ADUHAI AH 40
(Tien Kumalasari)
Hesti melangkah pelan mendekati ibunya, yang masih
berdiri di teras kamar bekas kamarnya.
“Ibu kira kamu pergi,” kata bu Sriani sambil duduk.
“Hesti di kamar teman. Disitu,” katanya sambil menunjuk ke arah kamar Sita.
Ia agak heran sikap ibu tirinya tidak sebengis kemarin-kemarin. Ia bahkan
tampak tersenyum manis.
“Ibu mau apa?” tanya Hesti takut-takut.
“Aku hanya ingin bilang, bahwa apa yang aku katakan
dulu itu benar. Nenek kamu memberikan semua hartanya, apabila aku mau merawat
kamu di waktu kamu masih bayi.”
“Iya Bu,” kata Hesti pelan.
“Tapi memang hal itu harus disahkan oleh keputusan
hukum.”
“Ya.”
“Jadi, kalau nanti ada persidangan, kamu jangan sampai
mengatakan tidak, karena ini semua adalah nyata,”
“Ya.”
“Jadi kamu mengerti? Jangan membantah disaat
persidangan. Kamu ikhlas bukan kalau aku ikut merawat peninggalan nenek kamu
itu?”
“Ya.”
“Baiklah, aku akan pergi, dan sekali lagi, kamu hanya
boleh bilang iya. Supaya persidangan tidak berbelit-belit dan lama. Ini, aku
beri kamu uang untuk membayar sewa kamar," katanya sambil mengulurkan sejumlah
uang.”
“Tidak Bu, saya sudah tidak menyewa kamar di sini.”
“Kalau begitu pakai saja untuk bayar kuliah kamu, atau
kalau sudah tidak ingin kuliah ya untuk jajan saja.”
“Tidak, terima kasih, saya akan bekerja untuk
menghidupi diri saya. Ambillah semua yang pernah nenek miliki,” katanya sambil
menatap tajam ibu tirinya.
“Oh ya? Benarkah? Aku catat kata-kata itu,” katanya
sambil tersenyum merekah.
Bu Sriani berdiri, lalu melangkah keluar, dan menuju
ke arah taksi yang menunggu.
Hesti menghela napas berat. Begitu serakahnya ibu
tirinya. Dia bahkan tidak bertanya secara jelas tentang kuliahnya, bahkan dia
tinggal di mana sama sekali tidak ditanyakannya pula.
“Ada apa Hes?” tanya Sita sambil mendekat.
“Ibu tiriku sangat serakah.”
“Ibu tiri?” tanya Sita heran, karena Hesti memang
tidak pernah menceritakan perihal ibunya yang ternyata adalah ibu tiri. Ia tak
begitu memperhatikan ketika dokter Desy dan Sarman ada di dalam, dan Danarto
mengatakan banyak hal. Ia kemudian bahkan segera kembali ke kamarnya ketika
melihat Hesti sudah banyak yang mengurusi.
“Iya, memang sebenarnya dia itu ibu tiriku.”
“Oh, pantesan dia amat jahat sama kamu. Tapi awal-awal ketika
dia datang kemari itu kelihatannya baik kan?”
“Ya, lalu karena maksudnya tidak kesampaian, jadi
kelihatan aslinya.”
“Tadi itu kenapa?”
“Ah, entahlah, aku bingung harus berkata apa. Sekarang
aku pulang dulu saja ya, sudah sore.”
“Baiklah, sering-seringlah mampir,” kata Sita ketika
Hesti berpamit pergi. Tapi jauh di dalam hatinya , Sita merasa bahwa ada
sesuatu yang tadi dibicarakan ibunya. Ia melihat wajah Hesti seperti memendam
sesuatu, yang tampaknya tak ingin diceritakannya pada dirinya.
***
Ia masih termangu di depan bekas kamar kost Hesti,
ketika tiba-tiba Sarman muncul di hadapannya. Jantung Sita berdegup kencang,
lebih-lebih setelah Sarman berhenti dan kemudian melangkah mendekatinya.
“Apa Hesti tadi kemari?”
“Belum lama dia pulang.”
“Oh ya?”
“TapI mas Sarman jangan cepat-cepat pulang, aku ingin
ngomong sesuatu.”
Biarpun agak heran, tapi Sarman mengikutinya ketika
Sita mengajaknya ke arah kamarnya, dan memintanya duduk di kursi tamu.
“Ada apa?” tanya Sarman tak sabar.
“Tadi Hesti berpamit pada ibu kost, lalu ketemu sama
aku. Tapi tiba-tiba ibunya muncul.”
“Ibu nya? Bu Sriani ?”
“Iya. Dia datang ke situ, dikiranya Hesti masih ada di
kamar itu,” kata Sita sambil menunjuk ke arah bekas kamar Hesti..
“Apa yang dia lakukan?”
“Entahlah, tapi tadi aku mendengar Hesti mengeluh,
setelah ibunya pergi.”
“Mengeluh bagaimana?”
“Dia tidak mengatakannya secara jelas, tapi dia
bilang, ‘ibu tiriku’ sangat serakah.”
“Dia tidak mengatakan apa-apa?”
“Tidak, ibunya juga tidak lama berada disini.”
“Oh, baiklah, aku pamit dulu kalau begitu. Tadi aku
khawatir, Hesti perginya lama sekali. Soalnya dia belum begitu sehat benar.”
Sita tersenyum tipis. Ternyata begitu besar perhatian
Sarman kepada Hesti. Suka kah Sarman kepadanya? Sementara Hesti hanya
menganggap sebagai kakaknya saja? Ah, entahlah, bisa jadi Hesti juga hanya
berpura-pura. Pikir Sita yang tak yakin harapannya akan terwujud.
Sarman sudah berdiri, Sita mengikutinya dari belakang.
“Mas.”
“Sarman menoleh dan berhenti.
“Ya?”
“Kan Hesti sudah tidak ada disini. Berarti mas Sarman
tidak akan pernah mampir lagi kemari dong.”
Sarman tersenyum. Senyum itu membuat Sita berdebar
lebih kencang.
“Iya, sesekali aku akan datang.”
“Benar?”
Sarman hanya mengangguk, lalu mendekati sepeda
motornya.
Sita berdiri mematung di tempatnya, sampai Sarman
menghilang dibalik pagar.
***
“Hei, mengapa wajahmu kusut?” tanya Desy ketika Hesti
memasuki rumah.
Hesti mencoba tersenyum.
“Capek Mbak.”
“Iya, kan dari siang sampai sore kamu perginya. Ya
sudah, istirahat saja sana. Kamu kan belum sehat benar.”
“Ya Mbak.”
“Eh, tapi tunggu dulu Hesti.”
Hesti yang melangkah masuk ke kamarnya berhenti dan
menatap Desy.
“Ada apa mbak?”
“Maukah kamu besok pagi mulai bekerja?”
Hesti hampir melonjak kegirangan, wajahnya berseri
seketika.
“Benarkah?”
“Kalau kamu kuliah paginya, boleh bekerjanya sore hari
sepulang kuliah.”
“Iya Mbak, kebetulan besok aku tidak ke kampus. Aku
harus bekerja di mana? Sebagai apa?”
“Kamu akan membantu dokter Danarto.”
Hesti masih belum mengerti.
“Membantu bagaimana Mbak?”
“Kamu kan tahu, dokter Danarto akan pindah rumah.
Setelah pernikahan kami nanti pastinya. Nah, dia kan akan membuka praktek di
sana.”
“Aku membantunya di tempat praktek? Tapi aku bukan perawat.”
Desy tertawa.
“Kamu membantu menerima pasien, mencatat keluhan.
Pokoknya nanti dia akan memberi pengarahan, atau aku juga bisa menunjukkannya.”
“Kalau belum praktek mengapa aku harus bekerja besok?”
“Harus banyak yang harus ditata dan di persiapkan di
sana. Menata buku-buku, alat-alat, kartu-kartu pasien. Besok mulailah bekerja.
Kamu mau?”
“Mau, tentu saja mau. Ini membuat aku sangat
bersemangat Mbak.”
“Baiklah. Senang mendengar kamu bersedia
melakukannya. Ini, gaji kamu dibayar dimuka,” kata Desy sambil mengulurkan
sebuah amplop berisi uang.
Gemetar tangan Hesti menerima amplop itu.
“Ini? Gaji aku dibayar sekarang?”
Desy mengangguk sambil tersenyum. Alangkah manis
senyum itu, pantaslah dokter Danarto cinta setengah mati sama dia. Kata batin Hesti.
“Terima kasih Mbak,” kata Hesti sambil merangkul Desy.
Air matanya mengambang, karena haru.
“Berapa saya harus membayar sewa kamar saya?” kata
Hesti setelah melepaskan pelukannya. Desy melotot marah.
“Apa sih kamu. Dengar ya, kamar itu tidak disewakan.
Kamu gratis tinggal disini, karena Tutut juga butuh teman.”
Alasan itu, walau dibuat-buat, sedikit meredakan rasa
sungkan di hati Hesti. Setidaknya ada gunanya dia tinggal. Untuk menemani
Tutut. Begitu ringan dan justru menyenangkan, karena Tutut memang seorang gadis
yang baik dan selalu membuatnya nyaman.
“Pergunakan uang itu untuk membayar uang kuliah kamu.”
Hesti kembali merangkul Desy, kali ini lebih erat.
“Terima kasih Mbak, terima kasih banyak ya … “
“Ya sudah, sekarang mandi dan istirahatlah, kamu pasti
capek.”
Hesti mengangguk, lalu dengan langkah ringan dia
melangkah ke kamarnya.
Sejenak ia melupakan perlakuan ibu tirinya siang tadi,
yang membuatnya kesal. Mana bisa dia harus mengikuti semua kemauannya. Kalau
menuruti kata hatinya, dia ingin menolak, tapi dia sungguh takut melihat mata
bengis dari ibu tirinya. Entahlah, sungguh Hesti tak menginginkan harta
peninggalan neneknya.Tidak.
Hesti mengibaskan ingatan tentang ibu tirinya. Amplop
berisi uang itu lalu dibukanya.
“Duh, mengapa gajiku begini banyak? Ini cukup untuk
membayar dua semester kuliah aku,” gumamnya sambil memasukkan amplop itu ke
dalam tas nya. Ada sesuatu yang membuatnya lega. Bekerja besok pagi. Itu yang
diinginkannya. Mendapatkan uang dari hasil keringatnya.
***
Malam itu setelah makan malam bersama, Desy, Tutut dan
Hesti serta Sarman duduk di teras. Tiba-tiba Sarman menggamit lengan Hesti.
“Tadi siang kamu ketemu ibu kamu kan?”
Hesti terkejut. Demikian juga Desy dan Tutut.
“Benarkah Hesti?” tanya Tutut dan Desy hampir
bersamaan.
“Kok mas Sarman tahu?” tanya Hesti, padahal sebenarnya
ia tak ingin menceritakan pertemuan itu kepada siapapun.
“Ya tahu lah. Benar apa tidak?”
“Iya, hanya sebentar.”
“Untuk apa dia menemui kamu?” lanjut Sarman.
“Dia hanya bilang bahwa hal itu benar.”
“Hal apa yang benar?”
“Bahwa harta warisan itu diserahkan sama dia, oleh almarhumah.”
“Bohong,” kata semua yang hadir di situ, serentak.
“Entahlah, aku tak ingin membahasnya. Aku tak
menginginkannya. Biarlah dia ambil semuanya,” kata Hesti sambil menyandarkan
tubuhnya di kursi.
“Kamu tidak boleh menyerah Hesti. Jangan lemah. Ibu
tiri kamu sedang mengakali kamu, karena kamu tampak polos. Maaf, sedikit bodoh,”
kata Sarman tanpa sungkan.
“Lalu dia bilang apa lagi?” desak Desy.
“Aku bilang, ambil saja semuanya. Dia bilang harus di
sahkan di pengadilan.”
“Lalu …”
“Dia minta kalau ditanya tentang kebenaran surat itu,
aku harus bilang 'iya'.”
“Kamu bilang apa setelahnya.”
“Aku hanya bilang ‘ya’ ….”
“Ya ampun Hesti. Mengapa kamu tidak menentangnya?” kata
Sarman lagi.
“Aku takut Mas.”
“Ini tidak bisa dibiarkan Mas, kalau sidang itu ada,
harus ada yang melawan iblis betina itu,” geram Desy.
“Aku akan mencari pengacara untuk mendampingi Hesti,”
kata Sarman.
“Mas, aku takut Mas,” keluh Hesti.
“Mengapa takut? Kami semua akan ada di samping kamu.
Sudah, tenang saja. Jangan memikirkan masalah itu, sampai sidang itu
benar-benar ada. Kalau tidak, kamu yang harus melaporkannya pada yang berwajib,”
tandas Sarman yang diamini oleh Desy dan Tutut.
“Aku tidak bisa.”
“Kamu bisa. Dengar, kamu tidak sendiri.”
***
Persoalan bu Sriani sedikit terlupakan karena kesibukan saat menjelang pernikahan Desy sudah dekat.
Hesti senang ketika Desy
membawanya ke rumah baru Danarto, dan menunjukkan apa yang harus dilakukannya.
Beberapa rak kosong, yang harus diisi dengan tumpukan buku-buku, dan
kartu-kartu pasien yang ditata rapi. Menata ruang praktek untuk dokter Danarto
dan juga Desy yang terpisah oleh sebuah ruang tunggu.
Siang hari ketika Hesti sedang istirahat, Tutut
menjemputnya.
“Mengapa kesini Mbak?”
“Menjemput kamu.”
“Belum selesai semuanya tuh.”
“Bisa dilanjutkan besok pagi, ayo pulang, makan siang
di rumah saja.”
“Tidak apa-apa ya, kalau aku pulang sekarang? Kan aku
sudah dibayar, mengapa bekerja sebentar kemudian pulang.”
“Tidak apa-apa, mbak Desy yang menyuruh aku menjemput
kamu.”
“Baiklah kalau begitu,” kata Hesti yang kemudian
mengunci rumah baru itu, lalu mengikuti Tutut. Ia memang tak membawa kendaraan
karena tadi Desy yang mengantarkannya.
Tapi saat mobil Tutut keluar dari halaman, dilihatnya
mobil Danis melintas. Melihat ada Tutut, Danis menghentikan mobilnya, tepat di
depan pagar, sehingga Tutut tidak bisa keluar begitu saja.
“Heii, mobilnya menghalangi, tahu,” kesal Tutut.
Danis turun dari mobil.
“Lagi ngapain di sini?”
“Habis bantu-bantu mas Danarto menata rumahnya.”
“Habis ini bantu aku ya? Aku juga lagi pindahan nih.”
“Memangnya rumah mas Danis di mana?”
“Tidak jauh dari sini, kira-kira duaratusan meter
saja.”
“Benarkah?”
“Mau lihat rumah kita juga?” canda Danis.
“Iih, rumah kita?” kata Tutut mencibir.
“Ayolah lihat, sebentar juga nggak apa-apa,” ajak
Danis yang kemudian kembali ke mobilnya.
Tutut yang penasaran akhirnya mau juga mengikuti
Danis.
“Ikut sebentar ya Hes?”
“Iya, nggak apa-apa kok, aku di mobil saja kalau Mbak
nanti turun.”
“Mengapa di mobil saja?” tanya Tutut sambil
menjalankan mobilnya, mengikuti Danis.
“Takut mengganggu,” kata Hesti seenaknya, dan itu
membuat Tutut tertawa keras.
“Mengganggu apanya? Cuma mau melihat rumah barunya dia
saja.”
“Bukankah dokter Danis itu pacarnya mbak Tutut?”
“Hm, kamu anak kecil tahu apa. Tuh, benar dekat dengan
rumah mas Danarto,” kata Tutut sambil menghentikan mobilnya di belakang mobil
Danis.
Mereka turun dan Danis mempersilakannya masuk.
“Tahu-tahu sudah tinggal di rumah baru sih mas?”
“Baru kemarin selesai menata barang-barang.”
“Sendiri?” tanya Tutut yang heran karena rumah itu
sudah bersih dan tertata rapi. Kamar tamu, ruang tengah, dan ada tiga buah
kamar, dimana sebuah kamar sudah ditata dan wangi.
“Ada yang membantu, aku sendiri mana bisa selesai dua
hari? Hei, jangan masuk, itu kamar bujangan,” teriak Danis ketika Tutut
menjenguk kamar pribadinya.
Tutut tertawa sambil menutup mulutnya.
“Siapa juga yang mau masuk, hiih, takut diperkosa dong
aku,” canda Tutut sambil melihat-lihat kamar lainnya.
Danis tertawa.
“Ini dapur, kalau kamu mau memasak, sudah siap
semuanya, alat-alatnya, dan masih baru lhoh semua.”
“Mengapa aku harus memasak di sini? Jadi pembantu
kamu? Ogah.”
“Bukan pembantu, barangkali saja, suatu hari nanti ….”
“Mimpi …”
“Siapa tahu mimpi itu menjadi nyata?”
Hesti yang mengikuti Tutut dari belakang hanya
tersenyum geli mendengar canda mereka.
“Bagus, rumahnya. Kecil, cantik, manis.”
“Manis, seperti orangnya kan?”
“Huh, gula … ‘kali.”
“Tapi kamu suka nggak?”
“Kok nanya sama aku? Gimana Hesti, suka nggak kamu?”
tanya Turut kepada Hesti.
“Kok aku?”
“Kok jadi lempar-lemparan begitu.”
“Ya sudah, aku mau pulang dulu, lapar nih, belum
makan.”
“Makan yuk, aku juga belum makan,” kata Danis.
“Aku mau makan di rumah, simbok tadi sudah masak, dan
wanti-wanti agar aku tidak jajan di luaran. Kalau mas Danis mau, ayo makan di
rumah aku.”
“Benar nih, aku diundang?”
“Benar dong, ayuk, sekarang saja.”
“Tapi mampir ke rumah lama aku sebentar ya, kan
kelewatan.”
“Ngapain lagi?”
“Ada yang ketinggalan, satu tas berisi laptop aku.”
Akhirnya Tutut mengikuti Danis mampir ke rumahnya
dulu, yang memang kelewatan sih.
***
Tutut menghentikan mobilnya ketika Danis turun dari mobil setelah sampai di depan rumahnya. Tutut heran, dan melongok keluar,
ketika melihat Danis menuju rumah sambil berlari. Astaga, ada anak kecil menangis
diatas kereta bayi di teras, sendirian pula.
***
Besok lagi ya.
ReplyDeleteMtnuwun....mbk Tien🙏🙏
Horeee... Matur nuwun Mbak Tien saying.
DeleteTamba kesel ya jeng Nani, dapat juara 1...... Lagi bar pijet refleksi di jl. Gajahmada....uenuk....
DeleteMatur nuwun bu Tien....
ADUHAI AH_40 sdh tayang.
Salam sehat penuh semangat
Alhamdulillah, dibelakang jeng Nani
ReplyDeleteHoooreeee
ReplyDeleteAlhamdullilah sdh tayang AA 40..terima kasih bunda Tien..slmt mlm dan slmt istrahat..salam sayang dan slm sht sll dri skbmi🥰🌹🙏
ReplyDeleteAlhamdulillah .....
ReplyDeleteYg ditunggu2 sdh muncul.
Terima kasih bu Tien
Semoga sehat selalu
This comment has been removed by the author.
ReplyDeleteAlhamdulillah, mtr nuwun bunda Tien ..
ReplyDeleteYaa.... Anak siapa tuh...
ReplyDeleteAlhamdulillah ADUHAI-AH 40 telah tayang , terima kasih bu Tien sehat n bahagia selalu. Aamiin.
ReplyDeleteUR.T411653L
tAlhamdulullah
ReplyDeletealhamdulilah ..akhirnya hadir juga yg ditunggu2 ...suwun bunda Tien...
ReplyDeleteAlhamdulillah ... syukron nggih Mbak Tien🌹🌹🌹🌹🌹
ReplyDeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDeleteTerima kasih Bu Tien semoga sehat selalu.
ReplyDeleteTerima kasih mbak Tien, didoakan semoga sehat selalu.
ReplyDeleteAlhamdulilah Aduhai.. sdh tayang...
ReplyDeleteTerimakasih bunda Tien..
Salam sehat dan bahagia..
Selamat beristirahat bunda sayang..
Matur nuwun mbak Tien-ku, ADUHAI AH sudah tayang.
ReplyDeleteSriani serakah akan dilawan, bagus semoga berhasil.
Danis 'ditinggali' anak.... gimana merawatnya ya.
Salam sehat mbak Tien yang selalu ADUHAI AH.
𝐖𝐚𝐥𝐚𝐡 𝐚𝐧𝐚𝐤𝐧𝐲𝐚 𝐍𝐮𝐧𝐠𝐤𝐢 𝐝𝐢𝐭𝐢𝐧𝐠𝐠𝐚𝐥 𝐝𝐢𝐫𝐮𝐦𝐚𝐡 𝐥𝐚𝐦𝐚𝐧𝐲𝐚 𝐃𝐚𝐧𝐢𝐬....???
ReplyDelete𝐀𝐩𝐚 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐭𝐞𝐫𝐣𝐚𝐝𝐢 𝐤𝐞𝐦𝐮𝐝𝐢𝐚𝐧..??
𝐊𝐢𝐭𝐚 𝐭𝐮𝐧𝐠𝐠𝐮 𝐤𝐞𝐥𝐚𝐧𝐣𝐮𝐭𝐚𝐧𝐧𝐲𝐚 𝐛𝐞𝐬𝐨𝐤 𝐥𝐚𝐠𝐢...
𝐒𝐚𝐥𝐚𝐦 𝐬𝐞𝐡𝐚𝐭 𝐬𝐞𝐥𝐚𝐥𝐮 𝐮𝐭𝐤 𝐁𝐮 𝐓𝐢𝐞𝐧 & 𝐤𝐞𝐥𝐮𝐚𝐫𝐠𝐚..🙏🙏🙏
Njih pak Wid
ReplyDeleteMakin penasaran aj seh
Bunda Tien mang dgn piawainya bikin kita penasaran
Yg pntg bunda Tien ttp sehat doa kita
ADUHAI...AH
Matur nuwun, bu Tien
ReplyDeleteAA dah tayang ... anak saha nya...
ReplyDeleteDalam dialog antara Hesti dan Bu Ariani kok ada sisipan soal Sarman, Danarto, dan Desy? Maksudnya apa ini Bu? Kesusupan alinea dari bagian yang lain ya?
ReplyDeleteItu kan Sita mencerotakan ketika Dedy dan Sarman ada, lalu Danarto bicara banyak hal, dia tidak memperhatikannya. Begitu pak Henri
DeleteSembah nuwun ibu, semula saya agak bingung.
DeleteSuwun ibu.
ReplyDeleteMugi tansah pinaringat sehat njih
Makasih bu Tien.
ReplyDeleteAlhamdulillah ADUHAI AH Episode 40 sudah tayang, matur nuwun mbak Tien Kamalasari.
ReplyDeleteSemoga tetap sehat, bahagia bersama keluarga, dan selalu dalam lindungan Allah SWT. Aamiin Yaa Robbal Alamiin.
Alhamdulillah
ReplyDeleteMatur nuwun bu Tien
Aduhaii ah,,,
Salam sehat wa'afiat semua ya bu Tien 🤗🥰
Alhamdulillah AA 40 sdh hadir
ReplyDeleteTerima kasih Bu Tien, semoga selalu sehat dan bahagia bersama keluarga.
Aamiin Yaa Robbal' Aalamiin
Alhamdulillah.....
ReplyDeleteADUHAI AH 40 dah tayang mksh bu Tien smoga sht sll slmat mlm slamat beristirahat
Ha ha ha ha
ReplyDeleteTiap akhir tulisan sebelum tiga kata terakhir kok mesthi bikin ngakak..
Mimpi jadi kenyataan, seperti katanya.
Nyatanya belibet, nggak habis habis; ada aja gangguannya.
Nungki mumêt, anak dibuang.
Kaya jin buang anak, wong setres.
Danis aneh juga, mbok sudah Nungki dan anaknya dikembalikan ke ortunya, bilang baek², lha ini bayi buat bal balan.
Kon mèlu mumêt karepé mbahé bayi, Danis kok ya mau-maunya, wah runyem.
Itukan pengakuan Danis, dibalik itu nggak tahu.
Repotnya jadi orang baperan.
Ini lagi; dua gadis yang ngikutin justru menyalahkan Danis kalau membiarkan bayi dalam keadaan begitu.
Kemaren² nggak cerita kekisruhan rumah tangganya.
Nggak tahu persis kalau bayi itu bukan darah dagingnya.
Ini Sarpåkenåkå dengan lembut mengharapkan nanti Hesti disuruh bilang 'iya' saja di pengadilan nantinya;
Sarman pasang kuda² mau carikan pengacara, yang sebelumnya lapor pengaduan ke polisi, menyeret beberapa saksi tetangga sekitar rumah nenek Mintarsih.
Semoga berhasil menyelamatkan hak waris nya.
Terimakasih Bu Tien,
ADUHAI AH yang ke empat puluh sudah tayang.
Sehat sehat selalu doaku, sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
🙏
Alhamdulillah.
ReplyDeleteSemakin ADUHAI AH
ReplyDeleteAlhamdulillah,matursuwun bu Tien
Salam sehat selalu
Trims Bu tien
ReplyDeleteAlhamdulillah AA40 sudah tayang, terima kasih mbak Tien.
ReplyDeleteSemoga tetap sehat, dan bahagia bersama keluarga. Aamiin.
Nah loh siapa baby itu..jng² anknya .?
ReplyDeletematurnuwun bunda Tien...
Horeeeee....tayang😀
ReplyDeleteTerimakasih mbak Tien...sangat menghibur dimalam malam menjelang tidoor
Terima kasih mbak Tien...
ReplyDeleteWadduh,ini akal²an Nungki lagi kali ya.
ReplyDeleteMakasih mba Tien.
Salam hangat selalu aduhai
Tambah aduhai saja di episode 40 ini. Terimakasih mbak Tien
ReplyDeleteTambah aduhai saja di episode 40 ini. Terimakasih mbak Tien.
ReplyDeleteDitunggu ya AA EPS.41 pasti lebih seru lagi
ReplyDeleteEpisode menunggu
ReplyDeleteMenunggu juga
ReplyDeleteHmmm...itu bayinya Nungki ya, ditinggal begitu saja...duh, eror ya si Nungki
ReplyDelete