Wednesday, February 28, 2024

ADA CINTA DI BALIK RASA 29

 ADA CINTA DI BALIK RASA  29

(Tien Kumalasari)

 

Raharjo menatap Nilam yang terus saja mengawasi punggung laki-laki berpakaian lusuh yang baru saja diberinya selembar uang.

“Nilam, kamu sedang melihat apa?”

“Itu … orang itu … “

“Seorang peminta-minta. Kamu sudah memberinya uang kan?”

“Sudah, tapi Nilam seperti pernah melihat orang itu.”

“Kamu ini aneh. Kita berada di dalam sebuah lokasi, di mana setiap orang bisa berada di sana. Bisa jadi kamu sudah pernah melihatnya di suatu tempat, lalu sekarang melihatnya lagi.

Mobil Raharjo meluncur menuju ke arah kantor kembali. Tapi Nilam masih memikirkannya. Laki-laki, berewokan, lusuh dan kotor. Pakaiannyapun lusuh. Nilam merasa, laki-laki itu bergegas pergi setelah menerima uang darinya. Apa ada yang ditakutkannya? Laki-laki lusuh itu selalu mengganggu ingatannya. Seperti tidak asing, seperti … haa … laki-laki bercambang itukah?

“Dia Baskoro, bukan?” pekik Nilam tiba-tiba.

Raharjo terkejut, menatap gadis cantik yang sudah berpuluh tahun menjadi anaknya itu dengan pandangan heran.

“Apa katamu?”

“Dia tadi itu … seperti Baskoro.”

“Baskoro siapa?” Raharjo sudah melupakan nama itu, tapi tidak dengan Nilam. Hubungannya dengan ibunya membuatnya jijik dan muak.

“Yang menjadi karyawan Bapak … yang dekat sama ibu … yang ….”

“Yang dipenjara? Bukankah dia dipenjara?”

“Sudah lama, barangkali sudah dibebaskan. Lalu di mana ibu?”

“Belum tentu tadi itu Baskoro. Karena dia berewokan?”

“Entahlah, sangat mirip.”

“Apa kamu ingin menengok ibumu di penjara?”

“Tidak. Nilam sudah tahu bahwa dia bukan ibu Nilam. Nilam benci dia. Nilam malu mengingat kelakuannya.”

“Yang sudah lalu, biarlah berlalu, kamu tidak usah memikirkannya. Lagipula mengapa tiba-tiba kamu mengira bahwa dia adalah Baskoro?

"Mungkin karena mirip.”

“Toh dia masih dipenjara. Limabelas tahun belum dilewatinya.”

Nilam diam, tapi dia berpikir terus tentang Baskoro. Mungkin dia mendapat remisi beberapa kali karena berkelakuan baik, sehingga saat ini bisa bebas. Lalu apakah ibunya masih dipenjara? Atau sudah dibebaskan bersamanya? Biarpun membencinya, tapi dia ingin sekali mendengar berita tentangnya. Benarkah laki-laki tadi adalah Baskoro? Seandainya tahu, pasti dia akan menanyakan keadaan ibunya.

“Hei, kamu melamunkan apa?”

“Tidak Pak, tidak melamunkan apa-apa.”

“Mungkin wajahnya mirip Baskoro, tapi banyak orang mirip di dunia ini, bukan?”

Nilam mengangguk. Mungkin hanya mirip. Lagipula kenapa dia memikirkannya? Benarkan dia hanya ingin tahu keadaan ibunya, atau memang ingin bertemu? Bagaimanapun Nilam pernah menjadi anaknya, yang dimanja dengan segala kemewahan, walau dia tak menyukainya. Tapi kelakuan sang ibu yang buruk, membuat rasa kasih sayang Nilam terhadapnya, lenyap bagai ditiup angin.

Ia tak pernah menanyakannya, apalagi merindukannya.

Tiba-tiba ponsel Raharjo berdering.

“Dari Wijan,” gumam Raharjo sambil mengangkat ponselnya.

“Bapak di mana?”

“Baru selesai makan di luar bersama Nilam. Ada apa? Tadi kamu janji akan kembali ke kantor pada jam makan siang kan?”

“Maaf Pak, ada halangan, jadi tidak tega meninggalkan Anjani sendirian.”

“Memangnya ada halangan apa?”

“Tadi tiba-tiba pak Marjono sesak napas. Tapi sudah ditangani dokter.”

“Bagaimana keadaannya sekarang?”

“Sudah normal, tapi dengan kejadian itu, rupanya pak Marjono belum bisa dibawa ke ruang rawat inap. Sekarang ada di ruang ICU.”

“Jadi kamu masih di rumah sakit?”

“Wijan tidak tega meninggalkan Anjani. Dia sedang mengkhawatirkan ayahnya. Kalau sendirian, dia pasti bertambah sedih.”

“Ya sudah, temani saja dulu,” kata Raharjo yang segera menutup ponselnya.

“Wijan sedang menemani Anjani. Baru saja ayahnya sesak napas, jadi dokter masih mengawasinya dengan ketat. Mungkin juga besok belum jadi bisa dipindahkan ke ruang rawat inap. Kamu harus mengerti, mengapa dia tidak bisa kembali ke kantor seperti janjinya.”

Nilam mengangguk mengerti. Tapi ada kecewa di dalam hatinya, ketika yang ditelpon adalah ayahnya, bukan dirinya.

“Kabarnya keadaan pak Marjono sudah membaik. Mengapa tiba-tiba sesak napas?” gumam Raharjo.

“Mungkin ada hal yang dipikirkannya.”

“Nanti kita ke rumah sakit ya,” kata Raharjo.

“Ya, Pak,” kata Nilam dengan tulus. Dia merasa kasihan pada Anjani. Pasti menyedihkan kalau dia sendirian. Lalu rasa kesalnya kepada Wijan agak berkurang. Pada dasarnya Nilam gadis yang baik. Tidak mungkin dia membenci Anjani, hanya karena laki-laki yang dicintainya ternyata tertarik pada gadis itu.

***

Anjani merasa sungkan, karena Wijan masih saja menemaninya. Tapi ketika ia minta agar Wijan meninggalkannya, ternyata Wijan menolaknya.

“Tidak apa-apa, aku tidak tega meninggalkan kamu.”

“Jangan begitu Mas, jadi nggak enak. Kan dengan begitu, mas Wijan harus meninggalkan tugas di kantor?”

“Aku kan sudah bilang, ada Nilam yang bisa melakukan semuanya. Sekarang ini kamu sedang tidak nyaman, kalau tidak boleh dikatakan sedih, jadi kamu butuh teman.”

Anjani tidak menolak anggapan itu. Betapa bingungnya dia ketika ayahnya tadi sempat anfal. Dan beruntung sekali ada Wijan yang menguatkannya.

“Pasti mas Wijan capek. Saya mau menelpon Miko saja, biar dia menemani saya di sini.”

“Jadi kamu lebih suka ditemani Miko?”

“Eh, bukan begitu … sungguh saya merasa tidak enak karena mas Wijan sudah sejak kemarin berada disini.”

“Tidak apa-apa. Yang penting kamu tidak sendirian. Aku tidak sampai hati membiarkan kamu sendirian.”

“Tapi sekarang keadaan bapak sudah stabil.”

“Baiklah, setelah kamu memastikan keadaan ayah kamu, dan ternyata baik-baik saja, aku akan pulang. Nanti malam aku akan kembali.”

Anjani merasa terharu. Apakah Wijan melakukannya karena dia sangat mencintainya? Ia berharap Jatmiko datang sehingga Wijan tidak kecapekan setelah semalam menemaninya, dan sekarangpun dia masih ada di sini.

Ia kemudian mengambil ponselnya, dan mengirimkan pesan kapada Jatmiko. Dan jawabannya sungguh diluar dugaan.

(“Anjani, aku tadi wawancara di perusahaan baru di mana aku akan bekerja nanti, dan wawancaranya ada di kantor pusat yang ada di Semarang.”)

("Oh, maaf, aku tidak tahu.”)

(“Bapak baik-baik saja? Nanti sepulang dari Semarang langsung ke rumah sakit untuk menemani kamu”)

(“Terima kasih Miko”)

Anjani menutup ponselnya.

Wijan ingin bertanya sesuatu, tapi Raharjo dan Nilam tiba-tiba muncul. Nilam segera memeluk Anjani.

“Bagaimana bapak?”

“Baik, Mbak. Tadi sempat anfal, tapi sekarang sudah stabil.”

“Syukurlah, jadi besok sudah bisa pindah ke rawat inap?”

“Karena kejadian tadi, dokter belum mengijinkan. Sekarang malah ada di ICU.”

“Semoga keadaan bapak segera baik.”

“Bisa ditemui?” tanya Raharjo.

“Belum Pak. Hanya saya yang boleh masuk, itupun hanya sebentar.”

“Kamu sabar ya, Anjani. Ayahmu sudah ditangani oleh ahlinya, jadi jangan khawatir. Tapi jangan lupa terus berdoa,” kata Raharjo.

“Baik, Pak. Terima kasih banyak atas perhatiannya.”

Mereka berbincang beberapa saat lamanya. Tapi ketika Raharjo pamit pulang, ternyata Wijan masih ingin tinggal.

“Bukankah kamu butuh mandi dan ganti pakaian? Coba tanya pada Anjani, pasti kamu sudah bau asem,” kata Raharjo sambil tersenyum.

Wijan mencium ketiaknya sendiri.

“Wangi kok.”

“Dasar. Keringat sendiri dibilang wangi,” ejek Nilam.

“Mas Wijan pulang saja dulu. Tak apa-apa saya sendirian.”

“Tengok dulu bapak, apakah dia baik-baik saja,” pinta Wijan.

Anjani yang melihat perawat keluar dari ruang ICU, segera menanyakan keadaan ayahnya.

“Pak Marjono tidur. Keadaannya baik kok,” kata perawat yang membuat lega semua yang mendengarnya.

Karena itulah Wijan kemudian pulang bersama Nilam dan ayahnya.

***

 Nilam tidak satu mobil bersama Wijan. Ia tetap menemani Raharjo sampai ke kantor. Nilam bahkan menolak diantar mobil, karena sejak kemarin motornya ada di kantor.

“Aku naik motor saja, sejak kemarin aku tinggalkan motornya di kantor,” kata Nilam yang segera menuju ke arah parkiran.

“Seharusnya kamu tidak menolak ketika bapak mau beli mobil untuk kamu,” kata Wijan yang mengantarkannya sampai ke parkiran motor.

“Tidak apa-apa, aku lebih nyaman mengendarai motor sendiri.”

“Kalau kamu naik mobil, tidak akan kepanasan dan kehujanan.”

“Apa mas Wijan lupa? Dulu setiap hari kita kepanasan, lalu berteduh di bawah pohon dipinggir sawah.”

“Masa kecil yang sangat mengesankan,” tukas Wijan sambil tertawa.

“Dan sangat manis. Sekarang kita tidak bisa mengulangi masa-masa itu lagi,” kata Nilam yang sudah membuka kunci motornya, dan memasukkan tasnya ke bagasi.

“Apa kamu ingin kita mengulangi saat seperti itu lagi?”

“Mana mungkin?”

“Kalau kamu mau, kita bisa melakukannya lagi.”

Nilam yang sudah naik ke atas sadel, menatap Wijan tak percaya.

“Benar. Kalau kamu mau, kita bisa melakukannya lagi.”

“Benarkah?”

“Besok Minggu aku samperin kamu dengan sepeda.”

Nilam merasa ada kehangatan menyelimuti hatinya. Berteduh di bawah pohon, saat panas terik, lalu mencopot sepatunya dan mengapungkannya di parit kecil.

Wijan sangat senang melihat binar di mata Nilam.

“Baiklah, aku tunggu ya Mas, jangan terlalu siang.”

“Tidak, setelah subuh aku akan mengayuh sepedaku ke tempatmu, kita bisa bersepeda bersama-sama.”

Nilam menstarter sepeda motornya setelah mengenakan helm-nya. Wijan membantu menautkan kunci helm di bawah dagu Nilam, membuat Nilam berdebar-debar.

Ia sudah berusaha mengibaskan perasaan cintanya, tapi sikap Wijan seperti menyulut api di hatinya yang sebenarnya hampir padam. Ia menjalankan sepeda motornya setelah mengulaskan senyum kepada kakaknya.

Wijan geleng-geleng kepala. Ia melangkah kembali ke kantor untuk membenahi barang-barangnya. Mengapa binar bahagia di mata Nilam sangat membahagiakannya juga?

Ketika ia berjalan ke arah parkiran, dilihatnya sang ayah sudah bersiap untuk pulang juga.

***

Suri menyambut kedatangan Nilam, dan heran ketika Nilam ternyata pulang sendiri.

“Mengapa pulang sendiri?”

“Bukankah setiap hari Nilam juga pulang sendiri?”

“Kemarin kan diantar nak Jatmiko? Tadi juga dijemput ketika mau berangkat ke kantor. Ya kan?”

“Masa setiap haru harus antar jemput sih Bu?”

“Tapi ibu senang melihat kamu berduaan sama nak Jatmiko.”

“Ibu mulai deh,” kata Nilam sambil melangkah ke arah belakang. Suri mengikutinya. Ia ingin meneruskan berbicara tentang Jatmiko, tapi Nilam mengatakan hal yang mengejutkannya.

“Tadi aku seperti melihat pak Baskoro.”

“Apa? Di mana? Bukankah dia dipenjara?”

“Entahlah, Nilam juga ragu-ragu sebenarnya, tapi wajahnya persis, hanya tampak lebih tua dan lusuh.”

“Ketemu di mana?”

“Di depan sebuah rumah makan. Kasihan, dia mengemis.”

“Apa? Mengemis?”

“Maaf Bu, memang iya. Nilam tidak sadar bahwa itu dia, ketika menyerahkan uang di topi yang diulurkannya. Lalu Nilam mengingat-ingat. Sepertinya dia. Tapi mungkin juga bukan. Banyak orang mirip di dunia ini bukan?”

Suri terdiam. Perkataan Nilam tentang Baskoro amat mengganggunya. Apalagi dia sedang mengemis.

“Apakah Baskoro sudah keluar dari penjara?”

Suri masih merasakan sakit hati akibat ditinggal selingkuh pada tahunan yang telah lalu. Tapi mendengar Baskoro menjadi pengemis, membuat hatinya teriris. Balasan atas apa yang diperbuatnya sungguh menyakitkan. Suri tiba-tiba merasakan kepedihan itu. Apakah itu berarti masih tersisa cinta di hatinya?

Tidak. Sejak Baskoro meninggalkannya, cinta itu sudah tak ada. Tapi mendengar dia menjadi pengemis, mengapa hatinya terasa teriris?

“Bu, aku mandi dulu. Nanti setelah mandi kita makan ya, lapar sekali nih,” tiba-tiba Nilam mengejutkannya dari lamunan.

“Oh, lapar? Ya ampun, baiklah, akan ibu siapkan sekarang. Mandi dan ganti pakaian kamu,” kata Suri sambil terus bergegas ke belakang.

***

Malam hari itu Anjani berbincang sebentar dengan ayahnya. Ia melihat wajah ayahnya sudah tak sepucat semula.

“Bapak jangan memikirkan apa-apa. Bapak harus sehat, dan terus sehat,” katanya sambil mengelus tangan ayahnya.

“Aku senang, kamu tidak apa-apa.”

“Anjani memang tidak apa-apa. Semuanya baik-baik saja.”

“Apa yang dilakukan Estiana?”

“Kok Bapak menanyakan hal itu lagi? Dari tadi Bapak menanyakan hal itu terus.”

Marjono menggenggam erat tangan anak gadisnya.

“Kamu baik-baik saja?”

“Anjani sangat baik. Tadi pak Raharjo, mbak Nilam datang kemari, menanyakan kesehatan Bapak. Mas Wijan malah seharian ada di sini. Baru saja dia pulang.”

“Syukurlah. Apakah teman masa kecilmu itu juga datang menjenguk bapak?”

“Jatmiko sedang wawancara kerja ke Semarang. Dia bilang, nanti sepulang dari Semarang akan datang kemari.”

“Oh, begitu ya. Dia anak baik.”

Anjani tak menjawab, juga tak bertanya lebih lanjut, apa maksud ayahnya dengan mengatakan hal itu.

“Sekarang Bapak harus istirahat. Dokter akan menegur Anjani kalau kelamaan di sini. Bapak tidur ya?”

Marjono mengangguk. Anjani tersenyum, keluar dari ruangan.

Tapi betapa terkejutnya dia, ketika melihat Wijan dan Jatmiko datang bersama-sama.

***

Besok lagi ya.

 

 

 

 

58 comments:

  1. πŸŽ‹πŸŒ·πŸŽ‹πŸŒΉπŸŽ‹πŸŒ·πŸŽ‹πŸŒΉ❤️

    Alhamdulillah... ACeDeeR_29 sdh hadir.
    Matur nuwun bu Tien...
    Wijan dan Nilam, minggu depan akan bernostalgia, 'mancalpedal' alias nggowes bareng.....

    πŸŽ‹πŸŒ·πŸŽ‹πŸŒΉπŸŽ‹πŸŒ·πŸŽ‹πŸŒΉ❤️

    ReplyDelete
  2. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  3. Alhamdulillah...
    Maturnuwun Bu Tien πŸ™

    ReplyDelete
  4. Alhamdulillah ADA CINTA DIBALIK RASA~29 sudah hadir, terimakasih bu Tien, semoga sehat & bahagia senantiasa bersama keluarga.
    ‌Aamiin yra..🀲

    ReplyDelete
  5. Alhamdulillahi rabbil'alamiin
    Terima kasih bu tien
    Semoga bu tien sehat2 n selalu dlm lindungan n bimbingan Allah SWT .... aamiin yra

    ReplyDelete
  6. Matur nuwun bu Tien, Semoga sehat selalu bersama keluarga
    πŸ’ͺ

    ReplyDelete
  7. Matur nuwun mbak Tien-ku acdr tayang

    ReplyDelete
  8. Sugeng ndalu Bunda Tien.

    Hamdallah cerbung Ada Cinta di Balik Rasa..29 telah tayang.

    Nilam memori nya kuat, dengan melihat pengemis tsb...pikirannya melayang..jauh ketika dia masih anak anak...he..he


    Alhamdullilah
    Semoga ALLAH memberikan..kesehatan yang sempurna kagem Bunda Tien....tercinta..Salam sehat dan selalu Bunda

    🀲❤

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Ya Robbal Alamiin
      Matur nuwun pak Munthoni

      Delete
  9. Alhamdulillah.... sehat sllu bunda

    ReplyDelete
  10. Alhamdulillah,matur nuwun,mugi bunda Tien tansah sehat,sungkem kula kagem pak Tom

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sami2 ibu Isty
      Aamiin Ya Robbal Alamiin
      Matur nuwun salamipun. Wa'alaikum salam

      Delete
  11. Alhamdulillah.semoga Bunda selalu sehat wal afiat . Cerita yang inspiratif πŸ‘ Maturnuwun πŸŒΉπŸŒΉπŸŒΉπŸ™πŸ™πŸ™

    ReplyDelete
  12. Alhamdulillah maturnuwun ........ Semoga Bu Tien sehat selalu salam aduhai

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Ya Robbal Alamiin
      Matur nuwun ibu Endang
      Aduhai deh

      Delete
  13. Ha ha ha, hati Anjani, jadi gonjang ganjing dan langitpun kelap kelap. Saya tunggu dg sabar dan senang hati crita yg berikutnya. Salam sejahtera untuk ibu Tien.

    ReplyDelete
  14. Yesss,
    Terimakasih Bu Tien.
    Sugeng Dalu.

    ReplyDelete
  15. Alhamdulillah , Terima kasih bunda Tien , Semoga selalu sehat nggeh

    ReplyDelete
  16. Algamdulillah ACDR - 29 sdh hadir
    Terima kasih Bunda Tien, semoga Bunda sehat dan bahagia selalu.
    Aamiin Allahumma Aamiin

    ReplyDelete
  17. Aamiin Ya Robbal Alamiin
    Matur nuwun ibu Ting

    ReplyDelete
  18. Aamiin Ya Robbal Alamiin
    Matur nuwun pak Arif

    ReplyDelete
  19. Apa benar Baskoro jadi pengemis... Dia bisa berbahaya bagi Suri, Anjani, Niko...
    Wah..kompak ni, Wijan dan Jatmiko. Tapi para sesepuh mengidolakan Jatmiko sebagai 'orang baik' dan bukan Wijan.
    Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.

    ReplyDelete
  20. Miko dan Wijan..datang bersamaan untuk menemani Anjani. Anjani jadi terkejut, mau pilih yang mana ya, dua dua nya sama2 ganteng, yang satu kasih perhatian penuh dan yang satu nya lagi perhatiannya juga penuh, tapi hanya sebatas kakak kpd adik. Anjani jadi baper nih....😁😁

    ReplyDelete
  21. Hmm...brewokan identik dengan Baskoro ya?πŸ˜€

    Trmksh, bu Tien...salam sehat.πŸ™

    ReplyDelete
  22. Terimakasih Bunda Tien sehat selalu.
    Smg Jatmiko mengatakan agar Anjani dg Wijan

    ReplyDelete
  23. Mudah mudah an udah bisa komen. Dari kemarin kemarin gak bisa terus bu Tien. Gak tau kenapa.

    Di doakan bu Tien selalu sehat dan selalu produktif. Mandul terus karya nya. Aamiin

    ReplyDelete
  24. Alhamdulillah, mantab πŸ‘πŸ‘πŸ‘
    Seperti nya mereka berjodoh dari kecil. Orang tua sdh mendukung ,,sy setuju Nilam dg Wijanarko & Anjani dg Jatmiko tp nya perlu proses yg panjang ya Bu Tien 🀩🀭

    Matur nuwun Bu Tien, salam sehat wal'afiat semua & salam AduhaiiiπŸ€—πŸ₯°

    ReplyDelete
  25. Bgmn ya reaksi Anjani ngeliat Wijan & Miko datang bareng. Penisirin....
    Mtr nwn Bu Tien, sehat sll

    ReplyDelete
  26. Matur nuwun Bu Tien. Tetap sehat njih Bu....aamiin.

    ReplyDelete
  27. Aalahamdulillah, matur nuwun bunda Tien . .
    Semoga selalu sehat dan bahagia bersama keluarga..

    ReplyDelete
  28. πŸ©΅πŸ’žπŸ©΅πŸ’žπŸ©΅πŸ’žπŸ©΅πŸ’ž
    Alhamdulillah πŸ™πŸŒΈπŸ¦‹
    ACeDeeR_29 sdh tayang.
    Lagi2 telat buka HP 😁
    Matur nuwun Bu Tien
    yang baik hati...
    Semoga sehat2 dan
    tetap smangaats...
    Salam aduhai...😍🀩
    πŸ©΅πŸ’žπŸ©΅πŸ’žπŸ©΅πŸ’žπŸ©΅πŸ’ž

    ReplyDelete
  29. Hara, Wijan dan Jatmiko bertemu....
    Bgmn ini...tolooonggg
    πŸ˜‚πŸ˜‚

    Matur nuwun bunda Tien...πŸ™
    Salam Sehat Selalu, kagem bunda..

    ReplyDelete
  30. Alhamdulillah
    Terimakasih bunda Tien
    Semoga bunda Tien selalu sehat

    ReplyDelete
  31. Makasih mba Tien.
    Salam hangat selalu aduhai

    ReplyDelete

KUPETIK SETANGKAI BINTANG 01

  KUPETIK SETANGKAI BINTANG  01. (Tien Kumalasari)   Minar melanjutkan memetik sayur di kebun. Hari ini panen kacang panjang, sangat menyena...