JANGAN PERGI 24
(Tien Kumalasari)
Ratri mengangkat kepalanya, menatap ibunya yang tampak
pulas, tapi gelisah dalam tidurnya, terlihat dari badannya yang terus
bergerak-gerak, miring kekiri, sebentar kemudian ke kanan, sementara mulutnya
terus mengatakan itu.
“Kamu anak siapa, bukan anakku,” berkali-kali, walau
diucapkannya dengan lirih.
“Ibu mimpi apa ya,” gumam Ratri.
Karena tak tahan, dia membangunkan ibunya perlahan.
“Bu … Bu …” katanya sambil menepuk perlahan lengan
ibunya.
Bu Cipto tampak terkejut, membuka matanya lalu tiba-tiba
duduk.
“Mana dia?” katanya sambil melihat ke kiri dan ke
kanan.
“Ibu … bangun Bu, Ibu mimpi apa?” tanyanya sambil
duduk di depan ibunya, memegang ke dua lengannya.
“Oh, ya ampuun, sudah pagi ya?” katanya sambil
menurunkan kakinya, bermaksud bangkit dari ranjang.
“Belum Bu, ini masih tengah malam.”
“Apa? Tengah malam? Mengapa kamu bangunkan ibu saat
tengah malam?” katanya sambil kembali menarik kakinya, lalu membaringkan lagi
tubuhnya.
“Ibu mimpi apa?” tanya Ratri yang masih duduk sambil
memandangi ibunya.
“Aku? Aku mimpi apa?”
“Ibu tampak gelisah dalam tidur. Pasti ibu mimpi
buruk.”
“Ah … sudahlah, mimpi apa sih, ayo tidurlah kembali,
katanya masih tengah malam,” kata bu Cipto sambil menarik selimutnya sampai ke
dada, lalu memejamkan matanya.
Ratri menghela napas kasar, kemudian ikut berbaring
lagi di samping ibunya.
Tapi karena terganggu oleh igauan ibunya, Ratri tak
bisa segera memejamkan matanya lagi. Memang benar matanya terpejam, tapi bukan
berarti ia sudah terlelap. Bahkan ketika ia mendengar kokok ayam menjelang
pagi, ia masih juga terjaga.
Ratri bangkit, kemudian turun dari sisi ranjang yang
lain, agar tak mengganggu ibunya, kemudian beranjak ke kamar mandi.
“Jam tiga pagi, saatnya bersujud,” bisiknya sambil
membasuh tangan dan wajahnya.
***
Bu Cipto pergi ke dapur, dan terkejut melihat Ratri
sudah membuat minuman dan menyiapkan makan pagi.
“Ya ampuun, ini jam berapa?” keluhnya sambil duduk di
kursi dapur.
“Masih jam enam pagi Bu. Ini minum untuk ibu sudah
Ratri buatkan,” kata Ratri sambil meletakkan minuman di depan ibunya.
“Kamu bangun pagi sekali Tri?”
“Biasanya Ratri juga bangun pagi kan Bu?”
“Ibu kok masih ngantuk.”
“Minumlah kopi-nya Bu, biar segar.”
Bu Cipto menarik cangkir kopinya, lalu menghirupnya
perlahan.
“Kamu masak apa untuk sarapan?”
“Ratri buat mie rebus, sudah hampir siap.”
“Oh, iya … ibu lupa kalau beberapa hari yang lalu
membeli mie, dan belum sempat memasaknya. Hm … baunya sedap.”
“Semalam Ibu mimpi apa?”
“Mimpi? Ah ya, aku kembali ke toko itu, menanyakan
apakah ada yang mengambil bayinya, ternyata tidak. Tega sekali dia,” katanya
pelan, seperti kepada dirinya sendiri. Tapi Ratri heran dibuatnya.
“Ibu mimpi tentang bayi ?”
Tiba-tiba bu Cipto merasa seperti linglung. Ia telah
mengucapkan hal yang tentu saja tidak dimengerti anaknya. Ia mengangkat lagi
cangkir kopinya, lalu menghirupnya beberapa teguk, karena sudah berkurang
panasnya.
Bu Cipto mencoba tersenyum untuk menghilangkan
keheranan Ratri, ketika mendengar perkataannya.
“Aneh sekali. Iya … benar, mimpi bayi.”
“Ibu menemukan bayi?”
“Ada orang menitipkan bayi, tapi tidak diambil lagi,”
kata bu Cipto.
“Oh, pantesan ibu bilang … tega … tega … dia bukan
anakku. Gimana sih urutan mimpi itu?” tanya Ratri sambil mengentas mie
rebusnya, lalu meletakkannya di meja, lalu mengambil mangkuk-mangkuk, untuk
menempatkan mie tersebut.
“Bagaimana urutan mimpi? Entahlah, namanya mimpi,
pastilah nggak jelas.”
“Iya juga sih, nggak jelas. Ratri sempat khawatir,
karena Ibu tampak gelisah.”
“Maaf, kamu jadi terganggu ya?”
“Bukan itu Bu, Ratri hanya merasa, ibu sedang
kepikiran sesuatu,” katanya sambil menyingkirkan panci yang sudah kosong ke
tempat cucian.
“Ibu mau makan mie sekarang? Ratri sudah pengin sekali
memakannya, tapi masih panas, kita tunggu sebentar lagi ya,” katanya sambil
duduk, lalu menyodorkan semangkuk mie ke dekat ibunya.
“Baunya sedap. Biar agak dingin dulu,” kata bu Cipto sambil mengipas-ngipas mangkuk nya.
“Ibu nanti tidak usah ke pasar lagi ya? Ratri melihat
di kulkas masih ada sayuran.”
“Sayur apa?”
“Ada terong ungu, kacang panjang, tempe dan sekotak
kecil bandeng presto.”
“Ah, iya … masak lodeh terong dan goreng bandeng ya Tri.”
“Itu enak sekali, tidak susah kan Bu? Setelahnya, Ibu
bisa beristirahat. Ratri sudah bersih-bersih rumah tadi.”
“Baiklah.”
Walau begitu dalam hati bu Cipto masih ingin mencari
Tarmi. Siapa orang tua si bayi belum terjawab, dan itu selalu mengganggunya. Ia
harus kembali ke sekitar pasar.
“Di mana ya dia tinggal?” gumamnya tanpa terasa.
“Siapa Bu?”
Bu Cipto terkejut, ia kembali keceplosan bicara.
“Itu, aku pesan sesuatu pada penjualnya, tapi kalau
tidak ke pasar, aku akan mengambil saja di rumahnya.”
Bu Cipto mulai pintar berbohong.
“Memangnya Ibu pesan apa?”
“Itu … hanya buah-buahan.”
“Ibu ingin buah apa, nanti Ratri belikan.”
“Tidak usah, sudah terlanjur pesan, kasihan.”
“Berarti ibu mau ke pasar lagi?”
“Hanya mau itu … mm … mengambil buahnya.”
“Ibu … hanya buah saja mengapa harus pesan? Kalau ibu
ingin, tinggal bilang saja, kan Ratri bisa membelikan.”
Tiba-tiba bu Cipto merasa kesal karena
dihalang-halangi, dan seakan disalahkan. Wajahnya muram seketika, dan dipandangnya
Ratri dengan tatapan marah.
“Mengapa ibu tidak boleh pergi sendiri? Memangnya ibu
ini sudah nggak bisa ngapa-ngapain? Ibu ini belum jompo. Ibu merasa harus
belajar mencukupi kebutuhan ibu sendiri, karena_”
Ratri sangat terkejut mendengar ibunya berkata sangat
keras. Selamanya Ratri belum pernah melihat ibunya marah. Ini membuatnya
gemetar. Ia berdiri lalu bersimpuh dihadapan ibunya, menjatuhkan kepalanya di
pangkuannya.
“Ibu, maafkan Ratri ya. Ratri bukannya menganggap Ibu
tidak bisa ngapa-ngapain, apalagi menganggap Ibu sudah jompo. Tidak Bu, Ratri
hanya tak ingin ibu kecapekan. Kan kemarin Ibu sudah ke pasar. Tapi kalau Ibu
masih ingin, dan lebih senang belanja ke pasar, silakan saja. Lakukan yang
membuat Ibu senang. Dan Ibu harus ingat, Ibu tidak sendiri, Ratri akan selalu
ada di samping Ibu,” katanya yang lama-lama diseling isak.
Lalu runtuhlah kekesalan hati bu Cipto mendengar isak
yang memelas dari anak yang disayanginya. Perlahan tangannya mengelus kepala
Ratri.
“Maafkan Ibu, sudah, habiskan makananmu,” katanya
lirih menahan haru.
Sejatinya bu Cipto sendiri terkejut menyadari bahwa
dirinya telah berkata keras.
“Apa yang terjadi pada diriku ini,” kata batinnya.
Ratri berdiri, lalu menciumi pipi ibunya bertubi-tubi
sambil berlinang air mata.
“Ratri sangat menyayangi Ibu,” bisiknya.
“Selamanya?”
“Selamanya. Hanya ibu yang Ratri miliki, jangan lagi
marah ya Bu, Ratri takut,” katanya sambil terus menciumi ibunya.
Tak urung air mata bu Cipto pun menetes, mengaliri
pipinya yang semakin keriput dimakan usia. Sesungguhnya bu Cipto sedang
membayangkan, Ratri akan kembali kepada ibu kandungnya, lalu dirinya akan
sendiri dan kesepian. Alangkah sedihnya memikirkan itu. Ada keinginan untuk
tidak mempedulikan siapa wanita yang melahirkan Ratri, tapi hatinya akan sangat
terbebani, apalagi setelah bertemu Tarmi, yang menyimpan segumpal rahasia
tentang ibu kandung Ratri.
“Sudah … sudah, lanjutkan makanmu,” katanya sambil
mendorong pelan tubuh Ratri.
“Ayo kita lanjutkan makan mie ini,” katanya sambil
mengusap air matanya, kemudian menyendok mie yang hampir dingin di depannya.
***
Di sekolah, hati Ratri tak juga merasa tenang. Sikap
ibunya di hari-hari terakhir ini sangat aneh. Tadi pagi malah ditambah lagi
dengan marah-marah yang tak jelas, padahal dia hanya menyarankan sesuatu demi tak
ingin ibunya lelah.
“Pasti ada sesuatu yang disembunyikan Ibu, katanya saat
menyendiri di sudut ruang guru, tak ikut berbincang dengan teman-teman guru
lainnya saat istirahat sekolah.
Ia memegang ponselnya, ingin berkeluh pada Radit,
kekasihnya, tapi diurungkannya. Pasti Radit sibuk, kalau tidak di rumah sakit,
ya di kantornya. Akhirnya dia hanya menulis pesan yang isinya ingin bertemu,
tapi juga urung dikirimkannya. Ratih bukan orang yang suka mengeluh, dan bukan
orang yang suka mengganggu. Kalau bisa dia ingin menyelesaikan masalahnya
seorang diri.
Tiba-tiba bu Dewi muncul di ruangan itu, dan
memanggilnya. Ratri berdiri dan mendekat, Dewi menariknya ke luar ruangan.
“Ada apa Bu?”
“Hari ini Arina ulang tahun. Saya ingin membelikan
hadiah untuk dia. Maukah bu Ratri menemani?”
“Sekarang?”
“Bu Ratri mengajar jam ke berapa?”
“Masih nanti jam terakhir Bu.”
“Bagus, sekitar jam satu ya Bu, masih ada waktu, ayo
pergi sekarang, saya akan memanggil taksi.”
“Baiklah Bu,” kata Ratri yang tak ingin menolak.
Ketika dia sudah mengambil tas nya dan keluar dari
ruangan, dilihatnya Dewi sudah menunggu di depan.
Ratri bergegas menghampiri.
“Taksinya hampir sampai,” katanya.
“Kemana kita Bu?” tanya Ratri.
“Pokoknya ke pertokoan, yang ada toko mainan. Nanti
bantuin memilih ya Bu.”
Ratri mengangguk, lalu mereka berdua segera masuk ke
dalam taksi yang tak lama kemudian datang.
***
Bu Listyo menegur Radit, karena hari sudah siang dan
Radit masih di rumah.
“Kamu kok masih di rumah? Nggak ke rumah sakit?”
“Nanti Bu, hari ini praktek jam dua. Tadi kan sudah ke
kantor sebentar, semuanya sudah selesai dikerjakan asisten.”
“Kalau begitu kebetulan, Ibu mau bicara sama kamu.”
“Tentang apa?”
“Kalau kamu sudah merasa mantap sama Ratri, mengapa
tidak segera kita lamar saja dia?”
Radit tersenyum.
“Ibu sudah kebelet punya mantu ya?”
“Kebelet punya cucu,” jawab bu Listyo serius.
“Iya, nanti Radit bicara dulu sama Ratri.
“Mengapa harus bicara sama Ratri? Langsung saja ketemu
orang tuanya. Kalau Ratri kan sudah jelas dia mau. Begitu kan?”
“Iya Bu, sepertinya begitu.”
“Kamu tidak ingin segera punya istri? Pacaran terus?”
“Bukan begitu Bu, Ratri itu kan tidak gampang.
Terkadang untuk memutuskan sesuatu dia harus berpikir lama. Ketika Radit
menyatakan cinta, dia juga tidak buru-buru menjawab atau membalasnya. Banyak
yang diperhitungkannya. Maklum, dia merasa bahwa ada perbedaan kasta diantara
kita. Padahal kan ibu tidak melihat siapa dia?”
“Itu benar, dia gadis yang baik, tidak serta merta
merasa beruntung dilamar laki-laki mapan, ganteng, baik hati. Itu bagus, ibu
suka. Dia memiliki pribadi yang sangat menawan. Itu sebabnya ibu sudah merasa
mantap dan ingin agar kamu segera melamarnya.”
“Baiklah Bu, nanti Radit akan bicara dulu sama Ratri
dan ibunya juga.”
“Katakan kalau semuanya sudah siap. Aku ingin mengadakan
pesta yang meriah untuk anak dan menantuku.”
***
Ratri dan Dewi sudah keluar dari toko mainan anak-anak
dengan embawa dua buah bungkusan berbalut kertas kado. Ratri juga membelikannya
sekalian. Keduanya sedang berdiri di depan toko, dan Dewi sedang memanggil
taksi.
Tiba-tiba seorang wanita melintas, dan seseorang
meneriaki namanya.
“Bu Tarmi ! Bu Tarmii!”
Ratri terkejut, karena mengenali suara orang yang
berteriak tersebut.
“Ibu ?”
Ratri menghadang langkah ibunya, memintanya berhenti, membuat ibunya melongok-longok lalu menggerutu
karena kesal.
“Aduh, kamu membuat dia kabur lagi,” keluh bu Cipto.
“Ibu sedang apa sih? Itukah tukang buah yang ibu pesan buahnya?” tanya Ratri heran, karena wanita itu tidak membawa apa-apa,
kecuali setumpuk koran.
“Huhh!!” keluh bu Cipto kesal.
“Ibu mau beli koran? Sepertinya dia menjual koran.”
Bu Cipto tidak menjawab. Dewi yang melihat Ratri
berbicara dengan seseorang, kemudian mendekat.
“Bu Dewi, ini ibu saya,” kata Ratri memperkenalkan
ibunya.
Bu Cipto menahan kekesalannya karena lagi-lagi gagal
menemui Tarni. Ia menerima uluran tangan Dewi dan mencoba tersenyum.
“Saya Dewi, Bu, temannya bu Ratri.
“Oh, iya. Saya bu Cipto.”
“Ibu mau kemana? Saya sudah memanggil taksi, nanti
bisa saya antarkan dulu kalau Ibu sudah mau pulang.”
“Tidak, saya belum selesai, kalian pulanglah dulu.”
“Kami mau kembali ke sekolah, Ibu masih mau ke mana?”
tanya Ratri.
“Kamu kan sudah tahu aku mau ke mana. Sudah, kalian kembali
ke sekolah, saya gampang, penginnya naik becak saja,” jawab bu Cipto.
Ketika taksi sudah datang, Ratri dan Dewi bersiap
masuk. Ratri masih mendekati bu Cipto, maksudnya ingin merayu, mengajaknya
bareng, tapi pandangan bu Cipto sungguh menusuk. Ratri surut ke belakang. Ia
melihat ibunya seperti marah.
“Baiklah, Ibu hati-hati ya,” kata Ratri sambil mencium
tangan ibunya,
Bu Cipto menatap berlalunya taksi yang ditumpangi
keduanya dengan perasaan tak menentu.
“Tadi aku sudah hampir ketemu, ternyata dia berjualan
koran. Tapi gara-gara Ratri, aku gagal lagi,” keluhnya sambil menatap ke arah
kiri dan kanan jalan.
Lalu bu Cipto berjalan lagi ke arah depan.
Tiba-tiba ia melihat mobil berhenti di dekatnya. Ia
seperti mengenali mobil itu, dan tanpa di duga juga, seorang wanita penjual
koran juga mendekat ke arah pengemudi mobil.
“Koran Pak .. koran ..”
Bu Cipto terbelalak. Itu mobilnya Radit, dan penjual
koran itu wanita yang dicarinya.
***
Besok lagi ya.
Matur nuwun mbk Tien
ReplyDeleteHore mb Nani jaga gawang juara 1
DeleteYa pasti lah..... emang kudune selalu uti Nani, lha wong sing bagian "nabuh bedug tayang kok"
DeleteMatur nuwun bu Tien
Tp aku woro2 dulu di grup,baru buka blog lho Kek,lihat jamnya
DeleteYes
ReplyDeleteYes
ReplyDeleteAlhamdulillah, maturnuwun bunda Tien . .
ReplyDeleteMatur nuwun
ReplyDeleteMatur nuwun mbak Tien-ku Jangan Pergi sudah tayang.
ReplyDeleteMatur nuwun bunda Tien, sdh tayang salam sehat selalu njih
ReplyDelete
ReplyDeleteAlhamdulillah JANGAN PERGI~24 sudah hadir.. maturnuwun & salam sehat kagem bu Tien 🙏
Tks bunda Tien..
ReplyDeleteRatri sdh datang..
Semoga sehat dan bahagia selalu ya bunda..
Aamiin..
Alhamdulillaah dah tayang makadih bu da
ReplyDeleteKomen dulu baru baca ah...matur nuwun ibu Tien. Sehat selalu.🙏😀
ReplyDeleteMaturvnuwun bu Tien
ReplyDeleteSemoga sehat selalu
Terima kasih Bu Tien
ReplyDeleteSemoga sehat selalu
Terima kasih
ReplyDeleteMakin asyik saja, Radit,bu Cipto, Tarmi, ketemu bersama. Rahasia apa lagi yang akan terkuak...
ReplyDeleteSalam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.
Alhamdulillah .. Terima kasih Bu Tien.. Semoga sehat selalu..
ReplyDeleteAlhamdulilah
ReplyDeleteTerimakasih cerbungnya bunda Tien
alhamdulillah
ReplyDeleteTerima kasih ... Bu Tien, semoga sehat selalu.
ReplyDeleteTrims bu tien. Jgn² ratri itu sodara seayah dengan listi. Wah ...
ReplyDeleteMatur nuwun, bu Tien
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteAlhamdulillah, matur nuwun bu Tien, Salam sehat
ReplyDeleteMet malam bu tien, terima kasih sdh tayang jp ...salam sehat bu tien
ReplyDeleteTerima kasih mbak Tien. Semoga sehat selalu.
ReplyDeleteSalam sejahtera untuk keluarga.
Disaat Radit mau melamar Ratri, bu Cipto merasa ada kendala harus tahu dulu ibu kandung Ratri...
ReplyDeleteSemoga tidak membuat surut niat keluarga Radit dan Ratri..
Matur nuwun ibu Tien, Berkah Dalem.
Matur nuwun bu. Tien...🙏🙏
ReplyDeleteHallow..
ReplyDeleteYustinhar. Peni, Datik Sudiyati, Noor Dwi Tjahyani, Caroline Irawati, Nenek Dirga, Ema, Winarni, Retno P.R., FX.Hartanti, Danar, Widia, Nova, Jumaani, Ummazzfatiq, Mastiurni, Yuyun, Jum, Sul, Umi, Marni, Bunda Nismah, Wia Tiya, Ting Hartinah, Wikardiyanti, Nur Aini, Nani, Ranti, Afifah, Bu In, Damayanti, Dewi, Wida, Rita, Sapti, Dinar, Fifi, Nanik. Herlina, Michele, Wiwid, Meyrha, Ariel, Yacinta, Dewiyana, Trina, Mahmudah, Lies, Rapiningsih, Liliek, Enchi, Iyeng Sri Setyawati , Yulie, Yanthi , Dini Ekanti, Ida, Putri, Bunda Rahma, Neny, Yetty Muslih, Ida, Fitri, Hartiwi DS, Komariah P., Ari Hendra, Tienbardiman, Idayati, Maria, Uti Nani, Noer Nur Hidayati, Weny Soedibyo, Novy Kamardhiani, Erlin, Widya, Puspita Teradita, Purwani Utomo, Giyarni, Yulib, Erna, Anastasia Suryaningsih, Salamah, Roos, Noordiana, Fati Ahmad, Nuril, Bunda Belajar Nulis, Tutiyani, Bulkishani, Lia, Imah P Abidin, Guru2 SMPN 45 Bandung, Yayuk, Sriati Siregar, Guru2 SMPN I Sawahlunto, Roos, Diana Evie, Rista Silalahi, Agustina, Kusumastuti, KG, Elvi Teguh, Yayuk, Surs, Rinjani, ibu2 Nogotirto, kel. Sastroharsoyo, Uti, Sis Hakim, Tita, Farida, Mumtaz Myummy, Gayatri, Sri Handay, Utami, Yanti Damay, Idazu, Imcelda, Triniel, Anie, Tri, Padma Sari, Prim, Dwi Astuti, Febriani, Dyah Tateki, kel. SMP N I Gombong, Lina Tikni, Engkas Kurniasih, Anroost, Wiwiek Suharti, Erlin Yuni Indriyati, Sri Tulasmi, Laksmie, Toko Bunga Kelapa Dua, Utie ZiDan Ara, Prim, Niquee Fauzia, Indriyatidjaelani,
Bunda Wiwien, Agustina339, Yanti, Rantining Lestari, Ismu, Susana Itsuko, Aisya Priansyah, Hestri, Julitta Happy, I'in Maimun, Isti Priyono, Moedjiati Pramono, Novita Dwi S, Werdi Kaboel, Rinta Anastya, r Hastuti, Taty Siti Latifah, Mastini M.Pd. , Jessica Esti, Lina Soemirat, Yuli, Titik, Sridalminingsih, Kharisma, Atiek, Sariyenti, Julitta Happy Tjitarasmi, Ika Widiati, Eko Mulyani, Utami, Sumarni Sigit, Tutus, Neni, Wiwik Wisnu, Suparmia, Yuni Kun, Omang Komari, Hermina, Enny, Lina-Jogya, mbah Put Ika, Eyang Rini ,Handayaningsih, ny. Alian Taptriyani, Dwi Wulansari, Arie Kusumawati, Arie Sumadiyono, Sulasminah , Wahyu Istikhomah, Ferrita Dudiana, SusiHerawati, Lily , Farida Inkiriwang, Wening, Yuka, Sri, Si Garet, ibu Wahyu Widyawati, Rini Dwi, Pudya , Indahwdhany, Butut, Oma Michelle, Linurhay, Noeng Nurmadiah, Dwi Wulansari, Winar, Hnur, Umi Iswardono , Yustina Maria Nunuk Sulastri Rahayu Hernadi , Sri Maryani, Bunda Hayu Hanin, Nunuk, Reni, Pudya, Nien, Swissti Buana, Sudarwatisri, Mundjiati Habib, Savero, Ida Yusrida, Nuraida, Nanung, Arin Javania. Ninik Arsini, Neni , Komariyah, Aisya Priansyah, Jainah Jan. Civiyo, Mahmudah, Yati Sri Budiarti, Nur Rochmah. Uchu Rideen
. Ninik Arsini, Endah. Nana Yang, Sari P Palgunadi, Echi Wardani, Nur Widyastuti, Gagida family, Trie Tjahjo Wibowo, Lestari Mardi, Susi Kamto, Rosen Rina, Mimin NP, Ermi S, Ira, Nina, Endang Amirul, Wiwik Nur Jannah, Ibu Mulyono, Betty Kosasih, Nanik, Tita, Willa Sulivan, Mimin NP, Suprilina, Endang Mashuri, Rin, Amethys, Adelina, Sari Usman, Caecilia RA, Mimiet,
Alhamdulillah Bu Tien hadir lagi dengan membawa oleh-oleh JP 24...
ReplyDeleteMatur nuwun Bu Tien...
Moga ibu sekeluarga sehat selalu...
Aamiin....
Ceritanya seru...
ReplyDeleteTerima kasih mbak Tien...
Lho Bu Cipto memanggil Tarmi; inikah yang namanya Bu Tarmi sampai suami Bu Sutijah tak mempedulikan nya.
ReplyDeleteLupa lupa ingat cerita Bu Sumini waktu itu, mbatin Radit.
Radit minta selembar koran dan menanyakan, "kenalkah ibu dengan Bu Sutijah"; èh malah mencenger; mata menatap tajam berusaha menjauh, mbok Cipto heran berarti Radit tahu siapa dia, Bu Cipto saya mau kerumah ibu. Radit bilang.
Tadi itu Bu Tarmi, mungkin yang diceritakan Bu Sumini, merusak rumah tangga Bu Sutijah, nyatanya begitu menyebut nama; dia menghindar. Bu Sumini cerita Bu Sutijah melahirkan anak yang kedua tapi katanya bayinya tidak dibawa pulang.
Bu Cipto mencoba mungkin ada hubungan, seperti yang dicarinya selama ini.
Tapi semakin dekat semakin tak menentu, kejelasan perlu tapi kehilangan jangan sampai.
Terimakasih Bu Tien
Jangan pergi yang ke dua puluh empat sudah tayang
Sehat sehat selalu doaku
Sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
🙏
Makasih Nanang,
DeleteHehee... selalu kocak
🙏
DeleteMakasih mba Tien.
ReplyDeleteSehat dan semangat selalu . Aduhai
Alhamdulillah, matur nuwun bu Tien
ReplyDeleteSehat wal'afiat semua ya bu Tien 🙏😊
Aduhaiii. ,,,Radit ,bu cipto n bu tarmi bgm kelanjutannya mereka bertemu ,,,penasaraaaaaan 🤣🤣🤭
Terima kasih atas sapaan dan JP barunya mbak Tien..
ReplyDeleteSemoga selalu sehat dan terus berkarya.. Aamiin
Trims Bu tien
ReplyDeleteAlhamdulillah, suwun bu Tien
ReplyDeleteSemakin penasaran semakin seru
ReplyDeleteWahhh kok di telususih terus biar aja ibunya gila juga🤭🤭🤭🤲makasih bu Tien
ReplyDelete