SETANGKAI BUNGAKU
20
(Tien Kumalasari)
Satpam tampak heran ketika Pratiwi tidak segera beranjak
dari tempatnya berdiri. Ia menatapnya, dan kemudian menyapanya.
“Mbak, kenapa berhenti di situ?”
Pratiwi memang agak ragu. Ia merasa, ia telah di sambut
dengan cara yang luar biasa, dan ini adalah berlebihan. Mengapa satpam sudah
tahu namanya? Dan mengapa manager yang bernama Susana dikatakan sudah
menunggunya? Siapa dirinya, dan ada apa?”
“Iya. Bagaimana Bapak bisa tahu bahwa saya adalah
Pratiwi?”
“Oh, itu. Dari datang bu Susana sudah mengatakan,
bahwa akan ada wanita yang akan menemuinya. Namanya Pratiwi.
Begitu Mbak,” terang sang satpam.
“Saya belum pernah mengajukan apapun, bagaimana bu
Susana bisa tahu?”
“Mengapa Mbak bertanya kepada saya? Saya hanya satpam,
jadi tidak banyak tahu tentang perusahaan. Jadi kalau Mbak ingin menanyakan
sesuatu, nanti setelah bertemu bu Susana, maka Mbak bisa menanyakannya.”
Pratiwi mengangguk. Apa yang dikatakan sang satpam
memang ada benarnya. Kemudian dia mengangguk, menuju ke ruang yang ditunjuk
satpam tersebut.
Diluar pintu masuk, seorang sekretaris menyambutnya,
denan sikap yang sama. Sudah tahu nama dan siapa yang akan dia temui. Ia
mengikuti ketika sekretaris itu mengetuk, lalu membuka pintu, dan melapurkan
adanya seseorang yang akan menemui sang manager.
Pratiwi masuk, dan sekretaris itu meninggalkannya.
Seorang wanita cantik anggun, duduk di kursi di belakang meja kerjanya. Ia
menatapnya ramah, membuat hati Pratiwi sedikit tenang.
“Silakan duduk, Pratiwi.”
Yang ini membuat Pratiwi kembali tertegun. Ia dengan
ramah menyebut namanya, padahal dia belum pernah mengajukan lamaran, yang
membuat manager cantik di depannya bisa mengerti siapa namanya.
“Apa Anda heran bagaimana saya bisa tahu siapa nama
Anda?” kata Susana yang menebak apa yang dipikirkan Pratiwi.
“Ya,” jawab Pratiwi pelan.
“Kami sudah mendapat informasi dari atasan, bahwa
posisi administrasi sudah di siapkan untuk Pratiwi. Barangkali sudah ada yang
melaporkan bahwa Anda akan datang siang ini.”
Pratiwi mengangguk mengerti. Barangkali Ratih sudah
mengatakan kepada temannya yang entah siapa, bahwa dirinya akan mencoba menjalani pekerjaan yang ditawarkannya.
Pratiwi meletakkan map berisi lamaran dan surat-surat
yang barangkali diperlukan, termasuk ijazah yang dimilikinya. Tentu saja tanpa
pengalaman kerja.
Susana menarih map itu, dan sepertinya hanya membaca
sekilas.
“Anda langsung diterima, dengan gaji awal sebanyak
enam juta. Selama tiga bulan Anda akan menjalani masa percobaan. Kalau
berlanjut, Anda akan menjadi pekerja tetap dan akan mendapat gaji lebih tinggi.”
Kembali Pratiwi terhenyak. Gaji itu dirasanya sangat
tinggi, untuk lulusan SMA seperti dirinya. Apa Pratiwi akan langsung
menerimanya? Manager cantik itu belum menanyakan apapun, dan belum banyak
bicara tentang dirinya. Tak ada wawancara seperti layaknya orang melamar
pekerjaan. Ini bahkan lamaran itu seakan belum dibaca oleh Susana. Ia langsung
mengatakan bahwa dirinya diterima, lalu mengutarakan besarnya gaji yang akan
diterima. Ini membuatnya ragu.
“Bagaimana, Pratiwi?” tanya Susana ketika melihat
Pratiwi terdiam, bahkan tidak tampak ada kegembiraan pada raut wajahnya.
Pratiwi mengangkat wajahnya. Ia merasa semuanya tidak
wajar. Terlalu berlebihan. Apa karena dia kenal dengan Ratih?
“Saya … akan memikirkannya,” kata Pratiwi pelan.
“Jadi Anda tidak bisa langsung memberi jawaban? Ini
kesempatan langka, karena perusahaan ini sangat membutuhkan pekerja yang baik
dan jujur.”
“Saya tidak tahu, mengapa saya mendapatkan penghasilan
yang berlebih, dan sepertinya Ibu tidak memperitungkan siapa saya sebenarnya.”
“Ini perintah dari atasan saya, yang pastinya sudah
sangat mengerti siapa dan bagaimana Anda sesungguhnya. Itu sebabnya Anda
terpilih dengan kedudukan dan penghasilan yang sudah diperhitungkannya.”
Pratiwi tetap tidak bisa mengerti. Ia harus bertemu
Ratih dan mengatakan semuanya.
“Okey, Anda siap menerimanya?”
Pratiwi mengangkat wajahnya, yang semula menunduk
dalam berpikir akan kejadian yang
dialaminya.
“Kalau Anda menerima, minggu depan Anda bisa memulainya.”
“Saya bahkan tidak tahu apa yang harus saya lakukan.
Saya belum pernah bekerja, jadi tidak pernah punya pengalaman sama sekali.”
“Nanti akan ada yang membimbing Anda. Anda tidak perlu
khawatir."
Pratiwi menghela napas, tapi dia tidak serta merta
mengangguk.
“Saya akan memikirkannya,” katanya singkat.
“Apa? Anda menolaknya?”
“Saya tidak mengatakan itu, tapi saya akan datang
kembali ketika saya sudah memikirkannya.”
Susana terhenyak. Ada ya, calon karyawan yang menyuruh
pimpinan untuk menunggu keputusannya? Tapi dia tak bisa apa-apa. Gadis cantik
sederhana ini adalah pilihan sang penguasa di perusahaan ini.
Pratiwi mengangkat tas kecilnya, dan menyangkutkannya
di pundak, bersiap untuk berdiri.
“Jadi kapan Anda akan memberi jawaban?”
“Secepatnya,” jawabnya sambil berdiri.
Susana mengangguk tapi tak pernah melepaskan senyuman
manisnya.
“Selamat siang,” kata Pratiwi yang kemudian keluar
dari ruangan.
Susana mengangguk, tertegun melihat sikap Pratiwi yang
tampaknya tidak tergiur dengan gaji yang ditawarkan.
***
Sony sedang berada di ruang kerjanya. Wajahnya muram.
Marsam yang sejak lama duduk di depannya, tak berani mendahului bicara, takut
dibentak sehingga terlempar dari kursi duduknya. Sony sangat heran melihat
sikap Pratiwi. Gaji besar dan sikap bersahabat yang ditunjukkan Susana sama sekali
tidak membuatnya tergiur. Ia kehabisan akal untuk bisa menguasai Pratiwi. Apa
lagi yang harus dilakukannya? Sony lupa, bahwa sikap berlebihan yang
ditunjukkannya, iming-iming gaji besar yang ditampakkannya, justru membuat
Pratiwi merasa aneh dan curiga. Pratiwi bukan gadis mata duitan. Ia selalu
melangkah dengan pertimbangan. Ia tak bisa menerima sikap berlebihan yang
ditunjukkannya padanya. Ia bukan gadis pintar dengan pendidikan yang tinggi,
tapi ia pintar dalam menilai sikap seseorang.
“Mengapa susah sekali, Sam?” akhirnya Sony buka suara.
“Apakah dia menolak?” tanya Marsam, hati-hati.
“Belum sepenuhnya menolak, tapi Susana menilai bahwa
tampaknya Pratiwi tidak tertarik. Padahal aku akan memberi gaji yang tinggi,
dan itu pasti diluar bayangannya. Dia hanya lulusan SMA tapi aku berani
membayar tinggi,” gerutunya.
“Dulu tuan pernah berkata, bahwa iming-iming pemberian
uang banyak, sama sekali tidak menarik baginya. Itu pernah dilakukan bu Minar,
bukan? Tuan marah karena bu Minar salah langkah dengan iming-iming uang itu.
Tapi tuan melakukannya sendiri. Dan terjadi bukan, bahwa dia tidak tertarik?”
Sony diam, merenungkan apa yang dikatakan Marsam. Itu
benar. Pratiwi tidak pernah tertarik dengan iming-iming uang. Itu membuatnya
penasaran. Itu juga membuatnya tertarik, dan keinginan untuk menjeratnya
semakin besar di hatinya.
“Saya heran sama tuan.”
Sony mengerutkan dahinya. Ia tahu Marsam akan
mencelanya, dan itu tidak membuatnya suka. Marsam juga pasti akan menuduhnya
jatuh cinta pada penjual sayur itu.
“Apa? Kamu mau bilang apa? Heran kenapa?” katanya
dengan nada tinggi, dan membuat hati Marsam tiba-tiba ciut. Ia merasa telah
memancing kemarahan tuannya.
“Kamu ingin menuduh aku jatuh cinta pada penjual sayur
yang pastinya bau itu? Dan karenanya aku melakukan segala cara?” tuduh Sony
sambil menunjuk ke arah dahi Marsam.
“Bukan, bukan begitu, tuan.”
“Lalu apa?”
Marsam mencari-cari alasan yang ada hubungannya dengan
kata ‘heran’ yang tadi diucapkannya.
“Apa? Kenapa kamu diam?”
“Itu … tuan, saya heran pada gadis itu,” akhirnya
Marsam menemukannya jawaban.
“Iya, kenapa heran?”
“Itu … biasanya perempuan suka uang banyak … kok dia
tidak peduli ya? Biasanya perempuan juga suka wajah ganteng, sementara tuan kan ganteng, kok dia juga tidak tertarik?”
Sony menampakkan senyuman tipis. Pujian ganteng itu
membuatnya suka. Tapi itu belum memuaskannya. Ia selalu mendapatkan apa yang
diinginkannya. Hanya seorang penjual sayur, anak seorang perempuan tuna netra,
mengapa bisa membuat hatinya kalang kabut? Apa tuduhan Marsam bahwa dia jatuh
cinta itu benar? Sony membenci tuduhan itu. Banyak gadis cantik seksi yang siap
melayaninya, dan penjual sayur itu sama sekali tidak tertarik padanya?
“Tuan, bukankah mbak Susana belum mengatakan bahwa
Pratiwi menolak?”
“Belum, tapi dia mengatakan bahwa tampaknya Pratiwi
tidak tertarik.”
“Tuan jangan putus asa dulu, masih ada waktu untuk
menunggu. Jadi tuan harus bersabar.”
Sony menggaruk-garuk kepalanya.
Tiba-tiba sekretarisnya masuk setelah mengetuk pintu.
“Pak, Bapak ditunggu di ruang meeting.” Katanya.
“Haa, iya, ada meeting hari ini? Tapi aku sedang tidak
enak badan, undur saja meeting nya sampai besok pagi,” perintahnya tandas.
Sekretaris itu mengundurkan diri setelah mengatakan ‘siap', sementara Marsam geleng-geleng kepala. Ia heran, seorang gadis penjual sayur
bisa membuat tuannya jatuh bangun.
***
“Nano ?”
“Saya Pratiwi Bu, memangnya Nano belum pulang?” tanya Pratiwi sambil
duduk di samping ibunya, membantu merapikan nasi dan sayur yang agak belepotan
di piringnya.
“Pratiwi? Aku kira Nano. Nggak tahu anak itu, ini jam
berapa?”
“Jam setengah dua, mungkin sebentar lagi.”
“Kamu sudah ketemu kantor baru itu?”
“Sudah Bu.”
“Kamu suka?”
“Entahlah Bu, Tiwi belum memberi jawaban, padahal
mereka sudah yakin menerima Tiwi, dan mengatakan juga tentang gaji pada tiga
bulan pertama.”
“Kamu masih ragu-ragu? Gajinya sedikit ya?”
“Justru terlalu besar. Tiwi kok merasa aneh.”
“Kalau aturannya memang memberikan gaji besar, apa
yang membuat kamu merasa aneh?” tanya yu Kasnah sambil menyendok makan siangnya.
“Entahlah Bu, Tiwi belum merasa yakin akan bisa
bekerja di sana.”
“Suasananya tidak enak?”
“Tidak, bukan itu.”
“Lalu apa?”
“Hanya merasa kurang nyaman saja. Entahlah, nanti akan
Tiwi pikirkan lagi.”
“Ya sudah, terserah kamu saja. Yang penting dalam
bekerja itu adalah, rasa nyaman dan
menyukai pekerjaan itu. Kalau tidak ya tidak usah dijalani.”
“Iya Bu.”
“Sekarang kamu makanlah, tadi ibu merasa lapar, lalu
mengambil makan sendiri tanpa menunggu Nano.”
“Iya Bu, Tiwi cuci tangan dan ganti pakaian dulu ya.”
“Ibu tunggu. Nanti kalau Nano pulang biar dia makan
sendiri.”
Tapi baru saja Pratiwi duduk, didengarnya ketukan
pintu, dan Ratih tiba-tiba sudah nyelonong ke ruang makan.
“Ratih?”
“Kok aku kalau datang pasti pas sedang makan ya,” kata
Ratih sambil tertawa.
“Ini namanya rejeki, ayo makan sekalian.”
“Kali ini enggak deh Mbak, aku tidak sendiri.”
“Yaa? Kamu sama siapa?”
“Sama mas Bondan.”
“Ya sudah, kamu duduk di depan saja dulu, aku buatkan
minum.”
“Tidak usah, aku sama mas Bondan bawa jus jambu untuk
semuanya. Nih,” kata Ratih yang kemudian mengeluarkan bungkusan beberapa gelas
jus, yang semula disembunyikan di balik punggungnya.
“Ya ampuun, banyak benar.”
“Ini juga untuk ibu, untuk Mbak, dan untuk Nano.”
“Baiklah, ayo ke depan saja, yang untuk ibu sama Nano
biar aku tinggalkan di sini,” kata Pratiwi yang kemudian meletakkan tiga gelas
diatas nampan, lalu dibawanya ke depan.
“Bu, saya ke depan ya, jusnya diminum,” kata Ratih
sambil memegangi tangan yu Kasnah.
“Iya … iya, nanti ibu minum, duduk lah dulu, ibu sedang
menunggu Nano,” kata yu Kasnah.
Ratih mengikuti Pratiwi yang sudah membawa nampan
berisi jus itu ke depan.
“Mas Bondan, apa kabar?” sapa Pratiwi.
“Kabar baik, Tiwi. Kamu sedang sibuk ya?”
“Tidak, sedang melayani ibu makan. Kok mas Bondan ada
di sini? Ini kan belum hari libur?”
“Lagi tugas, lalu mampir ke rumah, terus pengin ketemu
Tiwi deh.”
Pratiwi tertawa.
“Terima kasih, sudah dikangenin.”
“Iya, tapi nanti sore sudah kembali ke Jakarta. Itu
sebabnya kami nggak bisa lama di sini.”
“Oh, ya ampun. Sudah mau kembali ya.”
“Mbak Tiwi sudah datang ke kantor itu?”
“Sudah tadi sehabis jualan.”
“Lalu bagaimana? Cocok ?”
“Belum.”
“Maksudnya belum?”
“Baru akan aku pikirkan. Biar saja dulu. Kalau tidak
sabar ya biar mencari orang lain saja dulu. Aku kan harus memikirkannya.”
“Betul Mbak, jangan terburu-buru menerima, Mbak harus
melihat untung ruginya.”
Mereka berbincang tidak lama, karena Bondan harus
segera pulang sore harinya. Tapi Bondan merasa senang, bisa bertemu Pratiwi
walau hanya sebentar.
***
Tapi sepeninggal Ratih dan Bondan, Pratiwi merasa
gelisah, karena Nano belum juga pulang. Ia berjalan kearah jalanan, dan
melongok ke kiri dan ke kanan, tak sabar menunggu.
Tiba-tiba seorang bocah sebaya Nano berlari mendekati.
“Mbak … mbak … Nano kecelakaan. Terserempet mobil.”
Pratiwi merasa lemas.
“Kecelakaan di mana?”
“Di pinggir jalan, sudah dilarikan ke rumah sakit.”
***
Besok lagi ya.
Alhamdulillah
ReplyDeleteSelamat jeng Isti Juara 1.
DeletePastinya setelah lihat tayangan di WAG PCTK selanjutnya melongoh blog spot bu Tien.
Matur nuwun
ReplyDeleteMatur nuwun bunda Tien
ReplyDeleteTopic: Kesehatan Lambung Mempengaruhi Fungsi Organ Tubuh
ReplyDeleteTime: Feb 15, 2023 07:45 PM Jakarta
Join Zoom Meeting
https://us02web.zoom.us/j/83984811770?pwd=TkJsazhSNWczYmxuMTBiditsVnJEdz09
Meeting ID: 839 8481 1770
Passcode: mdi
Hayo sahabat-2 pukul 19.45sd 22.00 merapat ke LINK tersebut diatas untuk mengikuti WEBINAR OMA NING HARMANTO, dengan tema : KESEHATAN LAMBUNG MEMPENGARUHI FUNGSI ORGAN TUBUH
Alhamdulillah Maturnuwun
ReplyDeleteMatur nuwun mbak Tien-ku, Tiwi sudah mruput....
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteMasih sore sb ku 20 sdh tayang
Terima kasih bu tien
Semoga bu tien sehat2 selalu
Alhamdulillah ...
ReplyDeleteSyukron nggih Mbak Tien 🌹🌹🌹🌹🌹
Aduhh..Nano kecelakaan, semoga pemilik mobilnya bertanggung jawab.
ReplyDeleteApa Sony akan mencari cara lain yang lebih manjur ya.
Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.
Terima kasih, ibu Tien...SBK 20 tayang awal. Koreksi kecil: "Mas Bondan, apa kabar?" sapa Pratiwi (bukan Ratih).
ReplyDeleteTerima kasih, ibu Nana
DeleteSama2, ibu...saya Debora Ratna.😉😘😘
DeleteAlhamdulillah .....
ReplyDeleteEsbeka 20 sdh datang gasik
Matur nuwun bu Tien ...
Semoga sehat selalu....
Tetap semangat .....
alhamdulillah
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteAlhamdulillah... terima kasih
ReplyDeleteWaduh siapa yang nyrempet Nano, mudah mudahan bukan buat alasan untuk menyandera Pratiwi, Pratiwi demi kemandirian, dan dalih tidak merepotkan orang lain untuk biaya Nano dirumah sakit, jadi terpaksa mau menjadi pekerja dikantornya Sony; yang dia belum tahu yang tadi dimasukin itu sebenarnya kantor milik Sony.
ReplyDeleteADUHAI
Terimakasih Bu Tien
Setangkai bungaku yang ke dua puluh sudah tayang
Sehat sehat selalu doaku
Sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
🙏
ReplyDeleteAlhamdulillah SETANGKAI BUNGAKU~20 sudah hadir.. maturnuwun & salam sehat kagem bu Tien 🙏
Alhdulillaah gasik bener tayangannya
ReplyDeleteAlhamdulillah, SETANGKAI BUNGAKU (SB) 20 telah tayang ,terima kasih bu Tien salam sehat, sejahtera dan bahagia selalu. Aamiin.
ReplyDeleteUR.T411653L
Alhamdulillah...
ReplyDeleteMatunuwun, salam sehat selalu...
Alhamdulilah terima kasih bu tien sb sdh tayang ...salam sehat
ReplyDeleteAlhamdulillah terima kasih Bu Tien, SB 20 sudah hadir sebelum zoom.
ReplyDeleteSaya curiga ini apa idenya Marsam ya, supaya Pratiwi terpaksa menerima bekerja di tempat Soni. Ardiaaaaan ayo bantu Pratiwi, tiba2 hadir kasih bantuan, biar Pratiwi tidak terjebak Sony.
Salam Aduhai sehat selalu Bu Tien
Sptnya Pratiwi gak semudah itu deh terkecoh dgn gaji gede
DeletePastinya penuh pertimbangan mengingat dia sangat lah setia dgn ibunya
Lagian laptop udah di ksh Ardian
Utk jualan brgkli bs berkembang krn udah mulai dgn sayur matang juga
Lht aj nanti pasti akan berlanjut
Trus kl bu Juwono udah mulai ikut lihat jd tmbh langganan
Ini kan ber andai2 deh menurutku,tp kita ikutin aj deh alur ceritanya bu Tien
Mksh bunda Tien sehat selalu doaku
Alhamdulillah
ReplyDeleteAlhamdulillah.... matur nuwun bunda Tien, salam sehat dri Bintaro
ReplyDeleteMatur nuwun, bu Tien. Sehat selalu
ReplyDeleteTerima kasih Bu Tien
ReplyDeleteAlhamdulillah, Terima kasih mbak Tien
ReplyDeleteSalam sehat selalu
Ya ampyuun, cobaan apa lagi yg dihadapi Pratiwi, semoga Nano baik2 saja.
ReplyDeleteMtr nwn bu Tien, salam sehat
Alhamdulillah ..dan terima kasih bu Tien
ReplyDeleteTerima kasih Mbak Tien...
ReplyDeleteAlhamdulillah, Matursuwun Bu Tien
ReplyDeleteSalam sehat selalu
Makasih mba Tien
ReplyDelete