Wednesday, December 11, 2019

DALAM BENING MATAMU 64

DALAM BENING MATAMU  64

(Tien Kumalasari)

 

Setibanya dirumah, Adhit langsung menghempaskan tubuhnya ditempat tidur. Matanya menerawang keatas, membayangkan wajah Anggi yang cantik, tapi sebenarnya menyimpan derita dalam hatinya. Pasti banyak haraoan yang dilukiskannya dalam angan. Mencintai dan dicintai lelaki, lalu hidupbahagia lalu memiliki anak-anak yang luucu, membesarkannya bersama, sampai tumbuh menjadi dewasa.

Tapi apakah semua mimpi itu bisa menjadi kenyataan? Barangkali semua pasangan menginginkan adanya seorang anak. Dan kenyataan yang dihadapi Anggi jauh dari semua itu. Apakah selamanya Anggi tak akan memiliki pacar.. lebih--lebih suami? Rasa trenyuh tiba-tiba mengusik hati Adhit. Hati kecilnya yang penuh welas asih memaksanya untuk menerima Anggi. Bualah cinta itu belum tumbuh sa'at pertama kali betemu, tapi memberikan kebahagiaan bagi orang lain bukankah perbuatan mulia?"Tiba-tiba pintu kamarnya yang tidak terkunci diketuk dari luar, dan seseorang muncul dipintu yang terkuak.

"Adhit..." suara lombut itu datang dari neneknya.

"Ya eyang," jawab Adhit sambil buru-buru bangkit. Bu Broto meng geleng-gelengkan kepalanya begitu melihat Adhit masih berpakaian serapi ketika tadi berangkat kerja.

"Eyang sudah ber kali-kali bilang, sepulang dari bepergian, selalu ganti pakaian, cuci kaki tangan, bukan langsung tiduran seperti itu," tegurnya sambil tersenyum.

Adhit tersipu, ia merasa telah membuat kesalahan. Dengan sigap ia melompat dari ranjang dan melepas pakaiannya.

"Ma'af eyang.."

"Kamu capek?"

"Sedikit.."

"Segera mandi dan ganti baju, eyang tunggu diruang tengah, ada kopi kesukaan kamu, dan goreng pisang yang masih hangat."

"Siap eyang.." jawab Adhit yang kemudian melangkah ke kamar mandi.

"Makanya, cepat cari isteri, biar ada yang mengurus kamu," kata bu Broto sambil memungut pakaian Adhit yang terserak dilantai dan memasukkannya kedalam keranjang pakaian kotor.

Sebelum menutup pintu kamar mandi Adhit sempat meninggalkan senyumnya untuk sang nenek.

"Ya eyang, do'akan Adhit segera mendapatkannya."

 ***

 Ketika istirahat siang itu, Dinda mendapati Anggi sedang melamun dibawah sebuah pohon rindang yang tumbuh di halaman kampus.

"Heiiii... aku cari kamu di kantin, ternyata lagi ngelamun disini," pekik Dinda yang langsung duduk disamping Anggi.

"Lagi nggak lapar.. kamu udah makan?"

"Belum, nyariin kamu supaya ada temannya."

"Aku nanti aja, belum lapar.."

"Ada apa ? Kamu lagi memikirkan sesuatu? O, pasti memikirkan kakak aku yang ganteng, ya kan?"

"Ah, kamu tuh..."

"Iya atau enggak?"

"Aku sedang memikirkan hidup aku..."

"Wouww... begitu beratkah ?"

"Sangat..." kata Anggi lirih, dan Dinda menangkap nada pilu disana.

"Ada apa sebenarnya?" mata Dinda menatap tajam kearah wajah Anggi.

"Dulu aku pernah bilang pengin punya pacar, itu setelah aku menjauhi beberapa laki-laki yang mencoba mendekati aku. Tapi begitu kamu kenalkan aku dengan mas Adhit, aku justru sedih."

"Kenapa? Mas Adhit kan tidak menolak kamu? Kalian baru sekali ketemu."

"Bukan itu."

"Kamu nggak suka sama mas Adhit?"

"Bukan itu, justru karena aku suka, lalu aku jadi takut sendiri."

"Haa, ini berita bagus, jadi kamu suka sama mas Adhit?" tanya Dinda sambil memegangi erat lengan Anggi.

"Tunggu Dinda, ada yang kamu tidak tau, dan mas Adhit juga tidak tau."

"So'al apa?"

"Aku ini cacat."

"Apa? Cacat apanya? Kamu cantik, sempurna.. cacat apa?" tanya Dinda heran.

"Aku tak akan bisa melahirkan seorang anakpun.."

"Apa?"

"Aku .. karena suatu penyakit, rahimku harus diangkat."

Dinda melepaskan pegangannya, ditatapnya mata bening yang sekarang tampak ber kaca-kaca. Ada duka tersimpan di telaga itu, jauh didasarnya.

"Anggi, benarkah ?"

"Tak akan ada seorang lelaki pun yang mau sama aku Dinda, itulah sebabnya, begitu aku merasa tertarik pada mas Adhit, aku jadi ketakutan sendiri."

"Anggi.. kamu..." Dinda memeluk sahabatnya dengan rasa terharu, Iapun tenggelam dalam sedh seperti yang dirasakan Anggi.

"Tolong jangan ajak mas Adhit ketemu sama aku lagi," bisik Anggi.

***

"Adhit, besok bapak sama ibu mau pulang ke Solo," kata Galang ketika menelpon Adhit pagi itu.

"Oh ya, bapak..jam berapa , biar Adhit jemput ke bandara.

"Kami pakai penerbangan terpagi, biar bisa lebih lama ketemu sama anak-anak bapak."


"Senang sekli bapak, nanti bapak kabari kalau bapak sudah berangkat ya."

 "Baiklah, ada pesan dari ibu nih.."

"Apa itu?"

"Sediakan serabi notosuman buat ibu."

"Oh, iya bapak, beres lah, " jawab Adhit sambil tertawa..

Dari siapa Dhit, kok kamu kelihatan gembira sekali begitu?"

"Dari bapak, besok bapak sama ibu mau pulang ke Solo."

"Oh ya? Biar eyang suruh yu membersihan kamarnya," kata bu Broto gembira.

"Adhit akan memberi tau Ayud .. supaya besok ikut menjemput ke bandara. Diapasti senang sekali."

"Kamu benar, kabari adikmu supaya dia senang."

Namun setelah itu Adhit justru menelpon Dinda.

"Hallo mas, ada apa, Dinda baru mau mandi nih.."

"Nanti pulang kulian jam berapa?"

"Memangnya kenapa?"

"Mas mau ajak kamu sama Anggi makan siang.."

"Oh. itu..."

Dinda terdiam, ia ingat pesan Anggi bahwa dia tak ingin ketemu mas Adhitnya lagi. Apa yang harus dijawabnya?

"Dinda... kamu masih disitu?"

"Eh.. iya.. iya mas.."

"Ada apa? Mengapa diam?"

"Mm.. anu mas, Dinda belum tau jadualnya, baru meng ingtat-ingat.." jawab Dinda sekenanya.

"Sekarang sudah ingat?"

"M.. kalau dosennya datang.. ya.. jam satu lah.."

"Oke, nanti mas jemput ke kampus."

Bu Broto yang masih duduk didekat cucunya sambil menikmati teh panas, mendengarkan pembicaraan Adhit.

"Itu bukan Ayud kan?"

"Bukan eyang, Adhit baru menelpon Dinda."

Bu Broto mengerutkan keningnya.

"Ada apa dengan Dinda?"

"{Iya eyang, Dinda mengenalkan Adhit dengan temannya yang cantik..."

"Oh ya? Kamu suka?" tanya bu Broto, wajahnya mendadak berseri.

"Mungkin suka eyang, kan dia cantik.. nanti Adhit mau ketemuan lagi."

"Bagus lah, tapi kamu jangan main-main. Kamu itu sudah dewasa, waktunya mencari iateri, bukan mencari pacar."

"Baiklah eyang, pokoknya eyang jangan khawatir."

"Ya sudah, sekarang telephone adikmu dulu biar dia senang bapak ibunya mau datang."

"Siap eyang.."

***

Nmun siang itu tak ada Anggi bersama Dinda. Ketika mobil Adhit datang, Dinda ber lari-lari mendekat.

"Mana Anggi?"

"Dia sudah pulang duluan." kata Dinda yang dengan enteng kemudian membuka pin tu samping kemudi lalu duduk sambil sedikit ter engah=engah.

"Kamu habis lari berapa kilo, sampai ter engah-engah begitu?"

"Iya, dari kelas, langsung lari keluar, begitu melihat mobil ini."

"Anggi kemana? Mengapa pulang duluan?"

"Katanya mau mengantar ibunya pergi kemana... gitu, nggak tau aku."

"Yaaaah...." jawab Adhit kecewa, lalu menjalankan mobilnya pelan.

""Mas Adhit serius ingin mendekati Anggi?"

"Kan kamu yang minta?"

"Katanya mas Adhit belum merasa tertarik.. katanya biasa saja..."

"Kan baru ketemu sekali? Itu belum cukup bagi mas untuk mengatakan suka."

"Ya sudah mas, Dinda carikan yang lain saja ya?"

"Lhoh, kamu itu ngomong apa? Nggak ah, baru sekali ketemu terus ganti yang lain."

Dinda terdiam, kata-kata Anggi untuk tidak mempertemukan dirinya dengan Adhit masih terngiang ditelinganya, tapi mengapa mas Adhitnya tampak ingin mengejarnya?

"Ada apa sebenarnya Din?"

Dinda merasa, Adhit mencurigai sikapnya. Apa dia harus mengatakan tentang keadaan Anggi yang sebenarnya?

"Dinda, aku ingin bertemu Anggi, aku ingin mendekati dia, lebih jauh."

Dinda terkejut. Ungkapan ini datangnya tiba-tiba, sementara kemarin-kemarin masih tampak ragu-ragu.

"Mas Adhit serius?"

"Serius lah.. aku ini bukan anak kecil, aku bukn sedan mencari pacar tapi mencari isteri."

Tuh kan, ini gawat. Dinda merasa harus mengatakan semuanya.

:Jangan mas, nanti Dinda carikan yang lain saja/"

"Kamu ini kenapa Dinda?"

"Mas nanti akan kecewa."

"Karena dia tidak akan bisa melahirkan seorang anak pun?"

Dan Dinda tercengang. 

"Mas sudah tau?"

Adhit mengangguk.

"Dan mas justru mengejarnya?"

"Ya..."

"Tapi....

"Sekarang juga kita kesana, dan ajak dia makan siang ber sama-sama," kata Adhit tandas, dan Dinda pun tak bisa menolaknya.

*** 

Ketika akhirnya berhasil megajak makan siang itu, Anggi lebih banyak diam. Senyum yang diebarkan ketika pertama kali bertemu tak begitu banyak disunggingkannya. Ada perasaan aneh dan debar yang membuatnya gugup ketika Adhit menatapnya. Ya Tuhan, jangan biarkan perasaan apapun tumbuh dihatiku. Aku tak pantas untuknya. Bisik batin Anggi ketika menghirup minuman di gelasnya.

"Aku mau ke toilet sebentar ya mas," tiba-tiba kata Dinda sambil berdiri, lalu pergi meninggalkan Adhit berdua saja bersama Anggi.

Adhit tau, -pasti Dinda sedang memberinya kesempatan untuk bicara.

"Dari tadi kok diam Nggi?" tanya Adhit sambil menatap Anggi yang sibuk mempermainkan sendok di gelasnya.

"Nggak tau harus ngomong apa.." jawabnya masih tak berani menatap wajah priya ganteng dihadapannya.

"Anggi, boleh nanya sedikit ?"

"Apa?"

"Kamu sudah punya pacar?"

Anggi terkejut. Kali ini ia mengangkat kepalanya dan menatap wajah ganteng yang sedari tadi tak pernah melepaskan pandangan kearahnya.

"Jawablah Nggi, sudah punya belum?"

"Nggak ada yang mau.."

"Masa..? Kamu kan cantik ?"

Anggi tampak menghela nafas. Adhit menyesal karena tiba-tiba pertanyaannya membuat ada telaga bening menggenang dimatanya.

"Anggi, ada apa?"

Adhit menatapnya dengan trenyuh, pasti sangat sakit menahan derita yang mungkin akan disandangnya seumur hidup. Adhit mengulurkan tangannya, memegang kedua tangan Anggi yang terkulai dimeja. 

"Apa aku membuatmu sedih?Ma'af ya.." kata Adhit lembut. 

Anggi menggeleng. Ia membiarkan kedua tangannya digenggam Adhit, menikmati getar-getar yang mengusik aliran darahnya, lalu ia ketakutan sendiri. Tidak, ini tak boleh terjadi. Lalu tiba-tiba Anggi menarik tangannya, meletakkannya dipangkuannya.

"Bagaimana kalau aku melamar kamu?"

Anggi merasa tempat duduk yang didudukinya bergoyang. Ucapan yang seperti mimpi itu didambakannya sejak lama, tapi sungguh ia tak berani menerimanya.

"Aku serius, maukan kamu menjadi isteriku?"

"Tidaaaak..." kata Anggi setengah berteriak, dan bulir-bulir air mata mulai berjatuhan dipipinya.

"Mengapa Anggi? Kamu menolak aku?"

"Jangan mas.. aku bukan wanita sempurna, mas akan kecewa."

"Aku akan menemani kamu, hidup bersama, walau kamu tak akan melahirkan seorang anakpun untuk aku."

Anggi menatap Adhit, tak percaya/

***

besok lagi ya

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


14 comments:

  1. Aduh.. Kenapa hrs ada anggi.. Kasihan mirna.. Merana lg deh..

    ReplyDelete
  2. Hati sholeh seorang pemuda tampan ...walau ksya raya dia tetap metendah....

    ReplyDelete
  3. Terima kasih bu tien.... Kutunggu lanjutannya segera...

    ReplyDelete
  4. Terima kasih bu Tien sudah mengijinkan para pembaca menikmati cerita2 nya yang menarik semoga menjadi sedekah yang diberkahi. Dittunggu kelanjutannya.

    ReplyDelete
  5. Critanya jd agak g semangat bacanya

    ReplyDelete
  6. Sepertinya ibu Tien sengaja memasukan tokoh anggi untuk melihat respon pembaca. Adhit yang sifatnya " nyaris sempurna " akan mendapatkan jodoh yg " nyaris sempurna " juga. Jodohnya bukan dengan gadis yg "tidak nyaris sempurna,"apalagi gadis yg ujug2 muncul... Who knows ?

    ReplyDelete
  7. Klo niat Adhit baik kenapa gk nikah ama Mirna atau Dewi yg korban si Aji.. Akh jadi kurang menarik klo bad ending buat Mirna dan Dewi..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya, klu niatnya adit kasihan harusnya sama mirna atau dewi

      Delete
    2. Iya, klu niatnya adit kasihan harusnya sama mirna atau dewi

      Delete
  8. Nunggu episode berikutnya kok lama ya

    ReplyDelete
  9. Masa Adhit begitu mudahnya memutuskan Anggi menjadi istrinya,pdhal baru ketemu 2x. Lama2 ceritanya terlalu dibikin bikin, pdhal yg awal2 bagus...sayang sekali..Mirna dibuang begitu saja..
    Jadi tidak menarik lagi

    ReplyDelete
  10. Luar biasa ceritanya, sungguh luar biasa, terimakasih

    ReplyDelete

CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG 31

  CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG  31 (Tien Kumalasari)   Sinah terkejut. Pandangan mata simboknya sangat terasa menghujam di dadanya. Ia tah...