ADA MAKNA 01
(Tien Kumalasari)
Seorang wanita setengah tua, dengan pakaian lusuh, memasuki ruang praktek dokter, setelah sekian lama menunggu antrian. Karena kesorean, dia menjadi pasien terakhir. Ditangannya ada sesisir pisang yang sudah matang, kemudian diletakkan di meja sang dokter.
“Bu, itu pisang apa, dan untuk apa?”
“Ini pisang untuk Dokter, maaf sekali Dokter, saya hanya berkebun, tidak kuat membayar Dokter, jadi saya bawakan untuk Dokter, pisang hasil kebun, sisa yang sudah saya jual tadi pagi. Tapi uangnya sudah saya pakai untuk beli beras,” kata pasien itu panjang lebar.
“Aduh, terima kasih banyak ya Bu, tapi maaf, ditaruh di bangku itu saja ya, supaya tidak memenuhi meja praktek saya,” kata sang dokter sambil tersenyum ramah.
“Oh, maaf, maaf, biar saya taruh di situ. Aduh, benar kotor mejanya,” lalu pasien itu membersihkan meja dokter dengan tangannya, setelah meletakkan pisang di bangku yang ditunjuk olehnya.
“Sudah Bu, sudah … tidak apa-apa. Ibu sakit apa?”
“Dokter, beberapa hari ini saya merasakan sesak napas, lalu tubuh saya terasa lemas.”
“Coba ibu tidur di situ dulu, biar saya periksa. Nama ibu siapa?”
“Saya Simah.”
“Usia ibu berapa?”
”Tujuh puluh enam tahun Dokter, hampir … bulan depan sudah genap tujuh puluh enam.”
“Wah, sudah tidak muda lagi ya Bu. Saya pikir ibu baru enam puluhan tahun,” kata dokter sambil mengukur tensi pasiennya.
“Dokter ada-ada saja. Rambut sudah putih semua begini ….”
“Tensinya agak tinggi Bu. Sedang banyak pikiran?”
“Yah, namanya orang hidup. Pasti ada saja yang dipikirkan. Apalagi kan saya ini janda dan miskin pula."
“Jangan begitu Bu. Miskin itu jangan dipakai sebagai keluhan.”
“Memang ya miskin, dan tua pula.”
“Ibu masih kelihatan segar,” kata dokter sambil memeriksa dengan stetoskop nya.
“Tapi Dokter, akhir-akhir ini saya sering merasa sesak, Dokter.”
“Banyak pikiran, barangkali?” kata dokter yang kemudian memberi isyarat agar pasiennya bangkit dan kembali duduk di depannya.
“Namanya orang miskin, tentu banyak yang dipikirkan.”
“Jangan pernah merasa miskin Bu. Ibu bisa makan cukup, bukan?”
“Ya bisa Dok, kalau hanya makan saja.”
“Apa yang sebenarnya ibu pikirkan?”
“Anak saya dok, membuat saya kesal.”
“Nah, kesal itulah yang membuat orang jadi sakit.”
“Bagaimana sih Dok, anak saya laki-laki itu, bukan orang kaya, hanya menjadi mandor pasar, sudah punya istri dan anak, ee … dia punya simpanan, sedih dong saya.”
“Lhoh, kalau punya simpanan kan malah tidak sedih dong Bu, simpanan uang kan?”
“Dokter bagaimana sih, kalau simpanan uang ya senang, bisa buat beli macam-macam. Itu simpanan perempuan, mana suka morotin harta anak saya. Sekarang ini, menantu saya jadi lari ke rumah saya gara-gara ulah suaminya. Beban saya jadi bertambah kan Dok?”
Sang dokter menatap pasiennya sambil tersenyum. Anaknya selingkuh, lalu menantunya mengungsi di rumah mertuanya yang merasa miskin.
“Itu yang membuat Ibu merasa sakit. Jangan terlalu dipikirkan Bu, nanti dada ibu jadi terasa sesak, lalu lemas, pusing juga, ya kan?” lalu sang dokter menuliskan resep.
“Iya sih Dok.”
“Ini obatnya dibeli ya Bu, hanya obat tensi, diminum setiap pagi. Sama obat pusing, diminum kalau perlu saja. Kalau nggak pusing jangan diminum lagi.”
“Ini mahal nggak ya Dok, obatnya?”
“Tidak Bu, itu obat generik namanya, harganya tidak mahal.”
“Saya cuma membawa uang lima puluh ribu, cukup nggak untuk bayar Dokter sama obatnya?”
“Dokternya tidak usah dibayar Bu. Itu untuk membeli obat saja. Masih sisa kok.”
“Benarkah?”
“Benar Bu, lain kali juga ibu tidak usah membawa buah-buahan atau apa. Kalau memang tidak mampu membayar ya tidak usah bayar.”
“Saya sudah mendengar, bahwa dokter Guntur adalah dokter yang dermawan. Kalau tidak mampu boleh gratis, ternyata benar.”
“Jangan berlebihan, biasa saja Bu, yang penting pasien saya sembuh. Tidak usah dipikirkan.”
“Ya sudah Dok, saya permisi. Sekali lagi terima kasih, nanti kalau belum sembuh, saya kembali boleh kan?”
“Boleh Bu, tidak usah membawa pisang ya Bu, tapi terima kasih, saya suka buah pisang.”
Pasien itu tersenyum kemudian berlalu.
Dokter Guntur memikirkan keadaan ibu Simah, yang kedatangan menantunya, karena anak laki-lakinya selingkuh. Cerita itu seperti sedang menyindir kehidupannya. Dulu dia juga selingkuh, meninggalkan anak istrinya. Bu Simah bukan keluarga berada, sehingga berat beban hidupnya menjadikannya sakit. Berbeda dengan bekas istrinya, yang tidak membuat ibunya sakit secara fisik, karena hidupnya tidak kekurangan. Tapi bahwa hatinya sakit, itu pasti. Dia dituduh tidak tahu diri, membalas kebaikan dengan pengkhianatan, lalu ada lagi stempel untuk dirinya, yaitu anak durhaka, sehingga ibunya sakit. Dan ibu Simah itu bukankah merasakan sakit seperti yang ibunya sendiri rasakan? Bahkan ibunya sampai meninggal.
Guntur merasa matanya basah. Hidupnya seperti tak ada artinya. Sebagai anak, sebagai suami dan sebagai bapak dari anak-anaknya.
Dia ingin melupakan semuanya, tapi alangkah susah. Bertahun-tahun telah lewat, anak-anaknya pasti sudah menjadi gadis remaja. Ada sedikit rasa syukur, karena sang istri menemukan suami yang baik dan bertanggung jawab. Apakah Kinanti dan Ardi juga sudah punya anak? Pasti mereka hidup bahagia. Ia yakin Ardi bukan laki-laki yang suka neka-neka. Rasa rindu itu ada, dan selalu ditekannya hanya karena tak ingin mengusik kebahagiaan mereka.
Saat ini Guntur sudah ditempatkan di pulau Jawa kembali, di sebuah kota kecil. Kalau pagi dia bertugas di rumah sakit, kalau sore berpraktek di rumah. Bukan karena ingin mengejar uang, tapi karena ingin membunuh sepi yang selalu menghantuinya selama bertahun-tahun.
***
Ardi dan Kinanti sedang makan di sebuah mal setelah belanja kebutuhan dapur dan lain-lain. Ada tiga anak gadis bersamanya, cantik dan menawan.
Mereka tampak sangat bahagia.
“Bapak, aku lupa nih, tadi sebenarnya Emma mau beli kado buat teman Emma yang ulang tahun, besok.”
“Lhoh, kok tadi nggak bilang?” tanya Ardi.
“Kan Emma sudah bilang lupa?”
“Ya sudah, nanti setelah makan kita cari kado untuk temanmu.”
“Memangnya mau beli kado apa?” tanya Kinanti.
“Apa ya, mm… apa ya mbak?” tanya Emma kepada Emmi, kakaknya.
“Memangnya siapa teman kamu?”
“Belikan boneka saja, nanti aku juga mau,” tiba-tiba si kecil Nuri nyeletuk.
“Eeh, boneka? Kamu masih mau boneka? Boneka sudah satu almari penuh gitu lhoh,” tegur Emma.
“Kamu tuh sudah besar, masih suka boneka,” Emmi ikutan menegurnya.
“Tapi nggak apa-apa kamu minta lagi boneka, aku juga suka kok,” akhirnya kata Emma.
“Tuh, mbak Emma juga suka, Pak.”
“Tapi teman Emma itu cowok. Masa dikasih boneka?”
“Ya ampuun, cowok?” teriak Emmi.
“Memangnya kenapa kalau cowok?”
“Pacar kamu ya?” ledek Emmi.
“Eeh, ngawur deh. Emma masih kecil kan Pak, belum boleh pacaran kan?” kata Emma manja.
Ardi dan Kinanti tertawa bahagia melihat keakraban anak-anak mereka.
“Memangnya Emma pacaran sama yang besok ulang tahun itu?”
“Masih SMA, namanya cinta monyet,” sergah Emmi lagi.
“Nggak kok. Emma nggak pacaran. Feri itu sebenarnya tadinya kakak kelas Emma, tapi dia tinggal kelas karena sakit. Dua kali pula. Jadi harusnya tuh dia sudah lulus, tapi kemudian menjadi teman sekelas Emma.”
“O, namanya Feri? Anaknya kurus, tapi tinggi?”
“Iya.”
“Baiklah, tidak apa-apa kalau Emma ingin memberi dia hadiah.”
“Dulu waktu Emma ulang tahun, Emma juga diberi hadiah kok.”
”Oo, boneka barbi itu,” celetuk Nuri lagi.
“Iya, yang kamu juga suka itu.”
“Baiklah, mau beli hadiah apa?” tanya sang ayah.
“Apa baiknya Pak? Mobil-mobilan?”
“Sudah SMA dikasih mobil-mobilan,” gerutu Emmi.
“Robot saja,” kata Nuri.
“Wah, itu juga mainan anak kecil.”
“Baiklah, nanti kita melihat-lihat saja di sana, mana yang pantas diberikan, sekarang selesaikan makannya. Kalau yang mau nambah silakan nambah,” kata Kinanti.
“Aku sudah,” kata ketiga gadis Kinanti hampir bersamaan.
“Kalau kebanyakan makan, nanti gendut dong,” kata Emmi.
***
Di sebuah rumah, seorang anak laki-laki remaja sedang memegangi sebuah sepeda baru. Itu hadiah ulang tahunnya dari seorang teman. Ketika sang ayah keluar dari rumah, ditatapnya sang anak dengan heran.
“Kamu beli sepeda?”
“Bukan beli Pak, hadiah dari teman.”
“Bagus sekali. Ini sepeda mahal. Kamu suka sepedaan?”
“Feri tadinya hanya ngomong ingin naik sepeda kayuh saja kalau sekolah. E, seorang teman mendengar, dan tiba-tiba tadi mengirimkan sebuah sepeda kemari. Baru saja Feri terima.”
“Teman yang baik hati. Sony? Sahabatmu itu?”
“Bukan pak, namanya Emma.”
“Cewek?”
“Iya. Dia memang baik hati.”
“Pacar kamu?” ledek sang ayah.
“Bukan, hanya teman dekat. Bapak ada-ada saja. Feri belum ingin pacaran. Kata Bapak harus kuliah dulu.”
“Iya. Kamu harus mengejar ketinggalan kamu yang dua tahun tinggal kelas. Nanti kuliahnya harus cepat lulus.”
“Kuliah juga belum, bapak tuh.”
“Jangan kalah sama mbak Tia, dia sudah mendapat pekerjaan bagus karena berprestasi.”
“Feri tidak naik kelas karena sakit kan Pak. Bukan karena bodoh.”
“Benar. Sekarang harus sehat ya. Bapak sudah semakin tua. Sebelum meninggal, anak-anak bapak sudah harus memiliki masa depan yang baik.”
“Bapak kok bicara tentang meninggal. Bapak masih gagah lhoh.”
“Bapak sudah lama pensiun. Sekolah kamu juga yang membiayai kakak kamu kan? Kalau tidak dibantu, bapak mana kuat.”
Feri menatap ayahnya terharu. Suryawan memang sudah kelihatan tua, walau masih tampak bersemangat.
“Feri mau nyobain sepedanya dulu ya Pak.”
“Baiklah, besok pagi kan hari libur, kita sepedaan bersama-sama.”
“Bagus sekali Pak, bersepeda pagi-pagi biar sehat.”
“Ya sudah, jangan terlalu sore pulangnya. Dan maaf ya Fer, bapak tidak memberikan hadiah apa-apa untuk ulang tahun Feri,” kata sang ayah sendu.
“Tidak apa-apa. Jangan Bapak pikirkan. Feri tidak ingin hadiah apa-apa dari Bapak. Yang penting doa Bapak saja.”
Suryawan tertawa pelan. Sekarang dia sudah pensiun. Baru seorang anaknya yang sudah lulus dan bekerja, Adik-adiknya masih kuliah dan bersekolah, jadi dia harus berhemat.
“Hati-hati di jalan,” pesannya.
“Siaaap.”
Feri mengayuh sepedanya. Ia bermaksud pergi ke rumah Emma yang sudah mengirimkan hadiah sepeda untuknya. Ditengah jalan dia bertemu Tia kakaknya, dalam perjalanan pulang. Tia mengendarai mobil. Mobil tua milik ayahnya yang sudah tidak pernah lagi dipakai. Tapi masih bagus karena terawat.
Tia menghentikan mobilnya melihat Feri naik sepeda.
“Feri, mau ke mana kamu?”
“Muter-muter aja.”
“Sepeda siapa itu?”
“Sepeda Feri. Bagus kan?”
“Dapat dari mana? Bapak membelikannya?”
“Tidak, hadiah dari teman. Dah kakak,” kata Feri yang melanjutkan mengayuh sepedanya. Tia geleng-geleng kepala, lalu melanjutkan perjalanannya pulang.
“Siapa memberi hadiah sepeda bagus itu?” gumamnya perlahan.
***
“Emma,”
Sebuah teriakan di luar pagar mengejutkan Emma yang sedang duduk di teras sendirian.
“Feri?” Emma berlari mendekati.
“Terima kasih telah memberikan aku hadiah yang bagus ini. Padahal ulang tahun Feri tidak dirayakan lhoh.”
“Ayuk kita rayakan. Aku ambil sepeda dulu, kita beli bakso.”
“Tapi .. aku nggak bawa uang.”
“Aku yang ngajak, jadi aku yang bayar. Tunggu sebentar ya,” kata Emma sambil berlari masuk ke dalam.
Feri menatapnya terharu. Emma anak orang berada, sedangkan dirinya, saat ayahnya sudah pensiun, semuanya harus serba berhemat. Tapi Feri dan saudara-saudaranya tidak pernah mengeluh. Ayahnya sudah semakin tua, sendirian dan kesepian. Mereka tidak kecewa walau sang ayah tidak lagi memanjakannya seperti dulu.
***
Emmi sedang bersantai di ruang tengah. Tiba-tiba tergerak hatinya untuk membuka-buka album yang disimpan di almari bagian atas.
Emmi ingat, waktu masih kecil dia pernah terjatuh gara-gara memanjat kursi hanya karena ingin mengambil album. Sekarang dia tak perlu memanjat, sekali jangkau, beberapa album sudah ada di tangan.
Emmi tersenyum dan mulai membuka album, mulai album lama dulu. Foto-toto kakek dan neneknya, serta ibunya. Tiba-tiba ia melihat foto seseorang yang asing. Sepertinya ia pernah menanyakannya pada sang nenek tentang foto itu dulu. tapi kata neneknya, itu foto teman ibunya,
“Lagi lihat apa Emmi?” tiba tiba sang ayah datang mendekat.
“Ini, pengin lihat-lihat. Ini foto siapa sih Pak?” Ardi menatapnya tertegun. Emmi belum pernah melihat wajah ayahnya.
***
Besok lagi ya.
Alhamdulillah
ReplyDeleteNuwun jeng Ning
DeleteMatur nuwun mbak Tien-ku Ada Makna sudah tayang
ReplyDeleteSami2 pak Latief
DeleteMatur sembah nuwun Cerbung baru "Ada Makna"..01 sudah tayang
ReplyDeleteSalam sehat dan semangat
ADUHAI..
Nuwun jeng Ning
DeleteSalam ADUHAI dari Solo
Alhamdulilah cerbung baru sdh hadir, maturnuwun bu Tien, selamat berbuka puasa...
ReplyDeleteSalam aduhai aduhai bun 😍😍
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteSami2..ibu Sri
Aduhai 2x
🌹💐🌹💐🌹💐🌹💐
ReplyDeleteAlhamdulillah 🙏💝
Cerbung baru
ADA MAKNA sdh tayang.
Matur nuwun Bu, doaku
semoga Bu Tien & kelg
selalu sehat, bahagia
& dlm lindungan Allah SWT.
Aamiin.Salam aduhai 🦋😍
🌹💐🌹💐🌹💐🌹💐
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteSami2..keng Sari
Aduhai
Alhamdulillah cerbung lanjutan "" Ardi menatapnya tertegun. Emmi belum pernah melihat wajah ayahnya."apa itu foto Guntur _ Maturnuwun Bunda semoga selalu sehat wal afiat.Aamiin
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteSami2..pak Herry
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
ReplyDeleteSami2.. mas Kakek
Alhamdulillah sudah tayang
ReplyDeleteTerima kasih bunda tien
Semoga sehat walafiat
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteSami2..ibu Endah
Matur nuwun, Bu Tien
ReplyDeleteSami2 ibu Anik
Delete
ReplyDeleteAlhamdullilah
Matur nuwun bu Tien
Cerbung *ADA
MAKNA 01* sdh hadir...
Semoga sehat dan bahagia bersama keluarga
Aamiin...
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteSami2..pak Wedeye
Rupanya anak Kinanti dekat dengan anak Suryawan. Kalau mau anaknya, harus mau ibunya.
ReplyDeleteHe he he... boleh juga Kinanti berbesan dengan Suryawan.
Hallo Guntur.. teruslah jadi dokter yang baik, ingat orang yang berbuat baik kepadamu.
Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteSami2.. pak Latief
Matur suwun Bu Tien.
ReplyDeleteSami2 pak Indriyanto
DeleteMasyaallah....alhamdulillah. maturnuwun bu Tien
ReplyDeleteSami2 ibu Ratna
DeleteAlhamdulillah cerbung baru sdh hadir, tanpa jeda. Bonus ramadhan njih Bu. Matur nuwun & sugeng ndalu, mugi Bu Tien & kelg.tansah pinaringan sehat.
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteSami2..pak Sis
Alhamdulillah... terima kasih Bu Tien semiga sehat selalu.
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteSami2..ibu Yati
Alhamdulillah ADA MAKNA~01 telah hadir.. maturnuwun.Bu Tien 🙏
ReplyDeleteSemoga Bu Tien tetap sehat dan bahagia senantiasa bersama keluarga.
Aamiin YRA 🤲
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteSami2..pak Djodhi
Wah, pasti foto Guntur tuh...penasaran dengan jawaban Ardi ke Emmi.😁
ReplyDeleteTerima kasih, ibu Tien sudah melanjutkan kisah ini...semoga sehat selalu.🙏🏻😘😘😀
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteSami2..ibu Nana
Alhamdulillah sequel k2 Kinanti/ Guntur telah hadir.
ReplyDeleteMatur nuwun bunda Tien..🙏🙏
Sehat selalu kagem bunda.
🤲🤲
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteSami2.. ibu Padma Sari
Matur nuwun Bu Tien atas cerbung barunya, semoga Ibu tetap sehat wal'afiat....
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteSami2..ibu Reni
Alhamdulillah... Sehat selalu mbakyu...
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteSami2..
Donga dinonga njih
Alhamdulillaah "Ada Makna -01" sdh hadir
ReplyDeleteTerima kasih Bunda Tien cerbung barunya, semoga sehat selalu.
Aamiin Yaa Robbal' Aalaamiin🤲
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteSami2..ibu Ting
Alhamdulillah, ADA MAKNA (AM),01 telah tayang, terima kasih bu Tien, semoga Allah senatiasa meridhoi kita semua, aamiin yra.
ReplyDeleteMaaf, belum bisa memberi komentar. Ciri khas cerbung Mbak Tien, adalah mempertemukan orang semuanya seperti batu domino...
ReplyDeleteTerimakasih Mbak Tien...
Alhamdullilah bunda episode pertama dgn judul baru sdh tayang..slmt menjlnkan ibadah shaum ramadhan salam sehat sll unk bunda semel y 🙏🥰❤️🌹
ReplyDeleteTerbaru
ReplyDelete