Friday, February 17, 2023

SETANGKAI BUNGAKU 22

 

SETANGKAI BUNGAKU 22

(Tien Kumalasari)

 

Pratiwi memasuki ruangan Susana dengan hati berdebar. Ia akan melakukan sesuatu yang sesungguhnya tidak diinginkannya, tapi harus dilakukannya, karena ia mengingat nasib adik kandungnya. Karena dia ingin yang terbaik untuknya, dan apapun akan dilakukannya.

Susana tersenyum lebar melihat Pratiwi masuk. Ia segera mempersilakan Pratiwi duduk.

“Selamat pagi, bu Susana.”

“Selamat pagi Pratiwi.”

Pratiwi duduk dengan perasaan tak menentu.

“Pratiwi, sebuah perjanjian kontrak sudah aku siapkan. Ini sebagai surat pernyataan saja, bahwa kamu akan bekerja selama tiga bulan dengan gaji dibayar di muka. Dan setelahnya kamu akan tetap bekerja di sini dengan masa kontrak setelahnya.”

Pratiwi menerima map berisi surat seperti yang diucapkan manager cantik itu. Ia membacanya sekilas.

“Apakah aku harus bekerja selama satu tahun setelah tiga bulan ini?”

“Ya, tentu saja. Perusahaan memintanya begitu. Masa kamu hanya mau bekerja untuk melunasi hutang kamu saja? Dan ingat, kamu tidak bisa membatalkan kontrak setelah kamu menanda tanganinya. Kalau tiba-tiba kamu membatalkannya, maka kamu harus mengembalikan uang yang kamu terima sebanyak sepuluh kali lipat.”

Pratiwi mengerti. Ia sudah membacanya, dan ia harus bisa menerimanya, karena kalau tidak maka ia tidak akan bisa menerima tiga bulan gaji yang diharapkannya.

"Kamu baca dengan seksama, lalu tanda tangan di sini,” kata Susana sambil menunjukkan kertas bermeterai dibawahnya.

Pratiwi menghela napas berat, tapi kemudian dia menanda tanganinya. Ia menyerahkan map itu setelah nya. Ia juga sudah membaca bahwa Minggu depan ia harus mulai bekerja.

“Kamu punya nomer rekening di bank?”

Pratiwi menggeleng. Apa yang harus disimpan di bank kalau uangnya habis setiap kali dipergunakan dan hanya tersisa tak seberapa untuk kemudian ditambah demi kebutuhan berikutnya.

“Baiklah, tapi kamu harus membuka rekening, karena gaji kamu akan dibayarkan melalui rekening kamu.”

Pratiwi  mengangguk.

“Tapi kali ini saya sudah menyiapkan uang cash sebanyak yang kamu inginkan.”

“Terima kasih.”

“Kalau boleh tahu, mengapa kamu menginginkan gaji tiga bulan di muka? Ada keperluan yang tidak bisa ditunda?”

Pratiwi menatap mata tulus yang terpancar dari wajah Susana, membuatnya kemudian tersenyum tipis. Sikap Susana berubah akrab, tidak ber anda-anda seperti pada awal pertemuan mereka.

“Adik saya menemui kecelakaan.”

“Oh?” kata Susana terkejut.

“Hari ini harus dioperasi karena kakinya patah.”

“Aku ikut prihatin,” lagi-lagi Pratiwi menangkap ketulusan dari ucapan itu.

“Terima kasih.”

“Adik kamu masih kecil?”

“Baru kelas lima SD. Tapi saya harus segera ke rumah sakit. Satu jam lagi operasi akan dimulai.”

“Baiklah, hati-hati di jalan karena kamu membawa uang yang cukup banyak. Aku sarankan kamu segera membuka rekening, karena membawa uang tunai sangat riskan di jalan.”

“Baiklah.”

Pratiwi mengucapkan sekali lagi terima kasih, lalu mendekap tas kecilnya, dan keluar dari ruangan.

Susana menatapnya iba. Ia tahu majikannya punya maksud tersembunyi dari kemurahan hatinya, dan itu membuatnya kesal. Sony sangat tampan, dan membuatnya suka. Bukan hanya suka, barangkali juga cinta. Susana sangat cantik dan seksi, tapi Sony hanya memanfaatkannya untuk bersenang-senang. Sedangkan gadis lugu ini, walau cantik tapi polos dan sederhana. Bagaimana mungkin Sony yang gagah dan tampan begitu menggilainya?

Susana menghentikan lamunannya ketika ponsel bedering. Pasti Sony ingin mendengar laporannya.

***

Sasmi sedang tergesa-gesa, karena ada yang dilupakannya saat memasak. Ia menuju ke warung Pratiwi, tapi heran karena tak tampak warung itu terbuka. Sasmi memasuki halaman rumah yu Kasnah, dan melihat yu Kasnah sedang duduk sendirian di teras. Mendengar langkahnya, yu Kasnah mengangkat tubuhnya yang semula bersandar.

“Tiwi? Kamu sudah pulang?”

“Yu, aku bu Sasmi.”

“Lhoh, bu Sasmi?”

“Iya, mau beli merica bubuk, karena ternyata di rumah habis. Kok Pratiwi tidak jualan?”

“Tidak Bu, Pratiwi ada di rumah sakit.”

“Pratiwi sakit?” tanya Sasmi kaget.

“Bukan Pratiwi, tapi Nano.”

“Sakit apa dia?”

“Kemarin siang terserempet mobil. Katanya kakinya luka dan harus dirawat.”

“Bagaimana lukanya?”

“Katanya sih tidak parah. Tapi kenapa harus dirawat ya? Pratiwi belum bicara banyak, karena pagi tadi dia tergesa-gesa berangkat ke rumah sakit.”

“Ya ampun, kenapa tidak mengabari aku atau mbak Ratna? Bagaimana dengan pengemudi mobil itu? Ditangkap polisi, dan disuruh membiayai pengobatannya kan?”

“Saya tidak tahu Bu, semuanya Pratiwi yang mengurusnya. Nanti kalau dia pulang biar cerita dengan jelas. Saya tidak tahu apa-apa.”

“Baiklah, nanti aku telpon Pratiwi saja. Ya sudah Yu, aku pulang dulu, ikut prihatin atas kejadian yang menimpa Nano, semoga dia baik-baik saja.”

“Iya Bu. Tadi bu Sasmi butuh apa? Barangkali di dapur ada yang ibu butuhkan. Tapi kalau mau lengkap ya di warung sana. Tapi saya tidak tahu di mana kuncinya.”

“Tidak apa-apa Yu, aku beli di warung lain saja. Kan hanya merica. Yu Kasnah ke rumah saya saja, maukah? Supaya ada temannya.”

“Tidak Bu, di rumah saja. Nanti kalau Pratiwi pulang sewaktu-waktu, saya tidak tahu.”

“Nanti aku telpon Pratiwi, mengabari bahwa yu Kasnah ada di rumahku.”

“Tidak usah Bu, di rumah saja, tidak apa-apa kok. Terima kasih.”

“Ya sudah, hati-hati ya yu,” kata Sasmi sambil berlalu.

Yu Kasnah menghela napas. Ia gelisah.

“Benarkah pemilik mobil yang menabrak mau membiayai semua pengobatan Nano? Separah apa lukanya, dan mengapa Tiwi tidak mau mengatakannya dengan jelas, membuat aku bingung saja.”

“Ya Allah, karena kekurangan hamba ini, hamba bukan hanya tidak bisa melihat, tapi juga tidak bisa mengerti apa-apa,” keluhnya, kemudian meneteslah air matanya.

***

Pratiwi sedang duduk di sebuah bangku, di dekat ruang operasi. Belum lama Nano dibawa masuk ke ruangan itu. Mulutnya komat-kamit melantunkan doa.

“Ya Allah, lancarkanlah operasi itu, dan segera sembuhkanlah adik hamba.”

“Tiwi.”

Pratiwi terkejut. Pak Dirman datang bersama pak RT.

“Pak Dirman? Pak RT?”

“Aku sudah memberi tahu tentang kejadian yang menimpa Nano, kepada pak RT,” kata pak Dirman.

“Iya Wi, aku mewakili warga satu RT kita, ikut prihatin atas kejadian itu,” sambung pak RT.

“Terima kasih Pak.”

“Aku mengumpulkan dana dari warga, dan sudah ditambah dengan kas sosial kampung, tapi hasilnya tidak seberapa. Terimalah Wi.”

Pratiwi menerima uang itu dengan tangan gemetar. Sangat sungkan baginya, harus membuat repot seisi kampung.

“Saya menyusahkan saja Pak,” kata Pratiwi lirih.

“Tidak, itu hanya sekedar rasa prihatin kami yang nilainya tidak seberapa. Gunakan saja, nanti ibu-ibu akan datang menjenguk kemari.”

“Aduh, tidak usah Pak,” kata Pratiwi yang masih memegang amplop yang diberikan pak RT.

“Terima saja Wi, jangan menolak. Polisi sedang mengejar penabrak itu, setelah ada laporan warga yang kebetulan berhasil mencatat nomor polisinya.”

“Iya Wi, kalau tertangkap, ia bisa dipaksa untuk membayar semua biaya untuk Nano,” sambung pak Dirman.

Pratiwi terdiam. Ia ingat ibunya, yang pasti menunggu kedatangannya, karena tadi dia belum berani mengatakan yang sebenarnya.

“Jam berapa mulai operasinya?” tanya pak RT.

“Baru sepuluhan menit.”

“Masih lama. Dan aku tidak bisa menunggui Wi, akan ada tamu dari kecamatan yang akan meninjau proyek kampung yang sedang bberjalan di kampung kita.”

“Tidak apa-apa Pak. Terima kasih atas perhatian dan pemberiannya. Ini sudah cukup,” kata Pratiwi yang ikut berdiri ketika pak RT dan pak Dirman juga berdiri.

Pratiwi kembali duduk ketika pak RT dan pak Dirman berlalu. Ditatapnya ruang operasi yang masih tertutup dengan dada berdebar.

Tiba-tiba ponselnya berdering.

 Pratiwi terkejut, bu Sasmi menelpon?

“Ya Bu,” sambutnya menjawab.

“Pratiwi? Nano kenapa?”

“Dari mana ibu tahu?”

“Aku tadi mau belanja ke warung kamu, tapi kamu tidak jualan. Lalu aku ke rumah, menemui yu Kasnah. Katanya kamu di rumah sakit, karena Nano kecelakaan.”

“Iya bu, terserempet mobil.”

“Bagaimana keadaannya?”

“Saya sedang menunggu dia dioperasi, kakinya patah.”

“Ya ampun Tiwi, mengapa tidak bilang sama aku atau bu Ratna?”

“Kejadiannya begitu mendadak, kemarin siang, saya panik karena Nano sudah dibawa tetangga yang kebetulan melihatnya.”

“Keadaannya parah?”

“Hanya luka lecet di lengannya, tapi kaki kirinya patah, setelah lutut.”

“Si penabrak bertanggung jawab kan? Ia membayar seluruh biaya?”

“Katanya sih belum tertangkap. Entahlah.”

“Lalu bagaimana dengan biaya Nano operasi?”

“Sudah cukup kok Bu.”

“Cukup?” Berapa?”

“Pokoknya semuanya  sudah cukup. Pak RT sudah membantu.”

“Benar sudah cukup?”

“Iya Bu, sungguh,” jawab Pratiwi tanpa ingin mengatakan dari mana ia mendapatkan uangnya.

“Aku dan seluruh keluarga ikut prihatin Wi, nanti aku kabari anak-anak, sepulang kantor biar melihat keadaan Nano.”

“Tidak usah Bu, jangan merepotkan siapapun.”

“Tidak, biar mereka melihat keadaan Nano. Kapan mulai dioperasi?”

“Belum setengah jam Bu.”

“Sabar ya Wi. Aku tadi ke rumah kamu, kasihan yu Kasnah tampak bingung dan sedih.”

“Iya Bu, tentu saja. Begitu operasi selesai dan melihat Nano baik-baik saja, saya akan pulang dulu untuk melihat ibu.”

***

“Good job Susan, aku suka kerjamu,” kata Sony yang tiba-tiba muncul di ruangan Susana, lalu mengelus kepala Susana dengan lembut.

Susana merengut.

“Hei, kenapa wajah kamu?”

“Kenapa kamu tiba-tiba datang kemari?” tanya Susana, tanpa senyum.

“Aku ingin memberi hadiah istimewa sama kamu, atas kerja yang memuaskan ini.”

“Kamu mengejarnya, apa kamu jatuh cinta sama dia?”

“Wauww, jatuh cinta. Tidak. Mengapa kamu tampaknya marah? Kamu cemburu?”

“Tidak bolehkah aku cemburu? Kamu selalu dekat sama aku, dan tiba-tiba kamu mengejar gadis kampung yang sederhana dan memelas itu.”

Sony tertawa terbahak-bahak.

“Gadis kampung yang memelas …” gumamnya sambil duduk dan menyelonjorkan kakinya di atas meja, di sofa.

Susana mendekat, kemudian melepas sepatu majikannya. Bukan, Sony bukan sekedar majikan. Sony adalah kekasihnya, laki-laki yang dicintainya, tapi tidak pernah mencintainya. Sony tidak pernah jatuh cinta. Sony hanya suka wanita.

“Aku kasihan pada gadis itu. Ia sangat butuh uang karena adiknya kecelakaan dan harus dioperasi.”

“Ck..ck…ck… Kasihan ya?”

“Apa kamu yang membuat adik Pratiwi kecelakaan?” tanya Susana

“Jangan bertanya sama aku," jawab Sony.

“Tapi iya kan? Mengapa kamu sangat jahat, Sony?” sambung Susana.

“Jahat? No, Susan. Aku sangat penuh kasih sayang. Aku kasihan melihat nasibnya. Ia miskin, ibunya buta. Itu pantas dikasihani bukan? Dan aku ingin menolongnya, mengentaskannya dari kemiskinan.”

“Dengan satu maksud?”

“Susan, kamu tidak perlu cemburu. Nanti malam aku akan mengajak kamu bersenang-senang, dan memberikan hadiah apapun yang kamu inginkan.”

Tapi Susana merengut.

“Hei, mana senyum kamu, Susan? Aku tidak disambut hangat seperti biasanya?”

“Aku tidak mau hadiah apapun.”

“Benar?”

“Aku hanya mau, kamu mencintai aku.”

“Susan! Mengapa bicara tentang cinta? Aku tidak pernah percaya pada cinta setelah kekasih aku mengkhianati aku,” katanya dengan wajah muram.

Susana terdiam. Ia ingat Dewita, kekasih Sony yang meninggalkannya karena memilih laki-laki lain. Dan itu membuat Sony kehilangan kepercayaannya akan yang namanya cinta.

“Kamu bodoh.”

“Apa?”

“Kamu harus tahu, bahwa cinta itu ada. Cinta yang penuh pengorbanan, rela melakukan apapun demi orang yang dicintainya. Dan itu adalah aku.”

“Susana.”

Lalu Sony kembali terbahak-bahak.

“Jangan pernah tenggelam dalam cinta Susan, itu membuat kamu mabuk. Ayo, selesaikan tugas kamu, aku akan menunggu kamu di hotel.”

“Tidak.”

“Kalau begitu aku akan menjemput kamu.”

Sony tersenyum lebar, melihat Susana terus saja merengut. Tapi dia tak peduli. Seperti biasa Susana akan jatuh ke dalam pelukannya dan tak akan pernah bisa menolaknya. Sony bangkit dari duduknya berusaha melangkah keluar. Tapi Susana berteriak.

“Sepatu kamuuuu!”

Sony kembali duduk, dan membiarkan Susana kembali mengenakan sepatunya.

***

Nano yang sudah sadar, bisa mengerti ketika sang kakak meninggalkannya sendirian, karena dia juga sadar bahwa ibunya pasti gelisah menunggu.

Ia tidak lagi merasakan sakit di kakinya. Barangkali pengaruh bius belum benar-benar lenyap dari tubuhnya. Ia justru merasa sangat mengantuk. Tadi Pratiwi juga berpesan, bahwa lebih baik dia tertidur. Pratiwi juga berjanji, sore hari nanti akan kembali.

Tapi baru saja Nano memejamkan mata, suara seseorang membangunkannya.

“Kamu adiknya Pratiwi?”

Nano menatap wanita cantik yang berdiri di dekatnya. Ia merasa sedang bermimpi bertemu bidadari.

***

Besok lagi ya.

 

 

33 comments:

  1. Replies
    1. Jaga gawang ya Kek?




      Mtnuwun mbk Tien
      Smg selalu sehat wal'afiat,Aamiin

      Delete
  2. Terima ksih mbakyu Tienkumalasari SBnya, salam SeRoJa selalu untuk jenengan & kelg tercinta, wassalam dari Gn3, Tanggamus, Lampung🙏😘🌹

    ReplyDelete
  3. Terima kasih, bu Tien SB_22 sudah tayang.
    Semoga bu Tien sehat terus dan terus sehat.
    Fii Amanillah, Bun. Semoga perjalanan ke Semarang lancar dan dimudahkan segala urusannya.
    Dalam untu penggemar Cerbung TK di Semarang

    ReplyDelete
  4. Terima kasih Mbak Tien
    Sehat selalu ,🙏

    ReplyDelete
  5. Matur nuwun bunda Tien...🙏

    Salam Sehat Selalu dari kota Malang...

    ReplyDelete

  6. Alhamdulillah SETANGKAI BUNGAKU~22 sudah hadir.. maturnuwun & salam sehat kagem bu Tien 🙏

    ReplyDelete
  7. Alhamdulillah...
    Salam sehat selalu...

    ReplyDelete
  8. Alhamdullilah sdh tayang SB nya .terima ksih bundaqu..slm seroja dan tetap aduhai dri sukabumi🙏😘🌹❤️

    ReplyDelete
  9. Alhamdulilah, maturnuwun mbak Tienkumalasari SB telah menjumpai kami, salam SeRoJa dan aduhaai dari Gn3, Tanggamus, Lampung

    ReplyDelete
  10. Alhamdulillah SB-22 sdh hadir
    Siapa ya wanita cantik yg menghampiri Nano, Susana kah?
    Terima kasih Bunda Tien, semoga Bunda sehat dan bahagia selalu.
    Aamiin

    ReplyDelete
  11. Matur nuwun mbak Tien-ku Tiwi sudah mruput.

    ReplyDelete
  12. Alhamdulillah, mtr nuwun, sehat dan bahagia selalu bunda Tien ..

    ReplyDelete
  13. Jgn2 yg nabrak Nano tuh Sony

    Hadeeh tau deh apa2an nih
    Yuuk kita tunggu lanjutannya

    ReplyDelete
  14. Alhamdulillah, SETANGKAI BUNGAKU (SB) 22 telah tayang ,terima kasih bu Tien salam sehat, sejahtera dan bahagia selalu.  Aamiin.
    UR.T411653L

    ReplyDelete
  15. Terimakasih bunda Tien,salam sehat selalu dan aduhai...

    ReplyDelete
  16. Susan ya yang nengokin Nano, ingin ketemuan sama Tiwi rupanya, kaya simpati banget akan keadaan adeknya Pratiwi, dan dari pembicaraan itu tahu bahwa ibunya Nano tidak bisa melihat, jadi tambah lagi simpatinya dengan Pratiwi, asyik punya 'teman' yang perhatian lagi akan keadaan keluarga Pratiwi.
    Tapi ya gimana lagi mau di tolong bos nya segitu banget seolah ingin melumat, pikir 'teman' ini si bos keterlaluan sekali perlakuan nya pada Tiwi seolah ingin melumat habis itu anak, ya merasa kuat aja dan keinginan apapun harus terlaksana.
    Ini kaya buat balas dendam aja; aneh nggak nyambung lagi siapa yang ngerjain, siapa yang jadi target pembalasan.
    Kaya orang kena gangguan jiwa, cari kelegaan diri sendiri nggak peduli apa itu menerima atawa enggak, robot donk, ya sakit gila itu.
    Yakinlah semuanya baek baek saja, banyak yang perhatian keadaan Pratiwi yang dialami saat ini


    Terimakasih Bu Tien
    Setangkai bungaku yang ke dua puluh dua sudah tayang
    Sehat sehat selalu doaku
    Sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
    🙏

    ReplyDelete
  17. Matur nuwun, bu Tien. Sehat selalu nggih...🙏😀

    ReplyDelete
  18. Makasih mba Tien.
    Salam hangat selalu aduhai

    ReplyDelete
  19. Memang Tiwi harusnya menghubungi orang2 terdekatnya dulu...misal kel.Luminto, kel. Juwono, pak RT, warga desa, masa sih tidak ada yg mau bantu pinjami biaya operasi? Tapi karena panik jadi lupa deh...bu Tien memang piawai mengulur cerita...menguliknya jadi seru. Koteksi kecil, istilah "mengalami kecelakaan" sepertinya lebih tepat daripada "menemui kecelakaan" ya...tapi memang hak penuh ibu Tien untuk memilih kata2 sih...maaf kalau kurang berkenan.🙏😀

    ReplyDelete

CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG 29

  CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG  29 (Tien Kumalasari)   Arum menyelesaikan administrasi dengan segera. Peringatan bahwa dia harus beristira...