteAduhai dan sehat dari Solo
Terimakasih bunda Tien
ReplyDeleteSemoga bunda Tien dan pak Tom selalu sehat
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Salamah
Alhamdulillah
ReplyDeleteTerima kasih bunda Tien
Semiga bunda dan pak Tom Widayat sehat walafiat
Salam aduhai hai hai
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Endah
Aduhai hai hai
Terimakasih ibu Tien. Sehat selalu . Aamiin
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Hima
Terimakasih bunda Tien, salam sehat senantiasa sekeluarga.
ReplyDeleteSami2 i u Komariyah
DeleteSalam.sehat juga
Cerita seru...
ReplyDeleteTerimakasih Mbak Tien...
Matur nuwun Ibu Tien, mugi-mugi tansah piraringan sehat. Aamiin YRA.
ReplyDeleteAlhamdulillah,dah tayang episode berikutnya,.....Bu pembaca terbawa arus cerita, banyak yg gregeten PD Sinah yg jahat,....bagus Bu ceritanya menarik,.. maturnuwun Bu Tienπ
ReplyDelete.