BUKAN MILIKKU 24
(Tien Kumalasari)
“Apa itu isterinya?” tanya Wuri, agak keras.
Wahyudi menggeleng.
“Ssst, jangan keras-keras,” bisik Wahyudi.
Tapi terlambat. Perempuan yang digandeng pak Kartomo
rupanya mendengar, lalu menoleh.
“Eh, tuh mulut jangan usil. Memangnya apa urusan kamu?”
kata perempuan itu sambil berhenti melangkah.
“Siapa yang usil? Aku kan hanya bertanya. Kalau mau ya
jawab saja. Gitu saja kok repot,” kata Wuri dengan masih tetap mengunyah kacang
rebusnya.
“Ssst, Wuri.”
Pak Kartomo menarik tangan perempuan itu, diajaknya
menjauh. Tapi ketika matanya menatap kearah Wahyudi, dia terkejut. Apa lagi
ketika Wahyudi menganggukkan kepala kepadanya.
Pak Kartomo segera menarik tangan perempuan itu dan diajaknya
menjauh dengan cepat.
Perempuan itu menoleh ke arah Wuri dengan tatapan mata
marah.
Tapi dengan konyolnya Wuri meleletkan lidahnya,
sehingga Wahyudi terpaksa menepuk lengannya keras.
“Aduuhh. Mas Yudi kenapa sih, sakit, tahu!”
“Kamu seperti anak kecil saja, suka membuat keributan.”
“Siapa membuat keributan? Aku ngapain coba, cuma
bertanya kan? Lha kok dia marah-marah. Bingung dia, nggak tahu bagaimana
caranya menyembunyikan dosanya.”
“Ya sudah, kalau tadi pak Krtomo tidak langsung
menariknya untuk pergi, pasti akan menjadi lebih heboh lagi.”
“Tapi aku heran deh, pak Kartomo itu sudah bukan anak
muda lagi, kok gayanya seperti anak muda saja. Jalan-jalan berdua di taman,
sama bukan isterinya pula. Kasihan sekali ibunya mbak Retno ya Mas. Kalau
sampai tahu akan perbuatan suaminya, pasti terjadi perang itu nanti.”
“Pastinya. Tapi kalau ketahuan, kalau enggak … ya
tenang-tenang saja. Bu Kartomo itu orangnya baik, sabar, lembut hati.”
“Aku ingin sekali ketemu bu Kartomo dan menceritakan
semua itu.”
“Eh, jangan Wuri. Apa-apaan sih kamu?”
“Kasihan dong kalau tidak diberi tahu.”
“Perbuatan yang tidak benar itu pasti nanti akan
ketahuan juga. Tapi jangan kamu yang mengatakannya. Allah akan menunjukkan
jalannya.”
“Hm, aku nggak sabar.”
“Kamu harus belajar sabar. Ingat, kamu itu bukan anak
kecil lagi. Sudah pantas punya suami, jadi harus belajar menjadi lebih dewasa.
Lebih sabar, lebih pengertian. Tapi kamu itu sebenarnya sudah baik. Pengertian
dan baik hati. Hanya cerewetnya itu.”
“Aku itu kalau nggak cerewet nggak rame dong, dunia
menjadi sepi. Eh tadi Mas bilang apa? Aku sudah pantas punya suami? Benarkah?”
“Benar dong, sudah punya pacar belum?”
“Mana bisa aku punya pacar. Kemana-mana aku seringnya
sama Mas Yudi, pasti banyak yang mengira aku pacar Mas Yudi.”
“Memangnya nggak mau jadi pacar aku?”
“Ya enggak lah.”
“Awas ya, jangan bilang aku sudah tua lagi, aku jewer
telinga kamu nanti.”
“Nggak, aku lagi nggak pengin bilang begitu. Aku tuh
kalau punya pacar, penginnya yang seperti adik iparnya Mbak Retno itu.”
“Apa?”
“Dia itu, sudah ganteng, baik hati, murah senyum.”
“Jangan-jangan kamu jatuh cinta sama dia.”
“Bukan. Mana berani aku jatuh cinta sama orang kaya?
Mimpi ‘kali. Aku cuma bilang yang seperti dia.”
“Memangnya nggak boleh jatuh cinta sama orang kaya?”
“Bukannya nggak boleh, cuma nggak berani saja.”
“Tapi cinta itu kan datang semaunya tanpa diundang.
Siapa yang menyalahkan seseorang yang jatuh cinta walau tidak sederajat?”
“Tidak ada yang menyalahkan memang, tapi kalau salah
menempatkan cinta itu, bisa-bisa akan sakit nantinya. Sakit kalau ditolak,
paling tidak.”
“Kan orang jatuh cinta itu harus siap patah hati?”
“Hm, ngomong itu gampang. Buktinya, mas Yudi juga
merasakan sakit ketika putus cinta kan?”
“Jadi kamu tahut patah hati?”
“Takut. Aku melihat mas Yudi jatuh bangun seperti itu
saat kehilangan orang yang dicintai. Lalu aku berjanji akan hati-hati dalam
menjaga perasaan aku.”
“Kejadian yang menimpa aku itu, bukan karena aku tidak
hati-hati. Tapi karena takdir. Siapa sangka, rencana menikah yang sudah hampir
sampai pada titiknya, tiba-tiba hancur begitu saja.”
“Ya, benar. Takdir.”
Wahyudi diam, menatap langit diujung barat yang
memerah jingga, menghantarkan sang matahari ke peraduannya di senja itu. Alam
disekelilingnya menjadi semakin redup, karena kegelapan mulai merangkak
menyelimuti bumi. Dilangit sana, hanya tersisa secercah sisa merah, yang tak
mampu membuat alam menjadi cerah. Dulu bersama Retno, ia selalu menikmati senja
yang terasa indah, lalu berjalan menyusuri keramaian kota, menuju pulang dengan
berjalan pelan, tanpa merasa lelah. Wahyudi menghela napas, berharap semuanya
adalah mimpi, tapi kemudian dia sadar bahwa ini adalah nyata. Takdir yang harus
diterimanya, dan dijalaninya. Mengayuh hidup tanpa bisa merengkuh cintanya,
tanpa jawab, apa yang menunggunya di muara sana.
“Hei, sudah mulai gelap, ayo pulang,” tiba-tiba Wuri
berdiri dan berjalan ke arah tong sampah yang ada didekatnya, untuk membuang
kulit-kulit kacang yang sudah habis disantapnya.
Wahyudi tersadar, iapun berdiri dengan rasa lelah,
lalu melangkah kearah dimana sepeda motornya diparkir, lalu menuju pulang
dengan Wuri di boncengan.
Wuri tak mau mengganggu. Ia tahu Wahyudi belum
sepenuhnya bisa melupakan Retno. Pembicaraan yang menyinggung nama Retno,
selalu membuatnya sedih.
“Besok aku kembali ke Jakarta,” kata Wahyudi ketika mengantarkan
Wuri pulang.
“Ya, selamat jalan, aku tak bisa mengantarkan Mas,
karena pagi-pagi harus membantu ibu.”
“Tidak apa-apa. Aku terbiasa sendirian,” katanya
sendu.
“Jangan sedih, nanti akan ada Retno lain yang akan
menghibur Mas,” kata Wuri bersungguh-sungguh.
“Aamiin,” Wahyudi tersenyum kemudian berlalu. Wuri
menatapnya iba. Wahyudi sudah seperti kakak kandungnya. Kesedihan Wahyudi, membuatnya
merasa sedih juga.
***
Dan di senja itu pula, pak Kartomo juga sudah kembali
ke rumah. Dia pergi sejak pagi, dan bu Kartomo selalu membiarkannya. Kebiasaan
baru pak Kartomo ialah pergi entah kemana, dan pulang entah kapan. Ia juga
jarang makan masakan isterinya, yang setiap ditanya selalu mengatakan bahwa ia
sudah makan di warung.
“Setiap hari makan di warung, apakah bukan pemborosan?”
tegur bu Kartomo.
“Tidak seberapa. Boleh dong, sesekali bosan makan
masakan rumah,” jawabnya enteng.
“Dari mana Bapak mendapatkan uang? Bapak bukan hanya
sering makan di warung, tapi juga suka merokok.”
“Kamu tidak perlu bertanya dari mana uang yang aku
dapatkan. Yang penting itu uang halal, bukan dari hasil mencuri atau menipu.”
“Ibu hanya heran.”
“Kamu itu kurang pergaulan, sedikit-sedikit heran.”
“Ya sudah sana, aku mulai pusing, bau rokok.”
“Kamu itu tidak tahu ya, laki-laki kalau merokok itu
kelihatan gagah.”
“Gagah apanya. Badannya kurus ceking begitu, siapa
bilang gagah.”
“O, menghina ya kamu Bu. Aku ini jelek-jelek begini
masih digandrungi perempuan, tahu,” kata pak Kartomo sambil melangkah pergi.
Bu Kartomo menutup mulutnya dengan sebelah tangan
manahan tawa mendengar kesombongan suaminya. Geli saja membayangkan suaminya
digandrungi perempuan. Perempuan mana yang gandrung sama laki-laki kurus kering
yang tidak pernah rapi dalam berdandan.
Dan pak Kartomo yang kebetulan menoleh, melihat
isterinya cekikikan yang ditahan.
“O, belum tahu dia,” gumam pak Kartomo sambil masuk ke
dalam kamarnya.
Tentu saja bu Kartomo tidak tahu, bahwa dia bisa
memikat perempuan dengan uangnya. Entah apa jadinya kalau uangnya nanti habis,
tapi pak Kartomo kan tidak pernah kehilangan akal? Akal bulus, maksudnya.
***
Hari itu bu Kartomo mendapat pesanan makanan untuk
sebuah tasyakuran. Lumayan banyak sih, ada seratus kotak nasi dan lauknya. Bu
Kartomo harus meminta tetangga untuk membantunya kalau pesanannya banyak. Tapi
dia selalu belanja sendiri untuk semua keperluannya.
Pagi-pagi sekali bu Kartomo sudah berangkat ke pasar.
Ia harus membeli daging dan sayuran untuk keperluan itu. Karena belanjaannya
terlalu banyak, bu Kartomo harus mencari becak. Ia menenteng belanjaan yang
lumayan berat sebelum mendapatkan becak. Ia juga harus membeli beberapa kilo
beras.
Tiba-tiba seseorang berteriak.
“Bu … bu, ada yang jatuh.”
Bu Kartomo berhenti melangkah, menurunkan keranjang
belanjaannya yang terasa berat, lalu menoleh ke belakang. Seorang gadis
bergegas mendekatinya sambil menenteng sebuah bungkusan.
“Ini Bu, jatuh didekat penjual tahu tadi,” kata gadis
itu.
“Ya ampun, terima kasih ya nak. Itu bungkusan daging,”
kata bu Kartomo sambil menerima bungkusan daging yang lumayan banyak. Tapi bu
Kartomo terkejut, ia seperti mengenal gadis itu.
“Bu Kartomo ya?” rupanya gadis itu lebih dulu
mengenalinya.
“Lhoh, ini kan nak … siapa ya … duh, ibu lupa.
Tetangganya nak Wahyudi kan?”
“Iya Bu, saya Wuri.”
“Ya … ya, Nak Wuri. Namanya orang tua, banyak lupanya.”
“Ibu belanja banyak sekali?”
“Iya nak, kebetulan ada pesanan besok pagi, jadi harus
siap-siap hari ini.”
“Ibu naik apa?”
“Nanti sampai di luar Ibu mau mencari becak saja.”
“Mari saya bantu membawa sebagian belanjaannya Bu.”
“Sudah Nak, merepotkan saja.”
“Tidak apa-apa Bu, kan sudah hampir sampai di luar,”
kata Wuri sambil menjinjing salah satu tas belanjaan bu Kartomo.
“Terima kasih lho nak, Ibu jadi merepotkan,” lata bu
Kartomo setelah sampai di luar pasar.
“Tidak Bu, sungguh tidak merepotkan.”
“Nak Wuri mana belanjaannya?”
“Saya sudah pesan Bu, tinggal ambil. Ibu saya kan jualan
masakan matang, biasanya pesan bahan belanjaan melalui WA bu, lalu
saya tinggal ambil.”
“Oh, praktis ya Nak, tidak perlu muter-muter.”
“Iya Bu. Kalau Ibu perlu, bisa minta nomor kontak
langganan ibu yang jualannya lengkap, jadi Ibu tinggal ambil seperti saya.”
“Tidak bisa begitu Nak, Ibu kan tidak setiap hari
dapat pesanan. Biasanya tidak belanja kemari, tapi di pasar dekat rumah saja.
Ini karena agak banyak, dan disini kan kabarnya murah.”
“Memang murah Bu, karena pasar ini tempat para penjual
sayur kulakan.”
“Iya nak, sayangnya tidak setiap hari harus belanja
banyak. Nah, itu ada becak,” kata bu Kartomo yang segera melambai ke arah salah
seorang tukang becak, maksudnya biar membantu membawa belanjaannya ke atas
becaknya.
“Ibu pamit dulu ya nak.”
“Hati-hati ya Bu.”
Wuri menatap bu Kartomo yang mengangkat salah satu tas
belanjaannya, sementara dua tas lagi diangkat oleh si tukang becak.
“Isterinya bekerja begitu berat, sempat-sempatnya
suaminya main perempuan. Banyak duit barangkali,” gumam Wuri sambil kembali
masuk ke pasar untuk mengambil belanjaannya.
Wuri sudah hampir membuka mulutnya tadi, untuk mengatakan
apa yang dilihatnya tentang ketemunya dengan pak Kartomo, tapi diurungkannya karena teringat pesan Wahyudi yang melarangnya
membicarakan hal itu kepada bu Kartomo seandainya bertemu. Dan ini tanpa
sengaja bertemu, tapi Wuri harus menutup mulutnya.
***
“Ada pesenan banyak Bu?” tanya pak Kartomo ketika
melihat ada kesibukan di dapur.
“Ya, bu Samirin syukuran, puteranya habis khitan.”
“Banyak dong duit Ibu.”
“Banyak lah, tapi ini bener-bener duit halal, dari
hasil kerja dan tetesan keringat aku.”
“Wah, boleh dong bagi-bagi.”
“Bukankah Bapak sudah bisa mencari sendiri? Bukan dari
mencuri, menipu atau berjudi? Berarti jatuh dari langit dong. Mana bisa orang nggak
bekerja bisa punya uang?”
“Kamu tahu apa. Ya sudah, nggak jadi minta, aku masih
punya uang,” katanya sambil ngeloyor pergi.
Bu Kartomo membiarkannya. Ia kembali ke dapur dan
melanjutkan memasak, dibantu salah seorang tetangganya yang memang sering mambantu
saat bu Kartomo sedang repot.
“Dagingnya sudah empuk Bu, santannya dimasukkan ya,”
kata bu Rus tetangga yang membantu.
“Iya bu, masukkah saja, tapi jangan lupa harus sering
diaduk agar santannya tidak pecah.”
“Setelah ini kentang yang untuk sambal goreng digoreng
dulu kan?”
“Benar bu, ini saya potong-potong dulu kentangnya.”
“Masakan Bu Kartomo ini enak sekali lho.”
“Ah, masa sih Bu Rus, namanya memasak kalau bumbunya
sama juga akan sama enaknya.”
“Tidak begitu Bu Kartomo, walau bumbunya sama kalau
tangan yang memasaknya berbeda, rasanya juga akan berbeda.”
“Oh ya?”
“Ibu-ibu di kampung kita sering membicarakan masakan
Ibu lho. Mereka bilang enak, lebih enak dari makanan yang dijual yu Semi.”
“Masa? Yu Semi kan sudah terkenal. Tukang jualan
makanan matang sejak lama.”
“Akhir-akhir ini kata orang, rasanya berbeda.”
“Masa ? Saya
sih jarang beli makanan di yu Semi, lebih suka masak sendiri, lebih irit.”
“Tapi pak Kartomo suka makan diwarungnya yu Semi lho.”
“Oh ya?”
“Ibu tidak tahu ya, banyak gosip beredar, kabarnya …
eh, tapi maaf ya bu … kabarnya yu Semi itu pacaran sama … sama … eh … maaf ya
bu, sungguh saya kelepasan bicara.”
“Bu Rus ini mau ngomong apa sih? Ngomong saja, mengapa
ragu-ragu?”
“Nggak Bu, takut saya. Nanti saya dikira mengadu.”
Bu Kartomo semakin penasaran karena bu Rus seperti
sudah kelepasan bicara, tapi kemudian menyembunyikan sesuatu.”
“Kalau tadi Bu Rus tidak ngomong apa-apa, saya tidak
apa-apa. Tapi kan tadi sudah kelepasan bicara, mengapa tidak di lanjutkan? Yu
Semi pacaran sama suami saya?” kata Bu Kartomo menebak-nebak.
Bu Rus mengaduk aduk santan di wajan, mencegah agar
santannya tidak pecah dan itu mengurangi kelezatannya.
“Benar ya Bu?” bu Kartomo mendesak.
“Tapi sungguh ya Bu, saya minta maaf.”
“Jadi benar?”
“Kabarnya sih begitu. Setelah tutup warung di sore
hari, mereka sering jalan berdua. Dan pak Kartomo itu sangat royal lho bu.”
Bu Kartomo menghela napas, menahan nyeri yang menyesak
dadanya. Tapi dia menahan perasaannya, melanjutkan memasak karena besok pagi harus
sudah siap.
“Besok pagi Bu Rus masih membantu saya kan? Menata
lauk di kardus-kardus,” katanya seakan tak merasakan apapun mendengar suaminya selingkuh.
“Iya Bu, pasti saya datang pagi-pagi. Setelah subuh
saya sudah ada disini Bu. Tapi benar ya, Bu Kartomo tidak marah sama saya?
Sungguh saya tadi kelepasan bicara.”
“Tidak apa-apa Bu, jangan dipikirkan. Ini kentangnya
sudah selesai, Bu Rus tinggal menggoreng, saya akan membuat bumbunya.”
“Baiklah Bu.
***
Bu Kartomo menghitung pembayaran uang setelah
mengirimkan pesanannya, lalu menyisihkannya untuk belanja harian, dan menyimpan
keuntungannya di suatu tempat, dijadikan satu dengan pemberian uang belanja
dari Retno beberapa minggu yang lalu.
Ia membuka almari, dan membuka kotak bekas roti yang
dipergunakan untuk menyimpan uangnya. Tapi tiba-tiba bu Kartomo terkejut,
uangnya berkurang banyak. Lebih separonya.
Ia mengambil kotak uang itu dan kembali menghitungnya
diatas kasur. Wajahnya memerah menahan marah.
***
Besok lagi ya.
Naah...Kastomo mulai bergenit ria
ReplyDeleteSelamat mbak Iyeng juara 1
DeleteWow mb Iyeng yes
DeleteSelamat buat jeng dosen Juara 1 di BM Episode ke 24, disusul pa Latief Sragentina dan jeng Wiwik Bojonegoro, pada jam jam yang sama 21.52 WIG
DeleteSelsmat malam bu Tien salam sehat tetap semangat.
Salam ADUHAI dari mas kakek mBandung
Kata bu Tien khan dpt uang dari langit mb. Iyeng, selamat
DeleteTerima kasih, ibu Tien cantiik.... salam sehat penuh semangat buat Ibu sekeluarga....
DeleteMatur nuwun mbak Tien-ku Bukan Milikku sudah tayang
ReplyDeleteTrimakasih bunda BM sdh tayang....
ReplyDeleteWaduh p.Kartomo kok banyak tingkah...
Yessss
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteWah bu dokter mer ji.
ReplyDeleteAlhamdulillah yg ditunggu sdh nongol
Alhamdulillah....BM 24 sdh tayang
ReplyDeleteMtnuwun mbk Tien
Terima kasih Bu Tien... 🙏😊
ReplyDeleteTsyang bm24 siiiiiip
ReplyDeleteAlhamdulillah BM 24. Hadir
ReplyDeleteAlhamdulullah
ReplyDeleteMatur nuwun bu Tien
Alhamdulillah
ReplyDeleteAlhamdulillah BM 24 telah tayang, terima kasih bu Tien sehat n bahagia selalu. Aamiin.
ReplyDeleteUR.T411653L
Alhamdulillah .....
ReplyDeleteMatur nuwun Bu Tien BM 24 sampun tayang...
Bunda Iyeng nakal
ReplyDeleteMbak Susi tadi sudah pamit mau bobo...maka aku mancal gas hehe..
Delete😭😭😭 baru ditinggal gosok gigi , eh Kartomo mak bedunduk,,
DeleteBunda Iyeng kagi yang buka pintu,,👍👍👍
Aku gak balapan kalah sama yg muda²
ReplyDeleteSalam Aduhai jeng Tien
Alhamdulillah BM eps 24 sudah tayang.
ReplyDeleteMatur nuwun mbak Tien Kumalasari
Salam sehat selalu dari Tangerang City
Alhamdulillah tayang BM 24
ReplyDeleteHallo Pak Djuniarto
DeleteLama nggak komen ys
Matur nuwun bunda Tien BM 24 telang tayang..
ReplyDeleteSalam ADUHAI selalu..
Alhmdllh... terima kasih mbu tien... sehat² trs
ReplyDeleteMesake ibuxa retnoduitxa yg dikumpul2 dr jualan dicolong p kartomo sedih nelongso kanggo modal selingkuh lagi nyesek tenan
ReplyDeleteMaturnuwun mbak Tien sayang. Waah tambah gregeten sama Kartomo, ugh pingin mithes. Biar saja, dia yang sudah tega menjual anak dan calon cucunya, lalu uangnya untuk foya-foya, gak lama lagi bakal kuwalat. Begitu juga Siswanto yang ambisius, pasti bakal kejungkel.
ReplyDeleteMaturnuwun mbak Tien..
Yes .makin seru aja nih .Bu cantik .. salam sehat selalu dan bahagia Amin YRA 🙏 mr wien
ReplyDeleteAlhamsulillahh BM 24 sudah tayang
ReplyDeleteTwrimakasih bunda Tien
Semoga bunda selalu sehat
Sal sehat dan aduhai
Ealah bu Kartomo...kerja peras keringat uangnya digondol thuyul. Pilih yang santai saja bu tidak usah ngoyo. Tapi thuyulnya tahu pacaran ya, makin repot nih.
ReplyDeleteSalam sehat dari Sragentina mbak Tien yang selalu ADUHAI.
Alhamsulillahh BM 24 sudah tayang
ReplyDeleteMatursuwun Bu Tien
Semoga selalu sehat
Aduhai Salam sehat selalu
Trims Bu Tien udah menghibur
ReplyDeleteTksh bu Tien, semakin menarik ceritanya.jadi ga sabar menunggu. Salam Aduhai
ReplyDelete𝘈𝘥𝘶𝘩..
ReplyDelete𝘗𝘢𝘬 𝘒𝘢𝘳𝘵𝘰𝘮𝘰 𝘪𝘵𝘶 𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘵𝘪𝘥𝘢𝘬 𝘱𝘶𝘯𝘺𝘢 𝘱𝘦𝘳𝘢𝘴𝘢𝘢𝘯..
𝘛𝘦𝘳𝘪𝘮𝘢 𝘬𝘢𝘴𝘪𝘩 𝘮𝘣𝘢𝘬 𝘛𝘪𝘦𝘯...
Horeee....tayang
ReplyDeleteSambil ngantuk ngantuk tetap hrs bacaa...penisiriiiin dg Kartomo yang bergenit genit
Bu Kartomo harus memberi pelajaran pada pak Kartomo yg sok kaya...
Maturnuwun.
ReplyDeleteTerimakasih bu Tien..
ReplyDeleteDalam sehat dan aduhay...
Bam's
Alhamdulillah, suwun Bu Tien...
ReplyDeleteSalam sehat selalu....🙏🙏
Matur nuwun, bu Tien. BM nya semakin menarik. Sehat selalu nggih
ReplyDeleteNah p. Kartomonya yg dibuat gemesin bu Tien. Wahyudi ttp bijak jadi makin babyak tokohnya?
ReplyDeleteAlhamdulillah, matur nuwun bunda Tien .
ReplyDeleteRetno mana ya kok.gk.kliatan ? Hehehe .. mtr nwn mbak Tien
ReplyDeletePak Kartomo betul² Ndak punya hati.
ReplyDeleteMakasih mba Tien.
Salam sehat selalu . Aduhai
Jahat Pak Kartomo selingkuh .jgn taruh uang di lemari hahhaah namae Novel ..makasih Bu Tien sehat selalu
ReplyDeleteTobat pa Kartomo ga mau susah senang foya"semoga mendapat pelajatan dari perbuatannya.
ReplyDeleteAssalamualaikum wr wb. Sayang Bu Kartomo kurang hati hati dan primpen dlm menyimpan uangnya. Siapa lagi yg ambil, mereka hanya hidup berdua. Kartomo tdk kerja tapi banyak uang... Patut diduga Kartomo pelakunya. Seru nih. Maturnuwun Bu Tien ditunggu lanjutannya, semoga Bu Tien tansah pinaringan karahayon wilujeng ing sadoyonipun. Aamiin Yaa Robbal'alamiin... Salam sehat dari Pondok Gede...
ReplyDeleteAssalamu'alaikum warrahmatullahi wabarakatuh
ReplyDeleteAlhamdulillah, matur nuwun bu Tien untuk BMnya 🤗
Begitu sabarnya ibu nya Retno ,,,msh dikhianati Pak Kartomo,,Wuri Aduhaaii deh sdh bisa menjaga omongan 👍👍
Salam Sehat wal'afiat semua ya bu Tien
🤗💞☘️🌼🌿
Kalo aku punya suami seperti pak Kartono , aku pecat dia jd suami.
ReplyDeleteBiar nyaho....
Terima ksih bunda Tien..BM 24 dah tayang dan sdh dibc..makin gemes dan penasaran bunda..slm sht sll dri skbmi🥰🥰
ReplyDeleteRetno sdg apa yaa??
ReplyDeleteSabaar nunggu BM 25 tayang..
Semoga bunda Tien tetap aduhaii..
Salam sehat & bahagia selalu..
Aamiin
Wah..baru sempat baca BM24..
ReplyDeleteTrimakasih bu Tien..
Eps pak Kartomo lg yang2an...eeeee..udh mulai ambil uang istrinya...siapa lagi??..belagu amat yaa..ada yg gandrung..🤨😏
Retno lg istrht..setelah Sapto ke jkt..hehe..
Salam sehat selalu bu Tien dan aduhaiii...🙏🌷
Salam sehat buat bu Tien dan keluarga.
ReplyDeleteTetap ADUHAI.........
Wah sudah ngantuk.. Baca BM 25 besok saja
ReplyDeleteMaturnuwun
ReplyDelete