CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG 43
(Tien Kumalasari)
Arum terdiam. Ia tidak lupa pada waktu yang dijanjikan Listyo, tapi sungguh dia belum merasa yakin akan jawaban yang sebaiknya dikatakan. Setuju menerima, ataukah menolak? Tapi cincin yang sudah dipakainya ini? Ia ingin melepasnya dan mengembalikannya saja, tapi bagaimana kalau Listyo sakit hati? Bukankah dia sudah menanam kebaikan yang berlimpah ruah dengan memberikannya tempat berlindung sehingga dia dan anak-anaknya tidak kehujanan ketika hujan, tidak kepanasan ketika panas menyengat, tidak kedinginan saat malam gelap dan kelam.
Haruskah ia menyakitinya atau mengecewakannya? Tapi ini adalah hidupnya, dan apa yang akan dilakukannya adalah pertaruhan antara hidup nyaman ataukah menderita. Nyaman karena Listyo hidup mapan dan berkecukupan, tapi bagaimana kalau pada suatu hari nanti Listyo menyesal? Arum hanya perempuan dusun yang tidak berpendidikan tinggi. Ia yatim piatu. Ia juga janda dan punya anak dua. Adalah anugerah kalau Listyo bisa menerima segala kekurangannya. Bagaimana kalau tidak?
Arum menundukkan kepalanya. Ditatapnya sang anak yang terlelap di pangkuannya, seakan mencari jawab seandainya si bayi bisa berkata-kata.
“Arum, apakah aku mempunyai kekurangan untuk seorang suami yang kamu inginkan?”
Arum mengangkat wajahnya. Ditatapnya Listyo lekat-lekat. Kekurangan? Listyo begitu sempurna baginya. Ia tampan, ia mapan, ia baik, ia bahkan berjanji akan bertanggung jawab atas semua kebutuhan atas dirinya dan kedua anaknya.
“Bukan.”
“Lalu apa yang membuat kamu ragu?”
“Saya sangat takut.”
“Apa yang membuat kamu takut? Kamu tidak akan kekurangan.”
“Bukan itu. Saya mengerti dan saya yakin bahwa harta dan kemuliaan bukan ukuran untuk kebahagiaan seseorang. Saya tidak tergiur oleh kekayaan. Saya hanya ingin hidup nyaman.”
“Apa kamu merasa tidak nyaman seandainya menjadi istri aku?”
“Apakah mas Listyo sudah benar-benar yakin pada pilihan Mas? Mas Listyo tidak lupa kan, saya ini siapa? Perempuan kampung yang tak berkasta, janda, beranak dua. Apa yang membuat mas Listyo begitu yakin akan memperistri saya?”
“Berbulan-bulan aku meyakinkan diriku. Dan inilah jawabannya, inilah keyakinan itu, yaitu memperistri kamu. Aku tidak pernah jatuh cinta sampai segila ini. Ada pesona yang kamu miliki dan tidak pernah aku temukan pada perempuan lain.”
“Mas Listyo yakin?”
“Seyakin-yakinnya, dan aku sadar apa yang akan aku lakukan. Katakan saja kalau kamu tidak menyukai aku dan menolak aku. Aku tidak akan memaksamu. Sungguh. Karenanya jawablah sekarang juga.”
“Mas Listyo tidak akan kecewa, pada suatu hari nanti?”
“Aku janji, akan selalu melindungi kamu dan anak-anak kamu. Apakah aku harus bersumpah?”
Akhirnya Arum memang tidak bisa ingkar. Sesungguhnya dia juga menyukai Listyo. Siapa yang akan menolak kalau dilamar seorang baik seperti Listyo? Arum hanya merasa tidak pantas, dan ia takut untuk bermimpi tentang langit dan segala isinya. Berharap rembulan akan jatuh ke pangkuannya. Tapi sekarang laki-laki baik itu melamarnya dan sedang menunggu jawabannya setelah memberinya keyakinan tentang hidup nyaman yang akan diberikannya.
“Arum … ,” tak sabar Listyo lagi-lagi menyebut namanya.
“Baiklah …,” jawabnya lirih.
“Apa nya yang baiklah?”
“Aku terima.”
“Terima kasih Arum,” Listyo merosot turun dari kursi yang didudukinya, lalu bersimpuh di hadapan Arum, membuat Arum sangat terkejut.
“Jangan … jangan begini, berdirilah.”
“Paaap…papappaaa …” sebuah teriakan kecil membuyarkan suasana romantis yang hampir tercipta, ketika langkah-langkah kecil Aryo mendekat lalu merangkul Listyo yang kemudian terpaksa berdiri sambil mengangkat tubuh kecil Aryo tinggi-tinggi.
Aryo menjerit-jerit senang.
“Papappppaaaap ….”
Arum mengusap air matanya. Apakah ini adalah pertanda bahwa deritanya akan segera berakhir?
“Anak papa … anak papa …”
“Papapppaaaa … papapaaa…”
***
Si Yu sedang memasak sambil bibirnya menyenandungkan sebuah tembang. Ia sedang gembira. Dengan konyolnya ketika ia akan menghidangkan teh hangat kesukaan Listyo, ia mendengar sebuah pembicaraan yang sangat manis. Seperti yang diharapkan si Yu sejak kemarin.
Ia sedang membuat nasi goreng. Aryo kecil suka nasi goreng yang sama sekali tidak pedas. Sebuah bumbu yang biasa untuk nasi goreng, dengan sebuah cabe merah yang dihilangkan bijinya, cukup, dengan telur yang diorak-arik.
“Gundul-gundul pacul cul, gembelengan, nyunggi-nyunggi wakul kul, gembelengan, wakul ngglimpang segane dadi sak ratan …….”
“Yu, kamu itu sedang apa?”
“Eh, Ibu. Ini, sedang bikin nasi goreng kesukaan mas Aryo. Kalau Ibu mau, saya buatkan lagi, tapi dengan kepedasan yang berbeda.”
“Baiklah, aku mau.”
“Aku juga mauuu,” tiba-tiba Listyo ikut melongok ke dapur sambil menggendong Aryo.
Si Yu terkekeh sambil mengangguk-angguk.
“Baiklah, baiklah … harap sabar, baru mau menyelesaikan pesanan pertama dulu,” candanya sambil melanjutkan nembang.”
Arum menidurkan si kecil di kamar, lalu menemani Listyo duduk di meja makan, menunggu pesanan dihidangkan.
***
Dewi sedang ada di kampus, beristirahat setelah kelas pagi usai. Ia duduk di bawah sebuah pohon beringin yang rindang, sambil mengipas-ngipas tubuhnya dengan buku yang dibawa untuk dibaca.
“Gerah ya?” tiba-tiba Satria muncul.
“Satria, kamu tidak ada kelas?”
“Harusnya pak Listyo, tapi dia absen, katanya ada urusan penting di Solo,” katanya sambil ikut duduk di samping Dewi.
“Paling-paling sedang dimarahi orang tuanya.”
“Memangnya ada apa?”
“Pilihan yang tidak cocok. Membuat ayah dan ibundanya marah-marah.”
“Pilihan apa tuh?”
“Pilihan istri, pilihan apa lagi?”
Satria tertawa.
“Kelihatannya pak Listyo memang sudah memilih.”
“Dia selalu bercerita apapun tentang dirinya kepadamu?”
“Banyak, mungkin tidak semua, tapi banyak. Termasuk … tentang ketika dia ditinggal pergi gadis yang dilamarnya saat acara lamaran itu akan berlangsung…,” ledek Satria.
Dewi memukul punggung Satria dengan buku yang dipegangnya, membuat Satria terbahak-bahak.
“Kamu mengejek aku ya.”
“Tapi aku senang, kamu pergi karena aku kan?”
“Hm, kepedean ….”
”Benar nggak sih? Hayo … benar kan?”
“Bisa-bisanya hal seperti itu diceritakan ke orang lain,” gerutu Dewi.
“Aku bukan orang lain baginya. Benar, dia dosen aku, tapi dia juga sahabat aku. Kalau tidak, begitu tahu bahwa akulah yang membuat kamu kabur darinya, bisa dihajar aku habis-habisan. Atau bahkan aku tidak akan bisa lulus selamanya.”
“Sesungguhnya dia itu baik.”
“Sekarang kamu bilang dia baik.”
“Tapi kan aku tidak cinta sama dia. Dia itu sukanya mengganggu.”
“Tapi dia itu cinta mati sama kamu lhoh. Buktinya, setelah hal menyedihkan itu terjadi, dia tidak pernah dekat dengan wanita manapun. Mahasiswanya cantik-cantik, yang berusaha mendekati dia juga banyak, tapi tidak satupun menarik baginya.”
“Rupanya sekarang dia benar-benar jatuh cinta dengan seorang janda dengan dua orang anaknya. Pasti wanita itu sangat istimewa.”
“Sangat cantik, barangkali.”
“Dan pasti pintar menggoda. Buktinya mas Listyo benar-benar tergoda, sampai berani menentang kedua orang tuanya. Entahlah dia seperti apa, dia sudah berjanji pada ibundaku, bahwa pada suatu hari akan mengajaknya ke rumah.”
“Kelihatannya ibunda kamu sangat mendukung, walau orang tua pak Listyo menentang.”
“Ibundaku belum bisa menilai seperti apa wanita itu, tapi yang jelas tidak akan menentangnya karena belum tentu pilihan mas Listyo itu salah. Wanita baik itu kan belum tentu dia keturunan orang yang berderajat, atau sebangsanya. Biarpun janda, bahkan sudah punya anak sekalipun bisa jadi dia punya sesuatu yang menarik. Entahlah. Kita lihat saja nanti.”
“Pak Listyo bukan orang yang bodoh. Tak mungkin dia memilih sembarangan.”
“Semoga. Aku juga ingin dia bahagia. Merasa berdosa aku kalau sampai dia tak segera menemukan jodohnya.”
“Kita sibuk membicarakan pak Listyo dan pilihannya, tapi aku sendiri kan masih ragu-ragu. Mengingat bahwa aku bukan siapa-siapa, apakah nanti orang tua kamu juga akan bisa menerima aku?”
“Baru ibundaku yang mengetahui, tapi beliau tidak menolak.”
“Berarti bisa menerima?”
“Tidak juga.”
“Waduh,” Satria menggaruk-garuk kepalanya.
“Ibu selalu mengingatkan bahwa aku harus mencapai cita-citaku dulu. Bukankah soal jodoh itu ditangan Yang Maha Kuasa?”
“Memang itu bukan penolakan, tapi juga bukan sepenuhnya menerima.”
“Kamu tidak usah khawatir, yang menjalani itu aku, bukan ibundaku, juga bukan ayahandaku.”
“Berarti kalau mereka menolak maka kamu akan berpegang pada apa yang ada di dalam hatimu?”
“Tentu saja.”
“Terima kasih, Dewi.”
Kebetulan jam kepulangan mereka bersamaan, dan Satria juga sedang tidak ada pekerjaan di siang hari itu, sehingga Satria bisa mengantarkan Dewi pulang. Sejauh ini Satria belum pernah menemui Saraswati yang adalah ibunda kekasih hatinya. Dewi selalu turun di jalan kalau kebetulan bisa pulang bersama. Tapi kali itu ketika Dewi turun di depan pagar rumah, Saraswati sedang berdiri di pendopo, ditemani mbok Manis. Jadi karena merasa tidak enak maka Satria ikut turun dan menemuinya.
“Selamat siang, Ibu.”
“Kamu kan Satria, mahasiswanya Listyo yang dulu pernah kemari?”
“Benar, Ibu,” kata Satria sambil mencium tangan Saraswati.
“Kamu menjadi teman kuliah Dewi?”
“Tidak Bu, Dewi dua tingkat di bawah saya.”
“O, iya, aku ingat, Dewi mengatakan ketika mendaftar, kamu juga membantunya kan?”
“Hanya membantu ala kadarnya, semuanya karena Dewi memang memenuhi syarat untuk diterima.”
“Masuklah dulu.”
“Terima kasih Bu, saya masih ada pekerjaan.”
“Baiklah, mampirlah lain kali kalau senggang.”
Satria berpamit dengan perasaan lega. Ibunda Dewi sangat ramah, seperti saat pertama kali mereka bertemu.
Ketika menuntun sepeda motornya keluar dari halaman, mbok Manis mengikutinya, dengan alasan akan menutupkan pintu regol kalau tamunya sudah pulang. Tapi sesungguhnya ia ingin berbicara dengan Satria, yang diyakininya bahwa dialah yang fotonya pernah ditunjukkan Sinah kepadanya.
“Mas kenal dengan anak saya?” tanya mbok Manis.
“Anak Ibu siapa ya?”
“Jangan ibu, simbok saja, saya ini hanya abdi.”
“Tidak apa-apa Bu, ibu sama simbok itu kan sama, tidak ada bedanya.”
“Anak saya namanya Sinah.”
Satria sedikit terkejut.
“Sinah ya? Dia pernah lama tinggal di rumah orang tua saya.”
“Iya benar, tapi sekarang saya sudah menyuruh dia pulang. Tidak pantas seorang gadis tinggal di rumah keluarga laki-laki yang bukan siapa-siapanya.”
“Dia membantu ibu saya. Ibu saya yang suka, karena pekerjaannya jadi ringan.”
Mbok Manis mengangguk.
“Mohon dimaafkan ya Mas, pasti Sinah sangat mengganggu di rumah itu.”
“Saya jarang pulang, jadi ya jarang ketemu dia.”
“Baiklah, sekali lagi saya minta maaf, barangkali ada kelakuan Sinah yang tidak pantas.”
“Tidak apa-apa Bu, saya kan sudah bilang kalau saya tidak banyak mengenal Sinah setelah dia tinggal di rumah orang tua saya. Dulu teman sekolah, karena dia menemani Dewi. Ya sudah Bu, saya permisi dulu.”
Mbok Manis menutup regol lalu kembali ke teras, dimana Saraswati masih berdiri di sana. Diam-diam mbok Manis memarahi Sinah yang tidak tahu diri karena tergila gila kepada laki-laki seperti Satria, yang bahkan kelihatannya sangat dekat dengan sang bendoro.
***
Hari itu Listyo mengajak Arum dan anak-anaknya berjalan-jalan ke Jogya, sekalian dia bekerja mengajar di siang harinya. Listyo bermaksud menitipkan Arum dan anak-anaknya di rumah sang bibi.
Begitu memasuki halaman rumah Saraswati, Arum berdebar. Rumah itu bangunan kuno yang tidak seperti rumah orang biasa. Arum teringat akan rumah Adisoma yang hanya sedikit lebih luas, tapi pelataran dan bangunannya hampir senada. Banyak pohon tanjung di pelataran depan, yang bunga putihnya menyebar, dan menyeruakkan aroma harum segar.
“Ini rumah bibiku,” kata Listyo sambil menghentikan mobilnya.
“Ini rumah keluarga ningrat.”
“Memangnya kenapa kalau keluarga ningrat? Bibiku tinggal di sini, jangan takut, dia sangat baik.”
Begitu turun dari mobil, Arum yang menggendong Sekar mengikuti Listyo masuk ke pendopo dengan hati berdebar. Aryo diam dalam gendongan Listyo, ia tampak nyaman.
Begitu masuk, Saraswati yang mendengar suara mobil segera keluar. Ia sangat terkejut melihat Listyo dan …
“Bwwuuu… Bwuuu…”
Aryo merosot turun dan berlari ke arah Saraswati yang belum hilang rasa terkejutnya karena dia juga melihat Arum.
***
Besok lagi ya.
Matur suwun bux Tien
ReplyDeleteAlhamdulillah....
ReplyDeleteCeJeDePeeS_43 sudah hadir.....
Bagaimana keberanian Listyo melanjutkan rencana menikah dengan Arum.....
Yuk, kita simak bareng²....
Semoga bu Tien sehat selalu dan selalu sehat. Aamiin....
Tetap ADUHAI
Alhamdulilah tayang gasik bun, maturnuwun . Semoga bu Tien dan Pak Tom serta amancu sll sehat wal afiat aamiin yra... salam aduhai aduhai bun
ReplyDeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDeleteTerima kasih Bunda Tien Kumalasari
ReplyDeleteMatur nuwun mbak Tien-ku Cintaku jauh di Pulau Seberang sudah tayang
ReplyDeleteπ₯π π₯π π₯π π₯π
ReplyDeleteAlhamdulillah ππ¦
Cerbung CJDPS_43
telah hadir.
Matur nuwun sanget.
Semoga Bu Tien & kelg
sehat terus, banyak berkah
& dlm lindungan Allah SWT.
Aamiinπ€². Salam serojaπ
π₯π π₯π π₯π π₯π
Alhamdulillah.... matur nuwun bunda Tien, sehat2 selalu
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Wiwik
Alhamdulillah CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG~43 sudah hadir.
ReplyDeleteMaturnuwun Bu Tien.. semoga tetap sehat dan bahagia senantiasa bersama keluarga tercinta.
Aamiin YRA π€²
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Djodhi
Alhamdulillah
ReplyDeleteTerima kasih bunda Tien
Semoga sehat walafiat
Salam aduhai hai hai
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Endah
Aduhai hai hai
Alhamdulillah, salam sehat dan bahagia selalu Bu Tien
ReplyDeleteSalam sehat juga ibu Umi
DeleteTerimakasih bunda Tien
ReplyDeleteSemoga bunda Tien dan pak Tom selalu sehat
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Salamah
Matur nuwun Bu Tien....ceritanya semakin aduhai-aduhai.....
ReplyDeleteSami2 ibu Reni
DeleteAduhai aduhai
Terima kasih Bunda, cerbung Cintaku Jauh Di Pulau Seberang 43...sdh tayang.
ReplyDeleteSehat selalu dan tetap semangat nggeh Bunda Tien.
Syafakallah kagem Pakdhe Tom, semoga Allah SWT angkat semua penyakit nya dan pulih lagi seperti sedialakala. Aamiin
Saraswati terkejut, Arum kaget, jebulane janda beranak dua tsb bocahe dewe ta, bukan orang lain ππ
Semoga Saraswati merestui Listyo menikah dengan Arum
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Munthoni
Alhamdulillah.Maturnuwun Cerbung " Cintaku Jauh di Pulau Seberang 43 " sudah tayang
ReplyDeleteSemoga Bunda dan Pak Tom Widayat selalu sehat wal afiat .Aamiin
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Herry
Alhamdulillah.... terima kasih Bu Tien, semoga sehat selalu.
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Yati
Terimakasih bunda Tien, salam sehat selalu bersama keluarga tercinta, selamat berlibur.... Aduhaaii....
ReplyDeleteSami2 ibu Komariyah
DeleteAduhaiii
Alhamdulillah, sesuai harapan para pembaca yg setia, tokoh2nya berbahagia, semoga tokoh yg lain berbahagia, Terima kasih Bu Tien, tetap sehat bahagia, tetap berkarya menulis yg indah untuk para penggemar cerbung...ππ
ReplyDeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDeleteBetul-betul menarik...
ReplyDeleteApakah Arum akan balik kanan setelah menyadari bahwa Saraswati adalah bibi Listyo?...
Terimakasih Mbak Tien...
Alhamdulillaah, senang nya lamaran diterima,, selanjutnya apakah semulus itukah ...
ReplyDeleteMatur nuwun Bu Tien, salam sehat wal'afiat semua ya ππ€π₯°ππΏπΈ
Alhamdulillaah CJDPS-42 sdh hadir
ReplyDeleteTerima kasih Bunda Tien, semoga sehat dan bshagia selalu.
Aamiin Yaa Robbal' Aalaamiinπ€²