KEMBANG CANTIKKU 34
(Tien Kumalasari)
“Mas, ini temannya mas Nano, namanya mas Wahyudi. Salaman
dong,” kata Murni memperkenalkan.
Laki-laki itu akhirnya mengulurkan tangannya, dan
seperti hanya menyentuhkan ujung jarinya ke tangan Wahyudi. Wahyudi hanya
tersenyum tipis.
“Ayo duduk Mas, duduklah, aku panggilkan mbak Murti
dulu ya,” kata Murni ramah.
Nano dan Wahyudi duduk, tapi laki-laki itu tidak, dia
menyentuh lengan Murni yang membuat Murni mengundurkan tubuhnya.
“Aku pulang saja dulu, nanti sore aku samperin kamu.
Katanya kamu seneng nonton wayang?”
“Oh, aku harus bilang sama ibu dulu, boleh tidak aku
keluar malam,” kata Murni.
“Nanti aku yang bilang sama ibumu, aku akan bawa
mobil, supaya kamu tidak kedinginan di jalan,” katanya sambil berlalu, tanpa
pamit kepada kedua tamu yang baru saja datang.
Murni sudah masuk ke dalam rumah. Nano saling pandang
dengan Wahyudi, lalu keduanya mengangkat bahu tanda tak tahu. Maksudnya siapa
sih laki-laki itu? Sangat sok dan sombong sekali.
“Sepertinya kamu dapat saingan,” kata Nano sambil
tersenyum.
“Selama belum ada janur melengkung, kenapa tidak?”
“Dia hanya menang muda,” kata Nano pelan, yang
disambut tawa kecil Wahyudi.
“Kalau aku, menang apa? Menang tua kan?”
“Kamu menang dalam sopan-santun atau tata krama. Sikapnya
menyebalkan,” gerutu Nano.
Wahyudi hanya menanggapi sambil berdebar. Sesungguhnya
ada rasa khawatir karena tampaknya Murni sudah punya pilihan, yang pastinya
lebih muda.
“Ini, oleh-oleh kok nggak dikasih ke Murni ?” kata
Wahyudi mengingatkan.
“Oh, iya, biar aku bawa masuk saja,” kata Nano sambil
membawa bungkusan makanan itu ke dalam. Ditengah ruangan ia bertemu Murti.
“Mas, kok lama nggak ke sini?”
“Panjang ceritanya. Ini, terima dulu, oleh-oleh buat
ibu,” kata Nano sambil mengulurkan bungkusan.
“Selalu repot sih Mas. Sayangnya ibu lagi ke tempat
tetangga, ada yang mau punya kerja, jadi ikut repot. Ya begini ini tradisi di
kampung Mas, kalau ada yang punya kerja seluruh kampung ikut repot, terutama
ibu-ibu. Ayo duduk dulu, Murni sedang membuatkan minum.”
“Yang bersama Murni tadi siapa?”
“O, tamunya itu? Itu temannya Murni, tepatnya kakak
kelasnya, lulus dua tahun lalu.”
“Pacarnya?”
“Bukaan. Dia yang suka. Nggak tahu kalau Murni. Aku
sih nggak suka sama dia. Sombong, mentang-mentang anak orang kaya.”
“Oo, gitu?”
Ketika Murni membawa nampan berisi suguhan minuman,
Wahyudi menatapnya tak berkedip. Ada perasaan aneh dihatinya, yang membuat
Wahyudi heran sendiri.
“Ada apa aku ini. Tertarik pada gadis ingusan? Lalu
laki-laki tadi siapanya Murni?” kata batin Wahyudi sambil terus menatap Murni.
“Silakan diminum Mas,” katanya sambil meletakkan
minuman di meja.
“Terima kasih Murni,” kata Nano.
“Mas Nano bawa mobil? Sudah punya mobil sekarang?”
tanya Murni tanpa sungkan.
“Bukan, itu mobil majikan yang disuruh memakai tadi.”
“Oo,”
“Apa kamu suka laki-laki yang punya mobil?” tanya
Nano.
“Ah, nggak juga.”
“Suka yang bagaimana?” tanya Nano mulai
memancing-mancing.
“Yang baik lah.”
“Lalu ….”
“Yang sayang sama aku, ya kan Mbak? Katanya sambil
menatap kakaknya. Murti mengangguk sambil tersenyum.
“Yang tadi itu pacar kamu?” tanya Nano terus terang.
“Tadi? Itu namanya Sartono.”
“Aku nggak tanya nama. Apa dia pacar kamu?”
“Ih, mau tahu aja,” jawab Murni sambil tersenyum dan
jawaban itu membuat Wahyudi ketir-ketir.
“Iya dong, aku kan calon kakak ipar kamu. Jadi harus
tahu seperti apa pilihan kamu.”
“Dia bukan siapa-siapa. Suka aja main ke sini.”
Wahyudi menghela napas lega.
“Tampaknya dia suka,” kata Nano sok tahu.
“Nggak tahu aku. Kalau dia suka, ya biarin saja.”
“Bagaimana dengan kamu?”
“Mas Nano sukanya mancing-mancing ya. Kalau aku suka
bagaiman, kalau tidak bagaimana,” jawab Murni enteng.
“Aku hanya ingin yang terbaik untuk adik ipar aku. Eh,
calon adik ipar aku.”
“Tidak baikkah dia, menurut Mas?”
“Aku kan baru ketemu tadi.”
“Apakah dia baik? Biarpun baru ketemu kan kelihatan,
dia itu baik atau tidak.”
“Kalau boleh berterus terang, aku melihatnya, dia itu
kurang baik untuk kamu.”
“Dari mana Mas melihatnya?”
“Hanya sekilas sih, tapi sikap seseorang, apalagi
menghadapi orang lain, harusnya lebih santun. Baru itu yang aku lihat.”
Murni mengerucutkan bibirnya.
“Kenapa? Kamu tersinggung?”
Murni menggelengkan kepalanya.
“Dia juga terkadang kasar. Apalagi kalau kemauannya
tidak dituruti.”
“Nah.”
“Dia itu anak orang kaya Mas, sawahnya berhektar-hektar.
Pantas saja dia sombong,” sambung Murti.
“Mbak Murti sangat tidak suka kalau dia datang,” kata
Murni lagi.
Wahyudi meneguk teh dalam gelas yang dihidangkan di
hadapannya.
“Hm, manis ….” Katanya sambil meletakkan gelas setelah
dia meneguknya beberapa teguk.
“Terlalu manis ya?” tanya Murni.
“Tidak.”
“Mas Yudi suka yang manis ya?” tanya Murti.
“Iya lah, masa suka yang pahit. Jamu dong,” canda Nano
yang mengerti arah kata-kata Wahyudi. Bisa jadi yang manis adalah wajah Murni,
atau sikap Murni dan kakaknya yang tidak suka pada laki-laki itu. Yang jelas terasa manis dan menyenangkan.
Murti dan Murni tertawa kecil.
“Nanti makan siang di sini ya, tadi aku sama Murni
masak lho.”
“Benarkah? Pasti enak dong,” kata Wahyudi.
“Tapi ya masakan orang desa lho Mas, cuma sayur gudeg,
sambal terasi sama ikan asin.”
“Waah, itu cocok, aku suka,” kata Wahyudi.
“Bohong. Orang kota mana suka masakan orang desa?”
“Kata siapa? Masakan kampung itu nikmat lho, dan
ngangenin,” kata Wahyudi sambil meneguk lagi minumannya.
“Terutama sama yang masak,” sambung Nano. Wahyudi
tersedak, karena sebelumnya dia bilang kangen sama Murni.
“Eh, Mas, hati-hati minumnya.”
“Biar aku tata dulu makan siangnya ya,” kata Murni
sambil masuk ke dalam rumah.
“Murni itu terkadang masih seperti anak-anak," kata Murti.
“Memang dia masih kanak-kanak kan?”
“Minggu depan dia ujian. Nggak tahu apa dia ingin
melanjutkan sekolahnya atau tidak.”
“Wahyudi mau melamar Murni,” kata Nano tiba-tiba.
Wahyudi memukul bahu Nano dan memelototinya. Murti tertawa melihatnya.
“Tidak apa-apa Mas, kalau mau sama gadis desa,” kata
Murti.
“Kalau Murni ingin melanjutkan kuliah, dia sanggup
menunggu kok.”
Lagi-lagi Wahyudi ingin memprotes karena Nano
membuatnya tersipu.
“Tidak apa-apa, lebih dulu berterus terang kepada
kakaknya, supaya dia bisa membantu membujuk adiknya,” sambung Nano seenaknya.
Murti mengangguk.
“Aku ingin Murni mendapatkan suami yang baik, yang
bisa berpikiran dewasa.”
“Ayo silakan makan, semua sudah siap,” tiba-tiba Murni
muncul dari belakang.
“Tidak menunggu ibu dulu?”
“O, ibu pasti pulang sore Mas, selalu begitu kalau sedang
ada yang punya kerja.”
“Baiklah, nanti kalau ibu pulang aku mau bicara
tentang hubungan kita. Kamu siap menjadi istriku?” tanya Nano.
Murti tersipu, wajahnya bersemu merah.
“Bagaimana nanti kata ibu saja. Bicaralah Mas sama ibu,” kata
Murti yang kemudian berdiri, mempersilakan tamunya untuk makan.
***
Keluarga bu Mantri juga sedang sibuk, menjelang
pernikahan Wuri dan Budiono yang sudah tinggal beberapa minggu lagi. Wuri bolak
balik ke rumah Wahyudi, tapi dia selalu pulang dengan wajah kesal karena hari
sudah sore, tapi Wahyudi belum tampak pulang.
“Kemana sih tuh orang? Berangkat pagi-pagi, jam segini
belum juga pulang,” gerutunya.
“Ada apa sih, sejak tadi kamu uring-uringan terus?”
“Itu lho Bu, sudah jam segini, mas Yudi belum juga
pulang.”
“Memangnya kenapa? Dia kan juga butuh hiburan, tidak
selalu ada di rumah biarpun ini hari minggu.”
“Aku tuh kemarin sudah minta mas Yudi untuk
mengantarkan belanja untuk kebutuhan aku. Dia sudah bilang ‘iya’, tapi mana
buktinya. Pasti dia lupa. Apa kumat lagi lupa ingatannya?”
“Hush, kamu tuh bicara sembarangan. Ya jangan begitu.
Ingat, nak Yudi itu sebenarnya bukan siapa-siapa kamu, nggak boleh dong terlalu
tergantung sama dia.”
“Wuri tuh sama mas Yudi kan sudah seperti saudara.”
“Seperti kan? Seperti itu bukan beneran. Jangan begitu
dong nduk, kasihan nak Yudi.”
“Ada apa dengan mas Yudi?” bu Mantri dan Wuri
terkejut, Budiono tiba-tiba sudah ada di dalam rumah.
“Nak Budi, kok nggak dengar nak Budi datang?”
“Iya tuh, seperti siluman saja, tiba-tiba muncul.”
“Eh, masa sih, ngatain ‘siluman’ sama calon suami?”
omel Budi.
Wuri terkekeh, sambil mengajak Budi ke ruang tengah.
“Maaf deh, habis mas Budi ngagetin saja.”
“Aku sudah ngucapin salam di depan, sampai
berkali-kali, nggak ada yang dengar, ya sudah aku masuk saja.”
“Iya, lagi ngomongin mas Yudi, pergi dari pagi sampai
sore belum pulang juga.”
“Ketemu pacarnya, barangkali.”
“Oh ya? Seneng dong kalau mas Yudi benar-benar punya
pacar.”
“Barangkali kok, siapa tahu benar.”
“Nanti aku mau nanya deh. Semoga benar, jadi besok
mereka bisa menjadi pendamping kita saat menikah.”
“Iya juga ya.”
“Mas Budi lagi repot nggak?”
“Repot kenapa?”
“Aku mau belanja sedikit, tadinya nungguin mas Yudi karena
sudah janji mau nganterin.”
“Aku antar saja deh.”
“Baiklah, terima kasih ya, aku sudah siap
sebenarnya, aku pamit ibu dulu.”
Budiono sangat bahagia. Akhirnya hari yang ditunggu
akan segera tiba. Sudah lama dia ingin mempersunting Wuri, dan Wuri menolaknya
karena Wahyudi belum ketahuan dimana rimbanya.
***
Wahyudi memang belum pulang, karena Nano kemudian
mengajak jalan-jalan sampai sore. Sang ibu yang sedang menyiapkan minum yang
baru dan diletakkan di meja depan, terkejut ketika seseorang menyapanya.
“Selamat sore Bu.”
“O, nak Sartono?”
“Iya Bu, Murni ada?”
“Murni sedang jalan-jalan sama kakaknya dan calon
kakak iparnya.”
“Dan sama salah seorang yang bernama Wahyudi?”
tanyanya dengan wajah kesal.
“Iya Nak, tadi kan datangnya sama-sama Marno, jadi ya
mereka pergi bersama-sama. Ada perlu apa Nak, nanti kalau Murni sudah pulang
akan saya sampaikan.”
“Tadi sudah janjian mau nonton wayang di kelurahan Bu.”
“Wah, kalau malam-malam mana bisa mengajak Murni
pergi? Saya melarang anak gadis saya bepergian malam-malam.”
“Memangnya kenapa kalau pergi malam? Kan tidak
sendirian perginya. Lagipula saya membawa mobil.”
“Sendirian atau ada temannya, saya melarang anak saya
pergi malam-malam. Kecuali kalau ada perlu, dan itu harus bersama saya.”
“Ibu ini bagaimana? Sekarang Murni sedang pergi
bersama laki-laki lain yang tidak jelas siapa, mengapa ibu ijinkan?”
“Perginya kan siang. Lagipula dia bersama calon kakak iparnya kok.”
“Kalau begitu biar saya menunggu dia saja di sini. Kan
kami sudah janjian.”
“Tidak mungkin Murni berjanji sebelum minta ijin sama
saya Nak. Tolong jangan memaksa. Nak Sartono boleh main ke sini kalau siang. Tapi
tidak boleh mengajaknya ke mana-mana.”
“Ibu ini sangat kolot ya, biarpun tinggal di desa ya
jangan terlalu kolot lah, jamannya sudah maju nih Bu, kalau terlalu dikekang,
anak Ibu bisa menjadi perawan tua lho.”
Bu Lasminah sangat tersinggung mendengar Sartono
seperti mengguruinya.
“Nak Sartono, boleh jadi sampeyan pintar, anak orang
kaya, dan saya hanya perempuan dusun yang bodoh dan tidak berpendidikan. Saya
tidak peduli dunia luar yang penuh kemajuan itu seperti apa, tapi saya punya
aturan bagi keluarga saya. Saya seorang janda, memiliki dua anak gadis yang
harus saya jaga seperti saya menjaga mutiara. Saya melarang anak saya pergi
dengan sembarang orang, apalagi dengan orang yang tidak sopan seperti sampeyan,”
katanya sambil sesekali menuding ke arah wajah Sartono.
“Jadi ibu mengatai saya sebagai orang sembarangan? Ibu
tidak mengenal siapa orang tua saya?” kata Sartono berteriak karena sangat
marah merasa ada orang berani merendahkannya.
“Sampeyan memang bukan sembarang orang karena orang
tua sampeyan punya nama di desa ini. Nama karena kekayaan yang dimiliki, tapi
sikap sampeyan yang melecehkan orang miskin seperti saya ini membuat penilaian
saya terhadap sampeyan menjadi sangat rendah, dan saya menganggap sampeyan
adalah sembarang orang,” kata bu Lasminah dengan berani.
Tiba-tiba Sartono maju selangkah dan dengan keras
mendorong tubuh bu Lasminah sehingga perempuan setengah tua itu jatuh
terjengkang.
“Addduuuhhh..”
jeritnya kesakitan, karena kepalanya terantuk kursi.
“Ini hanyalah pelajaran awal bagi sampeyan, lain kali
saya akan memberikan pelajaran yang lebih keras. Jangan coba-coba meremehkan
saya,” ancamnya dengan mata melotot.
Bu Lasminah memegangi kepalanya, dan berusaha bangun,
tapi Sartono kembali mendorongnya.
“Aduuh….!”
Tiba-tiba sebuah pukulan menghantam tengkuk Sartono,
membuat laki-laki congkak itu terhuyung ke depan. Beruntung bu Lasminah sudah
berhasil bangkit, kalau tidak pasti tubuh kekar itu sudah menindih tubuhnya.
Tapi dahi si sombong itu kemudian terantuk dudukan kursi.
***
Besok lagi ya.
Trimakasih Kembang Cantikku 34 sdh tayang
ReplyDeleteMojok dulu ah...
Matur nuwun, bu Tien.😀
ReplyDeleteTerimakasih bunda Tien
ReplyDeleteMakasih Bunda untuk cerbungnya.Sehat selalu dan met beristirahat
ReplyDeleteYeeesss....
ReplyDeleteYes mb Nani juara 1
ReplyDeleteAlhamdulillah Uti Nani number one
ReplyDeleteSugeng dalu bunda Tien
Matur nuwun
Tetap sehat dan ADUHAI
Asyik
ReplyDeleteAlhamdulillah .....
ReplyDeleteYg ditunggu2 sdh muncul.
Matur nuwun bu Tien
Semoga sehat selalu...
Alhamdulilah
ReplyDeleteLumayaaan
ReplyDeleteNo 11
Alhamdulilah matur nuwun mbak Tienkumalasari sayang salam aduhaai dari Lampung
ReplyDeleteAlhamdulillah KEMBANG CANTIKKU~34 sudah hadir.. maturnuwun & salam sehat kagem bu Tien 🙏
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteSyukron nggih Mbak Tien 🌷🌷🌷🌷🌷🌷
Alhamdullilah..KC 34 sdh tayang..terima msih bunda tien🙏slmr mlm dan slm istrht..lamdusel n lamseroja dri skbmi🙏🥰🌹
ReplyDeletealhamdulilah...KC dah hadir...suwun bunda Tien
ReplyDeleteHoreee tayang
ReplyDeleteTerima kasih bu Tien
ReplyDeleteLoh loh kok kasar sama orang tua.....trims Bu Tien udah menghibur
ReplyDeleteAlhamdulillah, mtr nuwun, sehat selalu bunda Tien . .
ReplyDeleteTerima kasih Bu Tien.....
ReplyDeleteMatur nuwun mbak Tien-ku, Kembang Cantikku sudah tayang.
ReplyDeleteWaduh... terjadi baku hantam lagi. Tapi biarlah yang salah segera seleh.
Salam sehat mbak Tien yang selalu ADUHAI.
Alhamdulillah
ReplyDeleteUntung ada yang nolong, semoga baik² saja.
ReplyDeleteWah kalau itu anak kesasar tenan, jian nontonaké polahé sing kesasar.
Bawa saja ke Polsek tuduh penganiayaan beres.
Baru di bilang Marno; èh bênêr kejadian, orang punya perilaku nggabênêr gitu.
Kalau nggak di proses; kesombongannya nambah, bakalan jumawa, persoalan bisa panjang nich.
Terimakasih Bu Tien,
Kembang cantikku yang ke tiga puluh empat sudah tayang, sehat-sehat selalu doaku, sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
🙏
Matur nuwun , bu Tien
ReplyDeleteAlhamdulillah KEMBANG CANTIKKU 34 telah tayang , terima kasih bu Tien sehat n bahagia selalu. Aamiin.
ReplyDeleteUR.T411653L
Alhamdulillah, terima kasih bunda Tien, salam sehat dan semangat💪💪
ReplyDeleteAlhamdulillah, matursuwun. Salam sehat selalu bu Tien
ReplyDeleteNatur nuwun bunda Tien...🙏
ReplyDeleteTiba-tiba sebuah pukulan menghantam tengkuk Sartono, membuat laki-laki congkak itu terhuyung ke depan. Beruntung bu Lasminah sudah berhasil bangkit, kalau tidak pasti tubuh kekar itu sudah menindih tubuhnya. Tapi dahi si sombong itu kemudian terantuk dudukan kursi.
ReplyDeleteRasain.... tahu rasa loe Sartono.....
Orang sombong, pengin jadi menantu kok sikapnya sama calon mertua begitu ??
Bukannya merayu "Camernya" supaya diijinin anaknya dibawa jalan-jalan....
Alhamdulillah Maturnuwun
ReplyDeletePuji Tuhan, ibu Tien tetap sehat, semangat dan produktip sehingga KC 34 hadir bagi kami para penggandrungnya.
ReplyDeleteSyukur juga karakter kurang baik Sartono ketahuan dini. Semoga membuatnya sadar dari sombong dan kasarnya. Semoga peristiwa ini berhikmah kelancaran hubungan Murti - Marno maupun Wahyudi - Murni.
Matur nuwun, Berkah Dalem.
Alhamdulillah,, Matur nuwun bu Tien
ReplyDeleteWaduh ,,,tambah penasaran,,,
Salam sehat wal'afiat untuk semua ya bu 🤗🥰
Makasih mba Tien.
ReplyDeleteSalam sehat selalu , aduhai
Terimakasih bunda Tien... Selamat tahun baru, mugi semakin sukses dan lancar... Sehat selalu...
ReplyDeleteNano datang...
ReplyDeleteTerima kasih mbak Tien...
Terimakasih bu Tien, semoga bu Tien sehat selalu
ReplyDeleteKeterlaluan anak muda berani menyakiti wanita tua.....
ReplyDeleteMatur nuwun Bu Tien, semoga Ibu sekeluarga selalu sehat penuh barakah, aamiin...
ReplyDeleteBaru. Seperti tahun... Baru.
ReplyDelete