KETIKA BULAN TINGGAL SEPARUH 30
(Tien Kumalasari)
Bu Wirawan tampak lega ketika melihat Bachtiar sudah datang. Tergopoh dia menyambutnya, lalu menariknya ke arah kamar operasi.
“Mengapa ibu ke sini lagi?”
“Bagaimana kamu bisa menanyakan hal bodoh seperti itu Tiar? Ibunya Luki itu sahabat ibu. Dia tidak bisa datang cepat karena pesawat yang berangkat lebih cepat telah di booking serombongan orang. Jadi dia minta ibu agar menandatangani surat persetujuan operasi. Ibu sudah menandatanganinya, tapi ibu tidak mau mendekat, apalagi melihat Luki menangis terus.”
“Ibu tenang saja, yang menangani pastilah dokter-dokter ahli.”
“Kemarin belum ketahuan ada kaca yang menancap. Barulah setelah Luki mengeluh sakit sekali, lalu dokter memeriksa secara menyeluruh, ternyata ada kaca menancap di bagian kepala. Apa kamu sudah menelpon dokter? Kamu bilang kemarin mau menghubungi dokter yang menangani Luki.”
“Belum sempat, Bachtiar masih bekerja.”
“Kamu tidak pernah berhenti hanya memikirkan pekerjaan. Bahkan terkadang lupa menjenguk ibumu sendiri,” kata bu Wirawan sambil duduk di kursi ruang tunggu.
“Di sini saja, aku tidak mau mendengar teriakan dari kamar operasi itu.”
“Mana mungkin orang dioperasi bisa berteriak Bu? Mereka sudah pasti dibius sehingga tidak akan merasa sakit. Karena itu tidak mungkin mereka berteriak. Kalau sesudahnya, ketika bius itu hilang, terkadang ada yang sampai mengeluh sakit."
“Ibu pernah mengalami.”
“Apakah ibu juga berteriak ketika dioperasi?”
“Entahlah, ibu baru berteriak ketika menyadari bahwa ibu kehilangan adikmu yang masih di dalam kandungan,” kata bu Wirawan sendu.
“Sudahlah, lupakan semuanya. Operasi itu tidak apa-apa, karena ditangani oleh ahlinya.”
“Entahlah, ibu selalu takut mendengar kata operasi. Karena itu jangan membiarkan ibu sendiri di sini.”
“Tapi Bachtiar harus bekerja kan Bu,” kata Bachtiar yang merasa kecewa tidak jadi bertemu orang tua Arumi hari ini. Ia merasa bersalah sebenarnya, karena telah membohongi ibunya tentang pekerjaan.
“Tolong berhentilah memikirkan pekerjaan kamu sebentar saja. Ibu benar-benar butuh kamu. Kalau ada ayahmu, sudah pasti aku akan meminta agar menemani ibu di sini."
Bachtiar berdiri dan menemui salah seorang perawat. Mereka mengenal Bachtiar sebagai keluarga Luki, karena kemarin Bactiarlah yang meminta seorang perawat agar menemani Luki di kamarnya. Itu pula sebabnya maka ponsel Luki diserahkan kepada Bachtiar.
Bu Wirawan menatap anaknya yang sedang berbincang serius, tapi tak ada tanda khawatir di wajahnya ketika kembali menemui ibunya.
“Ada apa?”
“Hanya operasi kecil. Tidak akan lama. Kaca runcing memasuki daging di belakang telinga kiri. Tak ada yang harus dikhawatirkan.”
“Jangan pergi dulu, kasihan Luki.”
Bachtiar duduk dengan sabar, melihat ibunya tampak khawatir. Ketika itu datang seorang laki-laki dan wanita, bergegas mendekat. Mereka kedua orang tua Luki.
“Nuke, akhirnya kamu datang,” pekik bu Wirawan senang, lalu menyambutnya dengan hangat.
“Bagaimana keadaan Luki?” tanya pak Johan, ayah Luki.
“Masih di kamar operasi. Tapi kata Bachtiar tidak apa-apa, hanya operasi ringan, sebentar lagi pasti sudah selesai,” kata bu Wirawan mencoba menenangkan hati sahabatnya.
“Ini Bachtiar ya?” kata bu Nuke sambil menatap Bachtiar, yang segera menyalami keduanya dan mencium tangan mereka.
“Lama sekali tidak bertemu, kamu sudah benar-benar seperti orang dewasa, gagah dan ganteng. Pantas saja Luki sangat menyukai kamu,” katanya tanpa sungkan.
Bachtiar mencoba tersenyum.
“Kami tetap bersahabat,” katanya untuk menepis perkataan suka yang pastinya nanti akan berlanjut ke hal-hal yang membuatnya sungkan karena ia tidak bisa menerima kata ‘suka’ itu.
“Sudah, nanti kita bicara lebih jauh setelah Luki kembali sehat. Itu, kelihatannya Luki sudah di dorong keluar dari ruang operasi,” kata bu Wirawan.
“Terima kasih sudah mengurus Luki. Mas Wirawan mana?” tanya pak Johan sambil mengikuti brankar yang membawa Luki ke kamar inapnya.
“Sejak kemarin dia ke luar kota. Jadi hanya aku dan Bachtiar yang mengurus anakmu,” jawab bu Wirawan. Bachtiar yang ada disamping ibunya justru kemudian berbisik di telinga sang ibu.
“Bisa aku tinggal ya Bu, sedang mengurus pekerjaan.”
“Kamu mau pergi ke mana, Tiar?” tanya Bu Nuke.
“Harus pergi bekerja, Tante. Mohon maaf tidak bisa menemani lebih lama.”
“Bagaimana kalau Luki menanyakannya?”
“Kan sudah ada om dan Tante, jadi dia pasti merasa lebih tenang,” kata Bachtiar yang segera menyalami keduanya, kemudian mencium sang ibu dan berlalu.
Bu Wirawan menatapnya kecewa.
“Anak itu gila kerja,” gumamnya sambil melangkah mengikuti kedua orang tua Luki.
“Tidak apa-apa Mbak, itu bagus. Anak muda yang penuh semangat. Senang memiliki menantu seperti dia,” kata bu Nuke.
Bu Wirawan tak menjawab. Ia belum mengatakan tentang sikap Bachtiar yang menentang, dan kelihatannya Luki juga belum mengatakan kepada ibunya tentang penolakan Bachtiar.
***
Mbok Truno senang karena hari itu Arumi pulang lebih cepat, dan dagangannya habis. Tapi ia heran melihat wajah Arumi yang kelihatan lelah.
“Apa kamu kecapekan?”
“Tidak Mbok. Biasa saja. Tabungan Rumi sudah banyak, bulan depan Rumi mau mendaftar ke sekolah SMA ya Mbok," kata Arumi mengalihkan pembicaraan.
“Apa kamu sudah bilang sama bapakmu?”
“Sudah, bapak bilang tidak apa-apa, karena sekolah itu tidak jauh dari sini. Kabarnya tidak memakai uang pendaftaran, hanya untuk beli seragam dan beberapa buku.”
“Ya sudah, lakukan saja. Tapi kamu sudah beberapa tahun tidak sekolah, apa kamu akan bisa mengikuti pelajaran, nantinya?”
“Arumi masih selalu membaca buku-buku pelajaran kalau senggang, jadi tidak akan ketinggalan. Doakan saja Arumi bisa mengikuti.”
“Tentu saja simbok akan selalu mendoakan kamu. Tapi hari ini kok wajahmu kelihatan aneh. Ada apa sebenarnya?”
“Simbok mengada-ada.”
“Orang tua itu kan selalu bisa membaca wajah anaknya. Lagi senang, lagi sedih, atau lagi memikirkan entah apa.”
“Tadi Arumi ketemu mas Bachtiar.”
“Oh, ibu tadi pagi sekilas melihat mobil berhenti di situ. Itu nak Bachtiar? Lama sekali tidak bertemu.”
“Dia mengantarkan Arumi sampai ke pasar. Bahkan menunggu sampai Arumi selesai berjualan, lalu mengantarkan pulang kemari.”
“Ini tadi? Simbok tidak melihatnya. Kok tidak mampir?”
“Sedianya mau mampir, tapi tiba-tiba mendapat telpon, entah dari siapa. Lalu hanya minta agar aku memintakan maaf pada bapak dan simbok, karena tidak bisa mampir. Tapi katanya besok pagi mau kemari lagi,” ketika mengatakan itu, Arumi teringat akan lamaran Bachtiar, lalu tiba-tiba wajahnya bersemu merah. Simbok tidak melepaskan pandangannya pada perubahan wajah si anak.
“Mbok, tadi ….” Arumi ragu mengatakannya.
“Arumi, ada apa?”
“Tadi … mas Bachtiar bilang ….”
“Kamu ngomongnya gimana sih? Seperti ragu-ragu. Apa dia marah? Apa kamu sudah mengatakan tentang Sutris yang dulu itu pernah dihajar oleh dia?”
“Sudah. Dia mengatakan meminta maaf karena salah sangka.”
“Dia masih marah?”
“Tidak.”
“Kamu mau bilang apa sih nduk, nggak sabar simbok mendengarkan omongan kamu,” kesal mbok Truno.
“Mas Tiar melamar Arumi,” katanya lirih.
Mbok Truno terbelalak.
“Apa maksudnya melamar? Menjadikan kamu istri?”
Arumi mengangguk, tapi tidak tampak rasa bahagia di wajahnya. Bukan karena tidak suka, tapi menyadari siapa dirinya, dan hal itu pasti tidak akan terjadi.
“Kok aneh. Kita orang miskin. Kamu anak orang miskin. Sedangkan dia? Mengapa tiba-tiba mau melamar? Jangan-jangan kamu hanya akan dijadikan mainan saja, tidak sungguh-sungguh dijadikan istri.”
“Entahlah, itu sebabnya Arumi tidak merasa gembira. Orang kota itu kan susah dimengerti rasa hatinya.”
“Benar.”
Mbok Truno tampak termenung.
“Arumi pernah membaca sebuah cerita. Seorang raja pada suatu hari tersesat di sebuah dusun. Dia kelaparan, ditolong oleh salah seorang penduduk dusun. Orang itu punya seorang anak gadis, lalu sang raja jatuh cinta pada gadis itu. Karena sang raja itu gagah dan tampan, gadis itupun jatuh cinta pada sang raja. Mereka akhirnya dinikahkan. Tapi seorang abdi kerajaan yang mencari hilangnya sang raja, menemukan rajanya di dusun itu, lalu mengajaknya pulang. Sang raja kembali ke istana, meninggalkan istrinya yang saat itu sedang mengandung.”
Arumi menghela napas.
“Sedih kan Mbok, kalau terjadi seperti cerita itu?”
“Itu kan cerita,” gumam mbok Truno yang sebenarnya mempunyai pemikiran yang sama.
“Cerita yang bisa dijadikan contoh untuk kita agar bisa melangkah dengan hati-hati. Jangan tergoda oleh wajah tampan dan kekayaan berlimpah, ya kan Mbok?”
Mbok Truno tersenyum. Arumi bukan gadis bodoh. Ternyata ia suka membaca, jadi memiliki wawasan yang luas, bukan seperti dirinya yang hanya sekolah sampai kelas enam SD, lalu keburu dinikahkan sebelum lulus sekolah.
“Selalulah memohon kepada Yang Maha Kuasa, agar hidup kamu selalu baik. Selamat, mulia dunia akhirat.”
“Iya Mbok, selalu Arumi lakukan seperti apa yang dikatakan simbok.”
“Sekarang kamu tidak usah takut. Kalau benar nak Tiar mau memperistrikan kamu, harus ditanyakan kesungguhannya.”
“Apa langsung ditolak, begitu saja ya Mbok? Takut, punya suami orang kaya. Bukankah hidup sederhana seperti ini saja sudah membuat Arumi bahagia?”
Mbok Truno tersenyum. Ia melihat tidak ada kesungguhan di hati Arumi untuk benar-benar menolak. Tapi sebagai orang tua, mbok Truno akan selalu memohon yang terbaik untuk anak gadisnya.
***
Wahyuni sedang duduk di ruang tengah ketika Suyono mendekatinya. Mereka adalah pengantin baru, jadi tidak diijinkan membantu kesibukan yang masih ada di rumah itu setelah perhelatan.
“Sutris baru saja pamitan untuk kembali ke kota,” kata Wahyuni.
“Iya, aku mengantarkannya sampai ke depan. Tapi aku tadi mendengar pembicaraan aneh antara bapak dan Sutris.”
“Aneh apa sih Mas?”
“Aneh, karena ada perkataan tentang penjara dan sebagainya.”
“Penjara bagaimana maksudnya?”
“Tidak begitu jelas, tapi bapak seperti mengatakan, apa kamu ingin bapakmu ini masuk penjara, begitu kira-kira.”
“Lha kenapa bapak bilang begitu?”
Tiba-tiba pak Carik muncul.
“Kalian sedang membicarakan apa?” tanya pak Carik sambil memandang tajam menantunya, yang dicurigai telah mendengarkan pembicaraannya dengan Sutris.
“Iya, tadi ketika saya mau keluar, mendengar bapak dan Sutris bicara tentang penjara, begitu.”
“Kamu mendengar jelas apa yang kami bicarakan?”
“Tidak. Yang jelas hanya penjara. Bapak bilang, sepertinya … apa kamu mau bapak dipenjara, atau bagaimana, nggak jelas,” terang Suyono.
“Anak bandel itu. Hanya minta uang banyak, lalu bapak menakuti dia, kalau bapak nggak punya uang, apa harus merampok, apa ingin bapak masuk penjara, begitu,” bohong pak Carik.
“O, itu? Tumben Sutris minta uang banyak? Biasanya dia tidak pernah protes mau diberi sedikit atau banyak,” kata Wahyuni heran mendengar keterangan dari ayahnya.
“Entahlah. Sudah punya pacar, barangkali,” kata pak Carik sambil menjauh, merasa telah bisa mengatasi kecurigaan menantunya.
Wahyuni hanya mengangkat bahu, lalu masuk ke kamar untuk beristirahat, diikuti suaminya.
***
Luki telah sadar sepenuhnya, senang melihat ayah ibunya sudah ada di dekatnya. Tapi dia tak melihat lagi bu Wirawan yang tadi menemaninya.
“Mana ibu Wirawan?”
“Sudah pulang, tadi mendapat telpon bahwa suaminya sudah pulang dari luar kota,” kata bu Nuke.
“O, begitu? Dia menemani Luki sejak Luki kecelakaan sampai mau dioperasi.”
“Tadi ada Bachtiar juga, tapi dia buru-buru pulang begitu papa dan mamamu sampai di sini.”
“Oh, Bachtiar juga ada?”
“Dia meninggalkan pekerjaannya. Kata ibunya, dia itu gila kerja. Kamu harus sabar nanti setelah jadi istrinya.”
Luki memejamkan matanya, untuk menyembunyikan kesedihan karena dia yakin Bachtiar tidak mau menjadikannya istri.
“Apa masih terasa sakit?” tanya pak Johan ketika melihat Luki seperti kesakitan.
“Tidak, hanya sedikit.”
“Lain kali kamu harus hati-hati kalau berkendara. Jangan ngebut. Kamu suka ngebut soalnya,” kata sang ayah.
“Malam itu Luki sangat mengantuk.”
“Kalau mengantuk tidak boleh nyetir sendiri.”
“Habis pergi sama Bachtiar, pulangnya Luki ngantuk sekali. Luki ingin tidur di rumah Bachtiar saja daripada ngantuk di jalan, tapi Bachtiar menolaknya.”
“Ya ampuun, kok Bachtiar tega?” keluh bu Nuke.
“Mama harus tahu, Bachtiar tidak suka pada Luki,” kata Luki pada akhirnya.
Pak Johan dan istrinya terkejut.
“Dia menolak kamu?”
Luki mengangguk.
“Pasti ada cara untuk membuatnya mau menikahi kamu,” kata bu Nuke seperti bergumam.
***
Besok lagi ya.
Alhamdulillah eps 30 sdh tayang
ReplyDeleteTerima kasih bu Tien, salam ADUHAI dari teman2 PCTK Malang
DeleteWa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh
DeleteMatur nuwun mbak Tien-ku Ketika Bulan Tinggal Separuh sudah tayang
ReplyDeleteSami2 pak Latief
DeleteYes
ReplyDeleteIyeess
DeleteMatur suwun
ReplyDeleteSami2 pak Indriyanto
DeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteMatur sembah nuwun Mbak Tien
Sehat selalu
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun jeng Ning
Maturnuwun bu Tien, salam hangat dan aduhai aduhai bun
ReplyDeleteSami2 ibu Sri
DeleteSenang sekali bisa bertemu
Aduhai aduhai deh
Alhamdulillah
ReplyDeleteTerimakasih bunda tien
Sami2 ibu Endah
DeleteAlhamdulillah KBTS 30 sdh hadir. Matur nuwun Bu Tien🙏
ReplyDeleteSugeng ndalu, mugi Bu Tien & kelg tansah pinaringan sehat 🤲
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Sis
Matur nuwun, bu Tien
ReplyDeleteSami2 ibu Anik
DeleteMatur nuwun , Mugi jengTien tansah sehat , aku selalu menunggu karyanya 🙏
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun mbak Yaniiik
Terimakasih bunda Tien
ReplyDeleteSemoga bunda Tien selalu sehat
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Salamah
Alhamdulillah.Maturnuwun Bunda semoga selalu sehat wal afiat 🤲🙏🙏🙏
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Herry
terima kasih Bu Tien
ReplyDeleteSami2 pak Subagyo
Delete
ReplyDeleteAlhamdullilah
Matur nuwun Cerbung *KETIKA BULAN TINGGAL SEPARUH 30* sdh hadir...
Semoga sehat dan bahagia bersama keluarga
Aamiin...
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Wedeye
Alhamdulillah, terimakasih bu Tien
ReplyDeleteSalam sehat selalu
Sami2 ibu Ika
DeleteApa kabar ?
Ternyata orang tua Luki juga ingin punya menantu mas Tiar. Jangan jangan justru Rumi yang akan jadi sasaran tembak. Tapi percaya saja, 'sing sapa salah seleh.'
ReplyDeletesalam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Latief
Alhamdulillah
ReplyDeleteSyukron nggih Mbak Tien🌹🌹🌹🌹🌹
Sami2 ibu Susi
DeleteMatur nwn bu Tien
ReplyDeleteSami2 pak Bam's
DeleteMatur nuwun Bu Tien. Salam sehat bahagia dari Yk..
ReplyDeleteSami2 ibu Reni
DeleteSalam sehat dari Solo
Akhirnya yg di tunggu datang juga, terima.kasih Bunda Tien Kumalasari , salam.hangat dari Kota Pasuruan
ReplyDeleteSami2 ibu Mundjiati
DeleteSalam hangat dari Solo
Alhamdulillah.... terima kasih Bu Tien semoga sehat selalu.
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Yati
Hamdallah...cerbung Ketika Bulan Tinggal Separuh 30 telah tayang
ReplyDeleteTerima kasihi Bunda Tien
Sehat selalu Bunda, bahagia bersama Pakdhe Tom dan Amancu di Sala. Aamiin
Arumi...bimbang dan ragu...tapi dlm hati mau.
Pak Johan dan isterinya terkejut, Tiar menolak Luki. Mereka punya cara untuk menundukan Tiar.
Rencana jahat...apalagi ya yang akan pak Johan lakukan
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Munthoni
Alhamdulillah, matursuwun Bu Tien "KBtS~30"nya
ReplyDeleteSalam hangat, semoga sehat bahagia selalu 💖
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Umi
Alhamdulillahi rabbil'alamiin
ReplyDeleteTerima kasih bu tien tayangan cerbungnya.
Semoga bu tien sehat² selalu
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Arif
Waduh, gawat nih...jangan2 bu Nuke akan menjebak Bachtiar dengan cara seperti Luki ke Arumi dan Sutris ya? Dasar ibu dan anak sama2 pikirannya jahat. Semoga tidak terlaksana...
ReplyDeleteTerima kasih, ibu Tien...semoga sehat selalu di musim hujan ini.🙏🏻🙏🏻🙏🏻
Terimakasih bunda Tien, salam sehat selalu dan aduhaiii
ReplyDeleteTerimakasih Mbak Tien...
ReplyDeleteLuki tetap berusaha menjadi isteri Bachtiar....yèn isa...
ReplyDeleteMatur nuwun Bu Tien, sehat wal'afiat semua ya 🤗🥰
ReplyDeleteOrang tua nya sama ya pemikiran dg Luki,. terlalu memaksa kan kehendak,😁🤭 jd penasaran