Tuesday, November 15, 2022

JANGAN PERGI 25

 

JANGAN PERGI  25

(Tien Kumalasari)

 

Radit heran, melihat bu Cipto kemudian mendekati wanita penjual koran yang sudah mau diberinya uang.

“Bu Tarmi, tolong jangan pergi,” katanya sambil memegangi tangan si penjual koran.

Bu Tarmi tampak meronta. Radit sadar bahwa dia harus membantu bu Cipto, entah apa masalahnya. Dia membuka pintu mobil, mendekati mereka.

“Lepaskan saya,” kata bu Tarmi.

“Saya tidak ingin mencelakai Ibu, mengapa selalu lari dari saya?” tegur bu Cipto.

“Kenapa dia Bu?” tanya Radit.

“Saya baru mau bertanya sama dia, mengapa selalu lari dari saya.”

“Tolong lepaskan saya,” pintanya memelas.

“Saya akan melepaskan Ibu, tapi jangan lagi lari radi saya.”

“Apakah Ibu mau melaporkan saya?” tanya Tarmi ketakutan.

“Mengapa Ibu selalu berkata begitu?”

“Bu, ada apa ini?”

“Ayo kita ajak dia minggir ke sana, dan mengajaknya bicara.”

Radit membantu bu Cipto, menggandeng lengan bu Tarmi dan mengajaknya minggir. Tak ada tempat duduk, Radit mengajaknya masuk ke sebuah warung, yang kebetulan sepi. Lagi-lagi di dalam warung, tapi bu Cipto sudah siap seandainya bu Tarmi melarikan diri. Dia duduk sangat dekat dengan bu Tarmi, kemudian Radit memesan minuman.

“Tolong saya.”

“Sebenarnya apa yang membuat Ibu ketakutan?” tanya bu Cipto.

“Saya memang salah. Tapi saya sudah menerima ganjarannya, saya hidup sendirian dan hanya menjadi menjaja koran demi menyambung hidup. Ini hukuman yang cukup berat bagi saya, jadi tolong jangan biarkan saya masuk penjara,” pintanya.

“Sebenarnya Ibu melakukan kesalahan apa?” tanya Radit yang menasaran dengan kejadian itu.

“Berjanjilah kalian tidak akan memenjarakan saya.”

“Tidak, asalkan Ibu mau berterus terang.”

“Ceritanya panjang,” ucapnya lirih.

“Minumlah dulu, kata Radit yang mempersilakan minum setelah pelayan menyajikannya.

“Atau mau makan? Ini sudah siang, waktunya makan siang bukan?” lanjut Radit.

“Ya, Nak Radit, pesan saja. Bu Tarmi pasti belum makan, seperti juga saya.”

Bu Tarmi diam saja. Sebenarnya Radit penasaran dengan nama Tarmi itu. Apakah ada hubungannya dengan bu Sumini dan bu Sutijah? Atau hanya kebetulan namanya sama. Tapi dia tak mengatakan apa yang dipikirkannya. Ia memesan makanan walaupun sudah makan di rumah, hanya untuk menemani dua wanita yang menyimpan teka teki baginya.

“Saya dulu seorang wanita yang cantik. Tapi saya tidak memiliki hati yang baik. Saya mengganggu rumah tangga teman saya sendiri, karena saya tergila-gila dengan wajah gantengnya. Tapi saya tidak hanya menggodanya dan merebutnya dari tangan istrinya. Saya menghabiskan harta keluarga itu untuk berfoya-foya berdua.

Suatu sore, di jalanan yang agak ramai, karena para karyawan pabrik kaos di kota kecil itu baru saja bubaran.

Seorang gadis cantik, salah satu karyawan pabrik itu tiba-tiba berteriak.

“Mas Sukurrr … mas Sukuurr…!!”

Seorang pengendara sepeda motor berhenti, menoleh ke arah belakang, dimana seorang gadis berlari-lari mendekatinya.

“Tarmi? Baru pulang?”

“Gonceng maaas,” katanya manja.

“Ayuuk,” katanya mempersilakan, dan gadis itu dengan gaya lincahnya melompat dan duduk di belakang Sukur, membuat Sukur berdebar, karena gadis itu duduk merapat di punggungnya.

“Pengin bakso Mas, traktir ya?” katanya sambil menyandarkan kepalanya di punggung Sukur.

Sukur sejenak terlena oleh kehangatan yang menyentuh perasaannya.

“Ya Maaas, pengin bakso, traktir dong,” rengeknya sambil masih meletakkan kepalanya dipunggung Sukur.

“Boleh … boleeeh…” katanya ringan.

“Horeeee …” soraknya riang.

“Kamu nggak kesorean pulangnya?”

“Bapakku sama ibuku sedang pulang ke desa, simbahku sakit.”

“Baiklah kalau begitu.”

Sukur melajukan kendaraannya ketengah kota, lalu berhenti di sebuah warung bakso, lalu segera menggandeng Tarmi yang bergayut manja di lengannya, masuk ke dalam warung.

“Mas Sukur baru pulang kerja?”

“Iya, sama dong, kamu juga pulang kerja kan?”

“Iya, sama-sama belum mandi,” kata Tarmi cekikikan.

“Bau aceem…” kata Sukur sambil nyengir.

“Nanti mandi di rumah aku saja.”

Mata Sukur terbelalak.

“Mandi di rumah kamu?”

“Iya. Kenapa? Aku punya air, punya handuk bersih, punya sabun. Aku juga punya sikat gigi yang baru.”

“Sungkan ah.”

“Sungkan sama siapa? Rumahku kosong, hanya ada aku sendirian.”

“Mau pesan apa mas?” tanya pelayan warung karena keduanya asyik bercanda, lupa pesan sesuatu.

“Ya pesan bakso lah, ini kan warung bakso,” jawab Tarmi sambil memonyongkan bibirnya.

“Maksudnya, bakso biasa, apa istimewa, pakai pangsit, atau tidak ….”

“Oh, istimewa, dua. Es jeruk, dua,” kata Tarmi tanpa bertanya dulu pada Sukur yang hanya tersenyum-senyum melihat ulah Tarmi.

Tarmi begitu manis, manja, kenes, dan menawan. Dalam sekejap dia berhasil menjatuhkan hati Sukur, yang terus menerus menatap Tarmi yang tampak selalu menggodanya.

Tarmi menikmati pesanan baksonya dengan lahap, sambil terus menggoda Sukur dengan kata-kata manis.

Dan Sukur pun tak bisa menolak, ketika Tarmi memintanya mengantar sampai ke rumah, dan menawarkan mandi di rumah Tarmi yang kosong. Pasti adalah setan-setan berkipas, dengan iming-iming bahwa dosa itu nikmat.

***

Sukur sampai di rumah saat hari mulai malam, membuat Tijah istrinya gelisah menunggu.

“Kok baru pulang Mas?”

“Lembur,” katanya langsung masuk ke kamar. Tijah mengikutinya.

Sukur dengan santai melepas baju kerjanya, bersiap mandi. Tijah dengan sabar memunguti baju kotor itu, untuk dimasukkan ke dalam keranjang baju kotor.

“Kok bau wangi Mas?” tanyanya sambil nyengir, karena hidungnya mencium aroma yang asing.

“Oh, itu tadi … ada orang jualan parfum ke kantor, semua karyawan di semprot wangi-wangian dagangannya.

Tijah tak menjawab. Ia begitu lugu, dan tak mempersoalkan masalah penjual parfum itu. Ia membawa keranjang berisi baju kotor suaminya ke belakang.

Tapi tidak hanya sekali Sukur pulang malam. Tijah dengan sabar menerima alasan suaminya yang bermacam-macam. Yang lembur lah, yang ada pemeriksaan dari pusat, yang ada temannya sakit haru mengantar ke rumah sakit. Aduhai.

Tapi ketika uang belanja semakin berkurang, Tijah terpaksa menanyakannya.

“Kok uang belanjanya semakin sedikit Mas?”

“Di kantor sedang ada masalah, gaji karyawan memang harus dipotong, kalau tidak, kantor bisa bangkrut, lalu kami akan kehilangan pekerjaan. Kamu mau?” kata Sukur yang semakin pintar berbohong.

Dan lagi-lagi Tijah hanya mengangguk. Ia bahkan membiarkan saja ketika suaminya meminta agar Tijah menjual kalungnya karena dia tidak menerima gaji dalam beberapa bulan.

Pada suatu hari Tijah merasa badannya lemas, mual dan muntah hampir setiap pagi.

“Mas, antarkan aku ke puskesmas ya, badanku kok rasanya seperti ini,” keluh Tijah.

“Mana mungkin aku bisa mengantarkan kamu? Aku kan harus bekerja?”

“Tapi, aku takut nggak kuat berjalan dan_”

“Minta tolong pada siapa saja, tetangga kan banyak. Aku tidak bisa meninggalkan pekerjaan aku,” katanya sambil berlalu.

Tijah pun menurut.

“Mas, minta uangnya dong, untuk periksa,” teriaknya ketika Sukur terus berjalan keluar dari rumah.

“Uang apa? Aku tidak punya uang,”

“Tapi kan nanti aku harus membayar dokternya, belum kalau diberi obat.”

“Kamu kan tahu bahwa perusahaan sedang  bangkrut, jadi mana bisa aku memberi uang lebih?”

“Lalu … aku periksa pakai uang apa?”

“Kalau tidak parah ya tidak usah periksa lah, jangan sok jadi orang kaya,” katanya sambil menstarter sepeda motornya.

“Kalau memang perlu, jual dulu saja cincin kamu, nanti kalau aku sudah punya uang, aku tukar yang lebih besar,” lalu Sukur membawa motornya berlalu, keluar dari halaman.

Tijah mengeluh, lalu perutnya kembali terasa mual.  Setengah berlari dia masuk ke dalam rumah, lalu muntah-muntah di kamar mandi.

***

Terengah-engah Tijah kembali masuk ke dalam kamar, menggosok perutnya dengan minyak kayu putih. Rasa mual segera reda begitu ia muntahkan seluruh isi perutnya.

“Aku harus ke dokter. Tapi … “

Tijah mengelus jarinya, dimana sebentuk cincin melingkar di sana.

“Tak ada jalan lain. Lagi pula uang belanja juga sudah menipis, dan mas Sukur sudah mengijinkannya.”

Tijah meminta tolong tetangga agar mengantarkannya ke toko emas untuk menjual cincinnya, kemudian pergi ke puskesmas untuk memeriksakan kesehatannya.

Tijah terkejut, ketika dokter mengatakan bahwa dia hamil. Wajahnya berseri karena bahagia.

“Semoga mas Sukur hari ini tidak pulang malam. Aku ingin segera mengatakan bahwa aku hamil,” bisiknya sambil keluar dari puskesmas.

***

Tapi ternyata Sukur kembali pulang malam. Dan dengan kesal saat bangun pagi, Sukur mendengar istrinya mengeluh mual. Beruntung tidak muntah, karena dokter sudah memberinya obat.

“Apa sih kamu, sebenarnya sakit apa? Setiap pagi mengeluh mual … mual … muntah,” kesalnya.

“Mas, ada berita bagus,” kata Tijah dengan wajah berseri.

“Berita bagus apa?” tanyanya tanpa senyuman.

“Aku hamil Mas,” kata Tijah sambil meraih tangan suaminya. Tapi tanpa disangka sang suami menepiskan tangannya.

“Apa? Hamil? Bagaimana bisa hamil? Kamu kan tahu bahwa keuangan kita sedang tidak baik? Bagaimana kamu bisa hamil? Bagaimana membiayai persalinan, memelihara seorang bayi … membesarkan anak?“ hardiknya kesal, membuat Tijah terbelalak.

“Mas, aku hamil kan karena Mas juga. Bagaimana Mas bisa menyalahkan kehamilan ini? Bukankah anak itu anugerah?”

“Anugerah apa? Anak hanya akan menyusahkan orang tua!!” katanya sambil menjauh, membuat Tijah jatuh terduduk dan menangis memilukan.

Sukur pun berangkat bekerja tanpa mempedulikan istrinya.

Tapi sifat diamnya Tijah melukai dirinya sendiri semakin dalam. Perubahan sikap suaminya membuatnya sakit, apalagi ketidak peduliannya terhadap kehamilannya, hanya dipendamnya seorang diri. Ada rasa curiga bahwa suaminya selingkuh, tapi ia memendamnya. Tak pernah bertanya ataupun memarahinya. Ada salah seorang saudara sepupunya yang prihatin melihat badan Tijah semakin kurus, padahal sedang hamil. Pada suatu hari ia  mendatanginya.

“Yu Tijah, kamu apa sudah tahu, kelakuan suamimu di luar sana?”

Tijah menggeleng.

“Suamimu selingkuh.”

Tijah hanya terbelalak menatap tetangganya.

“Kamu tahu Tarmi kan? Setiap hari sepulang kerja dia selalu bersama Tarmi, jalan-jalan, makan-makan, kemudian pulang ke rumah Tarmi, malam hari selalu baru pulang kan?”

Tijah diam, memang dia sudah menduga, tapi kata-kata sepupunya  membuat luka itu menganga semakin lebar. Tanpa menjawab sepatah katapun, dia menangis sesenggukan.

“Maaf Yu, aku terpaksa mengatakannya sama kamu, karena aku kasihan melihat kamu.”

Tijah hanya mampu mengangguk, dan dia juga tak mengatakan apa-apa ketika suaminya pulang. Ia tetap melayani, menyediakan minum, dan makan seadanya walau tak pernah disentuhnya.

***

Hari itu Tijah melahirkan. Tanpa membawa sepeser uangpun karena Sukur tidak pernah lagi memberikan uang untuknya. Hanya Sumini, sepupunya itu yang mengantarkan, dan juga tak bisa menolongnya karena dia juga keluarga miskin yang hanya seorang buruh.

“Yu, anakmu perempuan, cantik sekali,” kata Sumini selepas Tijah melahirkan.

Air mata Tijah tumpah.

“Bagaimana aku bisa merawatnya? Kasihan anak itu.”

“Apa yang harus kita lakukan?”

“Apa ada orang yang mau mengambil anakku? Aku ingin anakku dibesarkan dilingkungan keluarga yang bisa memanjakannya, memberinya kehidupan layak.”

Sumini menghela napas. Perlahan ia keluar dari ruangan inap Tijah, dan duduk termenung di sebuah ruang tunggu, di depan ruang praktek dokter kandungan.

Sumini termenung, ingin menolong tapi dia sendiri tak mampu. Sedangkan uang untuk membayar persalinan juga tak ada. Tak terasa air mata Sumini menetes.

“Ada apa Bu,” tiba-tiba seorang ibu menyapanya.

“Oh, aduh … maaf,” kata Sumini gugup.

“Ibu menangisi saudara yang sakit? Atau orang tua? Atau ….”

“Tidak Bu, kerabat saya melahirkan, tapi tak punya uang untuk biaya persalinan.”

“Ya ampuun, kasihan sekali. Bertahun-tahun saya menunggu, belum juga dikaruniai seorang anak pun. Ini juga mau periksa lagi, sebenarnya sudah lelah, padahal umur saya sudah empat puluh tahun lebih.”

“Apa Ibu mau mengambil anak pungut?”

“Anak pungut?”

“Saudara saya melahirkan anak perempuan yang cantik, tapi dia miskin, tak mampu membayar biaya persalinan, apalagi merawat anaknya nanti.”

“Apakah dia bermaksud menjual anaknya?”

“Tidak, bukan menjual Bu, dia hanya ingin agar biaya persalinan terpenuhi, dan anaknya terawat dengan baik.”

“Di mana kerabat ibu itu? Aku mau ketemu dia.”

Ibu itu seorang yang berkecukupan, bernama ibu Suroto, yang atas persetujuan Tijah kemudian membawa pulang bayi itu, dengan membayar semua biaya persalinan.

Tijah pulang dengan rasa sedih, sekaligus lega, karena yakin anaknya akan mendapatkan perawatan yang lebih baik.

***

Ketika kemudian bertemu suaminya, ia ketakutan karena telah memberikan anaknya kepada orang lain.

“Maaf Mas, anak yang aku lahirkan, terpaksa aku berikan kepada orang lain, karena aku merasa tak sanggup merawatnya. Kalau mau marah, aku terima, karena aku salah, tapi ini adalah jalan terbaik yang aku lakukan.”

Gemetar menunggu kemarahan suaminya, ternyata Tijah salah duga.

“Ya sudah, itu bagus. Tidak membebani hidup aku,” katanya enteng.

***

Besok lagi ya.

47 comments:

  1. Replies
    1. Tp aku woro2 dulu di grup,baru buka blog lho mbk,lihat jamnya hehehe...

      Delete
    2. Hatrick......... Juara 1 berturutan.
      Selamat Uti Nani......

      Delete
    3. Alhamdulillah
      Jeng Nani gantian terus sama kakek Habi juaranya 👍👍
      Salam sehat nggih bunda Tien 🙏

      Delete
    4. Matur nuwun Mbak Tien sayang. Salam sehat selalu.

      Delete

  2. Alhamdulillah JANGAN PERGI~25 sudah hadir.. maturnuwun & salam sehat kagem bu Tien 🙏

    ReplyDelete
  3. Alhamdulillah, matur nuwun Bunda Tien, mugi tansah pinaringan sehat.

    ReplyDelete
  4. Matur nuwun mbak Tien-ku, Jangan Pergi sudah tayang.

    ReplyDelete
  5. Matur nuwun bu Tien, salam Seroja

    ReplyDelete
  6. Alhamdulillah, matursuwun, salam sehat selalu bu Tien

    ReplyDelete
  7. Kejora Pagi

    🌾🌾🌹🌹☘️☘️♣️♣️❤️❤️

    Selasa, 15 November 2022

    JANGAN PERGI
    #Episode 25

    Penulis : Tien Kumalasari.

    👀👀👀👀👀👀👀👀👀👀

    Alhamdulilah..... sudah tayang.....
    Terima kasih bu Tien, semoga bu Tien sehat selalu dan selalu sehat.... Aamiin ya Mujibassailiin..
    Salam ADUHAI, Kakek Habi mBandung.

    ReplyDelete
  8. Alhamdulillah, maturnuwun, sehat selalu bunda Tien . .

    ReplyDelete
  9. Matur nuwun mbakyu Tienkumalasari sayang, smoga tetep sehat bersama kelg tercinta, wassalam..dari Lampung

    ReplyDelete
  10. Alhamdulillah terima jkasih cerbung nya, semoga mbak Tien Kumalasari sll sehat2

    ReplyDelete
  11. Alhamdulillah
    Terima kasih bu tien
    Semoga bu tien sehat2 selalu

    ReplyDelete
  12. Mungkin Listi itu anak Tijah, terus Ratri adiknya??? atau anak Tarmi? Jawabnya
    Besok lagi ya...
    Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.

    ReplyDelete
  13. Alhamdulilah, terima kasih bu tien.. ternyata bu tijah ibunya listi, bgm dg ratri? Kita tunggu besok..
    Salam sehat bu tien ...

    ReplyDelete
  14. Alhamdulilah
    Terimakasih cerbungnya bunda Tien

    ReplyDelete
  15. Terima ksih bunda🙏 slmsehat sll dan slmt istrhat🙏🥰🌹

    ReplyDelete
  16. Alhamdulillah akhirnya SP 25 tayang...

    Terimakasih Bu Tien Kumala...
    Moga Allah memberikan segala kebaikan buat Bu Tien Kumala sekeluarga....

    Moga juga Bu Tien Kumala sekeluarga sehat selalu....

    Aamiin...

    ReplyDelete
  17. Terima kasih mbak, Salam sehat selalu.

    ReplyDelete
  18. Semakin seruu.
    Makasih mba Tien.
    Salam hangat selalu. Aduhai

    ReplyDelete
  19. Alhamdulillah.. Terima kasih Bu Tien.. Semoga sehat selalu..

    ReplyDelete
  20. Oalaah Sikuur...terbuat dari apa hatimu itu?
    Waah ikut baper nih..
    Matur nwn bu Tien..
    Salam sehat dan aduhai dari mBantul

    ReplyDelete
  21. Alhamdulillah.. Terima kasih Bu Tien..
    Semoga Ibu sehat dan bahagia selalu.
    Aamiin

    ReplyDelete
  22. Hallow mas2 mbak2 bapak2 ibu2 kakek2 nenek2 ..
    Wignyo, Opa, Kakek Habi, Bambang Soebekti, Anton, Hadi, Pri , Sukarno, Giarto, Gilang, Ngatno, Hartono, Yowa, Tugiman, Dudut Bambang Waspodo, Petir Milenium (wauuw), Djuniarto, Djodhi55, Rinto P. , Yustikno, Dekmarga, Wedeye, Teguh, Dm Tauchidm, Pudji, Garet, Joko Kismantoro, Alumni83 SMPN I Purwantoro, Kang Idih, RAHF Colection, Sofyandi, Sang Yang, Haryanto Pacitan, Pipit Ponorogo, Nurhadi Sragen, Arni Solo, Yeni Klaten, Gati Temanggung, Harto Purwokerto, Eki Tegal dan Nunuk Pekalongan, Budi , Widarno Wijaya, Rewwin, Edison, Hadisyah,
    Wo Joyo, Tata Suryo, Mashudi, B. Indriyanto, Nanang, Yoyok, Faried, Andrew Young, Ngatimin, Arif, Eko K, Edi Mulyadi, Rahmat, MbaheKhalel, Aam M, Ipung Kurnia, Yayak, Trex Nenjap, Sujoko, Gunarto, Latif, Samiadi, Alif, Merianto Satyanagara, Rusman, Agoes Eswe, Muhadjir Hadi, Robby, Gundt, Nanung, Roch Hidayat, Yakub Firman, Bambang Pramono, Gondo Prayitno , Zimi Zaenal M. , Alfes, Djoko Bukitinggi, Arinto Cahya Krisna , HerryPur, Djoni August. Gembong. Papa Wisnu, Djoni, Entong Hendrik, Dadung Sulaiman, Wirasaba, Boediono Hatmo, R.E. Rizal Effendy, Tonni, Koko Hermanto, Radieska51, Henrinurcahyo, Subagyo, Bam's, Mbah Wi, Tjoekherisubiyandono, Apip Mardin

    ReplyDelete
  23. Hallow..
    Yustinhar. Peni, Datik Sudiyati, Noor Dwi Tjahyani, Caroline Irawati, Nenek Dirga, Ema, Winarni, Retno P.R., FX.Hartanti, Danar, Widia, Nova, Jumaani, Ummazzfatiq, Mastiurni, Yuyun, Jum, Sul, Umi, Marni, Bunda Nismah, Wia Tiya, Ting Hartinah, Wikardiyanti, Nur Aini, Nani, Ranti, Afifah, Bu In, Damayanti, Dewi, Wida, Rita, Sapti, Dinar, Fifi, Nanik. Herlina, Michele, Wiwid, Meyrha, Ariel, Yacinta, Dewiyana, Trina, Mahmudah, Lies, Rapiningsih, Liliek, Enchi, Iyeng Sri Setyawati , Yulie, Yanthi , Dini Ekanti, Ida, Putri, Bunda Rahma, Neny, Yetty Muslih, Ida, Fitri, Hartiwi DS, Komariah P., Ari Hendra, Tienbardiman, Idayati, Maria, Uti Nani, Noer Nur Hidayati, Weny Soedibyo, Novy Kamardhiani, Erlin, Widya, Puspita Teradita, Purwani Utomo, Giyarni, Yulib, Erna, Anastasia Suryaningsih, Salamah, Roos, Noordiana, Fati Ahmad, Nuril, Bunda Belajar Nulis, Tutiyani, Bulkishani, Lia, Imah P Abidin, Guru2 SMPN 45 Bandung, Yayuk, Sriati Siregar, Guru2 SMPN I Sawahlunto, Roos, Diana Evie, Rista Silalahi, Agustina, Kusumastuti, KG, Elvi Teguh, Yayuk, Surs, Rinjani, ibu2 Nogotirto, kel. Sastroharsoyo, Uti, Sis Hakim, Tita, Farida, Mumtaz Myummy, Gayatri, Sri Handay, Utami, Yanti Damay, Idazu, Imcelda, Triniel, Anie, Tri, Padma Sari, Prim, Dwi Astuti, Febriani, Dyah Tateki, kel. SMP N I Gombong, Lina Tikni, Engkas Kurniasih, Anroost, Wiwiek Suharti, Erlin Yuni Indriyati, Sri Tulasmi, Laksmie, Toko Bunga Kelapa Dua, Utie ZiDan Ara, Prim, Niquee Fauzia, Indriyatidjaelani,
    Bunda Wiwien, Agustina339, Yanti, Rantining Lestari, Ismu, Susana Itsuko, Aisya Priansyah, Hestri, Julitta Happy, I'in Maimun, Isti Priyono, Moedjiati Pramono, Novita Dwi S, Werdi Kaboel, Rinta Anastya, r Hastuti, Taty Siti Latifah, Mastini M.Pd. , Jessica Esti, Lina Soemirat, Yuli, Titik, Sridalminingsih, Kharisma, Atiek, Sariyenti, Julitta Happy Tjitarasmi, Ika Widiati, Eko Mulyani, Utami, Sumarni Sigit, Tutus, Neni, Wiwik Wisnu, Suparmia, Yuni Kun, Omang Komari, Hermina, Enny, Lina-Jogya, mbah Put Ika, Eyang Rini ,Handayaningsih, ny. Alian Taptriyani, Dwi Wulansari, Arie Kusumawati, Arie Sumadiyono, Sulasminah , Wahyu Istikhomah, Ferrita Dudiana, SusiHerawati, Lily , Farida Inkiriwang, Wening, Yuka, Sri, Si Garet, ibu Wahyu Widyawati, Rini Dwi, Pudya , Indahwdhany, Butut, Oma Michelle, Linurhay, Noeng Nurmadiah, Dwi Wulansari, Winar, Hnur, Umi Iswardono , Yustina Maria Nunuk Sulastri Rahayu Hernadi , Sri Maryani, Bunda Hayu Hanin, Nunuk, Reni, Pudya, Nien, Swissti Buana, Sudarwatisri, Mundjiati Habib, Savero, Ida Yusrida, Nuraida, Nanung, Arin Javania. Ninik Arsini, Neni , Komariyah, Aisya Priansyah, Jainah Jan. Civiyo, Mahmudah, Yati Sri Budiarti, Nur Rochmah. Uchu Rideen
    . Ninik Arsini, Endah. Nana Yang, Sari P Palgunadi, Echi Wardani, Nur Widyastuti, Gagida family, Trie Tjahjo Wibowo, Lestari Mardi, Susi Kamto, Rosen Rina, Mimin NP, Ermi S, Ira, Nina, Endang Amirul, Wiwik Nur Jannah, Ibu Mulyono, Betty Kosasih, Nanik, Tita, Willa Sulivan, Mimin NP, Suprilina, Endang Mashuri, Rin, Amethys, Adelina, Sari Usman, Caecilia RA, Mimiet,

    ReplyDelete
  24. Hayuh kowé blangkemen ora.
    Iya ya lha itu Sutijah babaran bayinya malah dititipin sama keluarga Suroto.
    Saking mumetnya; babarke sisan ya, apanya.
    Tarmi malah kaya jadi ocèh² an; jalak ya.
    Dikenyangin; baterai full terus kenceng suaranya.
    Tapi kan pakai syarat dan ketentuan berlaku; iya, dengan ucapan jangan dilaporin, hé eh.
    Dari pada puyeng, dibabaraké sisan nggo mlekotho sing arep crigis.
    Berarti blangkemen ora bisa crigis yå.
    Halah ngriwuki thok bisané, muyengi yå.
    Radit kan jadi tahu, cerita Bu Sumini bênêr.
    Ini kakak sepupu Sumini malah disebut sebut.
    Sukur itu labil, halah sok kenceng gimana, lha dana dapur di korupsi, yang dirumah dapat sisa nya.
    Ya hancur ya, siapa yang kuat tiap hari meeting terus lembur, pantes Sutijah kalau ketemu Tarmi kåyå arêp mithês²a, huuh.
    Saking gregetan nya ya.

    Terimakasih Bu Tien
    Jangan pergi yang ke dua puluh lima sudah tayang
    Sehat sehat selalu doaku
    Sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
    🙏

    ReplyDelete
  25. Waah...ada flashback nya...keren banget nih ibu Tien gaya bertuturnya.👍👍😀

    ReplyDelete
  26. Yaaa...ternyata ndak kembar antara Listi dan Ratri..trus gmn nu..??
    wah makin penasaran nich
    Matur nuwun bunda Tien...🙏

    ReplyDelete
  27. Terima kasih Bu Tien
    Salam sehat dan aduhai selalu

    ReplyDelete
  28. Tks bunda Tien..
    Semoga sehat selalu..

    ReplyDelete
  29. Bayi Sutijah yg diberikan ke bu Suroto.. mgkn Listi.. jd Listi bukan kembaran Ratri.. Tambah penasaran..
    Tks bunda Tien.. Salam Aduhaaiii..

    ReplyDelete
  30. Flashback....
    Akhirnya akan segera jelas teka-teki di episode berikutnya...

    Salam sehat selalu Bu Tien.

    ReplyDelete

CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG 29

  CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG  29 (Tien Kumalasari)   Arum menyelesaikan administrasi dengan segera. Peringatan bahwa dia harus beristira...