KEMBANG CANTIKKU
04
(Tien Kumalasari)
mBok Tukiyo tertegun mendapat jawaban Wahyudi. Mengapa
dia mengatakan bahwa Sunthi adalah calon istrinya? Dari arah dapur Sunthi
masuk, kemudian menatap ibunya, yang melotot menatapnya. Sunthi menutup mulutnya,
menahan senyum.
“Pasti ulah Sunthi yang membuat Wahyudi merasa seperti
itu. Dassarr!” gerutu mbok Tukiyo dalam hati.
“Tapi saya belum bisa memastikan kapan mau menikahi
dia Mbok.”
Mbok Tukiyo mengangguk.
“Saya mengerti."
“Keadaan saya belum normal. Masih bisa dikatakan
sakit. Saya masih bingung dengan keadaan saya,” kata Wahyudi dengan wajah
muram. Sungguh Sunthi bukan gadis yang disukainya. Ia masih mengingat-ingat,
kapan melamar Sunthi dan ingin menjadikannya calon istri.
“Yaa nak, yang penting kamu sudah mengerti,” kata mbok
Tukiyo kemudian berdiri karena tak tahu harus ngomong apa, lalu beranjak ke belakang.
Dengan mata melotot, dipukulnya bahu Sunthi pelan.
“Apa-apaan kamu itu? Kamu mempergunakan keadaannya
yang lupa ingatan untuk menipu dia? Kalau bapakmu mendengar kamu pasti dimarahi,”
omel mbok Tukiyo pelan, khawatir Wahyudi mendengarnya.
“Iya mbok, kan sebenarnya aku hanya ingin
mengganggunya,” kata Sunthi menahan senyum.
“Aku bisa ngomong baik-baik sebenarnya, jadi kacau.
Kan aku juga malu, dikira sudah tahu kok masih ngomong mau mengambil mantu
lagi.”
“Iya Mbok, maaf,” kata Sunthi sambil mengangkat nasi
dari kukusan.
“Dasar !”
“Tadinya kan aku hanya mau bercanda, tapi tampaknya
aku kemakan candaanku sendiri mbok, kok tiba-tiba bisa jadi suka beneran.”
“Benar kata bapakmu, kamu itu kok tidak malu
mengatakan itu.”
“Kan aku bercanda sih Mbok.”
“Jangan melakukan hal yang tidak pantas. Kamu itu
perempuan. Kalau yang ngomong simbok, beda lagi. Simbok kan orang tua, wajar
kalau ingin mengambil mantu orang yang sekiranya pantas. Tapi bukan kamu yang
kelihatan banget seperti tergila-gila.”
“Lalu dia ngomong apa?”
“Dia tidak mau menikah sekarang. Tunggu kalau
ingatannya sudah pulih.”
“Yaaah, sama saja batal dong Mbok. Kalau dia pulih,
mana mau sama Sunthi. Apalagi kalau dia ternyata sudah punya istri.”
“Memang sebaiknya begitu.”
“Simbok itu mau membantu Sunthi atau tidak sih.”
“Kalau melalui jalan yang wajar, ya tidak apa-apa. Artinya begini,
simbok bilang ingin mengambil menantu, lalu dia mau, itu beda lagi. Kalau
terjadi apa-apa … kan dia juga mau. Lha kalau dia bilang tunggu dulu, ya kamu
harus terima. Dan teruslah berdoa agar ternyata dia masih bujangan, lalu
kemudian suka kamu, walaupun ingatannya sudah kembali.”
“Wah, susah. Tampaknya dia juga tidak suka sama aku,”
kata Sunthi dengan mulut cemberut.
“Lha kalau kamu sudah tahu bahwa dia tidak suka,
kenapa kamu nyosor?”
“Iih, simbok, siapa yang nyosor?”
“Kamu suka kan? Kamu ngarep kan?”
“Tapi itu bukan nyosor Mbok. Kalau Sunthi nekat
ngerayu dia, itu baru nyosor. Sikap Sunthi biasa-biasa saja kok.”
“Biasa, tapi kamu meyakinkan dia bahwa kamu calon
istrinya kan?”
Sunthi tak menjawab, tapi mulutnya cemberut, dan wajahnya
gelap tertutup mendung.
“Dengar ya nduk, sebenarnya simbok suka kalau bisa
menjadikannya menantu. Tidak punya apa-apa juga nggak masalah, nanti kan bisa
bekerja di sawah atau di kebun orang kaya sana.
Tapi simbok nggak mau main tipu-tipu.”
Sunthi meletakkan cething nasi di meja dapur, lalu
mengangkat sayur dan diletakkannya semua di meja. Wajahnya masih cemberut.
Ternyata simboknya tidak mendukung sepenuhnya. Lalu ia merasa bersalah telah
mengganggu Wahyudi dengan omong kosongnya.
***
Siang itu seperti biasa, keluarga Tukiyo makan siang
dengan sayur masakan Sunthi, dan ikan yang baru dibawa Tukiyo, kemudian di
goreng oleh Sunthi.
“Tadi jalan-jalan ke mana Nak?” tanya Tukiyo sambil
makan.
“Cuma di sekitar pedesaan situ, lalu pulang.”
“Kalau mau jalan-jalan, ke arah barat sana, agak dekat
dengan perkotaan. Besok bapak bawain sedikit uang, barangkali dijalan haus, kan
bisa beli es di pinggir jalan.”
“Ya Pak.”
“Eh, jangan jalan jauh-jauh. Nak Wahyudi nanti bingung
tidak bisa pulang,” seru mbok Tukiyo khawatir.
“Ya sudah, besok jalannya bareng saya saja, kalau mau
menyetor ikan ke juragan di pasar.”
“Na, kalau sama Bapak beda lagi,” kata mbok Tukiyo.
Sunthi hanya mendengarkan, wajahnya lebih banyak
menunduk. Ia merasa perasaannya jadi tak menentu setelah mendengar penuturan
simboknya. Ya malu, ya menyesal. Tapi rasa suka itu tidak bisa dihilangkannya.
Salahnya, mengapa wajahmu ganteng banget sih, kata batinnya.
“Kamu kok diam saja sih nduk?” tegur bapaknya.
“Nggak apa-apa kok Pak.”
“Dan lagi, ini ikan gorengmu kok agak ke asinan. Ya kan
Nak?” tanyanya kemudian kepada Wahyudi.
“Iya, sedikit,” jawab Wahyudi tanpa senyuman.
“Katanya kalau masak keasinan itu tandanya pengin
kawin,” canda Tukiyo.
Sunthi mengangkat kepalanya, demikian juga Wahyudi.
“Bapak bisa saja,” keluh Sunthi tersipu.
Tapi Wahyudi mengartikannya lain. Ia merasa keluarga
Tukiyo ingin agar dirinya segera menikahi Sunthi.
“Tapi kalau saya belum ingin menikah kok Pak, tunggu
kalau saya sudah benar-benar waras,” kata Wahyudi.
“Lhoh, siapa yang menyuruh nak Wahyudi menikah? Saya
kan cuma mengejek Sunthi karena menggorengnya ke asinan,” kata Tukiyo tak
mengerti.
Tapi mbok Tukiyo dan Sunthi mengerti, mengapa Wahyudi
berkata begitu.
Wahyudi tak menjawab, ia meneruskan makan sampai
selesai, tanpa mengucapkan apapun.
***
Setelah beristirahat sejenak, Tukiyo menuju ke depan
rumah, mengumpulkan kayu-kayu kering yang diambil dari ranting-ranting pohon, kemudian dibawa ke belakang, supaya mudah kalau Sunthi membuat api untuk
memasak.
Wahyudi yang merasa tak enak, kemudian membantu.
“Kalau kehabisan kayu, saya biasa mencari ke hutan
sana Nak.”
“Kemana?”
“Yang dekat tebing. Banyak kayu-kayu di sana. Tapi ke
sana nya paling hanya dua atau tiga hari sekali.”
“O iya, saya pernah melihat Bapak membawa kayu-kayu
kering dari luar. Mengapa tidak menyuruh saya membantu?”
“Jangan dulu Nak, sampeyan kan baru sembuh dari sakit,
dan tampaknya belum sehat benar.”
“Tapi sekarang saya merasa tidak enak kalau hanya
duduk saja.”
“Baiklah, lain kali bapak ajak nak Wahyudi ke hutan.”
***
Pagi harinya, Wahyudi ikut ke sungai untuk mencari
ikan. Seperti biasanya, dia juga membawa kail, membantu Tukiyo memancing ikan.
Beberapa hari ini memang dia sudah melakukannya. Tapi siang itu, Wahyudi
mengikuti Tukiyo menyetorkan ikan yang didapat ke juragan ikan di dekat pasar.
Saat Tukiyo masih bicara sama juragan ikan itu,
Wahyudi berjalan jalan ke sekeliling tempat itu. Pasar sudah sepi, karena hari
sudah agak siang. Wahyudi terus berjalan tak tentu arah.
Akhir-akhir ini dia sering merasa bingung, karena
berusaha sekuat tenaga untuk mengingat siapa dirinya, belum juga berhasil. Hanya
satu yang diingat dan belum menemukan jawabnya, ialah sebuah nama, Qila.
“Qila … Qila … Qila … Siapa kamu? Wanita berambut
riap-riapan itu, atau gadis kecil yang aku gendong. Tapi tampaknya gadis kecil
itu yang namanya Qila. Aneh, mengapa dia datang dalam mimpiku? Apakah gadis
kecil itu nyata? Atau hanya ada di dalam angan-angan dan mimpiku?” gumamnya
pelan sambil terus berjalan.
Ia berjalan lumayan jauh, dan terkejut ketika
menyadari bahwa tadi dia pergi bersama Tukyo. Namun dia salah jalan, dan tak
bisa menemukan jalan yang tadi dilaluinya.
“Yaah, mana ya tadi jalan pulang? Kok ini tempatnya
ramai, banyak rumah-rumah, tidak seperti rumah pak Tukiyo yang jauh dari
tetangga,” gumamnya.
***
Sementara itu Tukiyo yang sudah selesai menerima
bayarannya, bingung melihat Wahyudi tidak berada di tempat semula dia menunggu.
Memang tadi dia agak lama, karena sang juragan sedang menemui tamunya.
“Kemana dia?”
Tukiyo berjalan ke sana kemari, dan tak menemukan yang
dicarinya.
“Nak, Nak Wahyudi !!” ia berteriak memanggil, berharap
Wahyudi akan mendengarnya lalu datang menemuinya. Tapi tak ada siapa-siapa.
“Mencari siapa Pak?” tanya seseorang yang kebetulan
lewat.
“Anak saya, tadi berdiri menunggu saya disini, kok
sekarang tidak ada?”
“Oh, anak kecil? Kenapa sampeyan meninggalkannya di
jalan, sekarang banyak penculikan anak lho.”
“Dia bukan anak-anak. Sudah dewasa.”
“Oh, kalau sudah dewasa berarti tidak hilang, Pak.
Mungkin sedang beli sesuatu,” kata orang itu sambil berlalu.
Tukiyo ingat, tadi ia memberinya uang.
“Barangkali dia kehausan, lalu membeli minum,” gumam
Tukiyo sambil mencari barangkali ada tukang jual minuman di sekitar tempat itu.
Tapi tak ada. Ada juga tukang jualan makanan, tapi
juga bilang tidak tahu ketika Tukiyo menanyakannya.
Tukiyo berjalan lagi dan berjalan lagi. Tapi Wahyudi
seperti lenyap ditelan bumi.
“Berarti dia sudah pulang lebih dulu,” akhirnya gumam
Tukiyo, kemudian berjalan ke arah pulang.
Tapi betapa terkejutnya ketika ternyata Wahyudi juga
belum sampai di rumah. Kedatangannya justru membuat bingung seisi rumah, lebih-lebih
Sunthi yang takut kehilangan laki-laki yang dikaguminya.
“Mengapa Bapak bisa berpisah dari dia?” tegur Sunthi
sambil melongok ke arah jalan.
“Apa tadi tidak bersama sampeyan sih Pak?” mBok Tukiyo
yang sudah sampai di rumah juga ikut berjalan keluar.
“Aku sedang menyetorkan ikan, lalu membantunya
memasukkan di almari pendingin, sedangkan nak Wahyudi menunggu di luar. Saat
aku keluar, dia sudah tidak ada.”
“Bapak tidak mencarinya, barangkali dia beli sesuatu,
kan tadi bapak bilang mau memberinya uang?” kata Sunthi.
“Aku sudah mencarinya ke sana kemari. Tapi dia tidak
ada.”
“Apa tidak ada yang melihatnya, orang-orang di sekitar pasar sana?”
“Pasar sudah sepi, aku juga sudah bertanya-tanya pada
setiap orang di sekitar sana, tapi tak ada yang tahu.”
“Waduh, dia kan orang bingung. Pasti ke sasar.”
“Gimana ini, aku juga bingung mau mencari ke mana lagi,”
keluh Tukiyo sambil garuk-garuk kepala.
“Dia pasti nggak tahu jalan,” kata Sunthi yang kembali
ke jalan lalu melihat ke kiri dan ke kanan. Tak ada bayangan orang yang
dicarinya.
“Aku mau kembali ke sana, mencoba mencarinya lagi.”
“Bapak makan dulu saja. Kelihatan wajah sampeyan pucat
begitu. Pasti haus, lapar dan juga lelah,” ujar mbok Tukiyo sambil menyiapkan
makan untuk suaminya.
“Iya, baiklah. Aku cuci tangan dulu saja dan makan,
nanti aku cari lagi.”
“Aku ikut,” seru Sunthi.
“Nggak usah, ngapain ikut. Panas-panas begini,” gerutu
mbok Tukiyo.
***
Wahyudi terus melangkah, tanpa sadar bahwa dia berjalan
semakin jauh dari asal dia berjalan bersama Tukiyo. Ia harus bertanya, tapi
nama kampungnya Tukiyo dia juga tidak tahu. Wahyudi merasa sangat lelah. Ia
ingat Tukiyo memberinya uang duapuluh ribu rupiyah. Ia kemudian duduk di
sebuah bangku seorang penjual es, dan memesan segelas es buah sambil bertanya,
takut uangnya kurang.
“Berapa harga segelasnya Pak?”
“Tujuh ribu rupiah Mas.”
Wahyudi mengulurkan uangnya, ia bahkan bingung apakah
uang yang dibawanya kurang atau lebih dari harga es itu.
“Oh ya Mas, sebentar ya kembaliannya, saya ambilkan dulu
pesanan sampeyan,” kata penjual es itu sambil menerima uang yang diberikan Wahyudi.
Wahyudi mengangguk. Ia menunggu pesanannya dengan
perasaan lega karena uangnya masih ada kembaliannya.
Ia melihat ke sekeliling, semuanya tampak asing.
“Aduh, aku harus pergi ke mana ini?”
Wahyudi tersadar dari lamunannya ketika penjual es memberikan segelas
es pesanannya, berikut uang kembaliannya. Ia memasukkan sisa uang ke dalam
sakunya, lalu minum es nya perlahan sambil terus berpikir.
Tiba-tiba ia melihat seorang gadis kecil dengan dua
kucir di rambutnya. Mata Wahyudi berbinar. Apakah itu Qila? Ia meletakkan minuman
yang tinggal separo, kemudian berdiri.
Ia mengamati bocah kecil dengan dua kucir itu, yang
sedang berlarian ke sana ke mari. Sedangkan seorang perempuan berbaju putih
duduk di bawah pohon sambil bermain ponsel. Ia bahkan tak melihat bahwa anak
kecil itu berjalan ke arah jalan.
Wahyudi terkejut karena dari arah kiri sebuah sepeda
motor berjalan dengan kencang. Wahyudi berteriak sambil berlari ke arah bocah
itu.
“Qilaa!!”
Wahyudi menubruk gadis kecil itu kemudian
mengangkatnya, sehingga luput dari terjangan sepeda motor.
“Qila !!”
Perempuan berbaju putih itu terkejut mendengar
teriakan Wahyudi. Ia melemparkan ponselnya dan berlari mendekat.
Gadis kecil itu tertawa-tawa, tidak takut sama sekali
pada orang asing yang menggendongnya.
Bersamaan dengan itu, sebuah mobil memasuki halaman.
Seorang perempuan di dalam mobil itu membuka jendela dan berteriak.
“Kenapa cucuku?”
Perempuan berbaju putih itu pucat pasi. Ia tegak
berdiri di depan Wahyudi yang menggendong si kecil, yang tertawa-tawa memainkan
rambut Wahyudi yang ikal.
***
Besok lagi ya.
Alhamdulillah
ReplyDeleteTerimskasih bunda Tien.. sehat sll ya.. salam Aduhaaai ❤️😘🙏
DeleteAlhamdulillah gasik 🙏🙏
DeleteSelamat Juara baru, jeng Endah
DeleteTerima kasih bunda Tien.
Horéé
ReplyDeleteAlhamdulillah ...trimakasih
ReplyDeleteAlhamdulillah.. sudah tayang🙏🙏😘😘😘
ReplyDeleteMatur nuwun, bu Tien.....Hore..masuk 10 besar
ReplyDeleteYes .....
ReplyDeleteSuwun mbakyu Tien Kumalasari salam sehat dari Cibubur
ReplyDeleteAlhamdulillah matur nuwun.bu Tien
ReplyDeleteSalam aduhai bu Tien, matur nuwun tayang gasik jdi boboknya angler sdh baca cerbungnya.... sehat selalu njih
ReplyDeleteMatur nuwun mbak Tien-ku Kembang Cantikku sudah tayang.
ReplyDeleteWahyudi ketemu Qila dan orang tuanya?? Bagaimana Tukiyo kalau mencari..
Salam sehat penuh semangat mbak Tien yang ADUHAI.
Alhamdulillah, matur nuwun bunda Tien,,,
ReplyDeleteSiapakah kamu,,,,???
Salam sehat wal'afiat semua
Alhamdulillaah dah tayang makasih bunda
ReplyDeleteAlhamdulillah KC sdh tayang... Suwun Bu Tien....😊🙏
ReplyDeleteSalam sehat selalu...
Alhamdulilah , terima kasih bu tien ...salam sehat
ReplyDeleteAlhamdulillah sudah tayang episode 4 Bunga Cantikku
ReplyDeleteTerimakasih bunda Tien Cerbungnya Semoga bunda Tien selalu sehat wal'afiat dan bahagia bersama keluarga tercinta aamiin
Kembang Cantikku
ReplyDeleteMatur nuwun bunda Tien..KC04 telah hadir
ReplyDeleteSalam ADUHAI..🙏
Trims Bu Tien sehat selalu
ReplyDeleteMatur nuwun Bunda
ReplyDeleteAlhamdulillah, mtr nuwun bunda Tien ..
ReplyDeleteBersamaan dengan itu, sebuah mobil memasuki halaman. Seorang perempuan di dalam mobil itu membuka jendela dan berteriak.
ReplyDelete“Kenapa cucuku?”
Perempuan berbaju putih itu pucat pasi. Ia tegak berdiri di depan Wahyudi yang menggendong si kecil, yang tertawa-tawa memainkan rambut Wahyudi yang ikal.
Jangan-2 yang ditolong benar Qila adanya.
Dan perempuan yang berteriak dari dalam mobil itu bu Siswanto.
Semoga mulai terkuak dan tertolong keadaan Wahyudi yang "mungkin hilang ingatan akibat benturan saat jatuh di tebing.
Hanya bunda Tien yang tahu.....
Lannnjoootttttt tetap sabar menunggu, episode berikutnya.
Alhamdulillah.. KC 04 sdh hadir. Terimakasih bunda Tien, salam sehat selalu dan aduhai...
ReplyDeletePuji Tuhan, KC 04 tetap asyik bikin penasaran.
ReplyDeleteSemoga semakin cepat proses dikenalinya Wahyudi, cepat sembuh dan menemukan kebahagiaannya...
Alhamdulillah KC 04 sudah hadir,matursuwun bu Tien
ReplyDeleteSalam sehat selalu
Alhamdulillah KC 04 sudah hadir, terima kasih mbak Tien
ReplyDeleteSalam sehat dan bahagia selalu
Wahyudi sudah ketemu Qila...
ReplyDeleteTerima kasih mbak Tien...
Terimakasih Bunda Tien
ReplyDeleteSalam aduhaiii 🙏🌹
Wah....semoga benar2 Qila yg diselamatkan Wahyudi , dan wahyudi bisa segera ingat semua nya ..bu Tien ,tolong dong Wahyudi ditemukan keluarga Wuri dan Retno kembali
ReplyDeleteLa wong susternya bilang itu penculik ya bubar, angen angen nya Wahyudi;
ReplyDeleteMau jadi malaikat; malah diberi malapetaka yang bertubi-tubi,
Arep entuk prawan Sunthi kok angel, nasib Yud.
Alhamdulillah
ReplyDeleteHatur nuhun pisan bunda Tien KC 4 nya..sdh mulai aga rame jg nih masalah wahyudi.slm sht dan aduhai dri 🙏🌹🥰
ReplyDeleteMakasih bu Tien..br sempat baca..ini terusan Wahyudi masa berjodoh ma Sunti 🤭🤭😇
ReplyDeleteWah sdh jm 22.00 Wahyudi belum muncul2 kemana ya hahaha ,mbak Tien nya libur kah apa sedang ikut nyari Wahyudi?😀😃😃,biar tidak ngantuk humor dikit sembari nunggu Wahyudi nongol.Salam aduhai mbak Tien dari Tegal
ReplyDelete𝐍𝐠𝐢𝐧𝐭𝐢𝐩 ...𝐚𝐡...𝐭𝐞𝐫𝐧𝐲𝐚𝐭𝐚 𝐛𝐥𝐦 𝐭𝐚𝐲𝐚𝐧𝐠..
ReplyDeleteMbak Tien jam 20.00 baru sampai rumah, habis ada acara di Resto Candi Boko ketemuan sama mbak Willa yg dari Amerika.Mungkin agak malam tayangnya, kalo tidak capai.
ReplyDeleteMohon maaf karena bunda capek, maka malam ini KEMBANG CANTIKKUNL_05 LIBUR.
DeleteUntuk anggota WAG PCTK sdh saya tayangkan di grup CINTA & DUSTA 29 Episode. Selamat membaca
Tdk ada kbr dr bu Nur'aini berarti msh harapan tayang 🤗
ReplyDeleteSeneeeng sekali hari ini ketemu bunda Tien, bunda Yanti Yowa,bunda Insi, bunda Iin,bundaYati Bambang, p Yowa, p Bamband, p Tom(suami bunda Tien),terima kasih atas kedatangan ibu2 dan bapak2 hanya untuk bertemu dengan saya! Sangat bersyukur dan bahagia!
ReplyDeleteP E N G U M U M A N
ReplyDeleteTelah Terbit NOVEL CINTAKU DI ANTARA MEGA ( CADM ) karya TIEN KUMALASARI 335 halaman (tayang 25 Juni sd 03 Juli 2020)
Harga Rp, 110,000/eksp
Harga Rp.100.000/eksp untuk pembelian kolektif minimal 5 eksp, belum termasuk ongkos kirim.
Buruan edisi perdana 50 Eksp siapa cepat dapat.
Dapat dipesan :
1. Ibu Tien Kumalasari
082226322364;
2. Ibu Iyeng Santoso
08179226969;
3. Bpk. Djoko Budi Santoso. 085101776038.