ADUHAI AH 41
(Tien Kumalasari)
Tutut heran, anak siapa itu?
Tutut kemudian turun dari mobil, diikuti Hesti.
Dilihatnya Danis menggendong bayi itu dan berusaha menenangkannya. Tapi bayi
itu tetap menangis.
“Nara, diamlah Nara, di mana ibumu ?” kata Danis
bingung, karena dia tak berhasil menghentikan tangisnya.
“Siapa itu Mas?” tanya Tutut setelah dekat.
“Ini … anak isteri .. eh .. bekas isteri aku … “
jawabnya sambil terus mengayun ayunkan bayi itu.
“Dia sendirian? Ibunya ada di sini?” tanya Tutut
sambil celingukan ke sana kemari, tapi tak terlihat seorangpun di tempat itu,
“Coba Mas, biar aku menggendongnya,” kata Tutut sambil
mengulurkan tangannya.
Danis memberikannya, dan membiarkannya Tutut
mengayunkannya pelan sambil mendekap bayi itu ke dadanya.
Tutut tidak punya adik, dan belum pernah merawat bayi.
Tapi ia sering membaca buku, dan tahu bahwa bayi yang rewel harus didekatkan ke
dadanya, dan ditepuk lembut punggungnya, dan Tutut melakukannya, dan berhasil,
dan bayi itu terdiam dari tangisnya.
“Cup, sayang, dimana ibumu?” bisiknya lembut sambil
terus mengayunkannya dan mendekapnya.
Danis terbelalak. Seorang Tutut, gadis manja yang
masih sering merengek apabila menginginkan sesuatu, tiba-tiba muncul sebagai
seorang ibu yang bisa menenangkan tangis seorang bayi. Bahkan bayi yang belum
pernah dikenal sebelumnya.
“Dimana ibunya?” tanya Tutut lagi.
“Aku tidak tahu. Perempuan itu sudah gila, membiarkan
anaknya di sini seorang diri,” gerutunya.
“Barangkali ibunya sedang membeli sesuatu. Bayi ini
tampaknya haus dan lapar.”
“Lihat, di kereta dorong itu ada botol berisi susu,”
tiba-tiba Hesti berteriak, lalu mengambil botol itu yang semula tak
diperhatikan oleh semuanya.
“Ya ampun, ini punyamu? Ayuh minumlah,” Tutut membuka
tutup botol itu dan meminumkannya. Si bayi meminumnya dengan lahap. Tutut
menggendong dan Hesti memegangi botol susunya.
“Kemana dia?” kesal Danis.
“Tak mungkin kalau dia hanya pergi untuk membeli
sesuatu. Ini sudah setengah jam lamanya, dan lihat, bayi ini tertidur.”
“Iya Mbak, dia lapar dan letih menangis, kasihan
benar.”
Danis ingin menelpon Nungki, tapi nomor itu sudah
dihapus dari ponselnya. Dia melihat lagi ke sana kemari, tapi tak melihat apapun.
“Dimana orang tua bekas isteri Mas?”
“Dia di luar kota, tak mungkin mau merawatnya,
suaminya sakit-sakitan, dan ibunya juga tidak begitu sehat.”
“Tapi ini bagaimana?”
“Kita bawa pulang saja Mbak,” usul Hesti yang merasa
iba terhadap bayi itu.
“Benar, ayuh kita bawa ke rumah aku saja.”
Danis kebingungan, Bayi itu bukan darah dagingnya,
tapi di surat kelahiran dia tertulis sebagai anaknya. Tanpa itupun, si bayi adalah
terlahir tanpa dosa dan mana mungkin dia membiarkannya terlantar.
“Aku benar-benar bingung. Perempuan itu benar-benar
tega. Ia mengira aku masih tinggal disini dan pasti akan menemukannya. Ya
Tuhan, seandainya aku tidak harus mengambil laptop yang tertinggal, bagaimana
dengan bayi ini?”
“Ya sudah Mas, untuk sementara biar aku bawa pulang
saja, Mas tahu merk susu yang harus diminum?”
“Ya, aku tahu,” jawab Danis yang masih saja tampak
kebingungan.
“Mas beli susunya, lalu susul kami pulang ke rumah.
Bayi ini biar disana, barangkali suatu hari ibunya akan menjemputnya,” kata
Tutut.
Danis yang tak bisa berpikir apapun, kemudian meng ‘iya’
kan kata Tutut.
“Hesti, kamu bisa memangku bayi ini kan? Ayo kita bawa
dia pulang. Eh, siapa namanya Mas?”
“Kinara, dipanggil Nara.”
“Oh, baiklah, ayo Nara, kita jalan-jalan,” kata Tutut
sambil mencium bayi cantik itu, lalu melangkah ke arah mobil setelah
menyerahkan Nara kepada Hesti.
***
Ketika sampai di rumah, kedua orang tuanya dan Sarman
sudah duduk di ruang makan.
“Kemana saja kamu? Tadi bilang mau makan di rumah kan?”
tanya Tindy ketika melihat Tutut masuk. Tapi semuanya heran ketika melihat
Hesti muncul sambil menggendong bayi.
“Hei, siapa itu? Anak siapa? Kenapa kamu bawa ke
rumah?” teriak Haryo dan Tindy bersahutan.
“Ceritanya panjang, biar aku tidurkan dulu bayi ini di
kamar aku. Ayo Hes, kita bawa ke kamar. Sususnya habis, pasti dia sudah kenyang
dan akan tidur nyenyak.
Tutut dan Hesti berlalu menuju kamarnya untuk
menidurkan sang bayi.
“Heran anak itu. Nemu bayi dimana dia?” tanya Tindy
sambil menyendokkan nasi ke piring suaminya.
“Ada-ada saja. Ayo kita makan, yang ditunggu sudah
datang,” ajak Haryo sambil menyendok sayur.
Ketika kemudian Tutut dan Hesti muncul, mereka
bertambah heran karena melihat Danis berjalan di belakang mereka.
“Lho, ada nak Danis juga?” tanya Tindy.
“Ayo … ayo … kita makan sekalian,” Haryo menawarkan
makan dengan ramah.
“Mboook, tolong tambahkan piringnya lagi, ada tamu
nih,” teriak Tindy .
Sarman berdiri dan menarik kursi tambahan untuk Danis,
yang kemudian duduk di sampingnya.
“Apa nak Danis ada hubungannya dengan bayi itu?” tanya
Tindy.
“Ya sudah, ceritanya nanti saja, sekarang makan saja
dulu. Ayo, Danis," sambung Haryo.
Mereka semua makan dengan nikmat. Danis maupun Tutut
belum ingin bercerita.
***
Semuanya terkejut ketika Tutut menceritakan semuanya.
“Jadi mantan isteri Nak Danis tega membiarkan bayinya
sendirian di sana? Lhah seandainya nak Danis tidak pulang karena ada barangnya
yang ketinggalan, lalu bagaiman dengan bayi itu?” tanya Tindy.
“Sampai sekarang belum diketahui, di mana ibu bayi
itu?” tanya Haryo.
Danis menggeleng.
“Sesungguhnya, mm … mohon maaf kalau saya harus
menceritakan sebuah aib seseorang,” kata Danis ragu.
Danis tampak menghela napas berat, dengan wajah yang
masih diliputi kegelisahan. Tak seorangpun memotong perkataannya. Semuanya
menunggu apa yang akan dikatakannya.
“Kinara, bayi itu, di aktenya tertulis sebagai anak
saya, tapi sesungguhnya dia bukan darah daging saya. Itu sebabnya saya
membiarkan ibunya membawanya pergi. Tapi entah mengapa, tiba-tiba bayi itu
diletakkannya di teras rumah saya, yang sesungguhnya sudah menjadi milik orang.”
“Nak Danis sudah mencoba menghubungi ibunya?”
“Saya tidak lagi memiliki kontaknya.”
“Bu, bolehkah bayi itu tinggal di sini sementara?
Kasihan kalau tidak ada yang merawatnya, sementara mas Danis kan bekerja.”
“Tentu saja boleh, biar simbok membantu merawatnya,”
kata Tindy. Haryo hanya mengangguk meng ‘iya’ kan.
“Kalau boleh menitipkannya di sini dulu, saya akan
mencarikan babby sitter yang bisa dipercaya, setelah dapat biarlah saya rawat
di rumah saya saja.”
“Biar di sini saja Mas,” kata Tutut yang tiba-tiba
merasa sayang kepada bayi itu.
“Tidak Tut, keluarga ini kan sedang sibuk menjelang
pernikahan Desy, jangan sampai kehadiran Nara mengganggu. Siapa tahu juga ibunya
akan mencarinya dan membawanya pergi, itu akan lebih baik bukan?”
“Ya Nak, semoga ibunya sadar. Tak mungkin seorang ibu
akan tega melepaskan anaknya begitu saja.
“Tapi aku suka bayi itu, bisa dibuat mainan,” kata
Tutut seenaknya.
“Tutut, mana bisa bayi dibuat mainan?” tegur ibunya.
“Maksudnya diajak bermain-main,” kata Tutut sambil
tertawa.
“Ya sudah, biar dia di sini dulu Nak Danis, sambil
menanti ibunya, atau nak Danis mencarikan seorang baby sitter.”
“Sebagai dokter di rumah sakit, pasti tidak susah Danis mencari seorang baby sitter yang baik,” sambung Haryo.
Tiba-tiba terdengar bayi menangis. Tutut dan Hesti berlari ke dalam kamar.
“Eh Mas, mana susu nya?” teriak Tutut yang kemudian
kembali, teringat bahwa tadi Danis harus membelikan susu.
“Ini, sampai lupa,” kata Danis sambil membawa tas
plastik berisi susu dan dibawanya ke dalam.
“Nah, rejeki kita berlimpah ruah. Ada penghuni baru lagi
di rumah ini, walau tidak akan lama,” kata Tindy sambil tersenyum.
***
Untuk menutupi kegelisahannya, Danis bermaksud pergi
ke rumah Danarto. Tapi di tengah jalan dia mencoba menelpon bekas mertuanya.
Yang semula dia ragu-ragu melakukannya, sekarang dia mencoba menghubunginya.
Barangkali saja mereka tahu keberadaan Nungki.
Ternyata ibunya yang mengangkat panggilannya.
“Hallo, apa ini Danis?” suara serak dari seberang.
“Ya Bu, saya Danis. Apakah Ibu sehat?” katanya berbasa
basi.
“Ibu tidak begitu baik. Ini sedang ada di rumah sakit,
bapaknya Nungki dirawat, sudah seminggu ini.”
“Memangnya Bapak sakit apa?”
“Kamu seperti tidak tahu saja, sudah lima bulan ini
Bapak sakit-sakitan. Gula darah tinggi, dulu pernah kakinya yang luka hampir di
amputasi. Sekarang sudah baik, semoga bisa segera pulang.”
“Syukurlah Bu.”
“Setelah kalian bercerai, penyakit bapak bertambah
parah. Gula darahnya naik turun. Ini agak lumayan sih. Ibu ingin segera bisa
dibawa pulang, biar ibu merawatnya di rumah. Lagi pula biaya rumah sakit kan
mahal.”
“Iya Bu, saya minta maaf tidak bisa menjenguk.”
“Tidak apa-apa, kamu sudah bukan menantu kami lagi.
Syukurlah kalau masih mengingat bekas mertua kamu ini.”
“Mana mungkin saya melupakannya.”
“Syukurlah.”
“Bu, apakah Nungki ada di rumah Ibu?”
“Nungki? Tidak, dia itu kan semaunya sendiri. Katanya
mengikuti suaminya. Kami sudah lama tidak bertemu.”
Danis bingung. Ia ingin menceritakan perihal Nara yang
ditemukannya tanpa ibunya, tapi di urungkannya, khawatir menambah beban kedua mertuanya
yang keadaannya sedang tidak begitu baik.
***
Mobil Danis meluncur ke arah rumah Danarto. Ia berharap
bisa merasa lebih tenang setelah bertemu sahabatnya.
Danarto terkejut ketika melihat Danis tiba-tiba muncul
di sore hari itu.
Ia sedang membenahi barang-barang yang akan di
usungnya ke rumah baru, supaya tidak terlalu repot ketika ia harus membawa
isterinya ke sana. Ketika mereka pulang ke rumah baru, rumah itu sudah harus
apik dan rapi.
“Ngapain sore-sore kemari? Bukankah kamu sudah pindah
ke rumah baru?” sapa Danarto menyambut sahabatnya.
“Iya, aku sudah selesai mengangkut barang-barang ke
rumah baru. Malam ini aku sudah akan tidur di sana.”
“Syukurlah. Aku malah belum selesai memilah
barang-barang. Tapi tinggal sedikit sih. Mulai besok aku sudah akan mengusungnya
ke sana, sedikit demi sedikit.”
“Iya. Senang sebentar lagi kita bertetangga,” ujar
Danis.
“Hei, tapi aku melihat wajahmu kuyu begitu. Ada
masalah? Tutut menolak kamu?” canda Danarto.
“Kamu nih, bukan soal Tutut.”
“Ada apa?”
“Nungki meninggalkan anaknya di teras rumah lamaku.”
“Haaa?”
“Kebetulan ada satu tas berisi laptopku ketinggalan di
sana. Kebetulan juga Tutut dan Hesti mengajakku makan siang di rumah, lalu aku ajak
mampir dulu ke rumah untuk mengambil laptop itu. Tiba-tiba aku terkejut melihat
bayi menangis di teras rumah. Dia Nara.”
“Ibunya tidak ada?”
“Hampir satu jam aku menunggunya, berharap dia hanya
pergi sebentar, kemudian akan mengambilnya. Tapi ternyata dia tidak datang.”
“Lalu di mana sekarang bayi itu?”
“Di rumah keluarganya pak Haryo.”
“Di sana?”
“Tutut sangat suka bayi itu. Aku heran dia bisa
menenangkannya saat bayi itu menangis tak henti-hentinya.”
“Kamu sudah mencoba menghubunginya?”
“Aku tidak punya nomor kontaknya lagi.”
“Serahkan saja bayi itu kepada neneknya, pasti Nungki
juga pulang ke sana.”
“Aku baru saja menelponnya. Ayahnya ada di rumah
sakit, ibunya juga tidak sedang sehat benar. Dia tidak tahu di mana Nungki berada.”
“Waduh. Lalu apa yang akan kamu lakukan?”
“Bayi itu kan tidak berdosa, walau bukan darah dagingku,
aku tidak akan tega membiarkannya. Besok aku akan mencari baby sitter, biar dia
merawatnya di rumah aku. Nggak enak kalau aku merepotkan keluarga pak Haryo.
Apalagi mereka sedang sibuk mau menikahkan Desy sama kamu, Kan?”
“Bagus lah, itu lebih baik. Tapi jangan-jangan itu akal-akalan
Nungki supaya bisa balikan sama kamu.”
“Tidak. Aku tidak akan mau menerimanya lagi. Dia sudah
pergi dan berterus terang bahwa dia hanya mencintai laki-laki itu. Mana mungkin
aku bisa menerimanya lagi?”
“Rumit ya.”
“Benar. Hidupku sangat rumit. Aku gelisah sepanjang
siang. Aku butuh seseorang untuk berbagi.”
“Aku ikut prihatin. Tapi kamu sudah menemukan jalan
keluarnya, aku senang. Itu yang terbaik.”
“Sekarang aku mau pulang.”
“Tidurlah di sini, kita bisa berbincang sampai malam.”
“Tidak, aku pulang saja. Rumah kamu sudah berantakan
begini.
“Masih ada kasur untuk tidur.”
Tiba-tiba ponsel Danis berdering.
“Nah, mungkin ini dari Nungki yang mencari anaknya,
syukurlah, dia bisa segera mengambilnya,” gumam Danis sambil mengangkat
ponselnya.
“Hallo … apa? Dari kantor polisi?”
***
Besok lagi ya.
Alhamdulillah.....
ReplyDeleteW bu Tien tayangkan.
Terima kasih bunda, salam SEROJA, sehat selalu dan selalu sehat serta ADUHAI.......
dari mas kakek+++++
Horeee...
DeleteAlhamdulillah makin seru ceritanya, salam seroja Bu Tien
DeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDeleteHore
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteMakasih bu Tien
Alhamdulillah. Mtr nuwun bunda Tien . .
ReplyDeleteHoreeee.... Kakek juaranya
ReplyDeleteAlhamdulillah ADUHAI-AH 41 telah tayang , terima kasih bu Tien sehat n bahagia selalu. Aamiin.
ReplyDeleteUR.T411653L
Horeee
ReplyDeleteYeiy om kakek ttp juara ah
ReplyDeleteMatur nuwun mbak Tien-ku ADUHAI AH sudah tayang.
ReplyDeleteMas kakek pakai sepatu roda, jadi cepat larinya.
Alhamdulillah .....
ReplyDeleteYg ditunggu2 sdh muncul.
Terima kasih bu Tien
Semoga sehat selalu
Alhamdulilah..Aduhai ah sdh tayang
ReplyDeleteHatur nuhun bunda Tien..
Salam sayang selalu utk bunda..
Semoga sehat selalu dan bahagia bersama kelg tercinta..
Selamat beristirahat..
Salam aduhai dari Sukabumi..,,,,
Alhamdulillah....Aduhai Ah 41 sudah tayang
ReplyDeleteTerimakasih mbakyu Tienkumalasari dear...sangat menghibur dimalam malam menjelang tidoorku love u
ReplyDeletealhamdulillah
ReplyDeleteTerima ksih bunda Tien sdh tayang AA 41 nya..slm sht sll dan tetap Aduhai Ah dri ๐๐๐๐
ReplyDeleteAlhamdulillah AA41 sudah tayang, terima kasih mbak Tien.
ReplyDeleteSemoga tetap sehat, dan bahagia bersama keluarga. Aamiin.
Maturnuwun
ReplyDeleteAlhamdulillah ...trima kasih bu Tien
ReplyDeleteAA dah tayang ... malam malam baraca ya sadayana ...
ReplyDeleteAlhamdulillah Aduhai Ah 41 sdh hadir
ReplyDeleteTerima kasih Bu Tien, semoga selalu sehat dan bahagia bersama keluarga tercinta
Aamiin Yaa Robbal' Aalamiin
Alhamdulillah AA 41 sdh tayang. Trm ksh bu Tien. Smg Sehat sll.
ReplyDeleteWouww ladalah Danis telpon dari kantor polisi..Nungki pingsan apa di srempet mobil..??
ReplyDeleteKita tunggu saja besok..??
Salam sehat utk Bu Tien...Aamiin YRA...๐๐๐
Yaaa ada apa di kantor polisi..?๐
ReplyDeletejangan²..
ADUHAI AH...matur nuwun bunda Tien? AA 41 telah tayang..๐
Duh mlh tambah rumit hidupnya Danis Ki...
ReplyDeleteTrims Bu tien
Ah, ternyata semakin rumit kisah ini.
ReplyDeleteBu Tien emang heibaat merangkai ide ceritanya, mantapsss... ๐๐
Terima kasih mbak Tien
ReplyDeleteMakasih mba Tien.
ReplyDeleteSemakin seru...
Salam sehat dan selalu aduhai
Wah ada apa lagi dengan danis sampai dicari polisi
ReplyDeleteRupanya ketemu jalan buntu, ada kejadian apa nich, telepon dari Polisi.
ReplyDeleteLho buntu ya, kalau disini buntu itu perempatan, jadi nggak buntu buntu amat, banyak pilihan malah, kalau kuat naik gunung nanti sampai Tirtakencana.
Indah ya; huus Indah sudah ada yang punya.
Tambah masalah rupanya, boleh jadi pacarnya yang pemalak itu berulah.
Ortunya aja bilang itu suami Nungki.
Ada sedikit catatan tentang penitipan anaknya?!
Panti ngkali..
Angan kadang jauh terbang tinggi sampai terlukis indah, memang perlu mimpi untuk kreasi yang indah tercipta.
Tinggal bagaimana mengawali, sadar kemampuan diri sering koreksi; sok tahu.
Daging semua maunya, ya yang enak tรฅ, sayurnya mana, itu yang penting.
Kalau sayur biasa buat cibiran olok-olok; itulah kefatalan bentukan tukang nyinyir, bikin terkunci maunya daging melulu; buas.
Tambah jumawa ya; hรฉ รจh.
Cari teman buat ngelunturin beban pikiran; kasihan jadi tempat sampah.
Biarin, katanya sahabat; nggo sambat yรฅ.
Buat curhat aja; tuh kakรจk nรจnรจk aja buat wa grup, wuih eksis donk.
Ha ha ha ha lansia melenial.
ADUHAI
Asyik juga ya, lumayan buat latihan, gitu kira kira angan dua gadis yang asyik ngurusin bayi.
Tindy bilang; walau tidak akan lama; pembatasan senjata strategis; iya donk sebentar lagi pasti sibuk, mau mantu.
Terimakasih Bu Tien,
ADUHAI AH yang ke empat puluh satu sudah tayang,
Sehat sehat selalu doaku, sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
๐
Aduhai Ah...malam ini makin bikin pinisirin. Mungkinkah Nungki bunuh diri? Atau md karena kecelakaan?
ReplyDeleteMaturnuwun ya mbak.Tien sayang...
Alhamdulillah, matursuwun buTien. Salamsehat selalu
ReplyDeletePas
ReplyDelete