Monday, November 14, 2022

JANGAN PERGI 24

 

JANGAN PERGI  24

(Tien Kumalasari)

 

Ratri mengangkat kepalanya, menatap ibunya yang tampak pulas, tapi gelisah dalam tidurnya, terlihat dari badannya yang terus bergerak-gerak, miring kekiri, sebentar kemudian ke kanan, sementara mulutnya terus mengatakan itu.

“Kamu anak siapa, bukan anakku,” berkali-kali, walau diucapkannya dengan lirih.

“Ibu mimpi apa ya,” gumam Ratri.

Karena tak tahan, dia membangunkan ibunya perlahan.

“Bu … Bu …” katanya sambil menepuk perlahan lengan ibunya.

Bu Cipto tampak terkejut, membuka matanya lalu tiba-tiba duduk.

“Mana dia?” katanya sambil melihat ke kiri dan ke kanan.

“Ibu … bangun Bu, Ibu mimpi apa?” tanyanya sambil duduk di depan ibunya, memegang ke dua lengannya.

“Oh, ya ampuun, sudah pagi ya?” katanya sambil menurunkan kakinya, bermaksud bangkit dari ranjang.

“Belum Bu, ini masih tengah malam.”

“Apa? Tengah malam? Mengapa kamu bangunkan ibu saat tengah malam?” katanya sambil kembali menarik kakinya, lalu membaringkan lagi tubuhnya.

“Ibu mimpi apa?” tanya Ratri yang masih duduk sambil memandangi ibunya.

“Aku? Aku mimpi apa?”

“Ibu tampak gelisah dalam tidur. Pasti ibu mimpi buruk.”

“Ah … sudahlah, mimpi apa sih, ayo tidurlah kembali, katanya masih tengah malam,” kata bu Cipto sambil menarik selimutnya sampai ke dada, lalu memejamkan matanya.

Ratri menghela napas kasar, kemudian ikut berbaring lagi di samping ibunya.

Tapi karena terganggu oleh igauan ibunya, Ratri tak bisa segera memejamkan matanya lagi. Memang benar matanya terpejam, tapi bukan berarti ia sudah terlelap. Bahkan ketika ia mendengar kokok ayam menjelang pagi, ia masih juga terjaga.

Ratri bangkit, kemudian turun dari sisi ranjang yang lain, agar tak mengganggu ibunya, kemudian beranjak ke kamar mandi.

“Jam tiga pagi, saatnya bersujud,” bisiknya sambil membasuh tangan dan wajahnya.

***

Bu Cipto pergi ke dapur, dan terkejut melihat Ratri sudah membuat minuman dan menyiapkan makan pagi.

“Ya ampuun, ini jam berapa?” keluhnya sambil duduk di kursi dapur.

“Masih jam enam pagi Bu. Ini minum untuk ibu sudah Ratri buatkan,” kata Ratri sambil meletakkan minuman di depan ibunya.

“Kamu bangun pagi sekali Tri?”

“Biasanya Ratri juga bangun pagi kan Bu?”

“Ibu kok masih ngantuk.”

“Minumlah kopi-nya Bu, biar segar.”

Bu Cipto menarik cangkir kopinya, lalu menghirupnya perlahan.

“Kamu masak apa untuk sarapan?”

“Ratri buat mie rebus, sudah hampir siap.”

“Oh, iya … ibu lupa kalau beberapa hari yang lalu membeli mie, dan belum sempat memasaknya. Hm … baunya sedap.”

“Semalam Ibu mimpi apa?”

“Mimpi? Ah ya, aku kembali ke toko itu, menanyakan apakah ada yang mengambil bayinya, ternyata tidak. Tega sekali dia,” katanya pelan, seperti kepada dirinya sendiri. Tapi Ratri heran dibuatnya.

“Ibu mimpi tentang bayi ?”

Tiba-tiba bu Cipto merasa seperti linglung. Ia telah mengucapkan hal yang tentu saja tidak dimengerti anaknya. Ia mengangkat lagi cangkir kopinya, lalu menghirupnya beberapa teguk, karena sudah berkurang panasnya.

Bu Cipto mencoba tersenyum untuk menghilangkan keheranan Ratri, ketika mendengar perkataannya.

“Aneh sekali. Iya … benar, mimpi bayi.”

“Ibu menemukan bayi?”

“Ada orang menitipkan bayi, tapi tidak diambil lagi,” kata bu Cipto.

“Oh, pantesan ibu bilang … tega … tega … dia bukan anakku. Gimana sih urutan mimpi itu?” tanya Ratri sambil mengentas mie rebusnya, lalu meletakkannya di meja, lalu mengambil mangkuk-mangkuk, untuk menempatkan mie tersebut.

“Bagaimana urutan mimpi? Entahlah, namanya mimpi, pastilah nggak jelas.”

“Iya juga sih, nggak jelas. Ratri sempat khawatir, karena Ibu tampak gelisah.”

“Maaf, kamu jadi terganggu ya?”

“Bukan itu Bu, Ratri hanya merasa, ibu sedang kepikiran sesuatu,” katanya sambil menyingkirkan panci yang sudah kosong ke tempat cucian.

“Ibu mau makan mie sekarang? Ratri sudah pengin sekali memakannya, tapi masih panas, kita tunggu sebentar lagi ya,” katanya sambil duduk, lalu menyodorkan semangkuk mie ke dekat ibunya.

“Baunya sedap. Biar agak dingin dulu,” kata bu Cipto sambil mengipas-ngipas mangkuk nya.

“Ibu nanti tidak usah ke pasar lagi ya? Ratri melihat di kulkas masih ada sayuran.”

“Sayur apa?”

“Ada terong ungu, kacang panjang, tempe dan sekotak kecil bandeng presto.”

“Ah, iya … masak lodeh terong dan goreng bandeng ya Tri.”

“Itu enak sekali, tidak susah kan Bu? Setelahnya, Ibu bisa beristirahat. Ratri sudah bersih-bersih rumah tadi.”

“Baiklah.”

Walau begitu dalam hati bu Cipto masih ingin mencari Tarmi. Siapa orang tua si bayi belum terjawab, dan itu selalu mengganggunya. Ia harus kembali ke sekitar pasar.

“Di mana ya dia tinggal?” gumamnya tanpa terasa.

“Siapa Bu?”

Bu Cipto terkejut, ia kembali keceplosan bicara.

“Itu, aku pesan sesuatu pada penjualnya, tapi kalau tidak ke pasar, aku akan mengambil saja di rumahnya.”

Bu Cipto mulai pintar berbohong.

“Memangnya Ibu pesan apa?”

“Itu … hanya buah-buahan.”

“Ibu ingin buah apa, nanti Ratri belikan.”

“Tidak usah, sudah terlanjur pesan, kasihan.”

“Berarti ibu mau ke pasar lagi?”

“Hanya mau itu … mm … mengambil buahnya.”

“Ibu … hanya buah saja mengapa harus pesan? Kalau ibu ingin, tinggal bilang saja,  kan Ratri bisa membelikan.”

Tiba-tiba bu Cipto merasa kesal karena dihalang-halangi, dan seakan disalahkan. Wajahnya muram seketika, dan dipandangnya Ratri dengan tatapan marah.

“Mengapa ibu tidak boleh pergi sendiri? Memangnya ibu ini sudah nggak bisa ngapa-ngapain? Ibu ini belum jompo. Ibu merasa harus belajar mencukupi kebutuhan ibu sendiri, karena_”

Ratri sangat terkejut mendengar ibunya berkata sangat keras. Selamanya Ratri belum pernah melihat ibunya marah. Ini membuatnya gemetar. Ia berdiri lalu bersimpuh dihadapan ibunya, menjatuhkan kepalanya di pangkuannya.

“Ibu, maafkan Ratri ya. Ratri bukannya menganggap Ibu tidak bisa ngapa-ngapain, apalagi menganggap Ibu sudah jompo. Tidak Bu, Ratri hanya tak ingin ibu kecapekan. Kan kemarin Ibu sudah ke pasar. Tapi kalau Ibu masih ingin, dan lebih senang belanja ke pasar, silakan saja. Lakukan yang membuat Ibu senang. Dan Ibu harus ingat, Ibu tidak sendiri, Ratri akan selalu ada di samping Ibu,” katanya yang lama-lama diseling isak.

Lalu runtuhlah kekesalan hati bu Cipto mendengar isak yang memelas dari anak yang disayanginya. Perlahan tangannya mengelus kepala Ratri.

“Maafkan Ibu, sudah, habiskan makananmu,” katanya lirih menahan haru.

Sejatinya bu Cipto sendiri terkejut menyadari bahwa dirinya telah berkata keras.

“Apa yang terjadi pada diriku ini,” kata batinnya.

Ratri berdiri, lalu menciumi pipi ibunya bertubi-tubi sambil berlinang air mata.

“Ratri sangat menyayangi Ibu,” bisiknya.

“Selamanya?”

“Selamanya. Hanya ibu yang Ratri miliki, jangan lagi marah ya Bu, Ratri takut,” katanya sambil terus menciumi ibunya.

Tak urung air mata bu Cipto pun menetes, mengaliri pipinya yang semakin keriput dimakan usia. Sesungguhnya bu Cipto sedang membayangkan, Ratri akan kembali kepada ibu kandungnya, lalu dirinya akan sendiri dan kesepian. Alangkah sedihnya memikirkan itu. Ada keinginan untuk tidak mempedulikan siapa wanita yang melahirkan Ratri, tapi hatinya akan sangat terbebani, apalagi setelah bertemu Tarmi, yang menyimpan segumpal rahasia tentang ibu kandung Ratri.

“Sudah … sudah, lanjutkan makanmu,” katanya sambil mendorong pelan tubuh Ratri.

“Ayo kita lanjutkan makan mie ini,” katanya sambil mengusap air matanya, kemudian menyendok mie yang hampir dingin di depannya.

***

Di sekolah, hati Ratri tak juga merasa tenang. Sikap ibunya di hari-hari terakhir ini sangat aneh. Tadi pagi malah ditambah lagi dengan marah-marah yang tak jelas, padahal dia hanya menyarankan sesuatu demi tak ingin ibunya lelah.

“Pasti ada sesuatu yang disembunyikan Ibu, katanya saat menyendiri di sudut ruang guru, tak ikut berbincang dengan teman-teman guru lainnya saat istirahat sekolah.

Ia memegang ponselnya, ingin berkeluh pada Radit, kekasihnya, tapi diurungkannya. Pasti Radit sibuk, kalau tidak di rumah sakit, ya di kantornya. Akhirnya dia hanya menulis pesan yang isinya ingin bertemu, tapi juga urung dikirimkannya. Ratih bukan orang yang suka mengeluh, dan bukan orang yang suka mengganggu. Kalau bisa dia ingin menyelesaikan masalahnya seorang diri.

Tiba-tiba bu Dewi muncul di ruangan itu, dan memanggilnya. Ratri berdiri dan mendekat, Dewi menariknya ke luar ruangan.

“Ada apa Bu?”

“Hari ini Arina ulang tahun. Saya ingin membelikan hadiah untuk dia. Maukah bu Ratri menemani?”

“Sekarang?”

“Bu Ratri mengajar jam ke berapa?”

“Masih nanti jam terakhir Bu.”

“Bagus, sekitar jam satu ya Bu, masih ada waktu, ayo pergi sekarang, saya akan memanggil taksi.”

“Baiklah Bu,” kata Ratri yang tak ingin menolak.

Ketika dia sudah mengambil tas nya dan keluar dari ruangan, dilihatnya Dewi sudah menunggu di depan.

Ratri bergegas menghampiri.

“Taksinya hampir sampai,” katanya.

“Kemana kita Bu?” tanya Ratri.

“Pokoknya ke pertokoan, yang ada toko mainan. Nanti bantuin memilih ya Bu.”

Ratri mengangguk, lalu mereka berdua segera masuk ke dalam taksi yang tak lama kemudian datang.

***

Bu Listyo menegur Radit, karena hari sudah siang dan Radit masih di rumah.

“Kamu kok masih di rumah? Nggak ke rumah sakit?”

“Nanti Bu, hari ini praktek jam dua. Tadi kan sudah ke kantor sebentar, semuanya sudah selesai dikerjakan asisten.”

“Kalau begitu kebetulan, Ibu mau bicara sama kamu.”

“Tentang apa?”

“Kalau kamu sudah merasa mantap sama Ratri, mengapa tidak segera kita lamar saja dia?”

Radit tersenyum.

“Ibu sudah kebelet punya mantu ya?”

“Kebelet punya cucu,” jawab bu Listyo serius.

“Iya, nanti Radit bicara dulu sama Ratri.

“Mengapa harus bicara sama Ratri? Langsung saja ketemu orang tuanya. Kalau Ratri kan sudah jelas dia mau. Begitu kan?”

“Iya Bu, sepertinya begitu.”

“Kamu tidak ingin segera punya istri? Pacaran terus?”

“Bukan begitu Bu, Ratri itu kan tidak gampang. Terkadang untuk memutuskan sesuatu dia harus berpikir lama. Ketika Radit menyatakan cinta, dia juga tidak buru-buru menjawab atau membalasnya. Banyak yang diperhitungkannya. Maklum, dia merasa bahwa ada perbedaan kasta diantara kita. Padahal kan ibu tidak melihat siapa dia?”

“Itu benar, dia gadis yang baik, tidak serta merta merasa beruntung dilamar laki-laki mapan, ganteng, baik hati. Itu bagus, ibu suka. Dia memiliki pribadi yang sangat menawan. Itu sebabnya ibu sudah merasa mantap dan ingin agar kamu segera melamarnya.”

“Baiklah Bu, nanti Radit akan bicara dulu sama Ratri dan ibunya juga.”

“Katakan kalau semuanya sudah siap. Aku ingin mengadakan pesta yang meriah untuk anak dan menantuku.”

***

Ratri dan Dewi sudah keluar dari toko mainan anak-anak dengan embawa dua buah bungkusan berbalut kertas kado. Ratri juga membelikannya sekalian. Keduanya sedang berdiri di depan toko, dan Dewi sedang memanggil taksi.

Tiba-tiba seorang wanita melintas, dan seseorang meneriaki namanya.

“Bu Tarmi ! Bu Tarmii!”

Ratri terkejut, karena mengenali suara orang yang berteriak tersebut.

“Ibu ?”

Ratri menghadang langkah ibunya, memintanya berhenti,  membuat ibunya melongok-longok lalu menggerutu karena kesal.

“Aduh, kamu membuat dia kabur lagi,” keluh bu Cipto.

“Ibu sedang apa sih? Itukah tukang buah yang  ibu pesan buahnya?” tanya Ratri heran, karena wanita itu tidak membawa apa-apa, kecuali setumpuk koran.

“Huhh!!” keluh bu Cipto kesal.

“Ibu mau beli koran? Sepertinya dia menjual koran.”

Bu Cipto tidak menjawab. Dewi yang melihat Ratri berbicara dengan seseorang, kemudian mendekat.

“Bu Dewi, ini ibu saya,” kata Ratri memperkenalkan ibunya.

Bu Cipto menahan kekesalannya karena lagi-lagi gagal menemui Tarni. Ia menerima uluran tangan Dewi dan mencoba tersenyum.

“Saya Dewi, Bu, temannya bu Ratri.

“Oh, iya. Saya bu Cipto.”

“Ibu mau kemana? Saya sudah memanggil taksi, nanti bisa saya antarkan dulu kalau Ibu sudah mau pulang.”

“Tidak, saya belum selesai, kalian pulanglah dulu.”

“Kami mau kembali ke sekolah, Ibu masih mau ke mana?” tanya Ratri.

“Kamu kan sudah tahu aku mau ke mana. Sudah, kalian kembali ke sekolah, saya gampang, penginnya naik becak saja,” jawab bu Cipto.

Ketika taksi sudah datang, Ratri dan Dewi bersiap masuk. Ratri masih mendekati bu Cipto, maksudnya ingin merayu, mengajaknya bareng, tapi pandangan bu Cipto sungguh menusuk. Ratri surut ke belakang. Ia melihat ibunya seperti marah.

“Baiklah, Ibu hati-hati ya,” kata Ratri sambil mencium tangan ibunya,

Bu Cipto menatap berlalunya taksi yang ditumpangi keduanya dengan perasaan tak menentu.

“Tadi aku sudah hampir ketemu, ternyata dia berjualan koran. Tapi gara-gara Ratri, aku gagal lagi,” keluhnya sambil menatap ke arah kiri dan kanan jalan.

Lalu bu Cipto berjalan lagi ke arah depan.

Tiba-tiba ia melihat mobil berhenti di dekatnya. Ia seperti mengenali mobil itu, dan tanpa di duga juga, seorang wanita penjual koran juga mendekat ke arah pengemudi mobil.

“Koran Pak .. koran ..”

Bu Cipto terbelalak. Itu mobilnya Radit, dan penjual koran itu wanita yang dicarinya.

***

Besok lagi ya.

43 comments:

  1. Replies
    1. Hore mb Nani jaga gawang juara 1

      Delete
    2. Ya pasti lah..... emang kudune selalu uti Nani, lha wong sing bagian "nabuh bedug tayang kok"

      Matur nuwun bu Tien

      Delete
    3. Tp aku woro2 dulu di grup,baru buka blog lho Kek,lihat jamnya

      Delete
  2. Alhamdulillah, maturnuwun bunda Tien . .

    ReplyDelete
  3. Matur nuwun mbak Tien-ku Jangan Pergi sudah tayang.

    ReplyDelete
  4. Matur nuwun bunda Tien, sdh tayang salam sehat selalu njih

    ReplyDelete

  5. Alhamdulillah JANGAN PERGI~24 sudah hadir.. maturnuwun & salam sehat kagem bu Tien 🙏

    ReplyDelete
  6. Tks bunda Tien..
    Ratri sdh datang..
    Semoga sehat dan bahagia selalu ya bunda..
    Aamiin..

    ReplyDelete
  7. Alhamdulillaah dah tayang makadih bu da

    ReplyDelete
  8. Komen dulu baru baca ah...matur nuwun ibu Tien. Sehat selalu.🙏😀

    ReplyDelete
  9. Maturvnuwun bu Tien
    Semoga sehat selalu

    ReplyDelete
  10. Terima kasih Bu Tien
    Semoga sehat selalu

    ReplyDelete
  11. Makin asyik saja, Radit,bu Cipto, Tarmi, ketemu bersama. Rahasia apa lagi yang akan terkuak...
    Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.

    ReplyDelete
  12. Alhamdulillah .. Terima kasih Bu Tien.. Semoga sehat selalu..

    ReplyDelete
  13. Alhamdulilah
    Terimakasih cerbungnya bunda Tien

    ReplyDelete
  14. Terima kasih ... Bu Tien, semoga sehat selalu.

    ReplyDelete
  15. Trims bu tien. Jgn² ratri itu sodara seayah dengan listi. Wah ...

    ReplyDelete
  16. Alhamdulillah, matur nuwun bu Tien, Salam sehat

    ReplyDelete
  17. Met malam bu tien, terima kasih sdh tayang jp ...salam sehat bu tien

    ReplyDelete
  18. Terima kasih mbak Tien. Semoga sehat selalu.
    Salam sejahtera untuk keluarga.

    ReplyDelete
  19. Disaat Radit mau melamar Ratri, bu Cipto merasa ada kendala harus tahu dulu ibu kandung Ratri...
    Semoga tidak membuat surut niat keluarga Radit dan Ratri..


    Matur nuwun ibu Tien, Berkah Dalem.

    ReplyDelete
  20. Hallow..
    Yustinhar. Peni, Datik Sudiyati, Noor Dwi Tjahyani, Caroline Irawati, Nenek Dirga, Ema, Winarni, Retno P.R., FX.Hartanti, Danar, Widia, Nova, Jumaani, Ummazzfatiq, Mastiurni, Yuyun, Jum, Sul, Umi, Marni, Bunda Nismah, Wia Tiya, Ting Hartinah, Wikardiyanti, Nur Aini, Nani, Ranti, Afifah, Bu In, Damayanti, Dewi, Wida, Rita, Sapti, Dinar, Fifi, Nanik. Herlina, Michele, Wiwid, Meyrha, Ariel, Yacinta, Dewiyana, Trina, Mahmudah, Lies, Rapiningsih, Liliek, Enchi, Iyeng Sri Setyawati , Yulie, Yanthi , Dini Ekanti, Ida, Putri, Bunda Rahma, Neny, Yetty Muslih, Ida, Fitri, Hartiwi DS, Komariah P., Ari Hendra, Tienbardiman, Idayati, Maria, Uti Nani, Noer Nur Hidayati, Weny Soedibyo, Novy Kamardhiani, Erlin, Widya, Puspita Teradita, Purwani Utomo, Giyarni, Yulib, Erna, Anastasia Suryaningsih, Salamah, Roos, Noordiana, Fati Ahmad, Nuril, Bunda Belajar Nulis, Tutiyani, Bulkishani, Lia, Imah P Abidin, Guru2 SMPN 45 Bandung, Yayuk, Sriati Siregar, Guru2 SMPN I Sawahlunto, Roos, Diana Evie, Rista Silalahi, Agustina, Kusumastuti, KG, Elvi Teguh, Yayuk, Surs, Rinjani, ibu2 Nogotirto, kel. Sastroharsoyo, Uti, Sis Hakim, Tita, Farida, Mumtaz Myummy, Gayatri, Sri Handay, Utami, Yanti Damay, Idazu, Imcelda, Triniel, Anie, Tri, Padma Sari, Prim, Dwi Astuti, Febriani, Dyah Tateki, kel. SMP N I Gombong, Lina Tikni, Engkas Kurniasih, Anroost, Wiwiek Suharti, Erlin Yuni Indriyati, Sri Tulasmi, Laksmie, Toko Bunga Kelapa Dua, Utie ZiDan Ara, Prim, Niquee Fauzia, Indriyatidjaelani,
    Bunda Wiwien, Agustina339, Yanti, Rantining Lestari, Ismu, Susana Itsuko, Aisya Priansyah, Hestri, Julitta Happy, I'in Maimun, Isti Priyono, Moedjiati Pramono, Novita Dwi S, Werdi Kaboel, Rinta Anastya, r Hastuti, Taty Siti Latifah, Mastini M.Pd. , Jessica Esti, Lina Soemirat, Yuli, Titik, Sridalminingsih, Kharisma, Atiek, Sariyenti, Julitta Happy Tjitarasmi, Ika Widiati, Eko Mulyani, Utami, Sumarni Sigit, Tutus, Neni, Wiwik Wisnu, Suparmia, Yuni Kun, Omang Komari, Hermina, Enny, Lina-Jogya, mbah Put Ika, Eyang Rini ,Handayaningsih, ny. Alian Taptriyani, Dwi Wulansari, Arie Kusumawati, Arie Sumadiyono, Sulasminah , Wahyu Istikhomah, Ferrita Dudiana, SusiHerawati, Lily , Farida Inkiriwang, Wening, Yuka, Sri, Si Garet, ibu Wahyu Widyawati, Rini Dwi, Pudya , Indahwdhany, Butut, Oma Michelle, Linurhay, Noeng Nurmadiah, Dwi Wulansari, Winar, Hnur, Umi Iswardono , Yustina Maria Nunuk Sulastri Rahayu Hernadi , Sri Maryani, Bunda Hayu Hanin, Nunuk, Reni, Pudya, Nien, Swissti Buana, Sudarwatisri, Mundjiati Habib, Savero, Ida Yusrida, Nuraida, Nanung, Arin Javania. Ninik Arsini, Neni , Komariyah, Aisya Priansyah, Jainah Jan. Civiyo, Mahmudah, Yati Sri Budiarti, Nur Rochmah. Uchu Rideen
    . Ninik Arsini, Endah. Nana Yang, Sari P Palgunadi, Echi Wardani, Nur Widyastuti, Gagida family, Trie Tjahjo Wibowo, Lestari Mardi, Susi Kamto, Rosen Rina, Mimin NP, Ermi S, Ira, Nina, Endang Amirul, Wiwik Nur Jannah, Ibu Mulyono, Betty Kosasih, Nanik, Tita, Willa Sulivan, Mimin NP, Suprilina, Endang Mashuri, Rin, Amethys, Adelina, Sari Usman, Caecilia RA, Mimiet,

    ReplyDelete
  21. Alhamdulillah Bu Tien hadir lagi dengan membawa oleh-oleh JP 24...

    Matur nuwun Bu Tien...

    Moga ibu sekeluarga sehat selalu...

    Aamiin....

    ReplyDelete
  22. Ceritanya seru...
    Terima kasih mbak Tien...

    ReplyDelete
  23. Lho Bu Cipto memanggil Tarmi; inikah yang namanya Bu Tarmi sampai suami Bu Sutijah tak mempedulikan nya.
    Lupa lupa ingat cerita Bu Sumini waktu itu, mbatin Radit.
    Radit minta selembar koran dan menanyakan, "kenalkah ibu dengan Bu Sutijah"; èh malah mencenger; mata menatap tajam berusaha menjauh, mbok Cipto heran berarti Radit tahu siapa dia, Bu Cipto saya mau kerumah ibu. Radit bilang.
    Tadi itu Bu Tarmi, mungkin yang diceritakan Bu Sumini, merusak rumah tangga Bu Sutijah, nyatanya begitu menyebut nama; dia menghindar. Bu Sumini cerita Bu Sutijah melahirkan anak yang kedua tapi katanya bayinya tidak dibawa pulang.
    Bu Cipto mencoba mungkin ada hubungan, seperti yang dicarinya selama ini.
    Tapi semakin dekat semakin tak menentu, kejelasan perlu tapi kehilangan jangan sampai.

    Terimakasih Bu Tien
    Jangan pergi yang ke dua puluh empat sudah tayang
    Sehat sehat selalu doaku
    Sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
    🙏

    ReplyDelete
  24. Makasih mba Tien.
    Sehat dan semangat selalu . Aduhai

    ReplyDelete
  25. Alhamdulillah, matur nuwun bu Tien
    Sehat wal'afiat semua ya bu Tien 🙏😊

    Aduhaiii. ,,,Radit ,bu cipto n bu tarmi bgm kelanjutannya mereka bertemu ,,,penasaraaaaaan 🤣🤣🤭

    ReplyDelete
  26. Terima kasih atas sapaan dan JP barunya mbak Tien..
    Semoga selalu sehat dan terus berkarya.. Aamiin

    ReplyDelete
  27. Wahhh kok di telususih terus biar aja ibunya gila juga🤭🤭🤭🤲makasih bu Tien

    ReplyDelete

CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG 13

  CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG  13 (Tien Kumalasari)   “Kamu tidak menjawab pertanyaanku, Tangkil? Apa yang kamu lakukan di sini?” Tangkil...