SETANGKAI BUNGAKU 22
(Tien Kumalasari)
Pratiwi memasuki ruangan Susana dengan hati berdebar.
Ia akan melakukan sesuatu yang sesungguhnya tidak diinginkannya, tapi harus
dilakukannya, karena ia mengingat nasib adik kandungnya. Karena dia ingin yang
terbaik untuknya, dan apapun akan dilakukannya.
Susana tersenyum lebar melihat Pratiwi masuk. Ia
segera mempersilakan Pratiwi duduk.
“Selamat pagi, bu Susana.”
“Selamat pagi Pratiwi.”
Pratiwi duduk dengan perasaan tak menentu.
“Pratiwi, sebuah perjanjian kontrak sudah aku siapkan.
Ini sebagai surat pernyataan saja, bahwa kamu akan bekerja selama tiga bulan
dengan gaji dibayar di muka. Dan setelahnya kamu akan tetap bekerja di sini
dengan masa kontrak setelahnya.”
Pratiwi menerima map berisi surat seperti yang diucapkan
manager cantik itu. Ia membacanya sekilas.
“Apakah aku harus bekerja selama satu tahun setelah
tiga bulan ini?”
“Ya, tentu saja. Perusahaan memintanya begitu. Masa kamu
hanya mau bekerja untuk melunasi hutang kamu saja? Dan ingat, kamu tidak bisa
membatalkan kontrak setelah kamu menanda tanganinya. Kalau tiba-tiba kamu
membatalkannya, maka kamu harus mengembalikan uang yang kamu terima sebanyak
sepuluh kali lipat.”
Pratiwi mengerti. Ia sudah membacanya, dan ia harus
bisa menerimanya, karena kalau tidak maka ia tidak akan bisa menerima tiga bulan
gaji yang diharapkannya.
"Kamu baca dengan seksama, lalu tanda tangan di sini,”
kata Susana sambil menunjukkan kertas bermeterai dibawahnya.
Pratiwi menghela napas berat, tapi kemudian dia
menanda tanganinya. Ia menyerahkan map itu setelah nya. Ia
juga sudah membaca bahwa Minggu depan ia harus mulai bekerja.
“Kamu punya nomer rekening di bank?”
Pratiwi menggeleng. Apa yang harus disimpan di bank
kalau uangnya habis setiap kali dipergunakan dan hanya tersisa tak seberapa
untuk kemudian ditambah demi kebutuhan berikutnya.
“Baiklah, tapi kamu harus membuka rekening, karena
gaji kamu akan dibayarkan melalui rekening kamu.”
Pratiwi
mengangguk.
“Tapi kali ini saya sudah menyiapkan uang cash sebanyak
yang kamu inginkan.”
“Terima kasih.”
“Kalau boleh tahu, mengapa kamu menginginkan gaji tiga
bulan di muka? Ada keperluan yang tidak bisa ditunda?”
Pratiwi menatap mata tulus yang terpancar dari wajah
Susana, membuatnya kemudian tersenyum tipis. Sikap Susana berubah akrab, tidak
ber anda-anda seperti pada awal pertemuan mereka.
“Adik saya menemui kecelakaan.”
“Oh?” kata Susana terkejut.
“Hari ini harus dioperasi karena kakinya patah.”
“Aku ikut prihatin,” lagi-lagi Pratiwi menangkap
ketulusan dari ucapan itu.
“Terima kasih.”
“Adik kamu masih kecil?”
“Baru kelas lima SD. Tapi saya harus segera ke rumah
sakit. Satu jam lagi operasi akan dimulai.”
“Baiklah, hati-hati di jalan karena kamu membawa uang
yang cukup banyak. Aku sarankan kamu segera membuka rekening, karena membawa
uang tunai sangat riskan di jalan.”
“Baiklah.”
Pratiwi mengucapkan sekali lagi terima kasih, lalu
mendekap tas kecilnya, dan keluar dari ruangan.
Susana menatapnya iba. Ia tahu majikannya punya maksud
tersembunyi dari kemurahan hatinya, dan itu membuatnya kesal. Sony sangat
tampan, dan membuatnya suka. Bukan hanya suka, barangkali juga cinta. Susana
sangat cantik dan seksi, tapi Sony hanya memanfaatkannya untuk
bersenang-senang. Sedangkan gadis lugu ini, walau cantik tapi polos dan
sederhana. Bagaimana mungkin Sony yang gagah dan tampan begitu menggilainya?
Susana menghentikan lamunannya ketika ponsel
bedering. Pasti Sony ingin mendengar laporannya.
***
Sasmi sedang tergesa-gesa, karena ada yang
dilupakannya saat memasak. Ia menuju ke warung Pratiwi, tapi heran karena tak
tampak warung itu terbuka. Sasmi memasuki halaman rumah yu Kasnah, dan melihat
yu Kasnah sedang duduk sendirian di teras. Mendengar langkahnya, yu Kasnah
mengangkat tubuhnya yang semula bersandar.
“Tiwi? Kamu sudah pulang?”
“Yu, aku bu Sasmi.”
“Lhoh, bu Sasmi?”
“Iya, mau beli merica bubuk, karena ternyata di rumah
habis. Kok Pratiwi tidak jualan?”
“Tidak Bu, Pratiwi ada di rumah sakit.”
“Pratiwi sakit?” tanya Sasmi kaget.
“Bukan Pratiwi, tapi Nano.”
“Sakit apa dia?”
“Kemarin siang terserempet mobil. Katanya kakinya luka
dan harus dirawat.”
“Bagaimana lukanya?”
“Katanya sih tidak parah. Tapi kenapa harus dirawat
ya? Pratiwi belum bicara banyak, karena pagi tadi dia tergesa-gesa berangkat ke
rumah sakit.”
“Ya ampun, kenapa tidak mengabari aku atau mbak Ratna? Bagaimana dengan pengemudi mobil itu? Ditangkap polisi, dan disuruh membiayai pengobatannya kan?”
“Saya tidak tahu Bu, semuanya Pratiwi yang
mengurusnya. Nanti kalau dia pulang biar cerita dengan jelas. Saya tidak tahu
apa-apa.”
“Baiklah, nanti aku telpon Pratiwi saja. Ya sudah Yu,
aku pulang dulu, ikut prihatin atas kejadian yang menimpa Nano, semoga dia
baik-baik saja.”
“Iya Bu. Tadi bu Sasmi butuh apa? Barangkali di dapur
ada yang ibu butuhkan. Tapi kalau mau lengkap ya di warung sana. Tapi saya
tidak tahu di mana kuncinya.”
“Tidak apa-apa Yu, aku beli di warung lain saja. Kan
hanya merica. Yu Kasnah ke rumah saya saja, maukah? Supaya ada temannya.”
“Tidak Bu, di rumah saja. Nanti kalau Pratiwi pulang
sewaktu-waktu, saya tidak tahu.”
“Nanti aku telpon Pratiwi, mengabari bahwa yu Kasnah
ada di rumahku.”
“Tidak usah Bu, di rumah saja, tidak apa-apa kok.
Terima kasih.”
“Ya sudah, hati-hati ya yu,” kata Sasmi sambil
berlalu.
Yu Kasnah menghela napas. Ia gelisah.
“Benarkah pemilik mobil yang menabrak mau membiayai
semua pengobatan Nano? Separah apa lukanya, dan mengapa Tiwi tidak mau
mengatakannya dengan jelas, membuat aku bingung saja.”
“Ya Allah, karena kekurangan hamba ini, hamba bukan
hanya tidak bisa melihat, tapi juga tidak bisa mengerti apa-apa,” keluhnya,
kemudian meneteslah air matanya.
***
Pratiwi sedang duduk di sebuah bangku, di dekat ruang
operasi. Belum lama Nano dibawa masuk ke ruangan itu. Mulutnya komat-kamit
melantunkan doa.
“Ya Allah, lancarkanlah operasi itu, dan segera
sembuhkanlah adik hamba.”
“Tiwi.”
Pratiwi terkejut. Pak Dirman datang bersama pak RT.
“Pak Dirman? Pak RT?”
“Aku sudah memberi tahu tentang kejadian yang menimpa
Nano, kepada pak RT,” kata pak Dirman.
“Iya Wi, aku mewakili warga satu RT kita, ikut
prihatin atas kejadian itu,” sambung pak RT.
“Terima kasih Pak.”
“Aku mengumpulkan dana dari warga, dan sudah ditambah
dengan kas sosial kampung, tapi hasilnya tidak seberapa. Terimalah Wi.”
Pratiwi menerima uang itu dengan tangan gemetar.
Sangat sungkan baginya, harus membuat repot seisi kampung.
“Saya menyusahkan saja Pak,” kata Pratiwi lirih.
“Tidak, itu hanya sekedar rasa prihatin kami yang
nilainya tidak seberapa. Gunakan saja, nanti ibu-ibu akan datang menjenguk kemari.”
“Aduh, tidak usah Pak,” kata Pratiwi yang masih
memegang amplop yang diberikan pak RT.
“Terima saja Wi, jangan menolak. Polisi sedang
mengejar penabrak itu, setelah ada laporan warga yang kebetulan berhasil
mencatat nomor polisinya.”
“Iya Wi, kalau tertangkap, ia bisa dipaksa untuk
membayar semua biaya untuk Nano,” sambung pak Dirman.
Pratiwi terdiam. Ia ingat ibunya, yang pasti menunggu
kedatangannya, karena tadi dia belum berani mengatakan yang sebenarnya.
“Jam berapa mulai operasinya?” tanya pak RT.
“Baru sepuluhan menit.”
“Masih lama. Dan aku tidak bisa menunggui Wi, akan ada tamu dari kecamatan yang akan meninjau proyek kampung yang sedang bberjalan di kampung kita.”
“Tidak apa-apa Pak. Terima kasih atas perhatian dan
pemberiannya. Ini sudah cukup,” kata Pratiwi yang ikut berdiri ketika pak RT
dan pak Dirman juga berdiri.
Pratiwi kembali duduk ketika pak RT dan pak Dirman
berlalu. Ditatapnya ruang operasi yang masih tertutup dengan dada berdebar.
Tiba-tiba ponselnya berdering.
“Ya Bu,” sambutnya menjawab.
“Pratiwi? Nano kenapa?”
“Dari mana ibu tahu?”
“Aku tadi mau belanja ke warung kamu, tapi kamu tidak
jualan. Lalu aku ke rumah, menemui yu Kasnah. Katanya kamu di rumah sakit,
karena Nano kecelakaan.”
“Iya bu, terserempet mobil.”
“Bagaimana keadaannya?”
“Saya sedang menunggu dia dioperasi, kakinya patah.”
“Ya ampun Tiwi, mengapa tidak bilang sama aku atau bu
Ratna?”
“Kejadiannya begitu mendadak, kemarin siang, saya
panik karena Nano sudah dibawa tetangga yang kebetulan melihatnya.”
“Keadaannya parah?”
“Hanya luka lecet di lengannya, tapi kaki kirinya
patah, setelah lutut.”
“Si penabrak bertanggung jawab kan? Ia membayar
seluruh biaya?”
“Katanya sih belum tertangkap. Entahlah.”
“Lalu bagaimana dengan biaya Nano operasi?”
“Sudah cukup kok Bu.”
“Cukup?” Berapa?”
“Pokoknya semuanya sudah cukup. Pak RT sudah membantu.”
“Benar sudah cukup?”
“Iya Bu, sungguh,” jawab Pratiwi tanpa ingin
mengatakan dari mana ia mendapatkan uangnya.
“Aku dan seluruh keluarga ikut prihatin Wi, nanti aku
kabari anak-anak, sepulang kantor biar melihat keadaan Nano.”
“Tidak usah Bu, jangan merepotkan siapapun.”
“Tidak, biar mereka melihat keadaan Nano. Kapan mulai
dioperasi?”
“Belum setengah jam Bu.”
“Sabar ya Wi. Aku tadi ke rumah kamu, kasihan yu
Kasnah tampak bingung dan sedih.”
“Iya Bu, tentu saja. Begitu operasi selesai dan
melihat Nano baik-baik saja, saya akan pulang dulu untuk melihat ibu.”
***
“Good job Susan, aku suka kerjamu,” kata Sony yang tiba-tiba
muncul di ruangan Susana, lalu mengelus kepala Susana dengan lembut.
Susana merengut.
“Hei, kenapa wajah kamu?”
“Kenapa kamu tiba-tiba datang kemari?” tanya Susana,
tanpa senyum.
“Aku ingin memberi hadiah istimewa sama kamu, atas
kerja yang memuaskan ini.”
“Kamu mengejarnya, apa kamu jatuh cinta sama dia?”
“Wauww, jatuh cinta. Tidak. Mengapa kamu tampaknya
marah? Kamu cemburu?”
“Tidak bolehkah aku cemburu? Kamu selalu dekat sama
aku, dan tiba-tiba kamu mengejar gadis kampung yang sederhana dan memelas itu.”
Sony tertawa terbahak-bahak.
“Gadis kampung yang memelas …” gumamnya sambil duduk
dan menyelonjorkan kakinya di atas meja, di sofa.
Susana mendekat, kemudian melepas sepatu majikannya. Bukan,
Sony bukan sekedar majikan. Sony adalah kekasihnya, laki-laki yang dicintainya,
tapi tidak pernah mencintainya. Sony tidak pernah jatuh cinta. Sony hanya suka
wanita.
“Aku kasihan pada gadis itu. Ia sangat butuh uang
karena adiknya kecelakaan dan harus dioperasi.”
“Ck..ck…ck… Kasihan ya?”
“Apa kamu yang membuat adik Pratiwi kecelakaan?” tanya Susana
“Jangan bertanya sama aku," jawab Sony.
“Tapi iya kan? Mengapa kamu sangat jahat, Sony?” sambung Susana.
“Jahat? No, Susan. Aku sangat penuh kasih sayang. Aku
kasihan melihat nasibnya. Ia miskin, ibunya buta. Itu pantas dikasihani bukan?
Dan aku ingin menolongnya, mengentaskannya dari kemiskinan.”
“Dengan satu maksud?”
“Susan, kamu tidak perlu cemburu. Nanti malam aku akan
mengajak kamu bersenang-senang, dan memberikan hadiah apapun yang kamu
inginkan.”
Tapi Susana merengut.
“Hei, mana senyum kamu, Susan? Aku tidak disambut hangat
seperti biasanya?”
“Aku tidak mau hadiah apapun.”
“Benar?”
“Aku hanya mau, kamu mencintai aku.”
“Susan! Mengapa bicara tentang cinta? Aku tidak pernah
percaya pada cinta setelah kekasih aku mengkhianati aku,” katanya dengan wajah
muram.
Susana terdiam. Ia ingat Dewita, kekasih Sony yang
meninggalkannya karena memilih laki-laki lain. Dan itu membuat Sony kehilangan
kepercayaannya akan yang namanya cinta.
“Kamu bodoh.”
“Apa?”
“Kamu harus tahu, bahwa cinta itu ada. Cinta yang
penuh pengorbanan, rela melakukan apapun demi orang yang dicintainya. Dan itu
adalah aku.”
“Susana.”
Lalu Sony kembali terbahak-bahak.
“Jangan pernah tenggelam dalam cinta Susan, itu
membuat kamu mabuk. Ayo, selesaikan tugas kamu, aku akan menunggu kamu di
hotel.”
“Tidak.”
“Kalau begitu aku akan menjemput kamu.”
Sony tersenyum lebar, melihat Susana terus saja
merengut. Tapi dia tak peduli. Seperti biasa Susana akan jatuh ke dalam pelukannya
dan tak akan pernah bisa menolaknya. Sony bangkit dari duduknya berusaha
melangkah keluar. Tapi Susana berteriak.
“Sepatu kamuuuu!”
Sony kembali duduk, dan membiarkan Susana kembali
mengenakan sepatunya.
***
Nano yang sudah sadar, bisa mengerti ketika sang kakak
meninggalkannya sendirian, karena dia juga sadar bahwa ibunya pasti gelisah
menunggu.
Ia tidak lagi merasakan sakit di kakinya. Barangkali
pengaruh bius belum benar-benar lenyap dari tubuhnya. Ia justru merasa sangat
mengantuk. Tadi Pratiwi juga berpesan, bahwa lebih baik dia tertidur. Pratiwi
juga berjanji, sore hari nanti akan kembali.
Tapi baru saja Nano memejamkan mata, suara seseorang
membangunkannya.
“Kamu adiknya Pratiwi?”
Nano menatap wanita cantik yang berdiri di dekatnya.
Ia merasa sedang bermimpi bertemu bidadari.
***
Besok lagi ya.
Yesssss number one??
ReplyDeleteJaga gawang ya Kek?
DeleteMtnuwun mbk Tien
Smg selalu sehat wal'afiat,Aamiin
Alhamdulillah
ReplyDeleteAlhamdulillahi rabbil'alamiin
ReplyDeleteTerima ksih mbakyu Tienkumalasari SBnya, salam SeRoJa selalu untuk jenengan & kelg tercinta, wassalam dari Gn3, Tanggamus, Lampung🙏😘🌹
ReplyDeleteTerima kasih, bu Tien SB_22 sudah tayang.
ReplyDeleteSemoga bu Tien sehat terus dan terus sehat.
Fii Amanillah, Bun. Semoga perjalanan ke Semarang lancar dan dimudahkan segala urusannya.
Dalam untu penggemar Cerbung TK di Semarang
#salam buat teman2 Semarang
DeleteTerima kasih Mbak Tien
ReplyDeleteSehat selalu ,🙏
Matur nuwun bunda Tien...🙏
ReplyDeleteSalam Sehat Selalu dari kota Malang...
ReplyDeleteAlhamdulillah SETANGKAI BUNGAKU~22 sudah hadir.. maturnuwun & salam sehat kagem bu Tien 🙏
Alhamdulillah
ReplyDeleteMatur nuwun bu
Alhamdulillah...
ReplyDeleteSalam sehat selalu...
Alhamdullilah sdh tayang SB nya .terima ksih bundaqu..slm seroja dan tetap aduhai dri sukabumi🙏😘🌹❤️
ReplyDeletealhamdulillah
ReplyDeleteAlhamdulilah, maturnuwun mbak Tienkumalasari SB telah menjumpai kami, salam SeRoJa dan aduhaai dari Gn3, Tanggamus, Lampung
ReplyDeleteAlhamdulillah SB-22 sdh hadir
ReplyDeleteSiapa ya wanita cantik yg menghampiri Nano, Susana kah?
Terima kasih Bunda Tien, semoga Bunda sehat dan bahagia selalu.
Aamiin
Matur nuwun mbak Tien-ku Tiwi sudah mruput.
ReplyDeleteAlhamdulillah tayang gasik....
ReplyDeleteAlhamdulillah, mtr nuwun, sehat dan bahagia selalu bunda Tien ..
ReplyDeleteJgn2 yg nabrak Nano tuh Sony
ReplyDeleteHadeeh tau deh apa2an nih
Yuuk kita tunggu lanjutannya
Matur nuwun, bu Tien
ReplyDeleteYes !!! Tayang
ReplyDeleteMakasih bunda
Alhamdulillah, SETANGKAI BUNGAKU (SB) 22 telah tayang ,terima kasih bu Tien salam sehat, sejahtera dan bahagia selalu. Aamiin.
ReplyDeleteUR.T411653L
Trims Bu tien
ReplyDeleteAlhamdulillah ...trim bu Tien
ReplyDeleteTerimakasih bunda Tien,salam sehat selalu dan aduhai...
ReplyDeleteSusan ya yang nengokin Nano, ingin ketemuan sama Tiwi rupanya, kaya simpati banget akan keadaan adeknya Pratiwi, dan dari pembicaraan itu tahu bahwa ibunya Nano tidak bisa melihat, jadi tambah lagi simpatinya dengan Pratiwi, asyik punya 'teman' yang perhatian lagi akan keadaan keluarga Pratiwi.
ReplyDeleteTapi ya gimana lagi mau di tolong bos nya segitu banget seolah ingin melumat, pikir 'teman' ini si bos keterlaluan sekali perlakuan nya pada Tiwi seolah ingin melumat habis itu anak, ya merasa kuat aja dan keinginan apapun harus terlaksana.
Ini kaya buat balas dendam aja; aneh nggak nyambung lagi siapa yang ngerjain, siapa yang jadi target pembalasan.
Kaya orang kena gangguan jiwa, cari kelegaan diri sendiri nggak peduli apa itu menerima atawa enggak, robot donk, ya sakit gila itu.
Yakinlah semuanya baek baek saja, banyak yang perhatian keadaan Pratiwi yang dialami saat ini
Terimakasih Bu Tien
Setangkai bungaku yang ke dua puluh dua sudah tayang
Sehat sehat selalu doaku
Sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
🙏
Matur nuwun, bu Tien. Sehat selalu nggih...🙏😀
ReplyDeleteMakasih mba Tien.
ReplyDeleteSalam hangat selalu aduhai
Memang Tiwi harusnya menghubungi orang2 terdekatnya dulu...misal kel.Luminto, kel. Juwono, pak RT, warga desa, masa sih tidak ada yg mau bantu pinjami biaya operasi? Tapi karena panik jadi lupa deh...bu Tien memang piawai mengulur cerita...menguliknya jadi seru. Koteksi kecil, istilah "mengalami kecelakaan" sepertinya lebih tepat daripada "menemui kecelakaan" ya...tapi memang hak penuh ibu Tien untuk memilih kata2 sih...maaf kalau kurang berkenan.🙏😀
ReplyDeleteTerima kasih Bu Tien
ReplyDeleteTurnuwun
ReplyDeleteTerima kasih Mbak Tien...
ReplyDelete