CINTAKU JAUH Di PULAU SEBERANG 42
(Tien Kumalasari)
Arum terkejut, sekaligus tersipu. Ia melihat Listyo turun dari mobil dan menghampirinya. Agak malu kalau dia ketahuan sedang menjual barang. Tapi kemudian dipikirkannya, mengapa harus malu kalau memang dia membutuhkan uang?
“Arum, kamu mau membeli sesuatu di toko emas?”
Ya ampun, mau menjual dikira mau beli sesuatu.
“Mas sendiri mau apa kemari?” bukannya menjawab Arum malah ganti bertanya.
“Aku mau mengambil pesanan,” katanya sambil melangkah memasuki toko, dan terpaksa Arum mengikutinya. Sudah ketahuan mau masuk toko, mengapa harus diurungkan?
“Kamu mau beli apa?”
“Beli? Tidak, aku mau … “
Arum membuka tasnya lalu mengambil sesuatu yang dibungkus kain.
“Menjual ini.” lanjutnya, masih dengan paras sungkan.
“Untuk apa?”
“Untuk modal kerja,” akhirnya Arum berterus terang.
“Kerja apa?”
Arum agak kesal. Apa dia tidak tahu kalau dia membutuhkan uang untuk kelanjutan hidupnya dan anak-anaknya?
“Apa saja, berdagang, aku kan butuh hidup.”
“Jangan dijual.”
“Apa?”
“Tunggu aku sebentar di sini,” katanya sambil mengambil bungkusan kain kecil itu lalu di masukkan ke dalam tas Arum yang masih terbuka.
“Tapi Mas ….”
“Tunggu sebentar, setelah ini kita pulang bareng.”
Listyo mengambil selembar kertas diberikannya kepada penjaga toko. Tak lama kemudian penjaga itu menunjukkan sebuah cincin dengan permata yang berkilau.
“Iya, ini pesanan saya.”
Penjaga itu mengangguk. Ia mengambil sebuah kotak perhiasan kecil, lalu memasukkan cincin itu ke dalamnya. Arum menatapnya takjub. Cincin yang indah. Rupanya Listyo mau memberikan cincin itu kepada pacarnya. Ada perasaan aneh di hati Arum yang tidak dimengerti artinya. Ia sadar Listyo sudah menemukan calon istri seperti yang diinginkannya. Mengapa tiba-tiba ada perasaan aneh yang menyelimutinya. Tidak ada rasa senang ketika mendengarnya.
Lalu ia menunggu sampai Listyo selesai, dan dia sungguh-sungguh akan menjual kalungnya. Tapi tiba-tiba Listyo menyentuh lengannya.
“Ayo kita pulang.”
“Tapi … saya akan_”
“Tidak usah, ayo pulang dulu.”
Dengan perasaan tak mengerti, Arum mengikutinya, dan menurut saja ketika Listyo membukakan pintu mobil lalu menyuruhnya masuk.
“Mas, aku akan menjual kalung ini dulu, aku butuh uang untuk modal bekerja,”
“Arum, aku mohon, jangan kamu jual kalung itu. Itu barang bagus. Sayang kalau dijual.”
“Kelihatannya tidak mungkin ya, aku yang miskin ini bisa memiliki barang mahal seperti ini? Apa Mas mencurigai saya mendapatkannya dengan cara yang tidak benar?”
“Bukan begitu, jangan salah paham ….”
“Seseoramg memberiku kalung ini dan sepasang giwang yang tak kalah bagusnya. Mas tahu, si pemberi itu adalah istri bekas suami siriku.”
“Oh ya? Baik sekali dia bisa menaruh belas pada madunya.”
“Karena dia tahu aku tidak mencintai suaminya. Aku melakukannya karena dipaksa. Bukankah aku sudah mengatakan semuanya? Laki-laki yang awalnya aku cintai karena kebaikan hatinya, kemudian aku benci karena sikapnya yang tidak terpuji. Dia punya istri, lalu dia memperkosa aku, memaksa … ah, sudahlah, mengapa aku mengingatnya lagi?”
“Maaf telah membuat kamu mengingat hal yang tidak menyenangkan. Sekarang lupakan semuanya.”
“Biarkan aku turun dulu untuk_”
“Jangan, aku katakan jangan, karena aku ingin kamu mendengar sesuatu dari aku.”
Listyo tiba-tiba mengeluarkan kotak perhiasan kecil yang baru saja diambilnya.
“Ini ….”
“Mas ingin aku mengantarkan Mas untuk memberikan cincin ini kepada calon istri Mas? Tapi aku tidak bisa lama. Aku meninggalkan Sekar dan sebentar lagi saatnya dia minum ASI.”
“Bukan, aku ingin ….”
Listyo membuka kotak itu, dan seberkas sinar memancar dari permata yang menghiasinya. Arum merasa, Listyo ingin minta pendapatnya, apakah cincin itu pantas diberikan kepada calon istrinya.
Tiba-tiba Listyo mengulurkan kotak itu kepadanya.
“Maukah kamu menikah denganku?”
Mata Arum terbelalak. Listyo sedang mengajaknya bercanda? Atau Listyo sedang latihan memberikan cincin dengan mempergunakan dirinya sebagai percobaan?
“Jawab Arum, maukah kamu menikah denganku?”
“Aa … akk …ku?” mata Arum terbelalak semakin lebar.
Listyo mengangguk.
“Aku melamar kamu, Arum.”
Tiba-tiba bumi terasa bergoyang, gemetar tangannya ketika Listyo meletakkan kotak itu dalam genggamannya.
“Arum, jawablah pertanyaanku. Aku sedang melamarmu. Cincin ini untuk kamu.”
“Mela.. melamarku? Mas Listyo sedang apa sebenarnya?”
“Sedang melamar calon istriku.”
“Apakah aku harus mengantarkan mas Listyo untuk melamar calon istri? Maaf, aku harus segera pulang tapi_”
“Arum yang aku lamar itu kamu. Kamu Arum. Aku ingin menjadikan kamu sebagai istriku. Kamu mau menerimanya?” kata Listyo dengan gemas karena Arum tampak seperti orang kebingungan, Listyo tidak mengerti, betapa terkejut dan bingungnya Arum mendapatkan sikap Listyo yang dianggapnya aneh.
“Aak … aku?”
“Arum, aku menyukai kamu sejak awal melihatmu, lalu hari-hari yang aku lewati membuat aku jatuh cinta. Ini beneran, bukan gurauan, bukan canda, juga bukan mimpi. Ini nyata, Arum.”
“Mas Listyo … melam … melamar … aku? Aku ini? Arum? Janda beranak dua? Orang bodoh tidak makan sekolahan?”
“Tapi kamu cantik, kamu sempurna untuk menjadi seorang ibu. Dan tahukah kamu, mengapa aku melarang kamu menjual kalung itu? Karena aku ingin agar kamu tidak mempermasalahkan kebutuhan kamu dan anak-anak kamu, karena setelah kamu menjadi istriku, maka semuanya akan menjadi tanggung jawab aku.”
Masih di dalam mobil yang berhenti, mereka berbincang, Listyo mengucapkan cinta dan Arum kebingungan.
Listyo memahami rasa kaget dan bingungnya Arum. Ia membiarkan Arum diam sejenak untuk memikirkan jawaban apa yang akan dikatakannya kepada dirinya.
“Mengapa? Mengapa mas Listyo melakukan itu? Mas Listyo sadar aku ini siapa? Aku tidak pantas menjadi istri mas Listyo, aku hanya perempuan kampung yang tak berharga. Punya anak dua pula.”
“Kamu sangat berharga bagiku. Kamu perempuan tangguh yang pergi demi menghindari rusaknya sebuah rumah tangga. Sekarang jawablah, maukah menerima lamaranku? Kamu sudah bebas, dan aku akan segera menikahi kamu. Lalu kamu akan menjadi ratu di rumah tanggaku. Aku menyayangi anak-anakmu, aku akan menganggapnya sebagai anak kandung aku sendiri, tak peduli siapa ayah kandung yang sebenarnya.”
“Beri aku waktu untuk berpikir, ini terlalu tiba-tiba. Aku sangat terkejut dan bingung.”
“Baiklah, kenakan dulu cincinnya.”
“Tapi … aku belum menerimanya.”
“Yang penting kamu tidak menolaknya. Sini aku bantu, aku hanya mengira-ira seberapa lingkar jari manismu, kalau tidak pas bisa ditukar,” kata Listyo yang langsung meraih tangan Arum untuk membantu memakaikan cincin itu, tapi Arum menepiskannya.
“Biar aku sendiri saja,” katanya yang mau tak mau langsung mengenakan cincin itu.”
“Pas ya? Syukurlah,” pekik Listyo kegirangan.
Arum menatap jari tangannya, seperti mimpi ketika cincin indah itu menghiasi jarinya. Tak terasa berlinanglah air matanya.
“Ayo kita pulang, aku beri waktu sehari untuk menjawab lamaranku. Besok akan aku ajak kamu jalan-jalan ke Jogya untuk menemui bibiku,” kata Listyo yang langsung menstarter mobilnya menuju pulang.
***
Masih seperti orang linglung ketika Arum memasuki kamar setelah mencuci kaki dan tangannya.
“Anak-anak masih tidur Bu, laku berapa kalungnya?”
Sambil duduk di lantai begitu saja, Arum menggeleng. Si Yu ikut duduk di depannya menatap majikannya tak mengerti.
“Tidak laku? Berarti kalung itu terbuat dari emas palsu? Ya ampuun, tidak menyangka, saya memuji kebaikannya setinggi langit, ternyata barang yang diberikan barang palsu.”
“Bukan begitu, kamu jangan sembarangan bicara. Lihat ini.”
Arum mengangkat tangannya dan sekilas cahaya memancar dari cincin yang dipakainya.
“Ibu malah beli cincin?” teriak si Yu yang kemudian menutup mulutnya sendiri, karena teriakannya bisa membangunkan momongannya.
“Tidak, mana aku punya uang sebanyak itu.”
“Lalu apa? Apa yang terjadi? Mengapa pulang-pulang ibu malah seperti orang kebingungan?”
“Aku ketemu mas Listyo ketika di depan toko emas.”
“Lalu Ibu pulang bersama-sama? Jadi tadi Ibu pulang bareng pak Listyo yang belum lama memasukkan mobilnya ke garasi? Apa kalung itu mau dibeli pak Listyo daripada menjadi milik orang lain?”
Lalu Arum menceritakan tentang pertemuannya dengan Listyo, dan tentang lamaran Listyo kepadanya dengan memberikan cincin indah itu.
“Ya ampuuun, bagus sekali Bu,” lagi-lagi si Yu berteriak.
“Ssssttt….”
“Maaf,” si Yu kembali menampar mulutnya sendiri pelan.
“Aku bingung, ini begitu tiba-tiba.”
“Ibu tidak usah bingung. Ini anugerah buat Ibu. Ibu menemukan laki-laki yang baik, yang bersedia menjadikan Ibu sebagai istri.”
“Aku takut menjalaninya.”
“Mengapa Ibu takut?”
“Kamu kan tahu aku ini siapa dan bagaimana? Aku hanya orang kampung, anakku ada dua. Pada suatu hari nanti kalau dia kemudian menyesal, lalu aku dicampakkan, apa tidak menjadikan diriku lebih sakit lagi?”
“Pak Listyo orangnya baik. Dia pasti bersungguh-sungguh bisa melindungi Ibu dan anak-anak. Kalau ibu mengatakan bahwa Ibu tidak cinta, abaikan saja perasaan itu. Anak-anak butuh perlindungan seorang ayah. Ayah yang baik, bukan seperti pak Adisoma yang sudah punya istri dan sudah setengah tua. Pak Listyo ini bukan hanya baik, tapi dia juga tampan. Saya dukung ibu untuk menerima lamaran itu,” kata si Yu enteng.
Enak saja si Yu bicara. Ini masalah hidupnya. Kalau dia salah melangkah maka kedua orang anaknya akan terkena imbasnya. Tapi mengapa ada rasa senang yang tiba-tiba menyelimuti hatinya?
"Aku sudah tidak waras. Aku bermimpi di siang bolong ..." gumamnya tanpa sadar.
"Bu, ayolah Bu. Memang orang baik akan selalu menemukan keberuntungan. Percayalah pada saya bahwa menerima lamaran pak Listyo adalah pilihan yang tepat," si Yu tak berhenti membujuknya.
Tapi sampai kemudian Sekar terbangun, Arum belum merasa yakin akan memutuskan apa.
***
Pagi hari itu Arum terbangun karena Sekar merengek. Ia bangkit lalu dilihatnya Sekar yang ternyata popoknya basah. Ia mendengar suara kelutak-kelutik di dapur, pertanda bahwa si Yu sudah bangun dan mengerjakan banyak hal di sana. Menjerang air, atau bahkan menanak nasi.
Selesai menggantikan popok Sekar, ia membuka jendela kamar, udara segar menyeruak ke dalam. Tapi udara segar itu bukan sekedar udara pagi. Ada aroma bunga di sana. Arum terkejut, melihat seikat mawar merah muda tergantung di jendela. Arum meraihnya. Aroma harum semakin menyengat, saat dia menciumnya. Ouw, ada tulisan di situ?
SELAMAT PAGI CALON ISTRIKU.
Arum terpana. Ini sungguhan? Seperti kisah cinta dalam dongeng. Ketika ia menatap ke arah rumah, ia melihat Listyo berdiri di depan teras, lalu melambaikan tangannya. Arum tersipu karena saat itu ia sedang mencium mawarnya. Ia segera menenggelamkan diri ke bawah jendela, dan merangkak ke arah Sekar yang merengek. Arum meletakkan mawarnya di meja, lalu tanpa diminta si Yu sudah menyiapkan sebaskom air hangat untuk mandi Sekar.
“Bagus sekali, mbak Sekar sudah bangun. Dimandikan si Yu atau ibu?” tanya si Yu
“Biar aku saja,” kata Arum yang segera melepas baju dan popok Sekar. Si Yu sudah menyiapkan handuk, minyak telon dan talk seperti biasa, juga ganti untuk Sekar.
“Eeh, ada mawar harum sekali, pantesan hidung saya mengendus-endus dari tadi, mencari sumber wangi ini,” teriak si Yu.
Si Yu pergi ke arah jendela, membukanya lebih lebar, karena tadi Arum belum sepenuhnya membuka. Si Yu melihat Listyo masih berdiri di teras, lalu Listyo memalingkan wajahnya ketika melihat si Yu yang berdiri di depan jendela.
“Bunga itu dari pak Listyo ya Bu? Romantis sekali, pagi-pagi sudah mengirim bunga. Ini tanda sebuah cinta sejati,” kata si Yu yang terus nyerocos.
“Siapkan mandi untuk Aryo juga Yu,” kata Arum dengan maksud agar si Yu yang terus menerus mengomentari mawar itu segera keluar dari kamar.
“Ibu sudah menyiapkan jawaban bukan?” tanya si Yu sebelum keluar dari kamar. Arum tak menjawab, kecuali memelototi si Yu yang kemudian menghilang di balik pintu dengan mulut nyengir.
***
Setelah selesai menyusui Sekar, Arum membawa anaknya ke ruang tengah, dan betapa terkejutnya ia ketika melihat Listyo sudah duduk sambil menyetel televisi.
“Mas Listyo?”
“Mengapa televisi tidak pernah dinyalakan?”
“Menghemat listrik,” jawab Arum singkat sambil duduk di sebuah kursi. Sungkan kalau ia kemudian pergi begitu melihat Listyo.
“Suka bunganya?”
Arum tersenyum. Baru kali ini ia merasa berdebar-debar ketika berhadapan dengan Listyo. Tapi kemudian dia mengangguk.
“Sehari waktu yang aku berikan sudah terlewatkan. Apa jawabmu?”
***
besok lagi ya
Alhamdulillah
ReplyDeleteNuwun jeng In
DeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteNuwun mas Kakeh
DeleteMatur suwun bu Tien
ReplyDeleteSami2 pak Indriyanto
DeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteNuwun jeng Ning
DeleteMatur nuwun mbak Tien-ku Cintaku jauh di Pulau Seberang sudah tayang
ReplyDeleteMatur nuwun mbak Tien
ReplyDeleteSalam kangen salam sehat dari Purwodadi Grobogan
Matur nuwun mbak Tien
ReplyDeleteSalam kangen salam sehat dari Purwodadi Grobogan
Sami2 ibu Kharisma
DeleteSalam kangen juga dari Solo
Matur nuwun, Bu Tien
ReplyDeleteSami2 ibu Anik
DeleteTerimakasih bunda Tien
ReplyDeleteSemoga bunda Tien dan pak Tom selalu sehat
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Salamah
Hatur nuhun bunda cerbungnyaπslmt mlm dam dan slm sht sll unk bunda sekeluargaππ₯°❤️πΉ
ReplyDeleteSami2 ibu Farida
DeleteSalam sehat juga
Alhamdulillah CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG~42 telah hadir.
ReplyDeleteMaturnuwun Bu Tien, semoga tetap sehat dan bahagia senantiasa bersama keluarga tercinta.
Aamiin YRA.π€²π€²π€²
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Djodhi
Alhamdulillaah CJDPS- 42 sdh hadir
ReplyDeleteTerima kasih Bunda Tien, semoga sehat dan bahagia selalu.
Aamiin Yaa Robbal' Aalaamiin
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Ting
Matur nuwun Bu Tien, salam sehat bahagia selalu...
ReplyDeleteSami2 ibu Reni
DeleteSalam sehat juga
Alhamdulillah.Maturnuwun Cerbung " Cintaku Jauh di Pulau Seberang 42 " sudah tayang
ReplyDeleteSemoga Bunda dan Pak Tom Widayat selalu sehat wal afiat .Aamiin
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Herry
Alhamdulillah terima masih mbu tien... kerren... part yg mmbuat pembaca ikut senyum²....
ReplyDeleteSemoga senantysa sehat bersama keluarga trcnta...
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Zimi
Alhamdulillah
ReplyDeleteTerima kasih bunda Tien
Semoga sehat walafiat
Salam aduhai hai hai
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Endah
Aduhai hai hai
Alhamdulillah sudsh tayang, semoga Arum menerima lamaran Litio. Terima kasih Bu Tien semoga sehat selalu.
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Yati
Mestinya Arum menjawab: yes.. Oke.. Mau.. Sendiko mase... Dari pada cari kata yang sulit.
ReplyDeleteLha den mas Adi terus bagaimana..
Ayah ibu Listyo juga tidak mendukung, mungkin ada andil den Ayu Saraswati..
Salam sukses mbak Tien yang Aduhai, semoga selalu sehat bersama keluarga, aamiin.
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Latief
Dagdigdug... Gemuruh hati Arum
ReplyDeleteTerima aja Arum... itu jodohmu
Makasih bunda tayangannya makin seru, salam bahagia dan sehat selalu
Sami2 ibu Engkas
DeleteSalam bahagia juga
Alhamdulillah,Arum bahagia bersama Listyo, Dewi bersama Satria, semoga Saraswati kembali dng Adisoma, akhir cerita yg bahagia,....
ReplyDeleteWah hmpir tamat ya Bu Tien,...Sehat dan bahagia selalu bersama Kel tercinta.Salam dari kota pensiunan( kota Pati)
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Tatik.
Oo.. Pati? Kok kota pensiunan tuh gimana?
Apakah Arum menerima lamaran Listyo? Penasaran tunggu besok... Terimakasih bunda Tien, sehat selalu bersama keluarga tercinta.... Aduhaaiii....
ReplyDeleteSami2 ibu Komariyah
DeleteAduhai
Alhamdulilah matirnuwun bu Tien, semoga bu Tien dan bapak serta amancu selalu sehat dan bahagia.... salam aduhai aduhai bundaku sayang
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Sri
Aduhai 2x
ππππππππ
ReplyDeleteAlhamdulillah ππ
Cerbung CJDPS_42
sampun tayang.
Matur nuwun Bu, doaku
semoga Bu Tien & kelg
selalu sehat, tetap
smangats berkarya &
dlm lindungan Allah SWT.
Aamiin.Salam aduhai ππ¦
ππππππππ
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun jeng Sari
Aduhai
Luar biasa...
ReplyDeleteTerimakasih Mbak Tien...
Sami2 Mas MERa
DeleteAlhamdulillaah, luar biasa
ReplyDeleteListyo melamar Arum...
Matur nuwun Bu Tien, salam sehat wal'afiat semua ya ππ€π₯°ππΏπΈ
Alhamdulillah, matursuwun Bu Tien
ReplyDelete