ADA MAKNA 13
(Tien Kumalasari)
Guntur merasa matanya menjadi seperti tertutup kabut. Dua gadis di depannya, bertanya tentang apakah dia ayahnya? Wajah itu menggambarkan seseorang yang selalu dikenangnya. Hidungnya, alisnya, matanya. Milik dia.
“Apakah kamu anakku?” Guntur balas bertanya, lirih, bergetar dan serasa ngilu di dada.
Tiba-tiba Emmi menubruk tubuh lemah itu, diikuti Emma, adiknya.
“Guntur membalasnya dengan merangkul keduanya. Kabut yang menutup mata sudah berubah menjadi hujan yang membanjir. Membasahi pipi kusut kusam tanpa sinar.
“Mengapa kamu kemari?” tanyanya, dengan suara gemetar.
Emmi dan Emma tidak menjawab, mereka terus memeluk sang ayah.
“Bapak tidak berharap bisa menatap wajah-wajah kalian. Bapak sudah menerima takdir menjadi laki-laki kesepian tanpa makna dalam hidupnya. Ini seperti mimpi. Mengapa kamu mau memelukku? Mengapa sudi merengkuh tubuhku dengan pelukan hangatmu? Tubuh ringkih yang tak pernah mimpi tentang kehidupan yang renyah penuh cerah.”
“Mengapa Bapak berkata seperti itu? Selalu ada makna disetiap napas dan alir darah setiap orang tua. Kami merindukan Bapak,” kata Emmi bersahutan dengan adiknya, sambil terisak-isak.
Guntur menangis terguguk. Tak tahan hanya menyembunyikannya di kerongkongan.
“Mengapa kamu mencariku? Bukankah bapak Ardi adalah ayahmu?”
“Bapak Ardi adalah bapak kami, tapi ada ayah kandung yang mengukir jiwa raga kami. Ada cinta dari bapak Ardi, dan dari ayah Guntur yang tersembunyi. Kami tidak percaya Bapak tidak pernah berharap ingin memeluk kami. Ada darah Bapak mengalir di sini, di sepanjang nadi dan tubuh kami.”
Mereka bertiga berpelukan dalam tangis yang mengharu biru. Ada sedih, ada lega, ada haru, ada rasa nelangsa melihat keadaan yang memilukan ini.
Perawat yang akan mengukur tensi mundur teratur melihat pertemuan itu. Tak urung pertemuan mengharu biru itu sempat mengiris rasa hatinya, yang membuatnya kemudian bergegas kembali ke luar ruangan.
Setelah beberapa saat melepas tangis dan kerinduan, keduanya duduk di kursi yang kemudian diambil dan diletakkan di samping tempat tidur sang ayah.
“Bapak sakit apa?”
“Tidak apa-apa. Jangan khawatir, ini sakit orang yang kesepian.”
“Bukankah Bapak mau dioperasi?”
“Tidak, bapak tidak mau. Sebenarnya bukan operasi, tapi transplantasi hati. Padahal sebenarnya sakit bapak tidak parah. Siapa juga yang menyuruh bapak dibawa kemari? Tidak ada siapa-siapa di sini, sedangkan di sana banyak yang mengenal bapak. Dan kalau bapak mau, mungkin bukan di rumah sakit ini dilakukannya. Harus dikirim lagi ke rumah sakit yang bisa melakukannya.”
“Mengapa tidak mau? Kalau memang hanya itu yang bisa menyembuhkan Bapak.”
“Bapak tidak akan sembuh. Semua itu tidak mudah, harus ada donor, harus_”
“Bapak jangan bandel. Kami masih ingin ada Bapak pada kehidupan kami. Bapak harus sehat. Menurutlah apa kata dokter. Kalau donor, bisakah Emmi menjadi donor?”
“Apa? Tidak,” kata Guntur tandas.
“Emmi pernah membaca, pendonor hati tidak akan mati karena hati bisa beregenerasi. Iya kan?”
“Jangan macam-macam. Jangan sok tahu. Penyakit Bapak sedang dibicarakan. Tidak harus transplantasi. Baru kemungkinan. Sudahlah, tidak apa-apa,” kata Guntur.
Lalu Guntur terdiam. Matanya menerawang ke atas, seperti sedang membayangkan sesuatu.
Emmi dan Emma menunggu. Ia melihat sang ayah tampak lelah.
“Baru saja kami menemukan Bapak. Kami tidak ingin Bapak sakit lagi. Bapak harus sembuh, dan sehat.”
“Lalu apa?” gumamnya pelan.
“Sembuhlah untuk kami. Tolong, berjuanglah untuk sembuh,” kata Emmi memelas.
“Iya, sudah, bapak lelah.”
Ketika perawat kembali masuk, adegan mengharukan sudah lewat. Mereka berbincang akrab, walau dengan mata masih sembab.
Emmi dan Emma mundur, lalu duduk di sofa, ketika perawat memeriksa tekanan darah dan jantung.
***
Ardi dan Nuri makan siang di sebuah rumah makan. Nuri mengusulkan membawa makanan juga untuk kedua kakaknya.
“Enak?” tanya Ardi sambil tersenyum, melihat Nuri makan dengan lahap. Tampak sekali kalau dia kelaparan.
“Kalau orang sedang lapar, makanan apapun enak kan Pak?”
“Benar, kalau masih lapar boleh nambah,” kata Ardi sambil mengambil ponselnya. Ia lupa belum mengabari istrinya tentang perjalanannya bersama anak-anak.
Kinanti terkejut, mendengar bahwa Guntur dirawat di Semarang dan mau dioperasi. Semuanya sebenarnya belum jelas.
“Kapan mau dioperasi? Sirosis tidak harus dioperasi, yang benar adalah transplantasi, tapi apa separah itu? Kalau benar sirosis, penyakit itu tidak bisa disembuhkan."
“Belum jelas. Menurut dokter yang menanganinya di Wonosobo, tampaknya Guntur menolak untuk di operasi.”
“Dia pasti tahu seberapa besar kesulitannya. Harus ada pendonor atau yang lainnya.”
“Entahlah, aku malah belum bertemu dia. Aku biarkan Emmi dan Emma sendiri menemuinya. Nanti aku akan menemui dokter untuk bertanya tentang kejelasannya.”
“Bapak dan Nuri ada di mana?”
“Sedang makan. Jadi Emma dan Emmi menemui ayahnya, aku dan Nuri makan. Dia sudah kelaparan tuh, sampai pucat,” canda Ardi.
“Bapak bohong! Masa Nuri pucat? Ibu jangan percaya,” teriak Nuri sambil cemberut, membuat Ardi terkekeh melihat raut wajahnya.
“Bapak gimana? Mengapa baru jam segini mengajak makan?” tegur Kinanti.
“Tadi, waktu masih di Wonosobo Nuri tidak mau, katanya kasihan melihat kakak-kakaknya tampak sedih. Lalu kami beli roti saja untuk dimakan di perjalanan.”
“Ya sudah kalau sempat makan roti juga.”
“Sudah, Ibu jangan khawatir, anak-anak nggak akan kelaparan. Ini Nuri juga sudah pesan makanan untuk diberikan kepada kakak-kakaknya yang masih ada di rumah sakit.”
“Semoga semuanya baik-baik saja.”
“Sebentar lagi kami balik ke rumah sakit. Belum tahu bagaimana sebenarnya penyakitnya.”
“Baiklah, kabari kalau sudah mau pulang. Ibu kesepian nih.”
“Suruh bibik menyanyi, supaya rame?” canda Ardi.
“Bibik itu bisanya nembang.”
“Iya, apa bedanya nembang dan nyanyi? Hanya beda bahasa kan?”
“Bedanya nembang itu bahasa Jawa, nyanyi itu bahasa nasional.”
“Bagus, ibu pintar.”
“Ya sudah, lanjutin makannya, jangan lupa kabar-kabar.”
“Baiklah, Tuan Putri,” kata Ardi yang kemudian menutup ponselnya.
“Bapak kalau bicara sama ibu, mesra ya?” kata Nuri yang ternyata memperhatikan ketika sang ayah berbicara dengan sang ibu.
“Apa? Mesra itu bagaimana sih, kok Nuri tahu?”
“Mesra itu ya seperti Bapak itu. Bicaranya manis, pokoknya mesra.”
“Tahu aja kamu.”
“Ayuk, kita kembali ke rumah sakit. Kasihan, kakak-kakakku pasti juga lapar.”
“Baiklah.” kata Ardi sambil melambaikan tangan ke arah pelayan.
Ardi membayarnya, lalu menggandeng tangan Nuri yang disuruhnya membawa tiga kotak nasi untuk Emmi dan Emma, juga untuk Guntur, kalau dia mau.
***
Suasana di dalam ruangan dimana Guntur dirawat sudah tidak begitu mengharu biru. Mereka berbincang saling menceritakan keadaan masing-masing. Hanya saja Guntur tidak banyak bercerita tentang perjalanan hidupnya sehingga kemudian berada di sebuah tempat dimana kemudian Ardi menemukannya. Lagi pula sebenarnya dia merasa lelah untuk bicara banyak.
“Sebagai ayah, bapak gagal. Sebagai suami, tak berguna, sebagai manusia, bapak tak punya makna. Apa yang bisa bapak ceritakan? Barangkali ibumu sudah sering bercerita tentang bapak dan semua dosa-dosa yang bapak lakukan.”
“Tidak. Ibu tidak pernah bercerita tentang apapun. Ibu maupun bapak Ardi juga tidak mau mengatakan apa-apa, mengapa ibu dan Bapak bisa berpisah. Emmi tidak ingin tahu, karena kata bapak Ardi, orang dewasa punya perjalanan hidup yang rumit, dan kami tidak perlu mengetahuinya.”
Guntur terdiam. Rupanya Kinanti dan Ardi masih mau menutupi aib yang menodai rumah tangganya ketika Kinanti masih menjadi istrinya.
Tiba-tiba seorang gadis belia muncul, lalu menempel begitu saja di tubuh Emma.
“Apakah ini ayah Guntur?”
Guntur menatap gadis kecil itu. Sekilas ada miripnya dengan kedua anaknya. Lalu ia menjawabnya sendiri, bahwa gadis itu pastilah anak Kinanti dari Ardi.
“Namamu siapa?” Guntur mencoba ramah walau diucapkannya sangat pelan.
“Saya Nuri. Ini kakak-kakak saya,” katanya tanpa basa basi.
“Bagus sekali.”
“Ayah Guntur sakit apa?”
“Tidak sakit, hanya ingin beristirahat.”
“Tapi wajah ayah Guntur seperti orang kesakitan.”
Emma menatap adiknya, memberinya isyarat agar tidak mengoceh yang macam-macam.
“Ardi mengantar kalian?” tanya Guntur.
“Ya,” jawab mereka serempak.
“Ayah Guntur mau makan? Nuri membawakan makanan untuk Mbak Emmi dan Mbak Emma, juga untuk ayah Guntur,” kata Nuri sambil menunjukkan bungkusan yang dibawanya.
“Kamu sudah makan?” tanya Emmi.
“Sudah, ini Nuri bawakan makan untuk Mbak, dan juga untuk ayah Guntur.”
“Aku sudah makan, kalian makanlah,” kata Guntur.
“Bapak ingin makan apa?”
“Tidak ada. Makanan dari rumah sakit sudah cukup, belum tentu dimakan oleh bapak.”
“Apakah Bapak ingin makan sesuatu?”
“Tidak. Perut bapak rasanya nggak enak. Sekarang kalian makan saja, bapak sangat lelah.”
Dari tadi itu yang dikatakannya.
Emmi mengangguk, kemudian mengajak adiknya untuk menjauh dari ranjang sang ayah.
Ardi yang kemudian menyusul masuk, lalu duduk di kursi di dekat Guntur.
Guntur menatapnya sekilas lalu mengucapkan terima kasih.
“Terima kasih untuk apa? Ini adalah kewajibanku juga. Kamu jangan menganggap bahwa aku membuatmu berhutang budi. Barangkali aku salah, tapi aku hanya ingin_”
“Sudah, jangan lanjutkan. Aku tahu kamu orang baik,” kata Guntur yang kemudian memejamkan matanya.
“Kamu baik-baik saja?”
“Aku hanya lelah.”
***
Ardi dan anak-anaknya membiarkan Guntur tidur. Sudah terlalu banyak kedua anaknya mengajaknya bicara. Ketika Ardi datang, Guntur hanya mengucapkan beberapa patah kata, kemudian memejamkan matanya dengan keluhan sangat lelah.
“Bagaimana ini, apa kita masih akan tetap di sini?” tanya Ardi pelan.
“Pak, bagaimana kalau Emmi Bapak ijinkan tinggal untuk sehari dua hari saja?” tanya Emmi hati-hati.
“Maksudmu, kamu akan menunggui ayahmu di sini?”
“Iya. Bapak tidak punya siapa-siapa. Emmi sangat sedih meninggalkannya sendiri. Lagi pula yang dimaksudkan dengan operasi bukanlah sekedar operasi tapi transplantasi hati. Itu juga belum tentu. Kata ayah, dokter masih memperbincangkannya.”
“Tadi ibumu juga berkata begitu.”
“Oh, bapak sudah menelpon ibu?” Ardi mengangguk.
“Kamu tidak membawa bekal, baju ganti, misalnya,” kata Ardi.
“Nanti Emmi bisa beli.”
“Aku juga boleh tinggal?” kata Emma.
“Tidak, Emma, kamu kan harus sekolah, lagi pula kamu mau ujian. Besok kalau libur akan bapak antarkan lagi kemari,” kata Ardi. Dengan terpaksa Emma menurut.
“Baiklah.”
Ardi memberikan sejumlah uang kepada Emmi.
“Ini untuk kamu beli beberapa baju, dan untuk apa saja yang barangkali ayahmu membutuhkannya. Jangan sungkan mengabari bapak kalau uang ini kurang. Nanti bapak akan mentransfer ke rekening kamu.”
“Baiklah. Saya akan menelpon ibu dulu.”
“Bapak akan menemui dokternya dulu sebelum kita pulang. Kalian bersiap-siaplah. Atau bapak antar dulu kamu untuk membeli baju?”
“Tidak usah. Di sekitar tempat ini Emmi melihat ada banyak toko-toko. Tidak perlu toko yang khusus menjual baju. Di pasar pasti juga ada.”
“Baiklah, hati-hati kalau begitu. Tapi bapak mau menemui dokter dulu,” kata Ardi yang kemudian berlalu.
***
Wahyu yang masih uring-uringan, tiba-tiba terkejut melihat Reihan pulang dengan diantar oleh seseorang. Reihan tampak kesakitan, ada darah di bajunya. Tapi dia masih bisa berjalan. Tangan kanannya memegangi tangan kirinya yang ditekuk.
“Ada apa?”
“Dia berjalan tidak hati-hati. Begitu turun dari taksi, tidak mengira ada sepeda motor menyerempet, sehingga dia terjatuh.”
“Bapak yang menyerempetnya?” kata Wahyu agak marah.
“Bukan Mas, bapak ini yang menolong Reihan, yang menabrak kabur,” kata Reihan.
“Oh, maaf, baiklah, terima kasih Pak, akan saya bawa ke rumah sakit saja.”
“Ibu mana?”
“Ibu sedang arisan. Kamu tidak hati-hati sih. Yang luka mana saja?”
“Hanya tangan, sepertinya sakit sekali.”
“Jangan-jangan patah. Jangan terlalu banyak bergerak. Ayo Mas antar kamu ke rumah sakit sekarang. Mas telpon ibu nanti sambil jalan.”
Reihan mengangguk. Ia menurut ketika Wahyu mengajaknya ke rumah sakit. Di sepanjang jalan Reihan tampak kesakitan.
***
Di rumah sakit, Reihan segera ditangani. Dokter mengira lengan kiri Reihan retak, atau mungkin juga patah.Tapi harus segera di rontgen untuk mengetahui kejelasannya. Jadi Reihan harus dirawat untuk diperiksa keesokan harinya. Wahyu belum berhasil menghubungi sang ibu, karena barangkali suasana sedang ramai dan dering ponsel tidak terdengar. Jadi Wahyu mengambil keputusan sendiri.
Ketika Wahyu sedang keluar untuk kembali menelpon sang ibu, ia seperti melihat Emmi.
“Apakah itu Emmi? Mengapa ada di sini?”
“Emmi!” panggilnya. Tapi rupanya Emmi tidak mendengar. Karena itu Wahyu mengikutinya.
Ketika Emmi kemudian masuk ke sebuah ruangan, Wahyu membaca nama pasien yang tertulis di dekat pintu.
“Dokter Guntur?”
***
Besok lagi ya.
Matur nuwun mbak Tien-ku Ada Makna sudah tayang
ReplyDeleteSami2 pak Latief
DeleteAlhamdulilah, maturnuwun bu Tien " Ada Makna 13 " sampun tayang, Semoga bu Tien sekeluarga sll sehat, selamat berbuka puasa dan selamat menjalankan ibadah di bulan Ramadhan . aamiin yra 🤲🤲
ReplyDeleteSalam hangat dan aduhai aduhai bun 🩷🩷
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Sri
Aduhai 2x
Matur nuwun Bu Tien
ReplyDeleteSami2 pak Indriyanto
Delete🥝🍅🥝🍅🥝🍅🥝🍅
ReplyDeleteAlhamdulillah 🙏💝
Cerbung ADA MAKNA 13
sudah tayang.
Matur nuwun Bu, doaku
semoga Bu Tien & kelg
selalu sehat, tetap
smangats berkarya &
dlm lindungan Allah SWT.
Aamiin.Salam aduhai 🦋😍
🥝🍅🥝🍅🥝🍅🥝🍅
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun jeng Sari
Aduhai
Alhamdulillah ADA MAKNA~13 telah hadir.. maturnuwun.Bu Tien 🙏
ReplyDeleteSemoga Bu Tien tetap sehat dan bahagia senantiasa bersama keluarga.
Aamiin YRA 🤲
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Djodhi
Alhamdulillah.Maturnuwun Cerbung " ADA MAKNA 13 "
ReplyDelete🌷🌹 🙏🙏🙏Semoga Bunda selalu sehat wal afiat 🤲
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Herry
Matur nuwun mbak lemah teles gusti sing mbales
ReplyDeleteSami2 mas Bambang
DeleteUdan2 ya teles
Terimakasih bunda Tien
ReplyDeleteSemoga bunda Tien selalu sehat
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Salamah
Alhamdulillah sudah tayang
ReplyDeleteTerima kasih bunda Tien
Semoga sehat walafiat
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Endah
ReplyDeleteAlhamdullilah
Matur nuwun bu Tien
Cerbung *ADA
MAKNA 13* sdh hadir...
Semoga sehat dan bahagia bersama keluarga
Aamiin...
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Wedeye
Alhamdullilah yerima ksih bundaqu .slm sht selalu unk bunda sekeluarga🙏🥰❤️🌹
ReplyDeleteSami2 ibu Farida
DeleteSalam sehat juga
Terimakasih bu Tien AaeM_13 sudah ditayangkan..... Baru masuk rumah langsung komen.
ReplyDeleteDemoga bu Tien sehat selalu dan selalu sehat ya..... Jangan capek2 kurang 4 hari lagi sdh tgl 22 Maret 2025, semoga baik-baik saja. Aamiin.
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun mas Kakek
Aku deg2an
Alhamdulillah
ReplyDeleteSyukron nggih Mbak Tien❤️🌹🌹🌹🌹🌹
Sami2 ibu Susi
DeleteTrm ksh bu Tien, cerbungnya sdh hadir. Gasik.. Smg sehat selalu bu Tien
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Handayaningsih
Matur nuwun Bu Tien, salam sehat bahagia dari Yk....
ReplyDeleteSami2 ibu Reni
DeleteSalam sehat juga
Alhamdulillah "AM~13" sdhtayang. Matursuwun Bu Tien, salam hangat....smg sehat dan bahagia selalu dg keluarga
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Umi
Bapak-Anak sudah ketemu, ternyata anak"nya baik. Semoga menjadi obat mujarab, sembuh tanpa operasi.
ReplyDeleteWahyu ketemu Emmi, mudah mudahan tidak terjadi apa-apa.
Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Latief
Alhamdulillaah, matur nuwun Bu Tien
ReplyDeleteSalam sehat wal'afiat semua ya 🙏 🤗🥰💖
Terharu membacanya, mereka berpelukan anak & ayah
Semoga kamu, Reihan bisa ketemu ayah Guntur ya
Matur nuwun ibu Ika
DeleteMatur nuwun mbakyuku Tien Kumalasari sayang sampun tayang episode teranyar brebes mili aq MasyaAllaah, monggo nderekaken salam seroja dari Tanggamus, Lampung
ReplyDeleteSami2 jeng Sis
DeleteAduhai dari Solo
Asyik
ReplyDeleteReunian keluarga keturunan Guntur nich bakalan, Emmy sendirian nungguin ayah Guntur, sang pengagum menggoda seolah meneror hatinya.
Semprotan Wanda bakalan ngalahin sosoran angsa, adakah Wahyu membela?
Sayang dianggap anak kecil ya nggak diberi modal untuk membela diri, kan ada bapaknya pasti dikasih tahu kan.
Alur kerumitan? biså kah Guntur yang rasanya masih senen kemis menjelaskan pada anaknya, apalagi setelah melihat kakak Reihan yang jelas nampak terlihat lukisan wajah Zaki.
Yah besok lagi aja yå, Reihan masih terganggu cerita sang kakak, dimana dia menemukan ayahnya di tungguin sama Emmy, yang kata kakak Wahyu; cantik.
Siapakah dia, apakah mbak Emmy kakakku.
Kenapa ibu Wanda merahasiakan, lha wong nyah nyoh, ih masalah orang tua memang rumit nggak mau terus terang, selalu menghindar kalau ditanya.
Sudah biar besok lagi aja; jangan banyak crigis, masih aja dremimil, bikin gaduh
ADUHAI
Terimakasih Bu Tien
Ada Makna yang ke tiga belas sudah tayang.
Sehat sehat selalu doaku
Sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
🙏
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatir nuwun mas Crigis
Salam rumit
Naah...kata kuncinya sudah muncul "ada makna"...dan pertemuan Guntur dengan anak-anaknya dari 2 istri juga sudah terjadi...akankah kisah ini akan cepat berakhir? 🤔😁
ReplyDeleteTerima kasih, ibu Tien. Semoga sehat selalu dan ibadah puasa berjalan lancar.🙏🏻
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatir nuwun ibu Nana
Terima kasih Mbu Tien.. makin seruuu... sehat sllu bersama keluarga trcnta
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Zimi
Matur nuwun Bunda Tien...🙏🙏
ReplyDeleteSehat selalu kagem bunda..🤲🤲
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatir nuwun ibu Padms Sari
Matursuwun mbakyu, sehat selalu, maaf lama gak absen...
ReplyDeleteSami2 jeng Kun
DeleteSemoga sehat2 saja
Alhamdulillah, ADA MAKNA (AM),13 telah tayang, terima kasih bu Tien, semoga Allah senatiasa meridhoi kita semua, aamiin yra.
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteAlhamdulillah AM~13 sdh tayang. Terimakasih bunda Tien, salam sehat selalu dan selamat istirahat...
ReplyDeleteSami2 ibu Farida
DeleteSalamsehat juga
Apakah Mbak Tien mau mematikan Guntur? Soalnya semua anak Guntur termasuk Reyhan sudah merapat ke rumah sakit?
ReplyDeleteTerimakasih Mbak Tien...
Sami2 Mas MERa
DeleteBesok lagi ya
Terima kasih Bu Tien semoga sehat selalu.
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Yati