M E L A T I 24
(Tien Kumalasari)
Nurin melangkah mendekat, seakan tak peduli ada Melati yang duduk di samping ranjang. Melati yang melihat ada Nurin datang, kemudian berdiri dan menjauh. Daniel menatap Nurin tak suka.
“Mas, aku bawakan buah-buah segar. Eh ternyata sudah ada buah-buahan di sini.”
“Kamu repot-repot membawa sekian banyak buah, bawa pulang saja, daripada mubazir, tidak dimakan, kemudian busuk,” kata Daniel.
Nurin yang sudah duduk di kursi, dimana tadi Melati mendudukinya, tersenyum manis.
“Masa aku harus membawanya pulang sih Mas, berikan siapa saja yang mau.”
“Mengapa kamu kemari lagi?”
“Tadi aku belum melihat ada buah-buahan di sini, makanya aku kembali untuk membawakannya untuk Mas, tak tahunya sudah ada. Oh, dia yang membawa?” Nurin menoleh ke arah Melati yang duduk di sofa.
“Bukan, bukan saya,” katanya sambil berdiri.
Daniel menatap Melati yang mendekat ke arahnya.
“Mas, aku mau pamit dulu.”
“Mengapa buru-buru? Apa hari ini kamu sudah masuk kerja?”
“Hari ini aku ijin tidak masuk kerja, tapi ada yang harus saya kerjakan di rumah. Ibu sedang menunggu.”
Daniel ingin menahannya, tapi Melati sudah membalikkan badannya.
“Eeeh, tunggu dulu, kita kan belum kenalan?” tiba-tiba Nurin menarik tangan Melati sambil tersenyum manis, sehingga Melati harus menghentikan langkahnya. Tadi ia juga ingin menyapa, tapi lagi-lagi merasa sungkan.
“Namaku Nurina,” Nurin menggenggam tangan Melati erat.
“Saya Melati. Tapi maaf, saya terburu-buru.”
Melati meninggalkan senyum ramah, sebelum akhirnya benar-benar berlalu.
Nurin masih tersenyum manis ketika kembali mendekati ranjang Daniel, yang wajahnya menjadi muram.
“Jadi itu yang namanya Melati? Cantik sekali,” kata Nurin sambil kembali duduk.
“Maaf Nurin, saya ingin tidur, kata dokter saya harus banyak istirahat.”
“Oh, tentu saja. Baiklah, tidurlah, saya ingin menunggui di sini sebentar, sampai Mas tertidur, lalu aku pulang.”
“Mana aku bisa tidur kalau kamu masih duduk di situ?”
“Jadi aku harus pergi? Baiklah, maaf mengganggu kamu, tapi maksudku sebenarnya baik kok. Cepat sembuh ya,” kata Nurin yang kemudian berdiri, dan berlalu.
Daniel sedikit kesal. Gara-gara ada Nurin, Melati pergi begitu saja. Padahal sebenarnya ada yang akan dia katakan. Tentang perasaan hatinya. Ia tak ingin Melati salah sangka atas hubungannya dengan Nurin.
“Aku bahkan lupa menanyakan nomor kontaknya,” sesal Daniel yang kemudian berusaha memejamkan matanya.
***
Melati sedang mengayuh sepedanya dibawah terik matahari, ketika sebuah mobil melaju sangat dekat di sampingnya, hampir menyerempetnya. Tapi kemudian mobil itu berhenti ditepi jalan. Melati tak memperhatikannya, tapi ia kemudian melihat kaca mobil bagian kemudi terbuka, seseorang melongok keluar. Nurin?
“Maaf Melati, aku hampir menyerempetmu,” katanya sambil tersenyum.
Melati menoleh sekilas, tapi tak menghentikan sepedanya. Ia terus mengayuhnya, dan membiarkan ketika mobil Nurin kembali melewatinya, sambil memperdengarkan klakson mobil. Tapi kali ini lebih pelan. Melati tak bereaksi. Ia masih saja mengayuh sepedanya. Bermacam perasaan berkecamuk dalam hatinya.
“Gadis itu, mana mungkin bersaing dengan aku? Dia cantik, kaya, bergengsi. Sedangkan aku? Ah, sudahlah, aku tak ingin memikirkannya,” gumam Melati pelan.
Tak ada sesal di wajahnya. Bahwa dia ditakdirkan untuk hidup sederhana, itu diterimanya dengan penuh rasa ikhlas dan syukur. Jangankan hanya bersaing dalam cinta, bertaruh kehormatan yang nyaris membuatnya hancur sudah dijalaninya.
“Ini adalah takdirku,” gumamnya lagi sambil mengayuh lebih cepat, sambil mengusap peluh dengan sebelah tangannya.
***
Raisa sedang menghidangkan dua gelas jus jambu kepada ayah dan suaminya, ketika mereka sedang berbincang di ruang tengah. Kemudian Raisa ikut duduk diantara mereka.
“Bagaimana perkembangan kasusnya?” tanya Raisa.
“Kalau Harjono tak bisa menunjukkan bukti surat hutang ayah Melati, berarti Melati tidak usah membayar hutang yang tidak jelas itu,” kata Samiaji.
“Kasihan Melati. Ia hampir saja menjadi korban.”
Ramon terdiam. Ada sesal yang menggayutinya, karena bagaimanapun, Harjono adalah ayahnya. Tapi yang disesalinya adalah perbuatan ayahnya selama ini.
“Ramon, aku mengerti. Kamu pasti menyesal semua ini harus terjadi.”
Ramon menatap ayah mertuanya. Mengapa ayahnya tidak seperti ayah mertuanya yang begitu baik dan bijaksana?
“Semoga ini bisa membuat ayah kamu mendapat pelajaran berharga dalam hidupnya,” sambungnya.
“Itulah harapan saya juga, Pak.”
“Maafkan aku, kalau aku ikut andil dalam masuknya ayah kamu ke penjara nantinya.”
“Tidak. Bapak melakukan hal yang benar. Selama ini, bapak saya selalu mengandalkan uang yang dimilikinya, dan begitu yakin kalau uang sangat berkuasa. Kali ini, dia mengerti bahwa uang tidak lagi bisa melindunginya.”
“Mas Ramon, apa sepeda motor anak muda bernama Daniel itu sudah Mas kirim ke rumahnya?”
“Aku belum tahu alamat Daniel, aku menelponnya untuk bertanya, tapi ponselnya mati.”
“Apa Daniel tidak berusaha mengecas ponselnya ya?” sambung Samiaji.
“Jangan-jangan ponselnya rusak,” kata Raisa.
“Wah, kalau begitu bagaimana bisa menghubunginya? Nanti sore aku mampir ke rumah sakit lagi saja.”
“Sekarang kamu istirahat dulu saja, semalam tidak tidur, pasti kamu capek.”
“Bapak juga, harusnya segera beristirahat,” sambung Raisa.
“Baiklah, aku juga mengantuk,” kata Samiaji sambil berdiri.
“Mas tidurlah, aku mau belanja sama bibik.”
***
Daniel sudah rapi, perawat sudah menggantikan bajunya dengan yang bersih. Ia menghirup segelas susu yang disediakan, sambil mengangkat kepalanya, lalu kembali berbaring.
Ia sedang memikirkan kepergian Melati yang meninggalkan rasa sesal dihatinya, ketika tiba-tiba Baskoro muncul.
“Pak Baskoro?”
“Bagaimana sih Nak, aku sama sekali tidak mengira akan ada kejadian seperti ini yang menimpa nak Daniel.”
“Tidak apa-apa, Pak. Bukankah dalam hidup akan banyak hal yang harus kita lewati? Pak Baskoro sendiri yang mengajari saya, bukan?”
“Benar. Semalaman saya menelpon tanpa hasil, dan terkejut ketika tadi Nilam tiba-tiba mengabari tentang keadaan nak Daniel. Saya menyesal tidak bisa segera datang kemari, karena warung kebetulan sangat ramai.”
“Tidak apa-apa, Pak. Semuanya sudah berlalu. Terima kasih Bapak sudah datang, sementara pastinya Bapak sangat capek.”
“Tidak, siapa yang capek? Melakukan hal yang menyenangkan itu tidak capek. Berjualan dan berhasil, bukankah itu menyenangkan?”
“Alhamdulillah, saya ikut senang.”
“Oh ya, tadi nak Wijan menitipkan ini untuk nak Daniel,” kata Baskoro sambil memberikan sebuah kotak kecil.
“Oh, mas Wijan benar-benar membelikan ponsel untuk saya,” mata Daniel berbinar.
“Katanya ponsel nak Daniel rusak.”
“Iya, benar. Terima kasih ya Pak.”
“Aku tidak membawakan apa-apa, harus bertanya dulu, nak Daniel ingin apa.”
“Banyak makanan dan buah-buahan. Malah nanti Bapak bawa saja buah-buahan itu, daripada tidak termakan.”
“Bagaimana ini, tidak membawakan apa-apa, malah disuruh membawa makanan dari sini.”
“Tadi orang yang menolong saya membawa buah-buahan, lalu ada teman yang datang dan membawa lagi parsel buah itu. Mana muat perut saya kalau harus memakan semuanya?”
“Saya bawa saja besok ke warung, biar anak-anak warung ikut memakannya. Atau sebagian saya kirimkan ke Nugi. Bukankah Nugi sangat suka buah jeruk?”
“Iya Pak, terserah Bapak saja. Membagikan rejeki adalah hal yang bagus, bukan?”
“Benar. Sekarang bagaimana keadaan nak Daniel? Sepertinya masih kesakitan? Lengan kirinya agak bengkak ya?”
“Sedikit, tapi sudah berkurang.”
“Tadi saya sangat khawatir.”
“Saya berharap bisa segera pulang.”
“Mengapa nak Daniel dirawat di sini? Bukan di rumah sakit tempat nak Daniel bekerja?”
“Penolong saya membawanya ke sini, bahkan sudah membayar biayanya sampai sepuluh hari ke depan. Saya tidak bisa apa-apa. Mau bagaimana lagi?”
“Nilam sudah menceritakan semuanya ketika menelpon. Saya bersyukur, nak Daniel bertemu orang-orang baik. Bagaimana dengan gadis itu, yang kata Nilam adalah gadis yang nak Daniel sukai?”
Daniel tertawa pelan.
“Doakan ya Pak.”
“Tentu saya doakan. Sudah saatnya ada yang mendampingi nak Daniel dalam mengayuh kehidupan. Nanti kalau nak Daniel menikah, saya akan tidur di warung saja.”
“Mengapa begitu Pak? Tetaplah di rumah saya, sebagai pengganti orang tua saya.”
“Kalau nak Daniel sudah punya istri, mana mungkin saya akan tetap tinggal di sana?”
“Masih lama, entah kapan. Saya juga baru suka sama dia, belum pernah mengutarakan isi hati saya. Semoga saja dia mau menerimanya.”
“Nak Daniel laki-laki yang baik. Mana mungkin dia menolak? Oh ya, kapan-kapan ajaklah ke rumah, aku juga ingin melihat calon istri nak Daniel.”
“Semoga bisa segera terlaksana.”
***
Pagi hari itu Melati sudah kembali bekerja. Sehari ditinggalkannya, pekerjaan sudah menumpuk lagi. Ketika ia sedang memeriksa kebutuhan belanja hari itu, tiba-tiba ponselnya berdering. Dari pak Samiaji.
“Melati, apa kamu sibuk? Maaf kalau mengganggu.”
“Tidak Pak, ada apa? Semoga bukan hal buruk.”
“Bukan, ini justru hal baik.”
“Oh ya?”
“Dalam pemeriksaan, Harjono tidak bisa menunjukkan surat hutang ayah kamu, jadi hutang itu hanya akal-akalan dia saja.”
“Lalu?”
“Berarti kamu tidak perlu membayar apapun.”
“Alhamdulillah. Terima kasih banyak Pak, ini semua atas kebaikan Bapak dan tuan muda Ramon.”
“Kamu bisa bekerja dengan tenang. Tapi nanti saat persidangan, kamu harus bersedia menjadi saksi.”
“Baiklah.”
“Ya sudah, aku hanya ingin memberi tahu soal itu. Yang jelas ini berita baik, yang semoga akan berkelanjutan menjadi lebih baik.”
“Sekali lagi saya mengucapkan terima kasih.”
“Kalau uang limabelas juta yang sudah kamu bayarkan itu tidak bisa dikembalikan oleh dia, kamu tidak usah memikirkannya. Nanti aku akan menggantinya.”
“Tidak Pak, tidak usah. Biarkan saja, saya sudah ikhlas, yang penting saya tidak berkewajiban untuk membayar hutang yang sebenarnya tidak ada. Itu sudah menyenangkan hati saya, dan tentu saya juga ibu saya.”
“Ya sudah, itu masalah gampang, nanti kita bicarakan lagi. Selamat bekerja, Melati.”
“Terima kasih Pak, terima kasih.”
Melati menutup ponselnya dengan perasaan yang sulit digambarkan. Gembira, bahagia, penuh rasa syukur. Entahlah, ia bahkan lupa sudah berapa kali mengucapkan terima kasih kepada Samiaji yang sudah menolongnya dan mengabarkan berita baik untuknya.
Ia kembali menatap catatan yang disodorkan di mejanya, tapi tiba-tiba seseorang menyapanya dengan manis.
“Melati.”
Melati mengangkat wajahnya. Gadis cantik yang kaya raya itu? Nurina?
“Ibu Nurina, ada yang bisa saya bantu?” tanyanya ramah.
“Aku mau melihat daftar menu yang ada di sini, untuk acara di perusahaanku, bulan depan.”
“Oh, baiklah. Silakan duduk, Ibu.”
“Hei, jangan memanggilku ibu, aku belum menjadi ibu. Panggil namaku saja, Nurin.”
“Baiklah, mbak Nurin. Silakan duduk,” kata Melati sambil tersenyum.
Melati mengambil buku menu di lacinya, dan segera memberikannya kepada Nurin.
Ketika menatap buku itu, Nurin sebenarnya masih membayangkan wajah Melati yang tampaknya disukai oleh Daniel. Melati cantik, lembut, dan sangat ramah dalam menghadapi pelanggan. Jadi ini yang membuat Daniel tertarik, dan suka, atau bahkan jatuh cinta? Sungguh Nurin tidak membaca menu yang terlampir. Ia hanya membayangkan wajah Melati dan Daniel berganti-ganti.
Kalau saja dia bersikap lebih lembut, seperti Melati, pasti Daniel akan tertarik padanya. Bukankah dia lebih cantik, lebih seksi, dan dia juga banyak disukai laki-laki?
“mBak Nurin, kalau yang itu tidak menarik, ada pilihan yang lain lagi,” tiba-tiba Melati menyodorkan lagi buku yang lain. Agak kusam, mungkin itu buku lama, yang pilihan menunya berbeda. Tapi kalau pelanggan suka, maka pasti akan dilayaninya.
“Oh, eh … iya, terima kasih.”
Nurin menerima buku satunya, membolak baliknya. Tapi ia teringat perkataan Nilam beberapa waktu yang lalu.
Nurin, kamu seorang pengusaha, terhormat, intelektual, bersainglah dengan cara terhormat.
“Melati, apakah mas Daniel sering pergi ke sini?”
Melati terkejut. Mau pesen, kok sambungannya bertanya tentang Daniel sih.
“Mas Daniel? Nggak. Pernah sih, hanya karena mau pesan makanan.”
“Oh, iya, dia pernah mengatakan itu. Kami baru saja bertemu, tapi merasa sudah sangat dekat.”
Melati tak menanggapi, rupanya Nurin ingin mengatakan bahwa dia dekat dengan Daniel, dan ada ancaman tersirat disana, bahwa dia tak boleh mendekati Daniel. Melati tersenyum tipis, tapi dia pura-pura sibuk dengan pekerjaannya.
Tapi kemudian Nurin teringat ucapan Nilam itu lagi.
Bersainglah dengan cara terhormat. Sementara dia baru saja berbohong tentang kedekatannya dengan Daniel. Ia berusaha memanasi hati Melati. Itu bukan cara terhormat. Ia menyesali ucapannya.
***
Besok lagi ya.
Alhamdulillah Melati_24 sudah tayang. Tepat waktu.
ReplyDeleteTerima kasih banyak ya bu Tien......
Salam SEROJA dan tetap ADUHAI.....
Sami2 mas Kakek
DeleteAduhai deh
🍓🌿🍓🌿🍓🌿🍓🌿
ReplyDeleteAlhamdulillah 🙏🦋
MELATI 24 sdh tayang.
Matur nuwun Bu Tien
yang baik hati.
Semoga Bu Tien tetap
sehat & smangaats.
Salam Seroja...🌹😍
🍓🌿🍓🌿🍓🌿🍓🌿
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Sari
This comment has been removed by the author.
ReplyDeleteTrmksh mb Tien
ReplyDeleteSami2 Yangtie
DeleteAlhamdulillah tayang *MELATI* ke dua puluh empat
ReplyDeleteMoga bunda Tien sehat selalu doaku
Aamiin yaa Rabbal'alamiin
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun jeng In
Alhamdulillah
ReplyDeleteTerima kasih bunda Tien
Salam Aduhai hai hai
Sami2 ibu Endah
DeleteAduhai hai deh
Matur nuwun mbak Tien-ku Melati tayang
ReplyDeleteHamdallah...cerbung Melati 24 telah tayang
ReplyDeleteTaqaballahu Minna Wa Minkum
Terima kasih Bunda Tien
Sehat selalu Bunda dan bahagia bersama Keluarga di Sala.
Met berakhir pekan Bunda.
Nurin...payah....Nurin...payah...tdk mau ngelihat orang lain ( Daniel ) senang...😁😁
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Munthoni
Matur nuwun salam sehat penuh berkat
ReplyDeleteSami2 mbak Yaniiik
DeleteAlhamdulillah.semoga Bunda selalu sehat wal afiat,Melati dan Daniel ayo gerak cepat👍 Maturnuwun🌷💐 🌹🪷🌺🌼🌻🙏
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Herry.
Alhamdulillah
ReplyDeleteTerimakasih bunda Tien
Semoga bunda Tien selalu sehat
Salam aduhai
AAMIIN yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Salamah
AAMIIN yaa Robbal'alamiin
ReplyDeleteMatur nuwun pak Herry
alhamdulillah
ReplyDeletematurnuwun
Sami2 ibu Nanik
DeleteAlhamdulillah .... maturnuwun Bu Tien ..... Semoga sehat selalu
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Endang.
Alhamdulillah MELATI~24 sudah hadir, terimakasih bu Tien, semoga sehat & bahagia senantiasa bersama keluarga.
ReplyDeleteAamiin yra..🤲.
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Djodhi
Nurin kasihan dikau, mengejar ngejar Daniel yg hatinya sdh dibrikan untuk Melati.
ReplyDeleteCaramu bersaingpun hanya memikirkan dirimu sendiri.
Ingat jodoh adalah kehendak Allah.
Trima kasih ibu Tien untuk menayangkan episode ini dg waktu yg tdk terlalu malam.
Selamat malam.
Sami2 ibu Rosie
DeleteAlhamdulillah sudah tayang. Nurin camkan apa kata Nilam bahwa kamu seorang pengusaha, terhormat, intelektual, bersainglah dengan cara terhormat. Nah kalau Nurin bersaing dengan cara terhormat, siapa yang akan dipilih Daniel? Bu Tien yang pirso jawabannya. Salam sehat selalu
ReplyDeleteSalam sehat jugaibu Noor
DeleteAlhamdulillah, MELATI 24 telah tayang, terima kasih bu Tien, salam sehat, sejahtera dan bahagia selalu bersama keluarga. Aamiin.
ReplyDeleteUR.T411653L
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Uchu
Alhamdulillah MELATI 24 sudah tayang
ReplyDeleteMatur nuwun bunda Tien,
Semoga selalu sehat, semangat dan selalu dalam lindungan Allah SWT
Aamiin Yaa Robbal'Alamiin
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun Anrikodk
ADUHAI....Melati sudah tayang. Matur nuwun, Mbak Tien.
ReplyDeleteSalam sehat selalu...
Sami2 ibu Purwani
DeleteSalam ADUHAI deh
Alhamdulilah maturnuwun bu Tien melati 24 sudah tayang .... pesan untuk Nurin : bersainglah secara sehat . Pasti Melati pemenangnya ...
ReplyDeleteSemoga bu Tien selalu sehat dan bahagia serta selalu dalam lindungan Allah SWT..salam hangat dan aduhai bun...
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Sri
Aduhai deh
Matur nuwun Bu Tien....senang mengikuti "persaingan" antara Nurin dan Melati. Semoga Ibu selalu sehat, aamiin....
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Reni
Alhamdulillah
ReplyDeleteMatur sembah nuwun mbak Tien
Melati ..ooh Melati..
Sabar ..nrimo..penuh perjuangan...semoga berakhir bahagia .
Sami2 bu Djoko
Delete
ReplyDeleteAlhamdullilah
Cerbung *MELATI 24* telah. hadir
Matur nuwun bu Tien
Semoga sehat bahagia bersama keluarga
Aamiin...
.
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Wedeye
Makasih bunda cerbung nya, salam sehat kutunggu kelanjutanya
ReplyDeleteSami2 ibu Engkas
DeleteSalam sehat juga
Bagus ini.. Melati bebas dari hutang. Cuma bagaimana kalau ada 'efek samping' dari peristiwa tersebut.
ReplyDeleteTernyata Nurin akan maju terus, berjuang memperebutkan Daniel. Tapi harus dengan cara yang baik
dong.
Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Latief
Matur nuwun, bu Tien
ReplyDeleteSami2 ibu Anik
DeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteSyukron nggih Mbak Tien 🌹🌹🌹🌹🌹
Sami2 ibu Susi
DeleteAlhamdulillaah, Daniel sdh semakin baik,,tp Melati tetap sabar ya ,biasa sll ada penghalang untuk meraih yg kita inginkan,, nnt Nurin pergi kok,,,hihi😁
ReplyDeleteMas Daniel hny u Melati kok 👍😍
Matur nuwun Bu Tien, 🤗🥰
Sehat wal'afiat selalu & salam Aduhaiii 😍 🌿❤️
Aamiin
DeleteMatur nuwun ibu Ika
Wkwk...Nurin berusaha memanas2i Melati ya...hmm...apakah berhasil? Kita lihat nantinya...😀
ReplyDeleteTerima kasih, ibu Tien...sehat2 ya...🙏🙏🙏
Aamiin
DeleteMatur nuwun ibu Nana
Aduh, besok Melati tak kerja. Mau tak mau, saya harus menunggu Melati senin saja...
ReplyDeleteTerimakasih Mbak Tien...
Sami2 Mas MIRa
DeleteMenyenangkan baca episode ini. Terimakasih Bunda Tien sehat dan semangat selalu di dunia halu
ReplyDeleteSami2 ibu Nanik
DeleteAlhamdulillah, matursuwun Bu Tien, salam sehat dan semangat selalu
ReplyDeleteSami2 ibu Umi
DeleteSalam sehat ugi
Makasih mba Tien.
ReplyDeleteSemakin asiik .
Salam sehat selalu aduhai
Sami2 ibu Sul
ReplyDelete