Tuesday, September 10, 2019

SEKEPING CINTA MENUNGGU PURNAMA 56

SEKEPING CINTA MENUNGGU PURNAMA  56

(Tien Kumalasari)

Putri tak ingin membalas kata-kata itu. Bagaimana ia harus bicara dengan Teguh, sementara baru ketemu sebentar saja Galang sudah ngambeg lalu meninggalkannya di Solo.

Ia kemudian masuk kekamarnya, menyimpan ponselnya disana, lalu mencari Adhitama keruang tengah. Si kecil tampan itu sedang mengangkat angkat kakinya keatas, lalu memasukkan ibu jarinyaa ke mulut.

"Haii...  sayang, enaknya ibujari kaki kamu," teriak Putri lalu merebaahkan tubuhnya didekat Adhitama.

Adhitama tertawa-tawa melihat ibunya ada didekatnya, lalu dimiringkannya tubuhnya. Rupanya si kecil sedang berusaha tengkurap.

"Mas Adhita itu pinter sekali jeng, baru tiga bulan sudah mau tengkurap, lihat tuh.. sudah berhasil dia... waah.. ayo pinter..." teriak simbok yang baru keluar dari dapur. Ditangannya ada sepiring srabi yang dia beli tadi pagi.

"Jeng, ini srabinya, nanti lupa dimakan," kata simbok.

"Lho, simbok nyimpennya dimana, aku jadi lupa kalau tadi minta dibeliin lagi."

Putri duduk, lalu mencomot sepotong srabi dari piring yang disodorkan simbok.

"Pagi-pagi sudah bilang pengin dibelikan srabi kok lupa. Simbok naruhnya ya dimeja makan."

"Hm... aku tuh tiba-tiba pengin banget makan srabi lho mbok, nggak tau berarapun aku sikat habis," kata Putri dengan mulut penuh makanan, sementara tangan yang lainnya mencomot sepotong lagi.

"So'alnya lama nggak pulang ke Solo, jadi kangen rasanya srabi. Memangnya di Jakarta nggak ada ta jeng?"

"Ada sih, tapi aku belum pernah beli, nggak tau juga tempat srabi yang kayak begini itu dimana penjualnya."

"Katanya sudah ada dimana-mana kok.."

"Ya, nanti aku minta mas Galang untuk mencarinya. Ayo mbok, kamu juga ambil," kata Putri, lalu tangannya mengambil lagi satu. Simbok menutupi mulutnya sambil tertawa.

"Lha nanti kalau simbok ikutan makan, bisa-bisa jeng Putri nyuruh simbok beli lagi."

"Nggak sekarang, tapi besok kalau ke pasar pokoknya beli lagi ya mbok. Nggak usah banyak-banyak, satu kotak cukup. Habis yang makan cuma aku saja."

"Yang lain sudah bosan jeng. Tapi ngomong-ngomong... jangan-jangan jeng putri ngidam.." celetuk simbok tiba-tiba. Putri terkejut, dielusnya perutnya perlahan.

"Aah, simbok ada-ada saja, nggak ah.. kan kalau ngidam itu mintanya lotis.. rujak.. gitu, masa srabi?"

"Lho, yang namanya jabangbayi itu mintanya semaunya jeng, ada yang minta lotis setap hari, ada yang minta srabi... nggak apa-apa jeng, biar hamil lagi, supaya mas Adhit ada temannya bermain."

Putri kembali mengelus perutnya. Masih rata kok.. pikirnya. Tapi ada harap-harap cemas dirasakannya.

***

Galang menunggu jawaban Putri, tapi ponsel itu sudah dimatikan. Apakah Putri menolaknya?

"Dia belum jawab mau atau tidaknya Jo, nanti saja kalau dia sudah kembali bisa bicara lagi," kata Galang kepada Raharjo yang sejak tadi diam terpaku. Ia membayangkan bagaimana nanti ia harus bersikap kalau bertemu Putri, lalu apakah nanti Galang akan memeloototi keduanya ketika sedang bicara? Entahlah.

"Oh ya, ganti topik dulu saja. Kapan rencana kalian akan menikah?" kata Galang mengalihkan pembicaraan.

Raharjo mengangkat wajahny, lalu saling pandang dengan Retno. Retno menggeleng-geleng.

"Terserah kamu saja," katanya lirih.

"Aku harus menemui kedua orang tuanya dulu mas, masih was-was kalau nanti ditolak, lalu diusir dari rumah itu."

"Eeeh, masak orang tuaku sejahat itu?" seru Retno.

"Ya belum tau, ini kan masalah kehidupan anaknya Ret, mana mungkin orang tua mau menerima menanntu sembarangan. Aku ini kan...."

"Stop Jo, kalau kamu memang nggak mau melamar kepada orang tuaku ya terserah. Kata Retno sambil cemberut.

Galang tertawa keras. Alangkah merdu suara itu, pikir Retno. Rupanya hati Galang sudah mencair. Syukurlah, pikirnya.

"Ini kok terus jadi aneh. Masa mau dilamar saja pakai memasang wajah cemberut."

"Mas, dia itu penakut, masa belum-belum sudah membayangkan buruknya?"

"Ya Jo, jadilah laki-laki sejati. Orang melamar memang ada resikonya Jo, resiko ditolak sama mertua. Eh, pengalaman pribadi ya?" Galang tiba-tiba teringat kisah cinta Teguh dan Putri yang pernah didengarnya dari Raharjo juga. 

Raharjo merasa sungkan karena kata-kata Galang seperti menyindirnya.

"Nggak, nggak.. aku nggak takut, kapan kamu mengijinkan aku menemui orang tua kamu?"

"Terserah kamu, kamu yang mau melamar," kata Putri, masih dengan wajah cemberut.

"Sudah dong cemberutnya, kalau perlu Raharjo akan melamar kamu besok, biar aku yang mengantar," kata Galang sambil menatap Retno.

Raharjo tertawa.

"Secepatnya, kan rumahnya baru mau ditata?" kata Raharjo yang kemudian membuat Retno tersenyum.

***

Digulung hari demi hari, kebekuan hati mulai mencair, dan semua mulai membenahi hidupnya masing-masing. 

Hari itu Galang memasuki halaman rumah mertunya dengan hati yang mantap. Diteras, dilihatnya Adhitama sedang digendong simbok. Setengah berlari Galang menemuinya.

"Haloo... gantengnya bapak," seru Galang sambil mengambil Adhit dari tangan simbok. Simbok berlari kebelakang untuk memberitahu momongannya.

Adhit terkekeh senang ketika Galang mengangkat tubuhnya tinggi-tinggi, lalu menciuminya penuh rindu.

"Kamu juga kangen sama bapak ya? Bapak juga kangen sama kamu," lalu Galang mengangkatnya tinggi lagi, dan Adhitpun terkekeh lagi.

"Eeeh.. mas, ya ampuun.. hati-hati.. " pekik Putri yang kemudian memeluk suaminya erat-erat.

Galang memeluk keduanya, mencium pipi dan kening isterinya dengan hangat.

"Aku kangen sama kamu," bisik Galang lirih, tapi kedua tangan Adhitama tiba-tiba menutupi wajah ayahnya sambil berteriak teriak senang.

"Aauuuw... Adhit.. bapak nggak boleh ya mencium ibu?" seru Galang yang masih saja memeluk keduanya.

"Ayo masuk mas, bapak sama ibu ada didalam." ajak Putri sambil menarik tangan suaminya.

Galang melangkah masuk sambil menggendong Adhit, dan menggandeng tangan isterinya.

"Mengapa tadi nggak bilang supaya Sarno bisa menjemput kamu Galang," tegur pak Broto sambil menerima uluran tangan Galang untuk diciumnya.

"Cuma sendirian saja pakde, nggak apa-apa," jawab Galang sambil mencium tangan bu Broto juga.

"Galang, sebaiknya bawa dulu anakmu kesini, lalu kamu cuci kaki tangan, baru gendong Adhit lagi." tegur bu Broto sambil tersenyum.

"Iya, ma'af bude, habis Galang sudah kangen sekali," jawab Galang sambil mengulurkan Adhit ketangan neneknya. Adhit tampak tak terima, tangannya melambai kearah Galang sambil merengek.

"Sebentar sayang, sama eyang putri dulu, bapakmu harus cuci kaki tangannya sebelum gendong kamu," hibur sang nenek sambil  berdiri.

Galang sudah masuk kekamarnya, rupanya karena udara gerah Galang sekalian mandi dan Putri sudah menyiapkan baju ganti yang bersih.

"Terimakasih sayang, ber-hari-hari aku melayani diriku sendiri, tapi sekarang ada kamu," kata Galang sambil memeluk isterinya.

"Eeiitt.. pakai baju duluuuu," teriak Putri karena Galang hanya membalutkan handuk sebatas pinggang.

"Biarin saja, kan hanya ada kamu, apa aku harus malu?"

"Maas..." 

"Kok teriak sih, nanti bapak sama ibumu dengar bagaimana?"

Putri tersenyum dan tak mampu menjawabnya. Kerinduan yang tertahan selama ber hari-hari memercikkan bunga-bunga api yang menyengat dan kemudian terburai dengan indahnya dilangit sana. Alangkah indah hari ini.

***

Akhirnya pak Broto dan bu Broto ternyata ingin ikut bersama menantunya. Berat rasanya ditinggalkan cucu kecil yang sedang lucu-lucunya.

Begitu memasuki halaman rumah dinas barunya, Putri tertegun.

"Inikah rumah kita mas? Bagus sekali, aduuh.. mawar-mawarku..." pekik Putri begitu turun dari dalam taksi yang ditumpanginya, lalu berlari-lari kecil mendekati kebun mawarnya, ada empat bunga yang sedang berkembang, merah, putih, kuning, satinya seperti batik, merah putih. 

Galang tersenyum melihat ulah isterinya. Ia mempersilahkan pak Broto dan bu Broto masuk, sementara simbok menggendong Adhit yang terlelap tidur. Mungkin capek karena sepanjang perjalanan bercanda dengan ayahnya.

"Rumahmu ini lumayan Lang,aku suka," kata pak Broto memuji.

"Terimakasih pakde," jawab Galang senang.

"Tapi ini kan rumah dinas, bukan punya kamu sendiri," lanjur pak Broto. Yaah, ada tapinya juga, pikir bu Broto yang berjalan disampingnya, mengikuti suaminya melihat -lihat seisi ruangan.

"Galang dan Putri baru memulai hidupnya, ya nggak apa-apa rumah dinas. Ini bagus, ada AC disetiap ruangan, kamarnya tiga besar-besar. Perabotnya bagus semua. Ada kaca besar yang persis sepert punyaku ya pak," kata bu Broto bersemangat.

"Punya ibu yang mana yang persis seperti itu?"

"Yang ada dikamar, yang diberi dari sahabat ibu yang rumahnya Semarang itu. Persis ini lho pak."

"O, dari jeng Lies itu? Iya, mirip," kata pak Broto sambil terus berjalan mengitari rumah.

"Eh, mbok, ayo aku antar kekamarmu. Ayo sini, agak dibelakang, tapi semua barang-barang simbok sudah aku angkut kesini semua. Sini mbok.." kata Galang sambil menarik lengan simbok.

"Waah, kamarnya simbok bagus sekali, ada gambarnya nyonyah cantik, yang dibawahnya ada jam nya." pekik simbok senang. Ia membuka sebuah almari yang ada disana..

"mBok, barang-barangmu masih ada di dalam kooper dan kardus besar itu, aku belum menatanya, takut salah, nanti simbok bisa menatanya sendiri."

"Iya pak, nggak apa-apa, nanti simbok mengaturnya sendiri."

"Sini, Adhit biar aku tidurkan dikamarnya," kata Galang sambil meminta Adhit dari tangan simbok.

"Kalau sudah, ada sayuran, ikan dan bumbu-bumbu didapur, simbok silahkan memasaknya semau simbok. Kalau ada yang kurang bilang saja, ada mini market disebelah, tinggal beli," lanjut Galang.

"Waah, benar=benar sudah lengkap. Saya masak dulu saja mas, menata kamarnya bisa nanti saja. Yang penting semua bisa makan siang dirumah," ujar simbok sambil menuju ke dapur yang ditunjuk Galang.

Galang mengangguk, membawa Adhit kakamarnya, memasukkan kedalam boxnya, lalu menutupkan pintunya.

Kedua orang tuanya sedang duduk diruang depan, sambil memandang kearah kebun yang asri. Putri baru saja melihat-isi rumahnya, lalu ikut duduk bersama mereka.

"Mas Galang sudah mengusung semua yang kami perlukan dirumah ini. Bahkan dia sudah belanja sayur dan ikan beserta semua bumbunya, hebat suamiku bukan?" kata Putri riang.

Galang hanya tersenyum, melirik gemas kearah isterinya.

Pak Broto membuka ponselnya, mengirim pesan kepada anak buahnya, tentang apa yang harus mereka lakukan sepanjang kepergiannya.

"Bapak itu, mbok ya santai saja, jangan memikirkan pekerjaan kalau lagi bepergian," keluh bu Broto melihat suaminya masih berkutat dengan pesan-pesannya.

"Ah, kamu itu bu, urusan pekerjaan harus selalu dikontrol, kalau tidak bisa kacau seperti waktu aku sakit itu dan nggak sempat menata pekerjaanku." omel pak Broto.

Tiba-tiba ponsel Galang berdering. Dari pak Haris?

"Halo selamat siang pak Haris,"

"Kamu sudah sampai di Jakarta?"

"Sudah pak,"

"Sudah menempati rumah barumu?"

"Sudah pak, kami baru saja sampai. Kedua mertua saya juga ada disini pak."

"Wah, senang ya ditungguin mertua. Sampaikan salam saya ya buat bapak dan ibu mertua kamu."

"Nanti saya sampaikan pak."

"Galang, besok itu aku harus pergi ke Singapur, ada undangan sahabat disana yang nggak bisa aku tolak."

"Oh, berapa hari pak?"

"Mungkin hanya dua atau tiga hari, tapi aku minta mulai besok pagi kamu sudah harus membentuk team untuk perayaan kita yang tinggal beberapa minggu lagi lho."

"Oh, baik pak."

"Jangan lupa tarian Raharjo bersama isterimu, aku ingin sekali melihat tarian Jawa, dan kalau itu dilakukan oleh karyawanku serta keluarganya, aku akan senang sekali," kata pak Haris bersemangat.

"Oh... ya.," sahut  Galah seakan lelah.

"Aku juga sudah berpesan sama Raharjo tentang pekerjaannya, dan tentang perayaan itu."

Pembicaraan itu kemudian berakhir setelah pak Haris mengatakan semua pesan yang harus dilakukan Galang ketika dia pergi.

Galang menutup ponselnya dengan wajah lesu.

"Ada apa mas?"

"Pak Haris mengingatkan, besok aku sudah harus bisa mengatur terselenggaranya perayaan ulang tahun perusahaan. Dan kamu diharapkan bisa menari bersama Raharjo."

Putri diam tercenung di kursinya, sementara pak Broto mengangkat kepalanya, dan menunjukkan wajah kesal.

"Apa Lang? Kamu mau menyuruh isteri kamu menari? Tidak! Aku tidak mengijinkan anakku menari lagi." kata pak Broto tandas, matanya tajam menatap Galang yang lemas tanpa daya. 

***

besok lagi ya

1 comment:

CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG 49

  CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG  49 (Tien Kumalasari)   Ketika menemui Sinah di rumah sakit, mbok Manis tidak pernah sendiri. Dewi yang tid...