ADUHAI AH 51
(Tien Kumalasari)
“Adduuh …” Desy masih saja mengaduh. Danarto
mengangkat tubuhnya, bermaksud membaringkannya di kamar, tapi Desy meronta
minta diturunkan.
“Desy ?”
“Aku mau ke kamar mandi,” katanya setengah berlari ke
arah kamar mandi.
“Hati-hati,” teriak Tindy.
“Kenapa anak itu?” tanya Haryo kebingungan.
Danarto memburu ke kamar mandi, dan menunggu di depan
pintu.
“Desy, kamu tak apa-apa?”
Tak ada jawaban dari dalam. Danarto semakin panik.
“Desy … Jawab Desy.”
“Perutku … sakit …” rintihnya dari dalam kamar mandi.
“Harusnya tidak kamu kunci. Sakitnya bagaimana?”
Tutut ikut mendekat ke kamar mandi.
“Mbak Desy kenapa? Bisa buka pintunya?” teriak Tutut.
Terdengar lenguh kesakitan dari dalam.
“Desy ?”
Lalu agak lama kemudian pintu dibuka, Desy keluar
sambil memegangi perutnya.
Danarto memeluknya.
“Kamu kenapa?”
“Diare …”
“Ya ampuun.”
Danarto mengangkat tubuh isterinya lalu dibaringkannya
di sofa.
“Aduh, mengapa aku digendong?” kata Desy tersipu.
Tutut datang dengan membawa sebotol minyak kayu putih.
Ia membuka sedikit baju kakaknya dan menggosok perutnya pelan.
“Masih sakit?”
“Sudah berkurang, tapi aku diare.”
“Kamu terlalu banyak makan buah, apalagi yang rasanya
masam,” kata Tindy.
“Benar Bu, makan hanya sedikit, makan buah terus.”
“Jangan terlalu banyak.”
Haryo keluar dengan membawa obat diare.
“Ini, diminum dulu obatnya,” kata Haryo.
Tutut menerimanya, diulungkan kepada kakaknya, sambil
mengambilkan minumnya yang ada di atas meja.
Desy bangun, lalu meminumnya.
“Wah, aku merepotkan semuanya,” katanya pelan, setelah
minum obatnya dan meletakkan gelasnya kembali ke atas meja.
“Bagaimana sekarang?” tanya Danarto masih dengan
tatapan khawatir.
“Tidak apa-apa. Sudah mendingan setelah ‘keluar’
semua. Tapi masih terasa tidak enak.”
“Kamu itu dokter, kenapa tidak bisa berhati-hati?”
tegur ayahnya.
“Enaknya hanya makan buah.” Desy membela diri.
“Tapi kan harus bisa mengira-ira,” sambung ibunya.
Desy tertawa kecil, lalu menyandarkan tubuhnya di
sofa.
“Apa kita pulang saja sekarang, supaya kamu bisa
beristirahat?” kata Danarto.
“Ya, baiklah.”
“Kamu sudah tidak apa-apa?” tanya Tindy.
“Tidak Bu, barangkali lebih baik kami pulang dulu dan
beristirahat.”
Tapi saat itu tiba-tiba sebuah mobil berhenti.
Tutut menjenguk keluar.
“Mobil siapa itu?”
Tutut keluar, dan melihat Sarman turun bersama Hesti.
“O, mas Sarman, rupanya.”
Sarman tampak melambaikan tangan ke arah mobil,
kemudian mobil itu berlalu.
“Siapa Mas?”
“Itu mas Lukito, pengacara,” kata Sarman diiringi
Hesti.
“Kenapa tidak mampir?”
“Dia harus mengantar Sita pulang ke rumah kost nya,”
jawab Sarman sambil naik ke teras.
“Ada mbak Desy ya?” Seru Hesti ketika melihat mobil
Danarto di halaman.
“Iya. Ada kabar gembira lhoh,” kata Tutut dengan wajah
berseri.
Sarman dan Hesti menghentikan langkahnya.
“Mbak Desy hamil,” kata Tutut sambil menarik tangan
Hesti, diajaknya masuk ke dalam, di mana semuanya masih berkumpul di ruang
tengah.
“Selamat ya Des,” kata Sarman begitu masuk.
“Lhoh, kok tiba-tiba sudah memberi selamat?” tanya
Danarto heran.
“Sudah ada yang mengabari, tadi. Ikut senang ya Mas,
selamat pokoknya,” kata Sarman menyalami Danarto.
“Hesti sudah sehat?”
“Sudah, tidur terus di jalan,” kata Hesti sambil
duduk.
“Kabar baik kan?” tanya Haryo.
“Baik Pak, tinggal menunggu satu kali atau dua kali
sidang. Semoga hasilnya baik,” kata Sarman.
“Kalian pasti capek. Hesti tidur di sini saja?”
“Ikut kami saja Bu, kami kan mau pulang terlebih
dulu.”
“Oh, baiklah kalau begitu. Hesti istirahat ya, Desy
juga harus istirahat. Kalau ada apa-apa kabari ibu,” pesan Tindy.
“Iya Bu. Kami pamit dulu ya,” kata Desy yang masih
tampak lesu.
“Hati-hati menjaga kesehatan kamu, dan bayimu,” pesan
Haryo wanti-wanti.
***
“Kamu kenapa? Masih memikirkan ibu tiri kamu?”
“Persidangan itu sangat melelahkan, dan juga
menyakitkan,” keluh Hesti dalam perjalanan pulang ke rumah Danarto.
“Mengapa menyakitkan? Bukankah kamu dipihak yang benar?”
“Kasihan melihat ibu …” ucapnya sedih.
“Ya, aku bisa mengerti, kamu sudah menjadi anaknya
dari kecil sampai sebesar ini, tapi aku heran dia punya hati yang berlawanan
dengan hati kamu. Jadi kamu harus melupakannya,” kata Desy.
“Iya sih.”
“Ada sebab, dan ada akibat. Ada tanaman dan ada buah
yang harus diunduhnya,” kata Danarto menimpali.
“Aku tak mau lagi menghadiri sidang itu.”
“Baiklah, tidak apa-apa seandainya kamu tidak hadir.
Saat vonis juga tidak mau?”
“Apalagi itu Mbak, sedih melihat wajahnya yang tampak
kurus dan layu. Tapi matanya masih bisa menakutkan aku. Dia sangat marah.”
“Iya, tentu saja. Tapi kamu harus kuat. Memang itu yang harus diterimanya.”
“Padahal sungguh, aku tidak mau rumah itu. Alangkah
sedih berebut peninggalan nenek. Aku tidak mau.”
“Bagaimanapun itu milik kamu. Kalau kamu tidak mau,
kamu bisa memberikannya kepada orang yang membutuhkan. Wakafkan untuk masjid,
untuk sekolah anak-anak tidak mampu, itu lebih mulia daripada membiarkannya
ditangan orang jahat dan serakah,” kata Danarto.
Hesti mengangkat tubuhnya dari sandaran. Ia terkesan
dengan ucapan Danarto.
“Yaaa, mas. Itu benar. Kalau aku menang dalam perkara
itu, aku akan bicara sama pak RT. Dia pasti bisa mengurusnya.”
“Ya ampun Hesti, ternyata hatimu sungguh bersih dan
mulia. Allah akan mengganjarmu dengan karunia yang berlimpah,” kata Desy dengan
tersenyum senang. Senang karena ternyata Hesti memiliki hati yang baik. Jauh bedanya
dengan Hesti yang dikenal sebelumnya.
“Jangan terlalu memuji aku Mbak. Ini adalah sedekah
untuk nenek dan ayah ibu saya. Semoga Allah menempatkannya di tempat yang mulia
di sisiNya.”
“Aamiin.”
“Tiba-tiba aku ingin persidangan segera selesai, dan
aku bisa melakukan impian aku.”
“Aamiin. Allah sudah mendengar niat baikmu Hesti, dan
para malaikat sudah mencatatnya.”
“Ya Tuhan, aku ingin menangis sekarang. Aku rindu
bapak, rindu ibu, rindu nenek,” isaknya perlahan.
***
Hari terus berjalan, Beberapa bulan berlalu, dan Hesti
benar-benar menunggu saat ia harus mendengar keputusan hakim. Tapi dia tak mau
menghadiri sidang-sidang yang terus berjalan. Ia menyerahkannya kepada
pengacara, dan menunggu bagaimana vonis yang akhirnya bisa dia dengar.
Sore itu ada syukuran di rumah Haryo. Tutut telah
selesai di wisuda. Tindy memesan makanan dari luar yang lebih banyak, karena
Tutut mengundang beberapa teman, dan juga Danis.
Hesti turut berbaur dengan suasana suka cita itu. Ia
tersenyum saat melihat Danis duduk di samping Tutut, yang memangku Nara dengan
wajah berbinar, sedangkan suster Murni membantu menyiapkan segala sesuatunya di
dapur.
Nara yang mulai bisa berjalan, berlari-lari kecil ke
sana kemari, tak mau hanya duduk diam di pangkuan Tutut.
Tutut tertawa lebar mendengar Nara benar-benar
memanggilnya ibu.
Saat semuanya selesai makan bersama, Danis tiba-tiba
mendekati Tutut. Ia ingat, ketika dulu menyatakan cintanya kepada Tutut saat
makan di sebuah restoran, Tutut mencelanya bahwa dia tidak romantis. Ia membaca
beberapa artikel di banyak buku, bagaimana bersikap romantis dalam menyatakan
cinta.
Ditengah suasana riang, tiba-tiba Danis berlutut di
hadapan Tutut, sambil menyerahkan seikat bunga yang sejak tadi telah
dipersiapkan, entah di sembunyikan di mana sebelumnya.
" Hastuti Andayani, maukah kamu menjadi isteriku?”
Suara itu menggema karena sebelumnya semua diam terpaku
menyaksikan ulah Danis yang tiba-tiba berlutut sambil menyerahkan seikat bunga.
Tutut terkejut. Matanya berkejap tak percaya Danis
bisa melakukannya. Lalu terdengarlah teriakan yang hadir, sebuah seruan
yang sama menciptakan suara riuh yang membuat Tutut gemetar.
“Mau … mau … mau …”
Danis terus menunggu. Tutut menatap Danis dengan air
mata berlinang.
“Maaf mas Danis
….”
Danis menahan napasnya. Ya Tuhan, dia benar-benar
menolakku? Jerit batin Danis.
“Kamu menolakku?” bisiknya, dan bunga ditangannya
bergetar karena tangan Danis juga gemetar.
“Maaf mas Danis.”
Danis hampir menjatuhkan seikat bunga yang
dipegangnya, ketika Tutut mengulurkan tangannya untuk meraih bunga itu.
“Aku mau …” katanya malu-malu. Lalu semua yang hadir
bertepuk tangan sangat riuh. Nara yang mendengar suara gaduh itu ketakutan, ia
berlari ke arah Tutut.
“Bu … ibu …”
Tutut merengkuh tubuh Nara, dan menciuminya lembut.
Sebuah cinta yang hampir sampai ke muaranya, ketika
sebelah tangan merengkuh tubuh Nara, dan sebelah tangannya lagi mencium seikat
bunga.
Suara tepukan masih terdengar, tapi Nara sudah merasa
lebih tenang, karena Tutut merengkuhnya di dadanya.
***
Sore itu tanpa diduga Lukito datang bersama Sita,
untuk menemui Hesti yang sedang duduk di kursi pendaftaran pasien.
“Waah, senang melihat kalian seperti ini,” seru Hesti
melihat Sita dan Luki tampak dekat. Entah kapan dimulainya, tapi tiba-tiba
Hesti sudah melihat kedekatan itu dengan nyata.
Sita tersipu.
“Aku hanya mengantarkan mas Lukito,” katanya sambil
duduk di samping Hesti, disusul Lukito yang duduk agak jauh dari mereka.
“Ada kabar baik untuk Mbak Hesti,” kata Luki.
“Ya? Tadi sidang terakhir bukan?”
“Pembacaan vonis. Terdakwa dihukum 8 tahun penjara
karena kesalahannya yang berlapis.”
Hesti menundukkan kepala, berusaha menahan air
matanya. Bukan air mata gembira karena gugatannya dimenangkan, tapi karena ibu
tirinya mendapatkan hukuman.
“Mbak Hesti bisa mengambil semua bukti yang semula
diperlukan untuk persidangan. Perhiasan milik almarhumah, dan sertifikat tanah
dan rumah,” kata Luki pelan, melihat Hesti tampak bersedih.
“Terima kasih Mas,” jawab Hesti pelan.
Minggu depan saya mau ke Surabaya. Sekaligus mau ketemu pak RT. Dia yang akan mengurus rumah itu, semoga bermanfaat,” katanya
pelan.
Lukito terharu melihat kebaikan hati Hesti. Ia tak
bisa mencegahnya. Tugasnya sudah selesai, dan dia sudah mendapatkan wanita yang
dicintainya.
***
Dengan diantar Sarman, Hesti mengurus semuanya. Dia ingin
menemui ibu tirinya di penjara, tapi Sarman melarangnya.
“Jangan lakukan sekarang Hesti, nanti kamu hanya akan
di sakiti, dan kamu akan benar-benar jatuh sakit. Semoga ada kali lain yang
bisa mengendapkan hatinya, dan meredakan kemarahannya sama kamu,” kata Sarman.
Jadi kemudian mereka justru mengunjungi rumah pak RT.
Pak RT merasa sangat terharu melihat kebaikan dan
kemuliaan hati Hesti, yang menyerahkan tanah peninggalan almarhumah neneknya
untuk di wakafkan.
“Saya tidak mengira, hati nak Hesti begitu mulia.
Nanti saya akan berbicara dengan para pemuka agama di sini, untuk memikirkan
penggunaan tempat itu. Mungkin akan dibangun sebuah masjid, karena tanah itu
cukup luas. Tapi saya tidak bisa memutuskannya sendiri.”
“Saya serahkan semua kepada pak RT untuk mengurusnya.”
“Ya nak, terima kasih banyak, dan saya percaya ke
dermaan hati nak Hesti akan dicatat sebagai tabungan untuk meniti jalan ke
jannah Nya.”
“Aamiin.”
Hesti juga memberikan sebentuk cincin untuk yu Sukini,
dan satu lagi untuk bu RT, sebagai rasa terima kasih karena telah membantunya.
“Bagaimana dengan perhiasan yang tersisa ini?” kata
Hesti sambil menatap Sarman.
“Terserah kamu, karena itu milik kamu. Tapi kalau aku
boleh memberikan saran, pakai saja itu untuk bekal kuliah kamu, sehingga kamu
tidak terlalu bersusah payah untuk mencari uang untuk itu.”
“Benar nak Hesti, kelak kalau nak Hesti berhasil dalam
menuntut ilmu, pasti almarhumah nenek juga akan senang. Sudah banyak yang nak
Hesti berikan untuk orang lain dan masyarakat banyak, dan menuntut ilmu juga
sebuah ibadah bukan?”
“Baiklah, saya berterima kasih sekali dan merasa
bahagia, karena ternyata saya tidak sendiri,” kata Hesti sambil mengusap air
matanya.
***
“Desy, kamu tidak apa-apa?” tanya Danarto yang agak
khawatir melihat wajah isterinya tampak kemerahan seperti sedang menahan sakit.
“Aku baik-baik saja, Mas,” jawab Desy sambil melayani
suaminya makan malam.
“Kamu sudah saatnya melahirkan, sebaiknya mulai besok
tidak usah praktek dirumah, dan mengambil cuti. Dari kemarin-kemarin kan aku
sudah bilang bahwa sebaiknya kamu mengambil cuti?”
“Cutinya langsung saja saat melahirkan, supaya bisa lebih
lama merawat bayiku.”
“Tapi kamu tampak kecapekan seperti itu.”
“Iya Mbak, sebaiknya Mbak Desy tidak usah praktek dulu.
Kalau ada pasien biar mas Danarto yang menangani.”
“Iya Hesti, baiklah. Tapi saya merasa masih bisa.
Hanya malam ini aku merasa agak aneh.”
“Aneh bagaimana?”
“Perutku terasa lebih sering kencang-kencang. Apa aku mau
melahirkan ya?”
“Ya ampun Desy, kita ke rumah sakit sekarang.”
“Tapi juga belum sering banget sih.”
“Jangan bandel,” kata Danarto yang kemudian mengambil
kunci mobil dan menyiapkannya di depan.
“Hesti tolong bantu mbak Desy menyiapkan barang yang
harus dibawa ya.”
“Semua sudah aku siapkan di kopor kecil itu.”
“Ayo Mbak, biar aku bawakan tas nya.”
“Tolong kabari ibu ya Hes,” kata Desy sambil berganti
pakaian. Biarpun dokter, tapi kan dia belum pernah melahirkan, jadi ia tidak
begitu menyadari bagaimana sesungguhnya wanita hamil yang mau melahirkan.
“Ya Mbak, Mbak berangkat saja dulu, saya akan
mengabari semuanya,” kata Hesti sambil membawa kopor ke depan, dan
memasukkannya ke dalam mobil.
***
Ditengah malam yang hening, diantara wajah-wajah
gelisah yang sejak berjam-jam menunggu, terdengar lengkingan yang begitu
nyaring. Tangisan bayi yang seakan berteriak, selamat bertemu, dunia.
Kegelisahan itu sirna, berubah menjadi rasa lega dan
tentu saja bahagia. Tak lama kemudian
Danarto yang sejak awal menunggui isterinya di kamar bersalin, keluar sambil
mengusap keringatnya. Wajahnya berseri.
“Aku sudah menjadi bapak,” desisnya dengan air mata
berlinang.
Haryo dan Tindy bergantian memeluknya, disusul Sarman
dan Danis, yang sejak tadi juga ikut menunggui di samping Tutut.
“Selamat ya, Bapak …” kata Danis sambil memeluk sahabatnya.
“Panggil aku mas Danarto,” canda Danarto sambil
tertawa.
“Selamat, Mas Danarto.”
“Bolehkah aku masuk?” seru Tutut yang sudah tak sabar
berdiri di depan pintu.
“Sabar dulu Tut, mbak Desy baru di bersihkan,” kata
Danarto.
Kemudian Danarto masuk kembali, dan keluar sambil
menggendong bayi, semua berebut mendekat.
“Jagoan kecil, ganteng, cepat besar ya,” teriak Tutut.
“Tutut, kamu membuatnya terkejut,” tegur Tindy sambil
membelai pipi cucunya.
Danarto membawa anaknya masuk kembali. Nggendongnya di
samping Desy yang tampak lelah, tapi tersenyum bahagia.
“Terima kasih telah melahirkan jagoan kita, sayang, terima kasih telah melengkapi kebahagiaan kita,”
bisiknya sambil sebelah tangannya mengelus kepala isterinya.
“Ah …” Desy tersenyum, kemudian Danarto membungkuk,
mengecup pipinya mesra.
Aduhai …
***************** T A M A T ***************
Masih ingat Wahyudi? Yuk ikuti kisah si ganteng yang
masih jomblo dalam mengejar cintanya. Ada sedih, ada bahagia.
Seorang gadis dengan seragam SMA nya berteriak ketus.
“Apa? Dia kan sudah tua!!”
Baca kisahnya di KEMBANG CANTIKKU.
BESOK LAGI YA …
Alhamdulillah Cerbung ADUHAI AH Episode 51 sdh ditayangkan bu Tien.... Matur nuwun bunda Tien. Salam SEROJA, dan tetap ADUHAI AH.........
ReplyDeleteYuk kita baca/dengarkan vonis yang dijatuhkan hakim Ketua kepada SRIANI.
Kekek juara 1 lagi......menutup episode 55
DeleteAlhamdulillah
DeleteMatir nuwun bunda Tien dengan cerbungnya yg sangat menghibur.
Selamat bust kakek Habi juara I
Matur nuwun supportnya sebagai penutup balapan di episode terakhir ADUHAI....AH.
DeleteSemua happy hanya satu tidak happy *_SRIANI si manusia serakah_* semoga cerita ini dapat kita ambil hikmahnya.
Matur nuwun bunda Tien.... tetap sehat, semangat dan ADUHAI..........
Alhamdulillah, Terima kasih mbak Tien salam sehat selalu...
ReplyDeleteMakasih bunda
ReplyDeleteAlhamdulillah.. tyt tamat ?🤗
ReplyDeleteSudah tamat. Matur nuwun, bu Tien
ReplyDeleteAlhamdulillah Aduhai Ah...sudah tayang
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteMatur nuwun Bu Tien Kumalasari ,
ReplyDeleteAlhamdulillah ADUHAI-AH 51 telah tayang , terima kasih bu Tien sehat n bahagia selalu. Aamiin.
ReplyDeleteUR.T411653L
Alhamdulillah .. happy end
ReplyDeleteSyukron nggih Mbak Tien ,semoga kita semua sehat Aamiin 🌹🌹🌹🌹🌹
Alhamdulillah telah selesai kisah... Aduhai ah nya... Terima kasih Bu Tien... Selamat malam selamat ber istirahat semoga Bu Tien selalu sehat dan semangat dalam berkarya... Salam seroja tuk kita semua 🙏🙏🙏
ReplyDeleteMatur nuwun mbak Tien-ku, ADUHAI AH sudah tuntas.
ReplyDeleteSudah sesuai dengan keinginan, tinggal menunggu Wahyudi yang baik hati tapi kurang beruntung. KEMBANG CANTIKKU.
Salam sehat mbak Tien, sukses selalu... aamiin.
Alhamdulillah ... sdh tammat
ReplyDeletealhamdulilah.....akhir yg bahagia...
ReplyDeleteAlhamdulilah sudah tamat dg heppy ending, tks bu tien... ditunggu cerbung selanjutnya
ReplyDeleteTerima kasih banyak mbak Tien. Terima kasih.
ReplyDeleteSemoga mbak Tien sehat selalu.
Salam sejahtera untuk seluruh keluarga mbak Tien.
𝐀𝐥𝐡𝐚𝐦𝐝𝐮𝐥𝐢𝐥𝐥𝐚𝐡 𝐭𝐚𝐦𝐚𝐭 𝐬𝐝𝐡 𝐝𝐢 𝐞𝐩𝐬 51.
ReplyDelete𝐌𝐚𝐭𝐮𝐫 𝐬𝐮𝐰𝐮𝐧 𝐁𝐮 𝐓𝐢𝐞𝐧 𝐬𝐞𝐦𝐨𝐠𝐚 𝐢𝐛𝐮 𝐭𝐞𝐭𝐚𝐩 𝐬𝐞𝐡𝐚𝐭 𝐝𝐚𝐧 𝐭𝐞𝐭𝐚𝐩 𝐬𝐞𝐦𝐚𝐧𝐠𝐚𝐭 𝐛𝐞𝐫𝐤𝐚𝐫𝐲𝐚...🙏🙏🙏
Horeee...hapy ending..
ReplyDeleteTerimaksih bu Tien, ditunggu cerita berikutnya.
Salam sehat, salam aduhai..
Bam's Bantul
Sekarang ingat Wahyudi bujang tua mantan mbak Retno putra pak Kartomo yg mata duitan.😀😀😃
ReplyDeleteTrims Bu Tien...,.akhir ceritanya ending semua ,.sehat sehat terus Bu tien
ReplyDeleteTrimakasih bu Tien..
ReplyDeleteAA sudah tamat aduhaiii..
Salam sehat selalu..
🙏🌹😘
Alhamdulillah sdh tamat nih ada lain cerita kembang cantikku
ReplyDeleteAlhamdulillah ending yg membahagiakan, suwun Bu Tien....semoga tetap sehat selalu....Aamiin
ReplyDeleteAlhamdulillah...akhir yg bahagia..
ReplyDeleteNatur nuwun bunda Tien, menunggu KEMBANG CANTIKKU kembali hadir.
Salam ADUHAI selalu...
Alhamdulillah, semua yang berhati baik, berbahagia. Terimakasih bu Tien, kami tunggu KEMBANG CANTIKKU.
ReplyDeleteTerima kasih mbak Tien..
ReplyDeleteTolong buat Wahyudi bahagia, jangan menderita terus...
Alhamdulillah .. maturnuwun mbak Tien .. aduhai ..salam sehat penuh syukur bahagia
ReplyDeleteDengan TAMATNYA Cerbung ADUHAI AH yang tayang mli 18 April 2022 sd 18 Juni 2022, maka mulai 20 Nopember 2018 bunda Tien Kumalasari sudah berkarya 21 CERITA BERSAMBUNG dan 2 GORESAN SEPENGGAL PERJALANANKU dan akan menyusul cerbung KEMBANG CANTIKKU, yang akan membawa kita pada perjalanan WAHYUDI yang ditinggal RETNO yang dikawin paksakan orang tuanya pada SAPTO anak pak SISWANTO.
ReplyDeleteKUMPULAN CERITA BERSAMBUNG DARI BUNDA TIEN KUMALASARI
DARI PERTAMA SAMPAI SAAT INI
🍁🍁🍁☘️☘️☘️💐💐💐
1. SEPENGGAL KISAH, 1 - 151 eps : 20 Nop'18 - 30 Januari'19;
2. SAATNYA HATI BICARA, 1 - 53 eps : 21 Mei -16 Juli'19;
3. SEKEPING CINTA MENUNGGU PURNAMA, 1 - 59 eps: 19 Juli -13 Sept '19;
4. DALAM BENING MATAMU, 1 - 90 eps: 16 Sept' 19 - 19 Jan'20;
5. LASTRI, 1 - 37 eps : 20 Jan - 28 Peb'20;
6. SETANGKAI MAWAR BUAT IBU, 1 – 41 eps : 2 Mar- 16 April ' 20;
7.Kembang Titipan 1 - 31 eps : 18 Apr - 19 Mei'20;
8. LESTARI PUNYA MIMPI, 1 - 30 eps : 21 Mei - 24 Juni'20;
9. CINTAKU ADA DI ANTARA MEGA, 1 - 34 eps : 25 Jun - 30 July '20;
10. BUAH HATIKU, 1 - 31 eps: 1 Agst - 3 Sept '20;
11. BAGAI REMBULAN, 1 - 36 eps : 5 Sept - 19 Okt '20;
12. MASIH ADA YANG TERSISA, 1 - 38 eps : 20 Okt - 21 Nop'20;
13. SEPENGGAL PERJALANANKU, 01 eps : 22 Nop. 2020;
14. SANG PUTERI, 1 - 50 eps : 23 Nop - 16 Jan'21;
15. SEPENGGAL PERJALANANKU, 02 eps : 17 Jan 2021;
16. AYNA, 1 - 44 eps : 18 Jan- 9 Mar 21;
17. JANGAN BAWA CINTAKU, 1 - 47 eps : 11 Maret - 7 Mei 2021;
18. MENGAIS CINTA YANG TERSERAK, 1 - 48 eps : 11 Mei - 10 Agustus 2021;
19. ROTI CINTA, 1 - 52 eps : 12 Agust - 14 Okt.2021;
20. MELANI KEKASIH KU, 1 - 62 eps mli 16 Okt 2021 s/d 28 Des 2021.
21. MEMANG KEMBANG JALANAN ,1 - 50 eps, 31 Des'21 sd 26 Peb'22
22. BUKAN MILIKKU ,1 - 40 eps. 1 Maret 2022 sd 16 April 2022.
23. ADUHAI...AH, 1 - 51 Episode. Senin tgl 18 April 2022
sd Sabtu 18 Juni 2022.
24. KEMBANG CANTIKKU, 1 - Eps;
🍁🍁🍁☘️☘️☘️💐💐💐
semoga bunda
Alhamfulillah....tamat sudah *AH*
ReplyDeleteSuwun ibu...mugi ibu tansah pinarungan sehat
Terima kasih banyak ibu Tien sayang untuk cerbungnya yang aduhai.
ReplyDeleteSemoga ibu Tien sehat selalu ❤❤❤
Terimakasih bund Tien...Aduhai nya...Masih ingat Wahyudi kok semoga segera mendapatkan jodohnya ya... Kasihan... Hehehe..
ReplyDeleteMatur nuwun mbk Tien, akhirnya semua bahagia... ditunggu episode trbarunya. Alhamdulillah mengikuti semua karya2 mbk Tien yg memang aduhaaai ach.....
ReplyDeleteTerimakasih mbak Tien, endingnya sungguh indah. Aku dapat memetik pembelajaran dari kisah ini.
ReplyDeleteKebaikan, kesabaran, dan iklas serta cinta yang tulus ... Membuahkan semua keindahan dan kebahagiaan. Terimakasih sehat selalu untuk mbak Tien dan kutunggu selalu karya mbak Tie
Alhamdulillah, maturnuwun cerbung AA yang kerenn.
ReplyDeleteMenunggu, "Kembang Cantikku".
Alhamdulillah mengikuti karya bunda Tien, "Selamat Pagi Bidadari", yang sekarang sudah episode 8 di NovelToon..
Selalu sehat wal afiat bunda Tien ..
Alhamdulillah ,Matur nuwun Bu Tien
ReplyDeleteMemang Aduhai Ah,,,ceritanya
Wahyudi,,,di tinggal menikah
Akan dapat Kembang Cantiku,,wah jd penasaran
Salam sehat wal'afiat semua ya Bu Tienku
Teruskanlah
ReplyDeleteTerima ksih bunda Tien AA nya sdh berakhir..ditgu cerbung yg barunya..slm sht dan slmt berhari minggu..🙏🌹💖
ReplyDeleteMatur nuwun, mbak Tien.
ReplyDeleteSalam sehat selalu, nggih...
Matur nuwun Mbak Tien sayang. Salam sehat selalu Mbak.
ReplyDeleteEnding yg mengharukan dan membahagiakan...matur nuwun bunda Tien ..
ReplyDelete