Thursday, March 20, 2025

ADA MAKNA 15

 ADA MAKNA  15

(Tien Kumalasari)

 

Emmi tertegun. Ia belum pernah melihat orang dengan kelakuan yang benar-benar menyebalkan dan tidak tahu malu seperti orang yang ada di depannya ini. Sudah sejak tadi kehadirannya diacuhkan oleh ayahnya, bukannya dia diam karena malu, tapi malah terus nyerocos dan seakan apa yang dilakukannya adalah benar.

Sejak tadi ingin sekali dia menutup mulutnya atau membungkamnya dengan lakban atau entah apa, asalkan mulut itu tak lagi bisa mengeluarkan suara yang sangat memuakkan.

“Ayo, katanya mau minum, bisakah minum sambil tiduran?” Wanda mengacungkan gelasnya di depan hidung Guntur. Emmi gemas sekali. Ia kemudian meraih sedotan, lalu berusaha minta gelas minum itu dari tangan Wanda. Tapi bukannya mengalah dan memberikan gelasnya, ia justru meraih sedotan itu, kemudian dimasukkan ke dalam gelas.

“Biar aku saja, aku sudah biasa melayaninya.”

Guntur menggelengkan kepalanya.

“Biar Emmi saja,” katanya.

Wanda menatap Emmi dengan tatapan sengit. Ia mengulurkan gelasnya dengan kasar, dan itu membuat sebagian air yang ada di dalamnya tumpah, membasahi baju Guntur.

“Gimana kamu ini? Menerima gelas saja tidak bisa,” katanya agak keras tanpa menyadari bahwa itu adalah kesalahannya, bukan kesalahan Emmi. Emmi mendiamkannya. Tak perlu berdebat dengan orang yang tak tahu malu ini.

Guntur mengibas-ngibaskan tangannya pada bajunya yang basah.

“Bapak minum dulu, nanti Emmi keringkan dengan tissue. Atau Emmi panggilkan perawat agar menggantikan baju Bapak.”

Guntur mengangguk, lalu meneguk minumannya dengan sedotan.

Emmi meletakkan gelasnya, dan tiba-tiba saja Wanda sudah mengambil tissue yang kemudian diusap-usapkannya pada baju Guntur yang basah.

“Hanya sedikit, tidak usah memanggil perawat,” katanya setelah berkali-kali meraih tissue dan mengeringkan baju bekas suaminya.

“Aku dulu berpisah dengan baik-baik. Bukan karena sebuah permusuhan,” katanya sambil duduk. Tak ada yang menanggapi perkataannya.

“Kami saling mencintai, karena itu kemudian lahirlah Reihan,” ocehannya belum berhenti. Emmi ingin meninggalkannya untuk duduk di sofa saja, karena merasa tak mungkin mengusirnya, ketika tiba-tiba sang ayah membuka mulutnya dan berkata ‘tidak’.

“Apa katamu?”

“Aku tidak pernah mencintai kamu,” kata Guntur pelan.

“Apa? Tidak mencintai dan kemudian aku hamil lalu melahirkan Reihan?” sentak Wanda yang merasa sakit hati.

“Itu sebuah kecelakaan.”

“Guntur, kamu tidak bisa mengingkari kejadian itu. Kamu lupa, betapa manisnya hubungan kita di waktu itu.”

Emmi benar-benar merasa muak.

“Bu, tolong berhentilah bicara, dokter melarang bapak banyak berinteraksi dengan suasana yang tidak menyenangkan,” katanya kesal.

“Kamu bicara apa? Sungguh tidak sopan mengatai orang tua dengan ucapan seperti itu. Apa ibumu tidak pernah mengajari kamu berlaku manis dan santun kepada orang yang baru saja kamu kenal?”

“Jangan membawa-bawa ibuku. Ibuku adalah wanita terhormat yang memberi banyak ajaran kebaikan kepada anak-anaknya. Ibulah yang tidak sopan, dan sekarang saya persilakan Ibu keluar.”

“Kurangajar benar anak kamu ini Guntur. Bukankah kita sedang menunggu kedatangan anak kita? Mengapa dia bisa mengatakan ucapan kasar dan tidak tahu aturan. Katakan bahwa aku adalah ibu dari anakmu. Kalaupun kita tidak bisa hidup bersama lagi, tapi ikatan itu akan tetap ada kan?”

Guntur tak menjawab. Ia juga memalingkan wajahnya. Tapi Wanda yang berharap akan mendapatkan sikap baik dari Guntur setelah Reihan datang, tetap merasa bahwa apa yang diucapkannya adalah benar.

Emmi heran. Apakah wanita di depannya itu tidak berpendidikan? Ia hampir mengusirnya atau meminta agar petugas rumah sakit yang melakukannya, ketika tiba-tiba Wahyu masuk ke ruangan dengan mendorong sebuah kursi roda. Ada anak muda duduk di atas kursi itu.

“Nah, ini dia Reihan, Guntur. Lihatlah, bayi yang kamu tinggalkan sejak dia dilahirkan, sekarang sudah menjadi anak muda yang tampan,” katanya sambil menarik kursi roda itu agar mendekat.

“Rei, ini ayahmu yang sudah lama kamu rindukan. Panggil dia, Nak.”

Reihan menatap laki-laki setengah tua dan tampak ringkih itu dengan tatapan iba.

“Apakah Bapak adalah ayahku?”

Guntur menoleh ke arah Reihan, yang sebelah tangannya dibebat, dan sebelahnya lagi meraih tangannya. Ia sudah mendengar pertanyaan serupa, yang diucapkan Emmi ketika pertama kali menemuinya. Kali ini anak muda bernama Reihan itu juga mengucapkannya. Guntur menatapnya tak berkedip. Ia ingat, sebelum ia menceraikan Wanda, ia memberi nama kepada bayi yang baru lahir itu Reihan.

“Kamu Reihan?”

“Iya, Guntur. Ini Reihan. Kamu tidak menyangka kalau dia kemudian tumbuh menjadi laki-laki muda yang ganteng? Kamu pasti bahagia,” kembali Wanda nyosor lagi. Reihan tak sempat menjawab karena sang ibu mendominasi pembicaraan.

“Kamu Reihan?” seakan tak peduli pada jawaban Wanda, ia mengucapkan pertanyaan yang sama.

“Saya Reihan. Apakah Bapak adalah ayahku?” Reihan mengulang lagi pertanyaannya, walaupun dia yakin bahwa Guntur adalah ayahnya.

“Kamu anakku. Bapak tidak lupa,” Guntur meraih kepala Reihan dan dielusnya. Betapapun kesalnya pada Wanda, Reihan adalah darah dagingnya.

Lalu Guntur menoleh ke arah Emmi.

“Emmi, ini juga adikmu.”

“Dengar itu, Reihan juga anak ayahmu,” lagi-lagi Wanda nyerocos.

“Panggil dia kakak. Namanya Emmi.”

“Mbak Emmi,”  panggilnya.

Melihat mata Reihan yang bening dan polos, Emmi merasa bahwa Reihan anak yang baik. Ia mendekat dan merangkulnya.

“Hati-hati, tangannya sakit,” kata Wanda lagi. Emmi langsung membalikkan tubuhnya, menjauh.

“Reihan harus segera kembali ke kamarnya, tadi perawat berpesan begitu,” kata Wahyu.

“Lain kali hati-hati,” pesan Guntur, lalu memberi isyarat agar Wahyu membawanya pergi.

Wanda ingin tinggal, tapi Wahyu mengajaknya pergi.

“Ada urusan administrasi yang harus diselesaikan,” bisiknya kepada sang ibu.

Begitu lega rasa hati Emmi ketika mereka sudah keluar. Tapi Emmi tetap terkesan baik dengan sikap Reihan, yang kelihatan santun. Tatapannya kepada sang ayah juga tatapan tulus dan justru tampak iba. Emmi berharap, darah buruk ibunya tidak mengalir pada tubuh Reihan yang darah daging ayahnya. Entah mengapa dia suka, atau barangkali karena ada ikatan darah diantara keduanya, maka perasaan itu ada.

“Emmi,” suara lirih ayahnya membuat Emmi kemudian kembali mendekat.

“Reihan adalah anak bapak.”

“Iya.”

“Kamu sudah tahu betapa besar dosa bapak bukan? Reihan adalah benih tanpa dosa, kamu jangan membencinya. Dia terlahir karena bapak tak tahan godaan, jadi dia tidak berdosa. Kamu tidak membencinya, bukan?”

“Tentu saja tidak, Bapak tidak usah memikirkan apapun. Istirahat sajalah.”

“Ini semua adalah gambaran kehidupan bapak yang penuh dosa.”

‘Sudahlah Pak. Istirahat ya.”

“Karena tak tahan godaan, bapak meninggalkan kalian,” Guntur terus saja bergumam. Sementara itu Emmi sudah bisa sedikit mengupas masa lalu kedua orang tuanya. Kisah rumitnya nyaris terurai.

Sang ayah tergoda rayuan Wanda, sehingga lahirlah Reihan. Tapi menurut yang dia dengar tadi, ayahnya tidak mencintai Wanda. Mungkin karena masih mencintai ibunya, entahlah, lalu sang ayah mengalami kehidupan yang sengsara karena kehilangan cinta. Apalagi setelah sang ibu menikah lagi dengan sahabatnya. Ada sesal, karena masih ada cinta yang tersisa. Sangat miris, ketika kemudian sang ayah memilih hidup sendiri, di sebuah kota kecil, memeluk sepi di hari-harinya.

 “Bapak tidur ya, kejadian hari ini sangat melelahkan.”

“Mengapa kamu masih ada di sini?”

“Emmi ingin menunggui Bapak.”

“Mereka sudah pulang?”

“Pulang, karena besok bapak Ardi harus bekerja, Emma dan Nuri harus sekolah.”

“Mengapa kamu memilih tinggal? Bapak tidak apa-apa.”

“Emmi ingin melayani dan menemani Bapak, supaya Bapak tidak kesepian, dan cepat sembuh.”

“Bukankah kamu harus kuliah?”

“Emmi bisa belajar dari jauh. Bapak tidak usah khawatir. Sekarang Bapak harus istirahat.”

“Kamu kan tidak membawa bekal baju? Tak mungkin kamu tahu bahwa akhirnya akan menginap.”

“Emmi sudah membeli beberapa baju di dekat pasar. Tadi ketika Bapak tidur.”
Guntur mengangguk, kemudian memejamkan mata.

***

Setelah sang ayah tidur, Emmi menemui kepala perawat. Ia berbicara tentang kemungkinan adanya tamu yang mengganggu. Bagaimana kalau di luar pintu dituliskan dilarang bezoek atau apa, agar sang ayah merasa tenang.

“Baiklah, saya mengerti. Nanti saya akan bicara dengan dokter. Karena sesungguhnya dokter Guntur juga harus tenang.”

“Terima kasih, suster.”

Tapi ketika Emmi akan kembali ke ruang ayahnya, dilihatnya Wahyu setengah berlari menghampirinya.

“Emmi, tunggu sebentar, aku mau bicara.”

“Tidak bisa Mas, aku harus menemani bapak.”

“Hanya sebentar.”

Karena Wahyu memaksa, Emmi terpaksa menurutinya. Kebetulan juga karena Emmi ingin mempertegas bahwa dia tak ingin lagi berhubungan dengan dia.

Tapi Emmi mengajaknya duduk menjauh dari ruang ayahnya.

“Katakan saja, aku tak bisa meninggalkan bapak terlalu lama.”

“Emmi, aku sangat prihatin mengetahui bahwa ayahmu sakit yang agak parah.”

“Terima kasih.”

“Kebetulan kita bertemu di sini. Mengapa kamu memblokir nomor kontakku?”

“Maaf, aku hanya tidak ingin diganggu.”

“Tapi mengapa?”

“Bukankah Mas sudah punya calon?”

“Tidak, bagaimana kamu bisa mengatakan itu?”

“Ibumu yang mengatakan, waktu aku bertemu di makam ayahmu.”

“Itu tidak benar. Kami hanya berteman. Dia dulu pernah sekampus, tapi dia lulus lebih dulu. Jadi kami berteman baik.”

“Tidak apa-apa seandainya lebih dari teman baik. Aku hanya ingin membatasi diriku agar tidak terganggu dengan hal-hal lain, karena aku sedang fokus pada kuliah aku.”

“Emmi, dengar, sebenarnya aku menyukai kamu, terlepas dari bagaimana kelakuan ibu kamu.”

Emmi mengerutkan keningnya. Perkataan ‘kelakuan ibu kamu’ adalah sebuah gambaran tentang sesuatu yang tidak baik. Apa yang dipikirkan lelaki menyebalkan ini tentang ibunya? Kelakuan yang bagaimana?

“Sungguh Emmi. Aku_”

”Tunggu. Apa maksudmu dengan mengatakan tentang kelakuan ibuku?” kata Emmi dengan mata memancarkan rasa tidak suka, kalau tidak bisa dikatakan marah. Emmi belum terlalu marah karena Wahyu harus menjelaskan apa yang dikatakannya terlebih dulu.

“Maaf Emmi. Bukankah ibumu yang membuat ibuku bercerai dengan suaminya?”

Sekarang wajah Emmi menjadi merah padam. Kemarahan itu sudah tampak pada matanya yang seperti menyemburkan api.

“Apa kamu bermimpi? Atau kamu pernah mendengar sebuah dongeng yang diceritakan oleh seorang nenek sihir?” kata Emmi berapi-api karena dia sudah menduga bahwa Wahyu pasti sudah mendengar cerita bohong dari Wanda.

Baru saja ayahnya yang terbaring sakit mengatakan bahwa dia meninggalkan dirinya dan tentu saja juga ibunya, ketika tergoda perempuan lain. Itu Wanda bukan? Jadi bukan ibunya yang merusak hubungan Wanda dan ayahnya. Ayahnya juga mengatakan kalau tidak mencintai Wanda. Adanya Reihan adalah sebuah kecelakaan.

“Emmi, aku minta maaf, tapi apapun yang terjadi, aku tetap akan mencintai kamu.”

“Tidak.” kata Emmi tandas.

“Dengar. Apakah kamu yang seorang mahasiswa dan pastinya bisa berpikir lebih jernih bisa mengerti? Aku putri ayahku, ayah Guntur. Berapa umurku? Aku sudah kuliah dan umurku duapuluhan tahun. Lalu berapa umur Reihan yang katanya juga putra ayah Guntur? Jadi lebih dulu mana ayah Guntur memiliki istri, ibuku atau ibumu? Bagaimana kamu bisa  berpikir bahwa ibuku yang membuat ayahmu bercerai? Apakah tidak sebaliknya ibumu yang menggoda ayah Guntur sehingga mampu meninggalkan istri dan dua anaknya yang masih kecil?”

Wahyu terpaku di tempat duduknya.

“Kalau saja kamu mendengar penyesalan demi penyesalan yang dilontarkan ayahku … “

Emmi mengusap air matanya yang menitik.

Pikiran Wahyu mulai bekerja. Tampaknya memang apa yang dikatakan ibunya itu tidak masuk akal. Baru sekarang dia memikirkannya. Sang ibu mengatakan kebalikannya. Tadi dia juga melihat sikap Guntur yang dingin terhadap ibunya. Tapi Guntur tetap bersikap lembut ketika mengelus kepala Reihan.

Seketika segunung penyesalan meliputi hati Wahyu.

“Maaf Emmi, sungguh aku minta maaf. Baru sekarang terbuka mata hatiku. Ibuku yang bersalah. Maafkan aku.”

“Ya sudah, lupakan semuanya. Yang penting kamu mengerti. Sekarang aku harus kembali, nanti kalau ayahku terbangun, pasti mencariku.”

“Emmi, tapi aku mohon … kamu tidak membenciku. Aku masih_”

“Wahyu! Apa yang kamu lakukan?” tiba-tiba sebuah teriakan menggema di lorong rumah sakit itu. Wanda tiba-tiba mendekat ke arah mereka.

“Mengapa ibu kemari?” tegur Wahyu tak senang. Ia memang merasa kesal kepada sang ibu karena telah membalikkan fakta yang sebenarnya tentang Kinanti.

“Ibu kan sudah bilang, jangan dekat-dekat dengan dia!” katanya sambil menuding ke arah Emmi.

“Ibu tidak bisa melarangku. Ibu berbohong tentang dia. Aku benci Ibu!” kata Wahyu yang kemudian pergi menjauh dari ibunya.

***

Besok lagi ya.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

26 comments:

  1. Alhamdulilah, maturnuwun bu Tien " Ada Makna 15 " sampun tayang, Semoga bu Tien sekeluarga sll sehat, selamat berbuka puasa dan selamat menjalankan ibadah di bulan Ramadhan . aamiin yra 🤲🤲
    Salam hangat dan aduhai aduhai bun 🩷🩷

    ReplyDelete
  2. Matur nuwun mbak Tien-ku Ada Makna sudah tayang

    ReplyDelete
  3. Alhamdulillah.Maturnuwun Cerbung " ADA MAKNA 15 "
    🌷🌹 🙏🙏🙏Semoga Bunda selalu sehat wal afiat 🤲

    ReplyDelete
  4. Selamat malam Bu Tien....
    Salam SEROJA dan tetap semangat.
    Terima kasih Ada Makna 15 sdh hadir...
    Mulai terbuka "borok" Wanda dimuka Wahyu..... Sing sapa nandur panen....

    ReplyDelete
  5. Alhamdulillah ADA MAKNA~15 telah hadir.. maturnuwun.Bu Tien 🙏
    Semoga Bu Tien tetap sehat dan bahagia senantiasa bersama keluarga.
    Aamiin YRA 🤲

    ReplyDelete
  6. Alhamdulillah, Ada Makna 15 sdh hadir. Matur nuwun Bu Tin... Sugeng ndalu.

    ReplyDelete
  7. Matur nuwun mbak Tien.TETAP SEMANGAT

    ReplyDelete
  8. 🐞🌻🐞🌻🐞🌻🐞🌻
    Alhamdulillah 🙏💝
    Cerbung ADA MAKNA 15
    sudah tayang.
    Matur nuwun Bu, doaku
    semoga Bu Tien & kelg
    selalu sehat, tetap
    smangats berkarya &
    dlm lindungan Allah SWT.
    Aamiin.Salam aduhai 🦋💐
    🐞🌻🐞🌻🐞🌻🐞🌻

    ReplyDelete

  9. Alhamdullilah
    Matur nuwun bu Tien
    Cerbung *ADA
    MAKNA 15* sdh hadir...
    Semoga sehat dan bahagia bersama keluarga
    Aamiin...

    ReplyDelete
  10. Alhamdulillah terimakasih bunda tien

    ReplyDelete
  11. Alhamdulillah "AM~15" sdh tayang. Matursuwun Bu Tien 🙏

    ReplyDelete
  12. Wah, ini episode penuh konflik ya...beruntung fakta sudah terbuka di akhirnya, jadi berkurang gemas terhadap Wanda yang tidak tahu malu itu.😁

    Terima kasih, ibu Tien...salam sehat.🙏🏻

    ReplyDelete
  13. Matur nuwun Bu Tien, tetap sehat wal'afiat njih Ibu.....

    ReplyDelete
  14. Sedikit demi sedikit kebohongan Wanda terkuak. Bahkan terlontar ucapan Wahyu yang benci kepada ibunya. Semoga tidak benar" benci.
    Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.

    ReplyDelete
  15. Terimakasih bunda Tien
    Semoga bunda Tien selalu sehat

    ReplyDelete
  16. Alhamdulillah, ADA MAKNA (AM),15 telah tayang, terima kasih bu Tien, semoga Allah senatiasa meridhoi kita semua, aamiin yra.

    ReplyDelete
  17. Alhamdulillaah " Ada Mskna-15" sdh hadir
    Terima kasih Bunda Tien, semoga sehat dan bshagia selalu.
    Aamiin🤲

    ReplyDelete
  18. Terimakasih bunda Tien,salam sehat selalu dan aduhaiii

    ReplyDelete
  19. Alhamdulillah.
    Rasakno Wanda ....
    Syukron nggih Mbak Tien❤️🌹🌹🌹🌹🌹

    ReplyDelete
  20. Episode ini menyuguhkan banyak dialog² yang bagus...
    Terimakasih Mbak Tien...

    ReplyDelete
  21. Akhirnya anaknyapun tahu siapa dia, ibunya (Wanda) iti.
    Nggak sabar menunggu cerita yg selanjutnya. Selamat pagi untuk ibu Tien dan juga teman2.

    ReplyDelete
  22. Terima kasih, ibu. Rasanya sudah tidak sabar, ingin mendengarkan kelanjutannya.

    ReplyDelete
  23. Masih ya..
    Nggak peduli kalah apa menang, yang jelas masih aja siaran langsung sepakbola itu diberlangsungkan, nerocos terus.
    Namanya membaik baiki diri, åpå iku, ngalêm awaké déwé maksudté.
    Wong mangkêl mêrgå polahé awaké déwé, Wahyu kok yå tèlmi yå..
    Sekali tidak ya tetap tidak, ih jangan jangan kepikiran terus apalagi selalu kebayang ulah Wanda ngeganggu Guntur bikin keluarganya berantakan.
    Ah Emmy ketulusan hatimu yang kau wariskan, damai indah.
    ADUHAI

    Terimakasih Bu Tien
    Ada Makna yang ke lima belas sudah tayang
    Sehat sehat selalu doaku
    Sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
    🙏

    ReplyDelete
  24. Alhamdulillah....
    Ada Makna 17 sudah tayang.
    Matur nuwun bu Tien.

    Selamat milad 22 Maret 2025. Baarakallahu fii umrik, fii rizky, fii afiat, fiiddunnya wal akhirah. Aamiin.

    ReplyDelete

CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG 48

  CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG  48 (Tien Kumalasari)   Satria tertegun. Tentu saja dia mengenal penjual kain batik itu. Ia hanya heran, ba...