JANGAN PERGI 20
(Tien Kumalasari)
Dian memandang tajam wanita yang duduk dengan santai
di kursinya, bahkan sekarang menyilangkan kakinya, seperti sedang berada di
rumahnya sendiri.
“Sebenarnya Ibu ini siapa?”
“Aku ini mertua kamu,” katanya santai, membuat Dian
melongo. Tak pernah terlintas dibenaknya mempunyai mertua seperti wanita di
depannya itu, apa lagi sekarang dia sudah tidak lagi memiliki istri setelah
Listi diceraikannya. Hanya surat resmi dari KUA saja yang akan menguatkan perceraian
itu.
“Ketika saya masih punya istri, saya tidak pernah
punya mertua seperti Ibu. Mereka sudah meninggal. Jadi untuk apa ibu
mengaku-aku sebagai mertua saya? Kalau Ibu butuh uang, katakan saja, aku akan
memberinya. Katakan berapa, karena saya lelah dan ingin segera beristirahat,”
kesal Dian.
“Apa katamu? Kamu menghina aku ya. Biarpun aku orang
miskin, tapi aku tidak pernah meminta-minta,” katanya dengan mata melotot.
“Lalu apa maksud sebenarnya Ibu ini, sungguh saya
tidak mengenal Ibu, jadi tolong, jangan
mengganggu saya lagi.”
“Aku bisa mengerti, penampilan aku yang seperti ini,
membuat malu kamu yang berpakaian perlente dan gagah, sehingga tidak mau
mengakui bahwa aku ini mertua kamu. Dengar, namaku Sutijah, dan Listi adalah
anak kandung aku. Aku yang melahirkannya. Yang memeliharanya adalah orang tua
angkat!”
“Ibu, saya peringatkan ya. Satu, saya tidak pernah punya
mertua seperti Ibu. Dua, saya sudah menceraikan istri saya, sehingga saya tidak
punya mertua siapapun,” katanya sambil berdiri, bermaksud membuka rumah karena
dari tadi dia belum membukanya.
“Tunggu. Jadi kamu bilang sudah menceraikan istri
kamu?”
“Ya Bu, saya tidak lagi punya istri.”
“Alangkah bagusnya perilaku kamu. Menyiksa istri
sendiri, lalu membiarkannya berada di rumah sakit jiwa.”
“Saya tidak menyiksa. Ada hal yang tidak sesuai
diantara kami. Apalagi dia sudah melakukan perbuatan yang sangat buruk. Membunuh
janin yang ada di dalam kandungannya, bahkan tidak hanya sekali. Saya tidak
tahan hidup bersama wanita kejam seperti dia.”
“Kurangajar kamu, mengatakan anak saya kejam.”
“Itu benar bukan? Membunuh adalah perbuatan kejam. Dan
sekarang saya persilakan ibu pergi dari sini, karena saya butuh istirahat,”
katanya sambil meninggalkan kursinya dan membuka pintu depan rumah, kemudian
menguncinya dari dalam.
Wanita bernama Sutijah itu berteriak marah sambil menggedor-gedor
pintu.
“Heii! Keluaaar! Aku harus membuktikan ucapan kamu.
Mari kita temui Listi dan aku akan segera tahu kebenarannya!!”
Tapi pintu itu tetap tertutup rapat.
Bu Sutijah ngelesot bersandarkan pintu itu dan
menangis menggerung-gerung.
Tangis itu membuat Dian merasa sedih sebenarnya, tapi
dia merasa bahwa wanita itu pastilah penipu, yang punya maksud tertentu. Dian tidak
percaya bahwa Listi anak kandung wanita yang mengoceh tidak karuan itu.
“Apa bu Sumini tahu tentang wanita bernama Sutijah?
Dan benarkah Listi anak kandung Sutijah?”
Dian masih mendengar tangis wanita itu di depan
rumahnya, lalu dia mengunci kamarnya, dan membaringkan tubuhnya di tempat
tidur yang diberinya alas sekenanya, setelah dia mandi.
“Apa aku sebaiknya menelpon bu Sumini ya?”
Dian membuka jendela kamarnya, dan masih mendengar
tangisan dari depan rumah. Dian mencoba menelpon bu Sumini, sebelum dia
bermaksud memanggil polisi untuk membawa pergi wanita itu.
“Ya, pak Dian?”
“Bu Sumini kenal wanita bernama Sutijah?”
“Pak Dian bertemu dia? Apa Pak Dian ada di rumah?”
“Dia datang dan mengaku sebagai ibunya Listi. Saya
tinggalkan dia diluar, dan saya mengunci rumah saya, tapi dia menangis di depan
rumah dan tak mau pergi.”
“Ya Tuhan, dimana alamat rumah Pak Dian, saya mau ke
sana dan membawanya pergi.”
“Baiklah, akan saya kirimkan alamatnya. Syukurlah
kalau bu Sumini bisa mengajaknya pergi, karena kalau tidak, saya lebih baik
melaporkannya ke polisi, karena dia sangat mengganggu. Naik taksi saja, nanti
saya yang akan membayarnya,” kata Dian sedikit lega.
“Baiklah Pak, lain kali saya akan cerita tentang dia.
Kasihan, sebenarnya dia terkena gangguan jiwa.”
“Saya juga mengira begitu, karena dia mengaku sebagai
ibunya Listi. Saya heran dia bisa mengetahui nama saya dan juga alamat rumah
saya.”
“Yu Tijah itu kalau punya niat, tidak segan untuk
bertanya ke sana kemari. Itu sebabnya akhirnya dia bisa tahu keadaan non Listi dan
siapa suami yang telah menikahinya, bahkan rumah pak Dian juga bisa
ditemukannya.”
“Heran saya Bu.”
“Baiklah, lain kali saya akan cerita tentang dia. Dia
sepupu saya.”
Dian mengirimkan alamat rumahnya, kemudian
membaringkan tubuhnya yang merasa lelah. Ia ketiduran dan ketika terbangun, ia
tak lagi mendengar tangisan. Rupanya bu Sumini sudah membawanya pergi.
“Ya ampun, wanita seperti apa sebenarnya dia?”
gumamnya, lalu bersiap pergi ke rumah Dewi.
***
“Mengapa kamu membawaku kemari? Aku mau membawanya ke
hadapan Listi, supaya aku yakin dia berbohong,” pekik Sutijah ketika Sumini
sudah membawanya pulang.
“Dengar Yu, kamu itu salah. Memang benar, non Listi
itu sudah bercerai dengan Pak Dian.”
“Itulah yang aku ingin mengurusnya, dia mengatakan
bahwa Listi itu kejam. Aku tidak terima.”
“Sudahlah Yu, sampeyan tidak usah mengurusi masalah
Non Listi lagi. Dia sudah menentukan jalan hidupnya, dan kalau kemudian mereka
bercerai, itu urusan mereka, orang tua tidak boleh ikut campur.”
“Apa katamu? Tidak boleh ikut campur bagaimana? Listi
itu anakku, aku ini ibunya, kalau dia menderita, aku juga menderita.”
“Aku tahu, tapi non Listi bukan anak kecil lagi. Yu
Tijah tidak usah memikirkannya.”
“Bukan anak kecil katamu? Ketika aku datang, dia
menangis dengan sangat memilukan, aku sedih. Aku ingin melakukan sesuatu supaya
dia mau mengakui aku sebagai ibunya. Itu sebabnya aku ingin membawa laki-laki
bernama Dian itu ke hadapannya,” katanya semakin marah.
“Ya tidak bisa Yu, mengajak orang seenaknya, seperti
mengajak anak kecil saja. Sudah, sampeyan istirahat saja dulu di sini, dan jangan
teriak-teriak, malu didengar tetangga.”
“Apa tidak sakit rasanya. Aku hidup selalu menderita,
dan sekarang setelah tua, anak sendiri yang aku sayangi tidak mau mengakui aku
sebagai ibunya, padahal dia juga menderita kehilangan suami, aku tidak bisa
menghiburnya. Kasihan anakku, dianggap gila,” kata Sutijah sambil menangis.
“Yu, sudah yu, jangan dipikirkan lagi. Kamu tidak usah
kemana-mana, tinggal di sini saja. Makan ya, aku tadi masak soto ayam, goreng
tempe sama tahu, biar aku angetin dulu sotonya ya, kita makan bersama-sama,”
bujuk bu Sumini sambil bangkit ke belakang, membiarkan Sutijah masih saja
terisak-isak.
Tak urung Sutijah mau juga makan bersama sepupunya,
karena sesungguhnya dia memang lapar, seharian belum makan karena sibuk
memikirkan anaknya, dan menunggui pulangnya Dian di teras rumah sejak siang
harinya.
“Listi itu pintar, mencari suami ganteng seperti Dian.
Dan anakku juga cantik, bodoh laki-laki itu menceraikannya,” gumamnya lagi saat
makan.
“Kok masih memikirkan itu lagi sih Yu, makan saja
sampai kenyang, lalu tidur. Jangan melakukan hal yang aneh-aneh.”
Sumini adalah sepupunya, dan satu-satunya kerabat yang
masih peduli pada Sutijah. Di kampung, banyak yang menjauhi Sutijah karena
terkadang dia melakukan hal yang aneh-aneh. Tiba-tiba marah tak jelas ujung pangkalnya,
tiba-tiba lagi dia baik kepada siapapun yang ditemuinya.
Sutijah merasa tak pernah beruntung dalam hidupnya,
dan ketika mendekati anak kandungnya pun, dia tak diakuinya.
“Aku ini sedih Ni, kamu jangan marah sama aku terus,”
tiba-tiba Sutijah terisak.
“Lho, kok malah nangis. Sudah, habiskan itu sotonya.
Besok jalan-jalan ke pasar sama aku ya? Beli jajanan yang Yu Tijah suka.”
“Aku pengin makan cucur. Sudah lama tidak makan kue
cucur.”
“Oh, iya … di pasar banyak Yu, lalu apa lagi …” kata
Sumini yang merasa senang, Sutijah tidak lagi bicara tentang anaknya.
“Adakah gethuk lindri?”
“Ada. Pokoknya apa yang yu Tijah suka, ada semua. Nanti habis
makan, yu Tijah tidur, lalu bangun pagi-pagi, terus kita ke pasar.”
Sutijah mengangguk, dan Sumini merasa lega.
***
Arina sangat senang ketika Dian datang, dengan membawa
boneka beruang yang sangat besar. Dia bahkan tidak kuat membopongnya, sehingga
harus dibantu ibunya.
“Arina suka?” tanya Dian.
“Hm-mh … cuka … cuka …”
Arina berteriak-teriak kegirangan, menidurkan boneka
di atas karpet, lalu dia berbaring dan meletakkan kepalanya pada tubuh beruang.
“Sudah sejak sore dia menunggu mas Dian,” kata Dewi.
“Saya sudah sampai rumah sekitar jam empat, lalu tidur
sebentar,” kata Dian yang enggan mengatakan pertemuannya dengan wanita yang
mengaku ibunya Listi. Takut merusak suasana gembira dengan adanya peristiwa
itu.
“Iya, capek pastinya, dari bekerja, langsung berangkat
kemari.”
“Sebenarnya Sabtu saya libur, tapi ada yang harus saya
selesaikan dengan staf di kantor, karena hari Senin akan ada tamu. Nggak
apa-apa kok. Nggak begitu capek.”
“Syukurlah.”
“Besok kita jalan-jalan ya,”
“Jam berapa?”
“Jam sembilan, begitu?”
“Terserah mas Dian saja, nanti biar Arina sudah mandi
pagi-pagi, biasanya suka main dulu, susah diajak mandi kalau sudah main.”
“Besok mandi pagi ya Arin?” kata Dian sambil menowel
pipi Arina yang masih asyik main boneka.
“Andi agi… “
“Besok jalan-jalan sama om.”
“Iyaaa… mauu … halan … ama om…”
Dewi tersenyum senang melihat ulah Arina yang lucu. Ia
selalu berusaha menggendong boneka besarnya, tapi karena tidak kuat lalu
terguling jatuh. Tapi bukannya nangis dia malah terkekeh senang, bahkan berkali-kali
mengulanginya.
Mata Dian berbinar. Bahagianya punya anak kecil, dan
mimpinya belum juga terlaksana. Dia melampiaskannya pada Arina, yang entah
mengapa, begitu suka padanya.
Dewi memperhatikan Dian yang memandangi Arina dengan
wajah berseri. Dewi sadar, Dian sangat merindukan seorang anak. Anak yang seharusnya
dilahirkan dari Listi, kemudian tak berhasil dimiliki karena kekejaman Listi
pada janin tak berdosa itu. Ada iba menyesak di dada Dewi.
“Mas Dian segeralah menikah lagi, saya doakan agar
segera memiliki putra-putri yang cantik dan ganteng,” kata Dewi, yang membuat
kemudian Dian menatap ke arahnya.
“Semoga ada wanita yang mau menjadi pendamping seorang
duda seperti saya ini,” katanya sambil memandang lekat ke arah Dewi, membuat
Dewi tersipu dan mengalihkan pandangan ke arah lain.
“Carikan dong,” lanjutnya.
Dewi kembali menatap Dian.
“Gadis seperti apa yang mas Dian inginkan? Saya akan
membantu mencarikan.”
“Benarkah? Bagaimana kalau wanita itu seperti Dewi?”
Dian agak sedikit berani.
“Apa? Seperti saya? Saya hanya seorang janda.”
“Saya juga duda lho.”
Kemudian keduanya sama-sama tersenyum lucu, entah apa
yang terpikir oleh mereka. Ingin menyatukan dua hati? Aduhai.
Ada percikan-percikan api yang memancar dari acara saling
pandang malam itu. Dalam hati mereka berharap, semoga ada mimpi yang akan
menjadi nyata.
***
Bu Cipto terkejut karena Radit pagi-pagi sudah datang
ke rumah.
“Tumben nak Radit pagi-pagi sudah datang, dan
kebetulan Ratri beli nasi liwet tuh, ayuk sarapan dulu Nak,” ajak bu Cipto.
“Terima kasih Bu, tapi saya sudah makan tadi, dari
rumah.”
“Tidak apa-apa, sebungkus nasi liwet itu tidak banyak
kok, ayolah, Ratri sudah menyiapkan tuh, di belakang.”
Tak urung Radit tak bisa menolak. Ia mengikuti bu Cipto ke arah ruang makan,
dimana Ratri sudah siap menata meja makan dengan beberapa bungkus nasi liwet
yang dibelinya pagi-pagi sekali.
“Sebenarnya saya datang kemari untuk menjemput Ratri
Bu,” kata Radit sambil menyendok nasi liwetnya.
“Oh iya, silakan saja. Mau jalan ke mana?” tanya bu
Cipto.
“Ke rumah saya Bu. Ibu saya yang minta. Nggak tahu ada
rencana apa tuh ibu.”
“O, mau ketemu Ibu, ya sudah, habiskan dulu
sarapannya. Ibu juga mau jalan ke pasar.”
“Ibu mau ke pasar lagi?” seru Ratri.
“Nggak apa-apa, ibu suka, di sana lebih lengkap.”
“Kalau begitu bareng kami saja Bu, nanti saya turunkan
di pasar mana yang ibu suka.”
“Tidak, tidak usah. Ibu mau jalan saja. Bukankah jalan
pagi itu sehat”
“Jauh lho Bu,” kata Ratri mengingatkan.
“Kalau capek bisa naik becak atau taksi. Sudah, jangan
dipikirkan. Habiskan saja makanan kalian dan berangkat. Ibu juga belum mandi.”
***
Bu Cipto sudah berada di pasar, tak lama setelah mandi
dan jalan-jalan sebentar. Ia masih tetap pada keinginannya, berharap bertemu
wanita aneh itu lagi.
Ia baru mau memasuki pasar , ketika dilihatnya dua
orang wanita berkejaran.
“Berhenti kamu! Perempuan jahat! Berhenti!” teriak si
pengejar, dan satunya terus saja berlari, kemudian tanpa sengaja menubruk bu
Cipto sehingga keduanya jatuh berguling.
***
Besok lagi ya.
Alhamdulillah
ReplyDeleteMbk Iin juaranya
Delete
ReplyDeleteMtnuwun mbk Tien 🙏🙏
Yesss
ReplyDeleteHore... tayang.mm
ReplyDeleteTks bunda Tien
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteMatur nuwun, bu Tien
ReplyDelete
ReplyDeleteAlhamdulillah JANGAN PERGI~20 sudah hadir.. maturnuwun & salam sehat kagem bu Tien 🙏
Alhamdulillah JP 20 dah tayang.
ReplyDeleteBunda tetap sehat nggih.
Matur nuwun mbak Tien-ku, Ratri sdh datang.
ReplyDeleteAlhamdulillah, matur nuwun, sehat selalu Bunda Tien . .
ReplyDeleteMtrnwn mba Tien, semoga gak keterusan sakitnya
ReplyDeleteAlhamdulillah .....
ReplyDeleteYg ditunggu2 sdh datang...
Matur nuwun bu Tien ...
Semoga sehat selalu....
Tetap semangat ...
Manusang, ibu Tien...semoga bisa beristirahat dengan baik malam ini, shg besok sudah membaik dan pulih sehat kembali ya...🙏🙏🙏
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteSyafakillah bunda.
ReplyDeleteLa ba-'sa thohuurun In Shaa Allah.
Walau kepala pusing karena tensi agak na, tapi bunda Tien Kumalasari tetap menghadirkan JePe eps 20 malam ini.
Matur nuwun bunda Tien, semoga cepat sembuh....|
Diagem sarean wae..... ben mudun tensine....
Akhamdulilaah tayang mskadih bunda
ReplyDeleteYaaah bu.Sutijah lagi ni yg ketemu bu.Cipto...seru²
ReplyDeleteMatur nuwun bunsa Tien..🙏
ReplyDeleteSyafakillah bunda Tien
La ba-'sa thohuurun In Shaa Allah.
Trima kasih JP 20 sdh tayang
Alhamdulillah...
ReplyDeletealhamdulillah
ReplyDeleteMet malam bu tien, semoga ibu segera sehat dan dapat beraktifitas kembali ....
ReplyDeleteTerima kasih mbak Tien...
ReplyDeleteAlhamdulillah JP 20 dah tayang, mtr nwun, semoga bu Tien cepat sehat kembali
ReplyDeleteTerima kasih Bu Tien, semoga sehat selalu.
ReplyDeleteTerima kasih Mbak Tien ... JP 20 sdh tayang ... Smg sehat sll n bahagia bersama kelrg tercinta ... Salam kangen n Aduhai ...
ReplyDeleteTerima kadih Mbu Tien... smoga sehat sllu
ReplyDeleteAlhamdulillahi rabbil'alamiin
ReplyDeleteSemoga bu tien sehat2 n selalu dalam lindungan Allah SWT
ReplyDeleteAlhamdulilah
ReplyDeleteMatur nuwun bunda Tien,,semangat dan sehat selalu
ReplyDeleteAlhamdulillah JP 20 sdh tayang
ReplyDeleteTerima kasih Bu Tien..
Semoga Ibu cepat sembuh dan sehat kembali.
Aamiin
Hallow..
ReplyDeleteYustinhar. Peni, Datik Sudiyati, Noor Dwi Tjahyani, Caroline Irawati, Nenek Dirga, Ema, Winarni, Retno P.R., FX.Hartanti, Danar, Widia, Nova, Jumaani, Ummazzfatiq, Mastiurni, Yuyun, Jum, Sul, Umi, Marni, Bunda Nismah, Wia Tiya, Ting Hartinah, Wikardiyanti, Nur Aini, Nani, Ranti, Afifah, Bu In, Damayanti, Dewi, Wida, Rita, Sapti, Dinar, Fifi, Nanik. Herlina, Michele, Wiwid, Meyrha, Ariel, Yacinta, Dewiyana, Trina, Mahmudah, Lies, Rapiningsih, Liliek, Enchi, Iyeng Sri Setyawati , Yulie, Yanthi , Dini Ekanti, Ida, Putri, Bunda Rahma, Neny, Yetty Muslih, Ida, Fitri, Hartiwi DS, Komariah P., Ari Hendra, Tienbardiman, Idayati, Maria, Uti Nani, Noer Nur Hidayati, Weny Soedibyo, Novy Kamardhiani, Erlin, Widya, Puspita Teradita, Purwani Utomo, Giyarni, Yulib, Erna, Anastasia Suryaningsih, Salamah, Roos, Noordiana, Fati Ahmad, Nuril, Bunda Belajar Nulis, Tutiyani, Bulkishani, Lia, Imah P Abidin, Guru2 SMPN 45 Bandung, Yayuk, Sriati Siregar, Guru2 SMPN I Sawahlunto, Roos, Diana Evie, Rista Silalahi, Agustina, Kusumastuti, KG, Elvi Teguh, Yayuk, Surs, Rinjani, ibu2 Nogotirto, kel. Sastroharsoyo, Uti, Sis Hakim, Tita, Farida, Mumtaz Myummy, Gayatri, Sri Handay, Utami, Yanti Damay, Idazu, Imcelda, Triniel, Anie, Tri, Padma Sari, Prim, Dwi Astuti, Febriani, Dyah Tateki, kel. SMP N I Gombong, Lina Tikni, Engkas Kurniasih, Anroost, Wiwiek Suharti, Erlin Yuni Indriyati, Sri Tulasmi, Laksmie, Toko Bunga Kelapa Dua, Utie ZiDan Ara, Prim, Niquee Fauzia, Indriyatidjaelani,
Bunda Wiwien, Agustina339, Yanti, Rantining Lestari, Ismu, Susana Itsuko, Aisya Priansyah, Hestri, Julitta Happy, I'in Maimun, Isti Priyono, Moedjiati Pramono, Novita Dwi S, Werdi Kaboel, Rinta Anastya, r Hastuti, Taty Siti Latifah, Mastini M.Pd. , Jessica Esti, Lina Soemirat, Yuli, Titik, Sridalminingsih, Kharisma, Atiek, Sariyenti, Julitta Happy Tjitarasmi, Ika Widiati, Eko Mulyani, Utami, Sumarni Sigit, Tutus, Neni, Wiwik Wisnu, Suparmia, Yuni Kun, Omang Komari, Hermina, Enny, Lina-Jogya, mbah Put Ika, Eyang Rini ,Handayaningsih, ny. Alian Taptriyani, Dwi Wulansari, Arie Kusumawati, Arie Sumadiyono, Sulasminah , Wahyu Istikhomah, Ferrita Dudiana, SusiHerawati, Lily , Farida Inkiriwang, Wening, Yuka, Sri, Si Garet, ibu Wahyu Widyawati, Rini Dwi, Pudya , Indahwdhany, Butut, Oma Michelle, Linurhay, Noeng Nurmadiah, Dwi Wulansari, Winar, Hnur, Umi Iswardono , Yustina Maria Nunuk Sulastri Rahayu Hernadi , Sri Maryani, Bunda Hayu Hanin, Nunuk, Reni, Pudya, Nien, Swissti Buana, Sudarwatisri, Mundjiati Habib, Savero, Ida Yusrida, Nuraida, Nanung, Arin Javania. Ninik Arsini, Neni , Komariyah, Aisya Priansyah, Jainah Jan. Civiyo, Mahmudah, Yati Sri Budiarti, Nur Rochmah. Uchu Rideen
. Ninik Arsini, Endah. Nana Yang, Sari P Palgunadi, Echi Wardani, Nur Widyastuti, Gagida family, Trie Tjahjo Wibowo, Lestari Mardi, Susi Kamto, Rosen Rina, Mimin NP, Ermi S, Ira, Nina, Endang Amirul, Wiwik Nur Jannah, Ibu Mulyono, Betty Kosasih, Nanik, Tita, Willa Sulivan, Mimin NP, Suprilina, Endang Mashuri, Rin, Amethys, Adelina, Sari Usman, Caecilia RA, Mimiet,
Alhamdulillah JePe 20 sudah tayang...matursuwun Bu Tien, semoga sehat selalu
ReplyDeleteRupanya bu Sutijah ketemu orang lama yg dulu menculik anak keduanya yg adalah Ratri...
ReplyDeleteMatur nuwun ibu Tien, Berkah Dalem..
Suwun Bu Tien, salam sehat selalu.....😊🙏
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteTerima kasih Bu Tien
Semoga sehat selalu
Syafakillah u bu Tien dan trima kasih ya bu
ReplyDeleteLho bu Cipto mau cari bahan buat bikin dadar gulung malah digulung sama orang setrès, ternyata ada juga reportase balapan diseputar pasar tradisional, nah lho ketemunya malah ditunjukan dengan cara gitu, ada rindu diantara mereka mungkin.
ReplyDeleteAnak yang tidak diperhitungkan di lepas begitu saja, akibat tipis dan hancurnya harapan; malah yang membuatnya bangga, dan ada semangat menikmati hidup, menyejukkan hati.
Semoga Sumini dan Bu Cipto bisa meredakan emosi Sutijah yang kadang nyaris tak bisa di kendalikan.
Biarkan mereka(apalagi yang muda) merangkai bunga cinta agar keharuman nya merebak menyiram, mengubur getir dan penat sepanjang perjalanan hidup masa lalunya.
Terimakasih Bu Tien
Jangan pergi yang ke dua puluh sudah tayang, tetap jaga perimbangan, istirahat bila perlu, semangat dan sehat² selalu doaku
Sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
🙏
Syafakillah bu Tien.., semoga cepat sembuh dan sehat kembali..
ReplyDeleteAamiin yaAlloh.. 🤲🤲 🤲
Makasih mba Tien.
ReplyDeleteSemoga sehat selalu
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
ReplyDeleteAlhamdulillah ,matur nuwun bu Tien ,
Semakin sehat wal'afiat ya,,