KETIKA BULAN TINGGAL SEPARUH 31
(Tien Kumalasari)
Luki menatap ayah ibunya, yang kelihatan sangat kecewa mendengar perkataannya. Ada harapan ketika mendengar sang ayah atau ibunya mau membantu.
“Apakah kepalamu masih sakit?”
“Sekarang terasa berdenyut, tapi tidak sangat. Yang lebih sakit adalah kenyataan bahwa Luki tidak akan bisa memiliki Bachtiar. Luki sangat mencintainya Ma.”
“Luki, sekarang ini yang paling baik adalah kamu sembuh terlebih dulu. Percayalah bahwa kami akan membantu kamu, sehingga keinginan kamu akan tercapai."
“Benar Ma?”
“Aku janji. Tapi sembuhlah dulu. Kalau perlu kami akan memindahkan kamu ke rumah sakit terbaik di Jakarta, agar kami bisa terus menunggui kamu. Soalnya papamu tidak bisa meninggalkan pekerjaannya terlalu lama. Tapi nanti kalau Bachtiar menjengukmu, bagaimana?”
“Luki, apa benar kamu sangat mencintai Bachtiar? Di dunia ini sangat banyak laki-laki ganteng dan baik. Banyak yang melamar kamu dan semuanya tidak mengecewakan. Bukankah lebih baik kamu memilih diantara mereka? Kamu juga sudah mengenal mereka semuanya,” bujuk sang papa.
“Entahlah Pa, tapi perasaanku kok begini. Penginnya sama Bachtiar.”
“Bukankah Bachtiar juga datang menunggui kamu? Apa tidak ada sedikitpun perasaannya pada kamu? Kamu itu cantik menarik, aneh dia menolaknya,” kata sang papa lagi.
“Saat ini Luki belum bisa berharap banyak. Bachtiar datang kemari hanya karena dipaksa oleh ibunya.”
“Baiklah, kalau begitu Papa urus saja kepindahan Luki ke rumah sakit di Jakarta, pilih yang terbaik,” kata bu Nuke kepada suaminya.
“Ya, akan papa urus sekarang juga. Kalau bisa hari ini lebih bagus. Tapi paling tidak besok pasti bisa.”
“Tapi benar ya Ma, bantu Luki mendapatkan Bachtiar. Luki hanya mau menikah sama Bachtiar.”
“Kamu tenang saja. Yang penting kamu harus sembuh terlebih dulu. Masalah Bachtiar kita bicarakan nanti.”
Luki mengangguk senang. Biarpun ia akan dipindahkan ke rumah sakit di Jakarta, tapi janji sang mama yang akan menjadikan Bachtiar sebagai suaminya, sangat membuatnya bahagia
***
Bachtiar sudah sampai di rumahnya kembali. Ia ingin menemui orang tua Arumi yang belum terlaksana, tapi ia baru ingat, kalau siang hari pak Truno pasti sedang bekerja di sawah. Harus menunggu sore hari kalau ingin ketemu. Lalu ia bermaksud istirahat sebentar, lalu pergi menemui keluarga pak Truno agak sorean nanti.
Ketika mengganti bajunya, Bachtiar baru teringat kalau dia mengantongi ponsel Luki. Ia lupa menyerahkannya kepada orang tuanya. Kemudian dia mengeluarkan ponsel itu, yang ternyata mati. Ia mengecasnya, lalu pergi mandi. Entah mengapa dia melakukannya. Barangkali agar Luki bisa langsung mempergunakannya kalau dia mengembalikannya nanti.
Selesai mandi, dia mendapat telpon dari sang ibu, yang mengatakan bahwa ayahnya sudah kembali dari luar kota.
“Apa kamu tidak kembali ke rumah sakit?”
“Untuk sekarang ini tidak. Apa ibu ada di rumah sakit lagi? Nanti ibu kecapekan.”
“Ibu pulang dari rumah sakit ketika mendengar bahwa ayahmu sudah pulang. Jadi ini ibu di rumah menemani ayahmu.”
“Ya sudah, nanti malam saja Bachtiar ke rumah.”
“Kembalilah ke rumah sakit, lihat keadaan Luki, masa sih tidak ada perhatian sedikitpun dari kamu untuk Luki?”
“Bukankah sudah ada kedua orang tuanya di sana?”
“Bachtiar, kamu kan mendengar sendiri tadi, mereka sangat berharap agar bisa memiliki kamu sebagai menantu.”
“Kenapa ibu membahas soal itu lagi? Bukankah ibu sudah mendengar jawaban Bachtiar yang berkali-kali Bachtiar ucapkan?”
“Tiar, kamu serius menolaknya? Karena gadis dusun itu?”
“Bachtiar bermaksud segera melamarnya," kata Bachtiar yang entah dari mana datangnya keberanian itu.
“Apa maksudmu?” sang ibu berteriak keras.
“Bachtiar akan menemui kedua orang tua Arumi, dan mengutarakan niat Bachtiar.”
Bu Wirawan langsung menutup ponselnya karena marah.
Bachtiar sangat menyesal telah membuat ibunya kecewa, tapi dia sangat mencintai Arumi. Perasaan yang belum pernah dirasakannya selama dia bergaul dengan banyak gadis-gadis. Entah apa yang membuatnya suka, tapi Bachtiar benar-benar meyakini perasaannya.
Kemudian ia membaringkan tubuhnya, dan berjanji akan menemui kedua orang tuanya untuk meminta maaf.
***
Pak Wirawan melihat istrinya menangis tersedu, setelah menelpon Bachtiar. Ia sudah menduga, pasti masalah perjodohan dengan Luki yang kembali ditolaknya.
“Mengapa ibu menangis?”
"Coba bapak bayangkan, baru saja Bachtiar mengatakan bahwa dia ingin melamar gadis dusun yang miskin itu,” katanya sambil menangis.
“Yang menjalani mau, mengapa ibu menangis?”
“Apa maksud Bapak? Apa Bapak rela memiliki menantu orang dusun, miskin pula? Mau ditaruh di mana muka kita, kalau sampai teman-teman bisnis Bapak mengetahui ini semua? Belum lagi saudara-saudara kita yang semuanya memiliki derajat tinggi, terkemuka, ternama, kaya raya.”
“Sabar Bu, mengapa ibu mengutarakan semua itu? Apakah yang membuat manusia memiliki kebanggaan itu adalah karena derajat dan kekayaan?”
“Menurut Bapak apa? Kalau kita sama hebatnya dengan mereka, maka kita akan merasa bangga, ya kan?"
“Apakah kebanggaan karena harta dan derajat itu adalah kebahagiaan?”
“Bapak bisakah membayangkan apabila kita berbesan dengan orang desa, kotor dan bau?”
“Apakah yang sebenarnya kita cari dalam kita melahirkan dan membesarkan anak kita? Bukankah kebahagiaan anak itu juga?”
“Kalau anak kita miskin, apakah kita akan bahagia?”
“Jangan berpikir tentang kita, tapi tentang anak kita. Kebahagiaan anak adalah kebahagiaan kita. Kalau anak tidak bahagia, apakah kita akan bahagia?”
“Darimana asalnya bahagia kalau kidup kita sengsara?”
“Darimana kita merasa sengsara kalau kita bisa mendapatkan apa yang kita inginkan?”
“Bapak terlalu berbelit-belit. Ibu tidak suka, titik.”
“Dengar dan rasakan apa yang bapak katakan.”
“Intinya adalah, bapak setuju Bachtiar punya istri gadis desa itu?”
“Biarkanlah Bachtiar memilih yang terbaik untuk hidupnya. Kita sudah tidak kekurangan, hidup cukup dan bahagia, mengapa harus mencari menantu dari keluarga kaya pula?”
“Aku tidak mengerti jalan pikiran Bapak. Pokoknya aku tidak bisa mengerti,” katanya sambil masuk ke dalam kamar, melanjutkan tangisnya di sana.
Pak Wirawan menyandarkan kepalanya, dan menarik napas panjang. Di satu sisi kasihan pada istrinya yang tidak bisa mengerti apa yang dikatakannya, di sisi lain dia kasihan pada Bachtiar yang tampaknya sangat mencintai si gadis dusun tapi tidak disukai oleh ibunya. Ia bingung harus berpihak pada siapa, sementara dia tak ingin menentang maksud anaknya.
Pak Wirawan tahu, Bachtiar anak pintar. Ia baik dan pak Wirawan berharap, pilihannya tidak akan salah. Hanya saja, bagaimana meluluhkan hati sang istri?
***
Sore hari itu Bachtiar sudah dalam perjalanan ke rumah pak Truno. Ia bertekat untuk tetap melamar Arumi, walau belum bisa memperistrinya. Ia tahu Arumi masih ingin melanjutkan SMA nya.
Di tengah jalan itu ia melihat pak Truno sedang berjalan ke rumah setelah bekerja di sawah. Bachtiar menghentikan mobilnya di depan pak Truno, membuatnya terkejut. Bachtiar turun dari mobil, dan pak Truno segera mengenalinya.
“Nak Bachtiar? Lama tidak berjumpa.”
“Iya pak, baru hari ini saya melihat hasil proyek saya, dan ternyata sudah berjalan baik dan selesai. Naiklah Pak, saya antarkan pulang,” kata Bachtiar sambil mencium tangan pak Truno, lalu membukakan pintu depan mobil di samping kemudi.
“Rumah saya sudah dekat, kenapa harus diantar?”
“Tidak apa-apa, saya memang akan ke rumah pak Truno.”
“Benarkah?”
“Iya. Masuklah dulu.”
“Baju saya, tangan kaki saya, kotor Nak.”
“Tidak apa-apa. Itu kan kotoran yang membawa berkah,” kata Bachtiar sambil tersenyum, disambut tawa pak Truno pelan. Pak Truno tidak bisa menolak, karena Bachtiar sudah menarik lengannya.
Pak Truno mengibas-ngibaskan celananya, bermaksud menghilangkan lumpur yang barangkali menempel di sana. Tapi Bachtiar menggelengkan kepalanya.
“Tidak apa-apa Pak, sungguh. Bukankah saya bilang kotoran di situ adalah berkah?”
Pak Truno masuk ke dalam mobil, duduk di samping kemudi dengan canggung.
“Dari mana nak Tiar bisa mengatakan bahwa kotoran yang menempel ini membawa berkah?” kata pak Truno setelah Bachtiar duduk dan menjalankan mobilnya.
"Bapak terkena lumpur dan menjadi kotor, kan karena Bapak sedang mengais rejeki, jadi lumpur itu membawa berkah karena mendatangkan rejeki.”
“Ohh,” pak Truno tertawa.
“Benar kan?”
“Nak Tiar bisa saja.”
“Pak, sebenarnya saya nanti ingin membicarakan hal penting dengan Bapak maupun ibu.”
“Ibu siapa ya?”
“Ibunya Arumi, siapa lagi?”
“Owalah, manggilnya ibu, sementara Arumi memanggil simbok.”
“Nggak apa-apa Pak, ibu atau simbok, atau biyung, sama saja kan?”
“Kalau orang desa seperti saya ini ya lebih enak memanggil simbok.”
“Ya sudah, panggilan itu tidak perlu diperdebatkan. Ya kan pak?”
“Baiklah, lalu nak Tiar mau bicara soal apa?”
“Soal Arumi.”
“Kenapa dengan Arumi?”
“Saya ingin mengambilnya sebagai istri.”
“Apa? Nak Tiar bercanda? Main-main kan?” kata pak Truno yang benar-benar terkejut.
“Saya bersungguh-sungguh Pak. Saya mencintai Arumi, saya akan menyayangi dan melindunginya selama hidup saya.”
Pak Truno terdiam untuk beberapa saat lamanya. Dari dulu dia sudah menduga bahwa Bachtiar menaruh perhatian kepada keluarganya, karena tampaknya suka kepada Arumi. Hanya saja sebagai petani miskin seperti dirinya, mana berani berandai-andai? Sekarang dia mendengar sendiri dari mulut Bachtiar tentang keinginannya meminang Arumi.
“Ini nanti juga akan saya katakan kalau sudah berhadapan dengan bu Truno. Saya baru mengatakan sekilas kepada Bapak.”
“Begini Nak, bukannya saya tidak suka. Bukannya saya menolak. Tapi keinginan nak Tiar ini sangat mengagetkan saya. Apa nak Tiar sadar apa yang sudah nak Tiar katakan? Nak Tiar kan tahu, siapa Arumi, siapa bapak dan mboknya, bagaimana keadaannya.”
“Saya sudah sangat tahu, dan itu bukan masalah bagi saya.”
Pak Truno terdiam, dan masih terdiam ketika Bachtiar menghentikan mobilnya di depan pagar rumah pak Truno.
Bachtiar membukakan pintu mobil untuk pak Truno, lalu keduanya beriringan masuk.
Mbok Truno dan Arumi terkejut melihat pak Truno datang bersama Bachtiar.
“Masuklah Nak, saya akan mencuci kaki tangan dan berganti pakaian dulu,” kata pak Truno yang langsung ke samping rumah menuju ke belakang.
***
Mbok Truno yang sudah diberi tahu Arumi tentang keinginan Bachtiar, tidak begitu terkejut mendengar Bachtiar mengutarakan maksudnya. Berkali-kali pak Truno mengingatkan agar Bachtiar memikirkannya lagi, tapi Bachtiar tetap kukuh pada pendiriannya. Dia akan mundur kalau benar-benar pak Truno dan mbok Truno menolak lamarannya.
“Saya bukannya menolak, Nak. Saya hanya takut kalau karena berbedaan antara nak Tiar dan Arumi ini akan membuahkan hasil yang tidak baik. Misalnya karena nak Tiar menyesal, atau keluarga nak Tiar tidak suka. Jadi nak Tiar harus mempertimbangkannya lagi masak-masak.”
“Saya sudah mempertimbangkannya sejak lama Pak. Dan ini adalah keinginan saya. Bapak harus percaya bahwa saya akan melindungi Arumi dengan sepenuh hati saya, akan mencintainya selama-lamanya.”
Arumi yang tidak berani keluar dan hanya mendengarkan dari dalam kamarnya, berdebar mendengar pembicaraan itu. Sama seperti dirinya, kedua orang tuanya hanya takut kalau Bachtiar hanya akan mempermainkannya.
“Tapi Arumi ingin sekolah dulu Nak,” sambung mbok Truno.
“Tidak masalah bagi saya kalau Arumi ingin sekolah dulu. Saya tidak akan mencegahnya. Tapi kalau bapak dan ibu setuju, bisakah kami bertunangan dulu?”
“Bertunangan?” kata pak Truno dan mbok Truno hampir bareng.
“Iya. Hanya untuk mengikat Arumi, bahwa nanti pada saatnya, saya akan benar-benar menikahinya.”
Pak Truno dan mbok Truno terdiam. Mereka segera memanggil Arumi, yang kemudian keluar perlahan, lalu duduk di samping simboknya.
Dengan hati-hati, pak Truno mengatakan kepada Arumi tentang niat Bachtiar.
“Apa kamu bersedia menjadi istri nak Bachtiar?”
Arumi menundukkan wajahnya. Ia tak menolak. Sungguh.
“Arumi ingin sekolah dulu," jawabnya lirih tanpa berani mengangkat wajahnya.
“Ya, bapak mengerti,” kata pak Truno.
“Kalau memang suka pada Arumi, kalau memang nak Tiar berjanji akan selalu mencintai Arumi, saya tidak mau ada pertunangan segala. Saya minta nak Tiar menikahinya sekalian. Bagaimana? Dan keinginan Arumi untuk sekolah, mohon jangan dihalangi," sambung pak Truno.
Bachtiar menatap Arumi yang menundukkan kepalanya sejak ketika ayahnya memanggilnya lalu duduk di samping simboknya.
“Saya sangat mencintai Arumi. Kalau memang bapak menginginkan begitu, saya sanggup menjalaninya. Biarlah Arumi resmi menjadi istri saya, dan saya tidak akan menyentuhnya sampai dia selesaikan SMA nya.”
Pak Truno bernapas lega, lalu tiba-tiba Arumi memeluk ibunya sambil meneteskan air mata.
“Apa kamu menolaknya?” tanya sang bapak.
Arumi menggelengkan kepalanya, membuat senyum di bibir pak Truno dan mbok Truno mengembang. Demikian juga Bachtiar yang merasa bahagia karena cinta yang dipendamnya akan segera sampai diujungnya.
Tiba-tiba ponsel Bachtiar berdering. Dari ibunya.
***
Besok lagi ya.
Matur nuwun mbak Tien-ku Ketika Bulan Tinggal Separuh sudah tayang
ReplyDeleteAlhamdulillah Akung Latief juara.
DeleteSugeng dalu Bu Tien ......
Matur nuwun.
Sami2 pak Latief
DeleteSugeng dalu mas Kakek
DeleteMatursuwun mbk Tien mugi tansah pinaringan sehat
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Kirana
Terimakasih bunda Tien
ReplyDeleteSemoga bunda Tien selalu sehat
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Salamah
Matur suwun bu Tien
ReplyDeleteSami2 pak Indriyanto
DeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteSyukron nggih Mbak Tien🌷🌷🌷🌷🌷
Sami2 ibu Susi
DeleteAlhamdulillah.Maturnuwun Bunda semoga selalu sehat wal afiat 🤲🙏🙏🙏
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Herry
Alhamdulilah sdh tayang, maturnuwun bu Tien, salam sehat dan aduhai aduhai bun
ReplyDeleteSami2 ibu Sri
DeleteSalam sehat aduhai aduhai
Hamdallah
ReplyDeleteNuwun pak Munthoni
DeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteNuwun ibu Atiek
DeleteMsturnuwun soga sehat srlau ⁷
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Endang
Terima ksih bunda..slmt mlm slmt istrht..slm sht sll unk kel 🙏🥰🌹
ReplyDeleteSami2 ibu Farida
DeleteSalam sehat juga
Matur nuwun Bu Tien....
ReplyDeleteSemoga Bu Tien sekeluarga sehat selalu.....
Aamiin....
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Apip..
Matur nuwun Bu Tien, sehat wal'afiat semua ya 🤗🥰
ReplyDeleteDuh si emaknya Bachtiar bikin heboh nih lg asyik dg Arumi malah telp 😁🤭
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Ika
Banyak yang pro Luki, yang mendukung Tiar hanya ayahnya. Berat memang, tetapi Lakon harus menang.
ReplyDeleteSalam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Latief
Bu Tieeeeenñn terima kasih
ReplyDeleteOoh...ternyata HP Luki habis baterai, tapi setelah dicas kok Bachtiar tetap ga kepo baca notif ya? Jangan2 pak Carik kirim pesan lho...😀
ReplyDeleteTerima kasih, ibu Tien. Salam sehat.🙏🏻
Sami2 ibu Nana
DeleteSalam sehat juga
Terima masih Mbu Tien... makin serruuu... semoga sehat sllu bersama keluarga trcnta
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Zimi
Hamdallah...cerbung Ketika Bulan Tinggal Separuh 31 telah tayang
ReplyDeleteTerima kasihi Bunda Tien
Sehat selalu Bunda, bahagia bersama Pakdhe Tom dan Amancu di Sala. Aamiin
Tiba tiba Arumi memeluk ibu nya sambil meneteskan air mata,...tentu nya air mata bahagia lho...😁😁
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Munthoni
Matur nuwun Bu Tien, tetap sehat njih Ibu...
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Reni
Alhamdulillah
ReplyDeleteTerima kasih bunda Tien
Sehat walafiat nggeh
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Endah
Yah..
ReplyDeletePerasaan cepet banget udah abis lagi... Makasih bu Tien
Sami2 jeng dokter.
DeleteApa kabar?
Alhamdulillah, matur nuwun bunda Tien.
ReplyDeleteSehat dan bahagia selalu bersama keluarga, aamiin 🤲🏻😘
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Ermi
Agak dingin
ReplyDeleteHujan pak Joyo
DeleteArumi masih terlalu kecil untuk dinikahi.Apa ya sudah mau punya suami.
ReplyDeleteSelamat malam..
Sami2 pak Bagiooooo
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
ReplyDeleteMatur nuwun pak Wedeye
Usia nya sdh...Sweet Seventeen....sih...17...😁
ReplyDeleteTerimakasih Mbak Tien...
ReplyDeleteAlhamdulillah, matursuwun Bu Tien semoga sehat selalu. Aamiin
ReplyDelete